14 - Obsevatorium
Pelajaran berikutnya setelah istirahat adalah Pengendalian Kekuatan. Menurutku, pengaturan waktu kelas ini pas sekali karena anak-anak cenderung mengantuk parah setelah istirahat. Tara nggak henti-henti bersendawa karena kekenyangan.
Topik kelas Pengendalian Kekuatan siang ini adalah melindungi diri. Berbeda dengan kelas minggu lalu, pelajaran kali ini lebih taktis ketimbang praktis. Lima belas menit pertama, Pak Yu-Tsin mengajarkan kami macam-macam strategi ala prajurit yang akan berperang. Katanya, beliau mencontek sebagian materinya dari materi pelatihan Kopassus ("Biar kedengaran keren aja," bisik Hanna Hutabarat pesimis). Karena Pak Yu-Tsin kebanyakan memberi penjelasan, kami semua langsung mengantuk. Bahkan setelah tiga puluh menit, rasanya nggak ada yang benar-benar memperhatikan penjelasan Pak Yu-Tsin kecuali Meredith yang memang punya predikat sebagai siswa paling cerdas di kelas.
Selesai pemberian materi, kami dipasangkan berdua-dua. Kami diberi instruksi untuk saling serang bergantian menggunakan kekuatan masing-masing. Selain itu, kami juga harus memikirkan bagaimana caranya menemukan kelemahan lawan.
Aku masih belum bisa benar-benar menikmati kelas ini karena... well, aku masih belum tahu apa kekuatanku. Aku bahkan nggak yakin aku punya superpower layaknya teman-teman sekelasku ini. Akibatnya, aku cenderung bad mood mendadak dan merasa bego setiap kali ikut kelas ini, tapi untungnya Pak Yu-Tsin nggak membedakanku. Hari ini beliau tetap memasangkanku dengan Wynona Salim, cewek cantik berwajah oriental yang ternyata bisa mengedalikan temperatur.
"Halo, Jen," sapa Wynona. Matanya yang sipit nyaris menghilang saat dia tersenyum lebar.
"Hai, Wynona," balasku. "Umm... ayo mulai?"
"Oke. Siap-siap, ya..."
Awalnya mustahil menyerang balik Wynona karena aku nggak punya kekuatan apa-apa. Jadi selama setengah jam pertama aku pasrah menggigil kedinginan dan berkeringat kepanasan karena Wynona memainkan temperatur di dekatku seenaknya. Aku sudah mencoba mendorong Wynona supaya dia jatuh, mengalihkan perhatiannya dengan gosip artis K-Pop teraktual (Wynona fans fanatik BTS), dan menggelitiknya, tapi semuanya gagal total. Konsentrasi temanku itu patut diacungi jempol.
Tapi ketika Reo Sahara tersungkur di dekat kaki Wynona (diserang oleh kekuatan pengendalian gravitasi Karina), wajah Wynona jadi merah sekali dan kekuatannya lenyap seketika. Aku jadi tahu kalau kelemahan Wynona ternyata cowok ganteng – atau lebih spesifiknya, Reo Sahara – jadi aku sengaja bergeser sambil pura-pura berkelojotan sampai dekat sekali dengan punggung Reo. Akibatnya Wynona jadi kehilangan konsentrasi karena terus-terusan melirik Reo dan aku berhasil menyerempetnya sampai jatuh dengan kakiku.
Satu jam terakhir pelajaran, Pak Yu-Tsin menjelaskan tentang Cahaya Bangsa Power Championship atau disingkat Casa Poca, sebuah turnamen adu ketangkasan tahunan di mana para pesertanya menggunakan kekuatan mereka untuk berlomba mencapai garis finish. Akan ada banyak tantangan selama perlombaan dan para peserta harus mengatasinya menggunakan kekuatan mereka.
Bagiku ini kedengaran kedengaran agak mirip Hunger Games tapi tanpa bunuh-membunuh.
Casa Poca diadakan setiap tahun menjelang kenaikan kelas dan bagi kami siswa kelas sepuluh, ini adalah kesempatan pertama untuk ikut. Setiap kelas akan mengirimkan satu tim sebagai perwakilan yang terdiri dari tiga orang. Tim tersebut harus bertanding melawan tim lainnya dari setiap kelas yang lain, termasuk para senior kelas sebelas dan dua belas. Akan ada dua babak penyisihan, dan tiga tim yang terpilih akan bertanding di babak final. Hadiah utama Casa Poca tahun ini adalah liburan ke Jepang selama seminggu bersama teman-teman sekelasnya dan bebas PR selama sebulan di semester berikutnya. Aku pribadi lebih tertarik ke hadiah bebas PR sebulan itu ketimbang jalan-jalan ke Jepang, tapi mustahil aku ikut karena aku bukan pengendali.
