16 - Akhir Yang Bahagia
♫ "Most Girls" - Hailee Steinfeld ♫
Malam itu aku menginap di rumah sakit. Meski merasa baik-baik saja, Pak Prasetyo dan Arini berkeras bahwa aku harus dirawat. Betisku memang agak memar akibat tarikan sulur-sulur tanaman Meredith. Terus di bahuku ada bekas luka bakar kecil akibat serangan matahari mini Iswara, tapi selain dari luka-luka itu, sejujurnya aku merasa cukup oke.
Carl juga dirawat di rumah sakit, tapi kami dipisahkan saat dibawa masuk ke Ruang Gawat Darurat, jadi aku tidak tahu menahu kondisi terakhirnya. Dia dijemput oleh seorang pegawai dari kedutaan Inggris setelah Bu Olena menelepon ayahnya dan memberitahu apa yang terjadi.
Tak ada yang tahu apa yang terjadi pada The Queens.
Mom meneleponku di malam aku dirawat. Mom sedang berada di Hongkong untuk urusan bisnis. Aku mencoba menceritakan yang sebenarnya padanya; tiga senior kelas dua belas yang punya kekuatan super mencoba mencelakaiku dan Carl yang manusia biasa. Aku juga bercerita soal SMA Cahaya Bangsa, Meredith, Tara, dan kelas Pengedalian Kekuatan.
Kalian pasti penasaran apa respon ibuku mendengar cerita sehebat itu, kan?
Sayangnya, Mom hanya menganggapku terlalu banyak nonton film Marvel dan butuh istirahat. Mom percaya bagian The Queens menyerangku dan Carl, tapi dia menganggap kami hanya di-bully oleh senior. Dia menawariku sekelompok bodyguard bersenjata saat aku kembali bersekolah nanti, yang langsung kutolak mentah-mentah. Limusin itu sudah cukup menyita perhatian.
Setelah menginstruksikan Arini untuk menjagaku sampai aku pulih kembali, Mom meminta maaf padaku karena nggak bisa langsung kembali ke Jakarta. Mom berjanji akan pulang "secepatnya" dan itu bisa berarti kapan saja. Aku kecewa mendengar reaksinya meski sebetulnya... aku nggak berharap banyak juga, sih. Mom memang selalu sibuk karena perusahaan Helix yang didirikan oleh Dad ini punya cabang di seratus negara. Selain itu, siapa juga yang bakal percaya kalau ada anak-anak berkekuatan super di Indonesia ini?
Berkebalikan dengan Mom, Arini ternganga mendengar ceritaku. Aku senang karena ada yang percaya ceritaku. Arini merawatku sejak aku masih bayi dan dia tahu aku serius. Menurut Arini, sebaiknya aku pindah sekolah. Dia berjanji akan mencoba membujuk Mom, tapi aku kurang yakin dia akan berhasil. Lagipula, aku sudah terlanjur cinta dengan SMA Cahaya Bangsa. Nggak kebayang rasanya harus memulai lagi sebagai murid baru di sekolah lain hanya sebulan setelah jadi murid baru.
Tara datang menjengukku hari Sabtu pagi bersama Meredith, Iswara, dan Reo. Meski ada di obsevatorium saat penyerangan The Queens, rupanya Meredith dan Iswara nggak ingat sebagian besar kejadiannya. Iswara mengaku mendengar langkah-langkah kaki yang muncul dari kegelapan dan selebihnya, dia nggak ingat apa-apa. Rita ternyata punya kekuatan teleportasi sama seperti Hanna, jadi ketika The Queens tahu kami menyelinap ke obsevatorium, mereka berteleportasi masuk. Kata Meredith, dia merasa seperti masuk ke dalam mimpi saat Anne-Marie mengendalikan pikirannya. Dalam mimpinya, Meredith harus menyelamatkan aku yang diculik piring terbang. Jadi dia menggunakan kekuatannya untuk menarikku sebelum dibawa kabur oleh si piring terbang.
Reo bercerita kalau dia melihatku, Iswara, dan Meredith sewaktu di lobi. Lalu Reo menyusul kami ke lantai dua puluh dua, tapi dia kehilangan jejak karena kami sudah menyelinap masuk ke obsevatorium. Barulah saat aku berteriak, Reo tahu terjadi sesuatu yang nggak beres. Dia meminta bantuan Bu Olena yang mengajak Pak Yu-Tsin dan Pak Prasetyo, lalu menerobos ke dalam.
Untung saja Reo mendengar teriakanku.
