15 - Di antara Bintang Bintang




"7 rings" - Ariana Grande

"Belum tentu terjadi apa-apa sama si Carl, Jen," kata Meredith, mencoba menenangkanku. "Bisa jadi dia memang ikut eskul Astronomi, kan?"

"Eskul Astronomi baru mulai jam tujuh malam, Dith..." Perasaanku mengatakan sedang terjadi sesuatu pada Carl. "Siang hari begini, bintang-bintangnya nggak bakal kelihatan. Setahu gue, Carl memang nggak ikut eskul apa-apa."

"Benar juga," sahut Meredith dan Iswara berbarengan.

Nomor lantai lift bergerak perlahan tetapi pasti. Enam belas, tujuh belas, delapan belas... Pikiranku semakin semrawut. Mengapa Carl harus berbohong padaku saat istirahat tadi? Mengapa dia ke obsevatorium? Apa yang dicarinya di sana?

Untuk menempuh sisa empat lantai lagi terasa lama sekali. Aku nyaris bersorak gembira saat kami akhirnya tiba di lantai dua puluh dua.

Pintu lift berdenting terbuka. Di seberang koridor di hadapan pintu lift, ada dua buah kolam renang besar yang dibatasi kaca-kaca tebal.

"Gue bakal ikut kalian ke obsevatorium," kata Iswara baik hati. Dia juga ikutan khawatir setelah kuberitahu soal apa yang sudah terjadi antara Carl dan The Queens.

Kami memutar melewati kolam renang dan tiba di loteng yang terbuka. Gedung obsevatorium yang berupa kubah putih raksasa menyambut kami di seberang kolam. Tak tampak seorangpun di sekitar situ.

"Kayaknya obsevatorium dikunci," kata Iswara. "Apa Carl memang benar-benar ada di dalam? Bagaimana caranya dia masuk?"

"Gue nggak tahu," jawabku. "Coba aja kita cek."

Kami berjalan cepat setengah berlari ke arah pintu depan obsevatorium. Ketika sampai di pintunya, ternyata dugaan Iswara betul. Ada sebuah gembok besar yang mengunci pintunya.

"Carl?" Kuketuk pintu baja itu keras-keras. "Apa kamu di dalam?"

"Lihat!" Meredith menunjuk ke atap kubah. Atapnya yang berbentuk separo bola itu terbuka sedikit, memamerkan ujung teropong utama super besar yang dipakai untuk mengamati bintang. "Atapnya terbuka!"

Ternyata memang ada orang di dalam.

"Tapi bagaimana caranya kita masuk?" tanya Iswara.

"Gue punya ide." Meredith memungut selembar daun yang ditiup angin di lantai dan menggoyangkan jari-jarinya di atas si daun seperti mau menyihir.

Daun itu membesar dengan cepat hingga jadi seukuran karpet. Meredith menarik tanganku dan Iswara. Kami melompat naik ke atas si daun raksasa. Tangkainya yang semula pendek memanjang seperti ditarik dan terus tumbuh, mengangkat kami mendekati celah di atap kubah. Rasanya seperti naik permadani terbang.

Di balik celah itu ada sebuah tangga besi yang menjorok ke bawah. Meredith masih memakai si daun yang kini menggulung kami bertiga di dalamnya seperti selimut dan mengantar kami melewati celah hingga kaki kami menginjak lantai.

Di dalam obsevatorium ternyata agak temaram. Celah di atap kubah hanya menyisakan seleret cahaya matahari dari luar untuk menerangi bagian dalam gedung itu.

"Carl?" Aku mulai berteriak. "Carl?"

"Di mana saklar lampunya?" tanya Meredith. "Nggak kelihatan."

"Tenang," kata Iswara. "Gue pengendali cahaya."

Iswara mengangkat tangannya dan melakukan gerakan seperti sedang menarik sesuatu yang kasat mata dari udara. Dari kehampaan, muncul bola-bola cahaya yang bersinar terang seperti sekumpulan kunang-kunang raksasa. Lalu dengan sapuan tangannya, Iswara menebarkan bola-bola itu ke seluruh bagian gedung sehingga obsevatorium itu jadi terang benderang.

