17 - Hukum Kesetimbangan Kimia


Ada dua hal yang bikin aku nggak suka dengan hari Senin.

Pertama, apel pagi selalu lebih lama dari biasanya karena ada upacara bendera. Ditambah sesi pemberian "wejangan" soal Casa Poca tadi dari Pak Prasetyo, apel yang biasanya hanya berlangsung lima belas menit molor jadi satu jam.

Kedua, kelas Kimia sehabis jam istirahat.

Belakangan konsentrasiku sedang terpusat pada Carl dan The Queens sehingga aku kurang memperhatikan Pak Gino. Dia masih meneror anak-anak di kelas Kimia dengan tak kenal lelah dan menghukum siapapun yang bisa dihukumnya. Hubungannya denganku juga tidak membaik. Sejak insiden flash disk waktu itu, si monster selalu berpura-pura seolah aku nggak ada setiap kali kelas Kimia.

"Hari ini kita belajar apa, ya?" tanya Karina dalam perjalanan menuju Lab IPA.

"Harusnya tentang larutan elektrolit," jawab Meredith lancar. "Tapi si monster udah menyuruh kita bikin ringkasan sampai bab terakhir semester ini tentang rantai karbon."

"Dia nggak menyinggung soal PR kita waktu itu, ya?" tanya Reo. Belakangan Reo sering sekali jalan bersama kami dan aku senang karena Reo termasuk orang yang nggak anti sama Carl. Meski ini artinya sekarang ada dua kerumunan yang selalu mengikuti kami: pertama anak-anak yang masih kepo denganku, dan kedua batalion penggemarnya Reo.

"Mungkin dia lupa," seloroh Tara cuek.

Di belakangku, Carl mengeluh. Dia memang nggak suka Kimia. Aku menoleh padanya dan tersenyum memberi semangat. Dia mengedik kepadaku dan membuang nafas dengan berat.

"Kira-kira PR kita itu dinilai nggak ya sama dia?" lanjut Karina lagi. "Gue penasaran."

"Dia memberi kita PR sebanyak itu sebenarnya bukan supaya kita belajar," kataku. "Tapi karena dia mau menghukum kita."

"Menghukum siapa, Darmawan?"

Suara yang dingin dan mencekam itu muncul dari belakang punggungku. Bulu tengkukku langsung berdiri tegak tapi aku terlambat bergerak. Karina berbalik dan merintih ngeri. Reo melompat kaget dan menjatuhkan buku-bukunya. Tara dan Meredith merapat ke tembok, raut wajah mereka ketakutan.

"Umm, bukan siapa-siapa, pak..."

Sosok jangkung dan botak Pak Gino yang mirip burung pemakan bangkai berdiri di belakangku. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan mengernyit, seolah aku segunduk kotoran busuk.

"Saya tadi dengar kamu bilang sesuatu soal menghukum," kata Pak Gino dengan suaranya yang diseret-seret. "Saya tanya sekali lagi: siapa yang mau dihukum, Darmawan?"

"Bukan siapa-siapa, pak," ulangku. Kuberanikan menatap mata Pak Gino yang merah dan kecil.

Pak Gino memicing tidak puas mendengar jawabanku. Dia berdecak meremehkan dan melangkah melewati kami.

"Kalau saya tiba duluan di lab," katanya mengancam. "Berarti kalian semua terlambat."

Mendengar itu, kami semua langsung berlari tergesa-gesa menuju lab. Aku sudah pernah terlambat sekali, dan aku nggak mau terlambat lagi. Itu sama saja membiarkan Pak Gino menghukumku lagi.

Kami sampai di Lab IPA nomor tujuh dan langsung mengambil tempat masing-masing. Berbeda dengan ruang kelas di mana setiap murid punya meja dan kursi sendiri, di dalam lab, tiga siswa harus berbagi satu meja. Aku, Tara dan Meredith dapat meja nomor tiga, tepat di belakang Karina, Azka dan Hanna. Di meja sebelahku, Reo, Carl dan Billy berbagi satu meja.

Pak Gino masuk ke dalam lab dan membanting pintunya dengan keras.