Tara heboh mendengar cerita lengkap kejadian itu. Dia minta maaf padaku berkali-kali karena pulang duluan. Jelas dia merasa bersalah, tapi aku dan Meredith menghiburnya. Aku mencoba bersikap seolah nggak terjadi apa-apa di depannya, tapi sepertinya Tara malu sekali. Saat teman-teman yang lain pulang seusai menjengukku, dia masih tinggal beberapa jam dan terus-terusan menanyaiku apa aku butuh sesuatu. Arini terpaksa harus meminta para perawat untuk menegur Tara supaya dia pulang karena sudah lewat jam besuk.
Oh ya, untuk membuktikan ceritaku pada Arini, aku meminta Meredith memperagakan kekuatannya. Dengan senang hati Meredith mengubah sayur bayam sisa makan siangku menjadi seikat bunga matahari yang cantik. Iswara memainkan cahaya lampu kamarku hingga jadi warna-warni seperti lampu disko. Melihat itu, Arini terbengong-bengong.
Kuhabiskan sepanjang hari Minggu dengan bermalas-malasan di rumah sakit. Secara ajaib, lukaku mengering dengan sangat cepat dan aku betul-betul merasa sudah sehat kembali. Padahal kalau mau dipikir-pikir, hari Jumat itu aku sudah ditarik-tarik, nyaris dibakar hidup-hidup, dan dibuat mati kehabisan nafas.
Ketika hari Senin tiba, aku merasa sudah waktunya untuk kembali ke sekolah.
Suasana sekolah pagi itu kelihatan biasa-biasa saja. Hal pertama yang kulakukan ketika sampai di parkiran adalah mencari Lamborghini merah milik Anne-Marie. Aku harus menyipitkan mata untuk mencari, karena lapangan parkir SMA Cahaya Bangsa mirip showroom mobil-mobil mewah.
"Nggak ada," kataku, lebih untuk diriku sendiri.
"Apanya yang nggak ada?" tanya Arini.
"Mobilnya Anne-Marie. Sepertinya hari ini dia nggak masuk..."
"Anne-Marie itu, kan..." Dahi Arini berkerut. "Pemimpin The Queens? Anak kelas dua belas yang menyerang kamu?"
"Iya."
"Kata Pak Prasetyo, mereka akan dikeluarkan dari sekolah."
"Oh, ya?" Mendadak aku merasa lega. "Syukurlah kalau begitu..."
"Kamu nggak perlu takut lagi, Jen," kata Arini baik hati. Dia meremas tanganku, memberi semangat.
"Akhirnya sekolah ini aman dari The Queens," sahutku. Sebuah perasaaan menyenangkan mengalir mengisi dadaku. Rasanya seperti menang lomba.
Arini menurunkanku di dekat portal parkiran. Mini Cooper biru Meredith dan Honda Civic Tara sudah ada di situ, tapi aku tak melihat mereka. Aku baru bertemu mereka di barisan kelas kami.
Sambutan yang kuterima di luar dugaan.
"Jen!" pekik Karina heboh. "Kamu udah sembuh? Harusnya kamu di rumah sakit!"
"Eh, Jen masa sih kamu betulan melawan The Queens?" seloroh Billy bangga. "Keren banget!"
"Katanya Carl mau digantung sampai mati di obsevatorium, ya?" timpal Azka Aldric, kacamatanya melorot sampai di ujung hidungnya. "Terus kamu menolong dia?"
"Tapi bagaimana kamu bisa melawan The Queens, Jen?" sambung Wynona Salim. "Kamu kan belum menemukan kekuatan kamu..."
Aku diberondong pertanyaan bertubi-tubi. Meredith, Iswara, Reo dan Tara membantu menjawab sebagian besar pertanyaan-pertanyaan itu, tapi rupanya belum cukup. Teman-temanku ingin tahu ceritanya langsung dari mulutku. Bahkan bukan hanya teman-teman sekelas, anak-anak dari barisan kelas lain juga ikutan nimbrung.
"Tolong kembali ke barisan masing-masing," tegur Pak Prasetyo lewat mikrofon. "Upacara bendera akan segera dimulai."
Kerumunan itu langsung membubarkan diri dan dengan tertib kembali ke barisan masing-masing.
"Hei."
Ada yang berbisik memanggilku. Aku menolah ke arah datangnya suara itu. Ternyata Carl.
"Kamu udah mendingan?"
Aku mengangguk. "Udah. Kamu?"
Carl tersenyum dan mengangguk pelan. Dia tampak agak pucat dan kurus, tapi selebihnya baik-baik saja.
"Kata Pak Prasetyo..." Aku berbisik di pundak Carl. "The Queens bakal dikeluarkan dari sekolah!"