"Nah, sekarang sudah kelihatan," kata Iswara puas.

"Itu dia!"

Mataku langsung menemukan Carl. Dia melayang di langit-langit, dekat ujung teropong utama, seperti digantung dengan sebuah tali yang tak kelihatan. Matanya terpejam dan wajahnya tertutup rambutnya yang berantakan.

"Carl!" panggilku. Suaraku bergema di bangunan yang kosong itu. "Kamu nggak apa-apa?"

Tidak ada jawaban. Carl masih mengambang di langit-langit.

"Kayaknya dia pingsan," kata Meredith.

"Kasihan banget," seru Iswara prihatin. "Siapa yang menggantung dia di atas begitu?"

"Pasti si Anne-Marie!" jawabku yakin. "Kita harus menurunkan dia!"

Meredith mengeluarkan daun yang dipungutnya tadi dan mulai mengendalikannya. Daun itu kembali membesar dan bergerak naik seperti permadani terbang. Aku melompat ke atasnya dan naik semakin tinggi ke langit-langit.

Tiba-tiba...

"AAAARRRGGGHHH!"

Daun permadani itu meluncur jatuh seperti tangga yang runtuh. Aku langsung melompat menyambar kaki Carl sebelum ikut jatuh bersama si daun.

"Meredith, kena-"

Aku tak sempat menyelesaikan kalimatku karena kedua belas bola cahaya milik Iswara kini melesat cepat ke arah wajahku seperti peluru yang berniat menjatuhkanku. Serangan cahaya superterang itu membuat mataku nyaris buta.

"Is, ini kenapa bola-bolanya..."

Seseorang tertawa dengan keras. Tawa dingin yang keji.

Tubuhku berubah dingin seketika.

Aku tahu siapa yang baru saja tertawa.

"Anne-Marie..."

Sinar dari bola-bola cahaya otomatis menghalangiku melihat apapun yang ada di bawah sana. Semuanya putih dan terang, mungkin seperti ini keadaannya di surga sana. Tanganku mulai berkeringat. Kupeluk kaki Carl semakin erat agar tak jatuh tergelincir. Kami melayang sepuluh meter di atas tanah tanpa apapun di bawah kami selain lantai yang dingin dan keras.

"Jennifer Darmawan yang termahsyur..."

Sepertinya Iswara menggunakan kembali kekuatannya dan kedua belas bola cahaya itu menjauh. Samar-samar bisa kulihat sosok jangkung Anne-Marie di bawah, memandangiku dengan tatapan keji dan puas. Cewek pemimpin The Queens itu ditemani dua antek-antek setianya: Rita dan Carly. Telunjuk kanan Carly terarah pada Carl – dari gerak-geriknya, aku tahu dia sedang mengendalikan sahabatku itu.

"Lo apain Carl?" bentakku. Tanganku kini licin oleh keringat.

"Lo bisa lihat, kan?" jawab Anne-Marie ketus. "Kita lagi menggantung dia. Rencananya sih bakal digantung semalamam di sini. Dan sekarang, lo juga ada di sini."

"Dapat dua sekaligus," dukung Rita puas. Carly terkekeh-kekeh seperti nenek sihir.

Dapat dua sekaligus? "Jadi kalian sengaja menyekap Carl di sini? Kenapa sih kalian nggak berhenti mengganggu dia?"

"Wah, wah, wah... Apa nggak terbalik, nih?" tanya Anne-Marie dengan nada mengejek.

Kutatap Anne-Marie dengan galak. "Apanya yang terbalik?"

Tawa The Queens pecah. Anne-Marie terbahak sampai terbungkuk-bungkuk. "Kasih tahu, Anne. Kasih tahu..." sorak Carly bersemangat.