"Selamat siang," katanya dingin. Dia menyalakan komputer di mejanya dan menatapku. Tatapannya seolah menantangku untuk merusak komputernya lagi. "Hari ini kita akan belajar tentang Stoikiometri. Tapi karena kalian sudah membuat rangkuman sampai bab terakhir tentang rantai karbon, saya rasa saya tidak perlu menjelaskan lagi soal materi itu."

Tara bergerak-gerak risau di kursinya. Meredith melirikku.

"Sebelum kita mulai, saya sudah membagikan nilai tugas rangkuman dan soal latihan kalian waktu itu lewat email. Jujur saja..." Dia mengangkat bahu dan mencibir. "Saya sangat terkejut dengan hasil pekerjaan kalian. Untuk mengetahui hasilnya, silakan cek email masing-masing sekarang."

Kami mengeluarkan iPad masing-masing dan mulai mengecek email. Tidak seperti sekolah lainnya, SMA Cahaya Bangsa ini memang menerapkan sistem paperless: kebanyakan tugas dan pekerjaan kami dikerjakan lewat iPad dan dikumpul dengan email. Tadi Pak Gino bilang dia terkejut dengan hasil PR kami. Apa dia terkesan? Aku melirik Carl di meja sebelah yang kebetulan juga melirikku. Kami sudah memeriksa rangkuman teman-teman sekelas berkali-kali, memastikan semuanya ditulis dengan benar. Meredith, Karina, Reo, dan Emma juga sudah berjibaku mengerjakan soal-soal latihan itu dan jawabannya sudah pasti benar. Aku yakin seratus persen kami sekelas dapat nilai seratus, dan pasti itulah yang bikin si monster terkesan.

Email dari Gino Sudrajat nongol di baris paling atas akun email sekolahku.

Kubuka email itu. Di dalamnya ada lampiran PDF rangkuman dan jawaban latihan soalku. Kuketuk dua kali file itu untuk membukanya.

Esaiku mendapat nilai nol.

Aku mengerjap tak percaya. Nol?

Aku mengecek file jawaban latihan soal. Ternyata PR yang itu juga mendapat nilai nol.

Meredith memekik merana, "Masa sih!"

Aku mendongak ke arahnya. Meredith mengangkat iPad-nya dan memamerkannya padaku dengan tampang terpukul. "PR gue dapat nol! Dua-duanya!"

"Gue juga!" kata Tara dari sebelahku.

Karina, Azka dan Hanna di meja depan juga mengangkat iPad mereka dan membandingkan nilai masing-masing. Mereka bertiga juga dapat nol. Ketiganya tercengang dan marah. Di meja sebelah, Reo menggeleng-geleng tak percaya karena dia juga dapat nol. Carl hanya diam saja dan tertuntuk lesu. Si kembar Nugroho mampir dari meja ke meja seperti satpam, mengecek nilai anak-anak yang lain.

Satu kelas gempar.

Kami semua dapat nol!

"Ini mustahil! Gue sama Reo udah minta tolong kakak Reo yang jago Kimia untuk mengecek semua jawaban kita! Katanya jawaban kita udah benar semua! Nggak mungkin kita dapat nol," seru Meredith. Dia kelihatan sangat kaget. "Nggak mungkin gue dapat nol!"

Sebagai murid paling pintar di kelas – dan bisa jadi di Cahaya Bangsa – aku yakin Meredith lebih terpukul menyadari dirinya dapat nol ketimbang seluruh kelas dapat nol.

"Tapi bukan cuma lo aja, Dith," kata Tara. "Kita semua dapat nol."

"Kenapa bisa?" desak Meredith tak sabar.

"Bisa apanya, Meredith?"

Pak Gino pastilah punya bakat akting yang hebat sekali karena dia sanggup berpura-pura tidak terjadi apa-apa padahal semua anak di kelasnya sudah heboh sendiri. Dia menatap Meredith, ekspresi wajahnya kosong seperti langit di siang terik.

"Itu, anu, pak..." Meredith meremas roknya dengan gemas. "Kami semua dapat nol."

"Nol?"

"Ya..." Tubuh Meredith gemetar saking marahnya. Pak Gino masih berpura-pura tidak paham apa yang terjadi. Di seberang meja Carl sedang menggeram, raut wajahnya seperti ingin menampar si monster. "Untuk PR ringkasan dan soal latihan kami."