Carl tertegun sejenak. Lalu senyumnya merekah. "That's a good news!"
Kami tak sempat mengobrol lebih jauh karena upacara bendera telah dimulai. Aku mencuri-curi pandang ke arah barisan kelas dua belas. Anne-Marie, Rita dan Carly sama sekali tak terlihat di barisan itu. Apa The Queens sudah betul-betul dikeluarkan dari sekolah?
Selama empat puluh lima menit upacara bendera, cahaya matahari yang semula hangat kini sudah berubah panas, khas terik Jakarta yang mematikan. Aku jadi ingat bola-bola cahaya Iswara. Keringat mulai mengalir dari pelipisku.
"Dan untuk pengumuman hari ini..." Suara Pak Prasetyo bergaung di lapangan. "Cahaya Bangsa Power Championship alias Casa Poca tahun ini akan diadakan dua minggu lagi."
Anak-anak saling tatap satu sama lain dan mulai mengobrol bersemangat.
"Harap tenang dulu," lanjut Pak Prasetyo. Dia tersenyum menyadari antusiasme yang bangkit di antara para muridnya. "Casa Poca adalah kompetisi khusus yang hanya ada di SMA Cahaya Bangsa. Kompetisi ini diadakan untuk kita semua, para pengendali. Bagi para murid kelas sepuluh, saya yakin Pak Yu-Tsin sudah menyinggung soal Casa Poca di kelas Pengendalian Kekuatan. Bagi kelas sebelas dan dua belas, kalian sudah pernah menyaksikan Casa Poca dan sekarang diundang untuk ikut bertanding lagi..."
"Siapa yang akan kita kirim?" tanya Tara antusias. "Tadi pagi gue udah baca posternya di lobi depan. Lumayan banget kalau bisa menang. Kita bisa liburan sama-sama ke Jepang!"
"Dan bebas PR sebulan," dukung Aldo Nugroho.
"Dan jadi kelas paling keren satu sekolah," timpal saudara kembarnya, Bastian.
"Bagaimana kalau kita undi aja?" usul Emma Cahyadi.
"Jangan buru-buru diputuskan," Billy si ketua kelas menengahi. "Nanti kita diskusikan bersama."
"Sepanjang minggu ini, Pak Yu-Tsin dan Bu Nanda akan mampir di setiap kelas dan memberikan sosialisasi soal Casa Poca. Oleh karena itu, saya minta setiap kelas untuk memasukkan nama tiga murid yang akan menjadi perwakilan lewat wali kelas masing-masing paling lambat hari Senin minggu depan," kata Pak Prasetyo lagi. "Ini akan jadi kesempatan emas bagi para murid yang ingin menguji kemampuan pengendaliannya dan memenangkan liburan menarik. Selamat mencoba!"
Akhirnya apel pagi selesai dan kami dibubarkan menuju kelas masing-masing. Obrolan anak-anak masih berlanjut soal Casa Poca. Karena baru pertama kali ikut, aku paham mengapa semua anak kelas sepuluh kelihatan bersemangat. Tara dan Billy sudah terlibat diskusi seru tentang kekuatan apa yang dibutuhkan untuk memenangkan Casa Poca tahun ini.
"Kamu tertarik untuk ikut?" tanya Carl. Dia berjalan agak di belakang teman-teman sekelas yang lain.
"Aku kan nggak punya kekuatan," jawabku.
"Bukan nggak punya. Tapi belum ketemu."
"Sejujurnya aku nggak yakin punya kekuatan pengendalian," kataku jujur. "Udah dua bulan aku di sini dan sama sekali belum ada tanda-tanda aku bisa bikin mobil jungkir balik hanya dengan disentil..."
Carl tertawa kecil. "Tapi kamu udah menolong aku dua kali. Melawan The Queens pula."
"Itu kebetulan," kataku. "Dan aku selalu ditemani anak-anak pengendali. Mana mungkin aku sanggup melawan mereka pakai kekuatanku sendiri?"
"Tapi hari Jumat lalu, Meredith dan Iswara dikendalikan oleh Anne-Marie," kata Carl. Dia kedengaran seperti ingin mendesakku, tapi melakukannya dengan hati-hati. "Kamu melawan Anne-Marie seorang diri. Kamu bertahan.
"Hmm... Ya. Aku ingat. "Waktu itu aku sempat berpikir kita bakal mati." Ingatan kejadian itu sekarang diputar kembali dalam kepalaku. "Aku udah mau nyerah. Tapi aku nggak ingin Anne-Marie menang. Aku bertekad untuk bertahan. Lalu Reo menerjang pintu obsevatorium pakai angin topannya dan... dan..." Kata-kataku melambat. Itu Reo dengan kekuatan shockwave-nya. Bukan aku. Yang kulakukan saat itu hanyalah bergelantungan memeluk kaki Carl seperti orang tolol. Jika Reo tidak mendobrak pintu obsevatorium itu, aku tidak tahu lagi apa yang akan dilakukan The Queens pada kami.