"Gue sebenarnya udah nggak berniat berurusan dengan si bule bodoh ini. Ibarat mainan, dia udah rusak buat gue. Tapi rupanya dia yang baper. Lo nggak tahu kan kalau sahabat lo ini berusaha mengancam gue pas istirahat tadi?" kata Anne-Marie. Nada suaranya berubah dari mengejek menjadi menghina. "Gimana tadi si Carl, Rit?"

"Jauhin Jen!" ulang Rita, menirukan suara Carl. "Kalau sampai kamu mengapa-apakan dia, kalian bakal berurusan denganku!"

"Oooohhhh..." balas Anne-Marie dan Carly, pura-pura ketakutan. "So scary!"

Mereka tertawa lagi. Lengkingan tawa mereka membahana dan bergema di seluruh obsevatorium.

Aku kaget mendengar itu. Ternyata Carl memang berbohong soal sakit perut itu, karena dia melabrak The Queens!

"Yang dia nggak sadar adalah," lanjut Anne-Marie. "Dia nggak punya kekuatan apa-apa. Dan bagi The Queens, melawan non-pengendali tolol macam si Carl ini sama gampangnya dengan memencet seekor semut sampai mati!"

Tidak, ini tidak adil. "Kalian nggak seharusnya mengganggu Carl! Sebagai pengendali, kalian harus cari lawan yang sepadan!"

"Ini nih, salah satu alasan yang bikin gue nggak suka sama lo..." kata Anne-Marie, sengaja berlambat-lambat. "Pertama, lo udah merebut apa yang jadi milik gue. Kedua, lo udah kepo menghancurkan rencana gue di Bellagio malam itu. Omong-omong, Carly bisa mengendalikan udara."

Carly menjentikkan jari. Tubuh Carl bergoyang-goyang keras seperti kapal yang diombang-ambingkan badai. Aku mulai merosot.

"Dan ketiga, hal yang paling gue nggak suka dari elo: lo tukang nyolot dan sok sama senior..."

The Queens tertawa nyaring dan kejam.

"Lo yang nyari-nyari masalah, Anne-Marie!"

"Ooohh..." Anne-Marie membelalak, pura-pura terkejut. "Gue yang nyari-nyari masalah? Si bule tolol itu yang awalnya mendekati gue, karena dia nggak punya teman dan gue satu-satunya orang yang mau temenan sama dia di sekolah ini!"

"Itu BOHONG!" terakku. "Lo mengendalikan Carl pakai kekuatan lo!"

Anne-Marie terdiam. Lalu gadis itu menjilat bibir dan meludah dengan marah. "Nah, terus lo mau apa? Itu sama sekali bukan urusan lo! Buat apa lo kepo mengurusi hidup Carl?"

"Karena dia teman gue!" balasku keras. Aku betul-betul kepayahan sekarang. Tubuh Carl masih bergoyang-goyang dan aku tak kuat lagi. "Dan lo udah memanfaatkan teman gue!"

"Pengen jadi superhero dia," celetuk Carly. Rita mendengus meremehkan.

"Rupanya lo belum paham juga, Darmawan! Jelas jadi cewek superkaya nggak berpengaruh ke kapasitas otak lo," lanjut Anne-Marie, mengabaikan komentar Carly. "The Queens adalah cewek-cewek yang paling kuat, paling dihormati, paling populer, paling berkuasa, dan paling ditakuti di SMA Cahaya Bangsa. Bukannya elo, si anak baru sok tukang nyolot!"

Anne-Marie menunjuk Meredith dan bersiul.

Sulur-sulur tanaman rambat tumbuh dari sisa-sisa daun Meredith dan menyambar kakiku seperti lengan-lengan gurita raksasa. Sulur-sulur itu membelit kakiku dengan kencang dan mulai menarikku.

"Meredith!" panggilku keras-keras. Meredith berdiri di bawah, di samping Iswara. Kepalanya mendongak menatapku tetapi tatapannya kosong. "Meredith! Stop!"