"PR apa?"

Aku muak melihat tingkah si monster. Sampai kapan dia mau berpura-pura bego begitu? Jelas dia merencanakan semua ini: memberi kami sekelas nilai nol. Dia ingin balas dendam padaku tetapi tega melampiaskannya pada seluruh kelas.

"PR yang bapak tugaskan untuk kita tiga minggu lalu."

Tara menghembuskan napas panjang seperti orang kalah. Aku baru saja menyahut. Bukan disengaja, tapi refleks. Sulit sekali menahan diri kalau berhadapan dengan orang super menyebalkan macam Pak Gino.

"Saya nggak bertanya ke kamu, Darmawan," tukas si monster kejam. Aku sadar aku baru saja memberinya alasan untuk mencelakaiku lagi. "Ternyata benar apa yang dikatakan anak-anak Supernova. Jadi gadis terkaya di Asia bikin kamu sok!"

"Saya hanya-"

Meredith dan Tara menginjak kakiku di kolong meja bersamaan.

"Ya?" tantang Pak Gino sambil tersenyum masam. "Kamu tadi mau bilang apa?"

"Saya hanya menjawab..." Kuketatkan rahangku kuat-kuat, berusaha tidak berteriak. Kakiku sakit bekas diinjak. "Pertanyaan yang tadi bapak tanyakan."

"Tapi saya bertanya sama Meredith," kata Pak Gino dengan kekagetan palsu yang menjengkelkan. "Bukan ke kamu. Kamu lancang sekali menyerobot obrolan orang lain seperti itu. Apa di Amerika kamu tidak diajarkan sopan santun?"

"Saya-"

"Pak! Kenapa kami sekelas dapat nol?"

Mata hitam kecil Pak Gino memutar ke sisi lain kelas. Di meja seberang, tangan Carl yang putih teracung naik.

"Johnson..." Senyuman Pak Gino berubah menjadi seringai lebar. "Sudah bisa bicara Bahasa Indonesia, rupanya."

Anak-anak yang lain menoleh pada Carl. Sejak jalan beberapa kali denganku, mereka jadi tahu kalau Carl memang bisa Bahasa Indonesia.

Reo menelan ludah dengan ngeri dan menunduk.

"Ya. Saya sudah belajar," jawab Carl lancar. Wajahnya penuh tekad.

Pak Gino mendengus. "Yang tadi itu bukan pertanyaan."

"Maaf pak," kata Carl sopan. Dia menurunkan tangannya. "Tapi saya rasa kita semua ingin tahu kenapa kita dapat nol."

"Soal itu, ya..." kata Pak Gino lambat-lambat, sepertinya menikmati sekali ketegangan di lab ini. "Saya rasa kalian sudah tahu alasannya. Kalian semua saling contek!"

"Kami nggak saling contek!" Aku berteriak memprotes. "Kami kerja kelompok!"

"Lancang lagi, Darmawan!"

"Kami mengerjakannya bersama-sama," dukung Billy si ketua kelas. Anak-anak yang lain bergumam setuju. "Karena PR-nya banyak sekali dan mustahil diselesaikan sendiri dalam satu malam, pak!"

Suasana lab jadi mulai agak panas.

Pak Gino mengibaskan tangannya dengan galak dan kami semua langsung tutup mulut.

"PR yang saya berikan itu adalah tugas pribadi, bukan tugas kelompok," katanya penuh kemenangan. "Karena kalian mengerjakannya bersama-sama, berarti kalian mengakui bahwa kalian memang saling contek. Oleh karena itu saya menganggap kalian nggak mengerjakan PR itu dan tidak layak dapat nilai!"

"Tapi jawaban soal latihan kami benar semua," protes Reo. "Kakak saya sudah menge-"

"Kakak kamu bukan guru Kimia di sekolah ini, Reo!" Pak Gino berdesis tajam. "Saya nggak perlu repot-repot memeriksa jawaban soal latihan kalian. Begitu melihat jawaban kalian yang sama semua, saya tahu kalian bersekongkol mengerjakan PR ini!"