"Dan kita berdua selamat," lanjut Carl. Dia meremas bahuku penuh arti. "Sekarang The Queens dikeluarkan dari sekolah. Kalau bukan karena kamu, mereka pasti masih berkeliaran di sini..."
Aku diam saja, tak sanggup membalas Carl. Apa iya The Queens dikeluarkan gara-gara aku?
"Kamu juga jadi satu-satunya anak yang sampai hari ini berani melawan si monster," kata Carl lagi. Remasannya di bahuku menguat. "Pakai flash disk. Kamu ingat?"
Dan bikin si guru Kimia jadi benci padaku selamanya. "Mana mungkin aku lupa."
"Mungkin kekuatan kamu beda, Jen," kata Carl bijaksana. "Mungkin kekuatan kamu nggak seperti kekuatan anak-anak yang lain."
"Terima kasih," balasku, ingin cepat-cepat mengakhiri banjir pujian ini. Mendengar Carl aku merasa bangga sekaligus risih. Betul juga, aku bisa bertahan sejauh ini di antara para pengendali tanpa punya kekuatan apa-apa. "Tapi kamu sendiri juga belum menemukan kekuatanmu kan, Carl?"
"Kekuatan aku adalah jadi korban bully," kata Carl, setengah bercanda. "Tapi untungnya ada Jennifer Darmawan yang selalu siap menolong aku."
Kami tertawa bersama.
Ketika sampai di teras depan kelas, Bu Olena menghampiri kami.
"Jennifer, Carl..." sapanya. "Kalian nggak harus masuk sekolah hari ini, kok. Harusnya kalian berdua istirahat saja."
"Nggak apa-apa, bu," jawab Carl. "Kami udah mendingan."
"Kamu yakin?"
Carl mengangguk. Aku juga mengangguk.
"Bu..." Aku teringat soal The Queens. "Apa benar The Queens sudah dikeluarkan?"
Bu Olena memicing dan tersenyum misterius. "Maksud kamu si Anne-Marie Effendi, Rita Khairunissa dan Cut Carly?"
Aku, yang nggak pernah tahu nama-nama lengkap anggota The Queens, hanya bisa bengong. Carl mengiyakan.
"Ya, mereka sudah dikeluarkan dari SMA Cahaya Bangsa," kata Bu Olena mantap. "Perbuatan mereka sangat keterlaluan dan melanggar selusin tata tertib sekolah. Mereka mengaku menyekap kalian hanya untuk senang-senang. Saya, Pak Prasetyo dan Pak Yu-Tsin betul-betul nggak habis pikir kenapa mereka bisa melakukan itu."
"Bagaimana dengan kekuatan pengendalian mereka, bu?" tanya Carl. "Kekuatan pengendalian pikiran Anne-Marie sangat berbahaya jika dibiarkan."
"Mereka sudah dilaporkan ke pihak yang berwenang," jawab Bu Olena.
"Pihak yang berwenang?" tanyaku. "Maksud ibu, polisi?"
"Bukan polisi, Jennifer," kata Bu Olena hati-hati. "Tapi Dewan Pengawas Pengendali. Karena kekuatan pengendalian, para pengendali tak mungkin diurus oleh polisi biasa. Sepertinya Pak Yu-Tsin belum menjelaskan soal Dewan itu di kelas, ya?"
Carl menggeleng. "Apa yang akan dilakukan Dewan ini sama The Queens?"
"Mereka akan diawasi," kata Bu Olena. "Karena mereka sudah menggunakan kekuatan mereka untuk membahayakan orang lain. Setiap pengendali yang sudah berusia tujuh belas tahun wajib mendaftarkan diri mereka dan kekuatan yang mereka miliki pada Dewan. Kalian akan belajar lebih jauh soal Dewan dan peraturan pengendali di kelas Pengendalian Kekuatan. Untuk sekarang, kalian tak perlu khawatir. The Queens nggak akan bisa menyakiti siapapun lagi..."
Mendengar hal ini langsung dari Bu Olena memantapkan perasaan lega dalam diriku. Kutatap Carl, dia juga kelihatan lega. Akhirnya The Queens berhasil ditaklukan!
"Omong-omong Jennifer," kata Bu Olena. "Apa kamu tertarik ikut Casa Poca?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top