"Nggak ada gunanya," tukas Anne-Marie tajam. "Meredith dan teman lo yang satunya itu nggak bisa mendengar lo sekarang. Pikiran mereka ada dibawah kendali gue!"

Anne-Marie menjentikkan jari. Iswara mengangkat tangan seperti menarik sesuatu lagi dan bola-bola cahaya miliknya melesat menyerangku. Kali ini bukan hanya terang, bola-bola itu juga menguarkan panas yang tak tanggung-tanggung, seperti selusin matahari mini.

Aku bisa mencium bau hangus karet yang berasal dari sol sepatuku.

"Iswara! Meredith! Tolong!" Sepertinya aku harus berteriak lebih keras untuk menyadarkan mereka. "Teman-teman! Tolong berhenti! Kalian menyakiti gue!"

The Queens tertawa terbahak-bahak.

Sulur-sulur tanaman Meredith menarik kakiku lebih keras, jelas bertekad mematahkannya. Lilitannya luar biasa ketat sehingga jari-jari kakiku kebas. Tubuh Carl terus bergoyang-goyang, tapi matanya masih terpejam rapat. Selain Carly, Anne-Marie jelas mengendalikan pikiran Carl juga, menguncinya dalam semacam mati suri yang tak dapat diganggu.

"Carly!" panggil Anne-Marie. "Lebih keras lagi!"

Carly mengangkat tangan kirinya. Tubuh Carl kini berputar-putar seperti daging yang sedang dipanggang. Aku, yang masih berpegangan erat-erat di kakinya, terpaksa harus memutar tangan untuk menyesuaikan dengan putaran tubuh Carl. Kami bergulat dengan susah payah di udara. Panas matahari mini milik Iswara terasa semakin menyengat dan kini bukan hanya bau karet hangus yang tercium tapi bau hangus kain. Kemejaku sedang terbakar.

"Menyerah aja, Darmawan!" teriak Anne-Marie. "Serahkan si Carl sama gue dan gue bakal melepaskan lo dan teman-teman lo yang menyedihkan ini!"

"Nggak akan pernah!" balasku gigih. Dan membiarkan Anne-Marie memanfaatkan Carl lagi? "Gue nggak bakal membiarkan lo mengganggu Carl lagi!"

Anne-Marie mengentakkan kaki dengan keras dan meraung. "HABISI DIA!"

Carly menggerakkan tangannya. Sesuatu terjadi pada udara di sekelilingku. Aku bisa merasa sesuatu sedang ditarik keluar dari dalam tubuhku. Sekonyong-konyong, aku kesulitan bernapas. Oksigen, otakku yang kepayahan memberikan jawabannya. Carly mengendalikan oksigen di dalam tubuhku. Mengeluarkannya dengan paksa.

Aku sedang dipanggang, ditarik dan kini, akan dibuat mati kehabisan oksigen.

"MENYERAH, DARMAWAN!"

"Nggak-" Ya Tuhan, tolong! "A-kan-per-nah..."

Anne-Marie menjentik-jentikkan jari dengan tak sabar. "Carly!"

Tubuh Carl mulai gemetar seolah dia sedang demam tinggi. Lalu tiba-tiba matanya membeliak terbuka, iris matanya yang biru melebar seperti sedang melihat maut. Mata Carl berkedut-kedut lalu dia melihatku yang sedang memegangi kakinya.

"Jen..."

Carl tersedak. Tangannya bergerak mencengkeram lehernya dan matanya mulai mendelik liar. Napasnya tersengal-sengal.

Carly sedang berusaha menghabisi Carl juga. Carl mengap-mengap untuk menarik napas, aku bisa mendengar udara sedang ditarik keluar melewati mulutnya, suaranya panjang dan mengerikan seperti lolongan serigala...

Rasa nyeri di tubuhku sudah sedemikian berlipat ganda sehingga rasanya aku sudah mati dan rohku lah yang saat ini sedang memegangi kaki Carl. Apakah fisikku sudah menyerah secepat itu? Kutatap wajah Carl yang sudah sangat pucat. Dia berani melabrak The Queens gara-gara aku. Apa aku bakal membiarkan Anne-Marie yang bengis ini menang?