"Bapak nggak bilang ini tugas perorangan," kata Iswara takut-takut.

"Saya mengirim instruksi tugas ini ke email kalian masing-masing, bukan lewat ketua kelas. Dan saya meminta kalian mengumpulkan sendiri-sendiri. Seharusnya kalian sudah tahu, kalau ini bukan tugas kelompok!"

Oh, yang benar saja! Guru yang satu ini sudah keterlaluan! Tuduhannya mengada-ada!

"Jangan, Jen," cegah Tara, sepertinya sudah membaca pikiranku. "Jangan dibantah lagi. Please. Ingat, kita dapat PR itu karena dia mau balas dendam sama lo."

"Tapi ini sudah keterlaluan!" balasku. "Lo tahu kita udah mengerjakan semua tugas itu! Mana pantas kita dapat nol! Ini nggak adil!"

"Apanya yang nggak adil, Darmawan?"

Fakta bahwa Pak Gino terus-terusan menantangku sudah membuktikan dengan jelas bahwa dia nggak suka padaku. Aku menarik napas dan menatapnya, berusaha kelihatan biasa saja.

"Menurut kamu, saya nggak adil, begitu?" tantang Pak Gino.

"Saya nggak ngomong begitu, pak."

"Jangan bohong kamu!" bentak Pak Gino kasar. "Saya dengar kata-kata kamu barusan. Ini nggak adil. Sayangnya, bukan kamu yang menentukan apa yang adil dan tidak adil di kelas ini."

Aku diam saja. Tanganku terkepal. Kalau aku punya kekuatan telekinesis, pasti jam dinding sudah terbang mengkemplang kepala si monster yang botak itu.

"Kalau kalian berpikir saya sudah bersikap tidak adil, kalian harus ingat tentang Hukum Kesetimbangan Kimia: laju reaksi dan hasilnya punya nilai yang konsisten. Prinsip yang sama berlaku juga dalam hidup ini. Itu artinya, jika kalian bersikap nggak adil, kalian juga akan menerima ketidakadilan!" lanjut Pak Gino, kini mulai kedengaran berapi-api. "Sudah saatnya kalian anak-anak manja belajar yang sebenarnya!"

Lab jadi hening sekali. Anak-anak tertunduk, tak berani menatap si monster.

"Kalian mau bicara soal keadilan? Silakan saja. Sekarang saya tanya, apa menurut kalian adil jika seorang pengendali melawan non-pengendali?"

Meredith diam-diam menyalakan layar iPad-nya dan mulai mengetik sesuatu.

"Apa menurut kalian adil kalau seorang non-pengendali bisa mengalahkan pengendali?"

Aku dan Tara saling lirik. Apa yang sedang dibicarakan Pak Gino? Kenapa topiknya jadi melenceng begini?

"Apa adil jika ada orang-orang yang bikin kekacauan di tempat umum tapi dibiarkan bebas begitu saja?"

Meredith menyorongkan iPad-nya padaku. Ada sebaris kalimat di situ:

 Dia lagi nyinggung kita. Dan kejadian di kelab waktu itu.

"Apa adil jika seorang pengacau membuat tiga seniornya dikeluarkan karena dia membela temannya yang suka berkeliaran di lingkungan sekolah seusai jam belajar mengajar?"

Meredith nggak perlu menjelaskan lagi. Kali ini aku tahu bahwa Pak Gino memang sedang menyinggung kami. Lebih spesifiknya, aku. Bagiku tampaknya si monster menganggap aku contoh besar ketidakadilan di sekolah ini.

"Jadi sebelum kalian bicara soal keadilan," kata Pak Gino geram. "Pikirkan dulu apa kalian sudah bertindak adil!"

Tara meraih pulpen dan menulis sesuatu di atas secarik kertas.

"Sekarang buka bab bagian Stoikiometri. Baca bagian pendahuluan. Tak perlu berisik."

Anak-anak menyalakan iPad masing-masing dan mencari-cari bab tentang Stoikiometri dalam diam. Tara menggeser secarik kertas itu padaku dan sebelum menyibukan diri dengan pelajaran.

Pak Gino adalah wali kelas The Queens.

Begitu isi tulisan Tara.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top