"Sampai kapan lo mau bertahan?" teriak Anne-Marie dari bawah sana. Suaranya mulai melebur dengan denging aneh yang baru saja merambat masuk di telingaku. " Kapan lo bakal sadar, Darmawan! Sudah saatnya lo tunduk pada The Queens! Lo nggak akan bisa melawan kita bertiga!"

Melawan...

Kata itu menerobos masuk ke dalam kepalaku seperti bor listrik. Itu yang dikatakan Pak Yu-Tsin di pertemuan pertama kelas pengendalian kekuatan. Anne-Marie dan The Queens boleh-boleh saja punya kekuatan pengendalian maha dahsyat tapi aku juga punya kekuatanku sendiri.

Aku Jennifer Darmawan. Puteri tunggal keluarga Darmawan. Dan aku nggak akan semudah itu dikalahkan!

WHUUUUSSSZZZZZ!

Ada angin topan kencang sekali yang menyapu kami. Muncul teriakan-teriakan ketakutan dan bunyi logam yang terhempas keras tapi aku sudah tak memperhatikan lagi. Bola-bola matahari milik Iswara tersapu habis dan sulur-sulur tanaman Meredith rontok seperti debu. Peganganku terlepas dari kaki Carl dan kami berputar-putar tak terkendali di udara.

Sekonyong-konyong kekuatan yang menggantung Carl di udara lenyap.

Kami mulai melayang jatuh dari ketinggian sepuluh meter. Ada asap tebal di bawah sana sehingga sosok-sosok The Queens, Meredith dan Iswara tak kelihatan. Seberkas cahaya terang masuk menyinari ruangan, tapi bukan berasal dari bola cahaya Iswara...

Tangan Carl memelukku. Kami bersiap menghantam lantai observatorium yang keras. Kami jelas akan mati, jatuh dari ketinggian seperti ini.

Tapi ternyata...

Oh.

Ada yang berdesis seperti bunyi ban kempes. Kami mendarat di sesuatu yang empuk, seperti kasur busa super elastis yang mengambang lima belas senti dari lantai.

Asap mulai menghilang. Carl jatuh telungkup dan terbatuk-batuk. Aku mengerjap-ngerjap mencoba melihat lebih jelas. The Queens terhempas hingga tersandar di dinding, ketiganya tampak berantakan dan syok. Meredith dan Iswara tersungkur tak jauh dari dekat situ. Hijab Iswara robek. Keduanya saling tatap kebingungan, jelas tak paham apa yang baru saja terjadi...

"Kalian nggak apa-apa?"

Ada yang mengulurkan tangannya. Kusambut uluran tangan itu, yang ternyata dari Reo Sahara. Dia berdiri di dekat kami, tampangnya cemas.

Barulah aku paham kalau angin topan tadi adalah shockwave milik Reo.

Di belakang Reo, ada Bu Olena, Pak Yu-Tsin dan Pak Prasetyo. Ketiganya kelihatan bingung sekaligus tak percaya. Bu Olena langsung mengendalikan The Queens yang mulai sadar dengan kekuatannya. Pak Yu-Tsin memperbaiki pintu logam obsevatorium yang terhempas copot dari engselnya akibat terjangan angin topan Reo. Pak Prasetyo menghampiri Meredith dan Iswara, membantu mereka berdiri.

"Jen..."

Suara lemah Carl memanggilku. Dia sedang mencoba untuk bangkit. Reo mengalungkan tangannya di pundak Carl dan menariknya berdiri.

"Apa yang terjadi? Kamu... nggak apa-apa?"

Aku tersenyum menatap Carl. Matanya yang biru seperti lautan mendadak membuatku merasa begitu tenteram hingga lupa akan tubuhku sendiri yang sudah nyaris remuk redam.

"Aku nggak apa-apa, Carl. Aku nggak apa-apa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top