Akhirnya lonceng berbunyi, pertanda pelajaran hari itu sudah berakhir. Wynona meminta maaf padaku karena sudah menyerangku (ternyata orangnya sopan banget) dan menawariku tiket ke konser BTS di Singapura awal tahun depan. Si kembar Nugroho sibuk nge-ceng-in Karina karena tadi berpasangan dengan Reo. Karina terkikik-kikik malu sampai tanpa sadar membuat pot-pot bunga yang dilewatinya sepanjang koridor melayang-layang tanpa gravitasi.
Tara dan Meredith bergabung denganku di portal parkiran.
"Gue mau mandi air panas, terus mau dipijat," kata Tara lesu. Ada memar kemerahan di kedua siku dan lututnya. "Gila, gue capek banget."
"Menurut gue kelas tadi lumayan oke," komentar Meredith yang tak terluka sedikitpun.
"Elo sih enak. Dapat lawannya si Billy. Kekuatan pengendaliannya kan cuma telekinesis," sahut Tara sengit.
"Cuma telekinesis?" ulangku. Telekinesis adalah kemampuan menggerakkan benda-benda.
"Eh, sembarangan ngomong! Nggak segampang itu juga! Si Billy kuat banget," kata Meredith, tidak terima lawannya disepelekan. "Dia tadi berusaha melempar meja guru ke arah gue."
"Dan lo cuma perlu menumbuhkan sulur tanaman dari lantai untuk membelit tangannya, kan?" kata Tara, tampaknya jengkel. "Sementara gue harus melawan si Hanna yang bisa teleportasi. Sumpah, dia cepet banget."
Kemampuan telekinesis dan teleportasi... Ckckck, teman-temanku ternyata super keren.
"Sebenarnya gampang aja melawan Hanna," kata Meredith, kedengaran agak sok. "Lo tinggal memudurkan waktunya tepat sebelum dia berteleportasi atau memperlambat durasi gerakannya. Lo jadi bisa melihat dia akan berpindah ke mana dan bisa melawan dia."
Tara menatap Meredith seolah baru saja dikatai idiot. "Nggak usah sotoy, deh."
"Serius," kata Meredith sungguh-sungguh. "Kan Pak Yu-Tsin menyuruh kita untuk menyusun strategi. Lo dipasangkan sama si Hanna karena Pak Yu-Tsin tahu kalian lawan yang sepadan. Kalian berdua pengendali setipe, sama-sama bisa mengatur dimensi."
Tara kelihatan tambah jengkel. "Ya, tapi gerakan si Hanna tuh cepat banget!"
"Hei," potongku cepat-cepat. Meredith sudah membuka mulut bersiap menyahut dan aku mencium akan ada debat seru. "Tadi Carl dipasangkan sama siapa?"
"Carl?" celetuk Tara. "Gue nggak ingat. Sama siapa, ya?"
"Si Carl tadi sama..." Meredith menggaruk pelipisnya. "Sama siapa, ya? Gue juga nggak ingat. Aneh. Lo tadi lihat dia sama siapa, Jen?"
"Justru gue nggak melihat dia. Makanya gue nanya kalian."
"Umm, gue malah merasa nggak melihat dia di kelas," kata Tara. "Elo, Dith?"
Meredith diam sejenak dan menatapku. "Tara benar. Carl nggak ada di kelas. Malahan gue nggak melihat dia lagi sejak dia cabut dari kantin."
"Mungkin perutnya masih sakit?" kata Tara. "Waktu di kantin kan dia bilang perutnya kurang enak..."
"Hmm, kalau gitu gue mau jenguk dia ke UKS," jawabku mantap. "Kalian mau ikut?"
Meredith mengangguk.
Tara menatap Meredith dan tampangnya berubah cemberut. "Jen, badan gue pegel-pegel," keluhnya. "Lo nggak marah kan kalo gue nggak ikut?"
"Ya udah..." Aku teringat memar di siku dan lutut Tara yang memang kelihatan menyakitkan. "Nggak apa-apa, Ra. Hati-hati pulangnya, ya."
"Kalau udah sampai rumah jangan lupa kabari kita," sambung Meredith ramah.
"Sip. Bye, gengs..."
Kami mengamati Tara yang melangkah gontai menuju mobil Honda Civic-nya yang diparkir dekat Mini Cooper biru Meredith. Bentley-ku diparkir di ujung lapangan dekat mobil para guru karena ukurannya yang kelewat panjang untuk tempat parkir biasa.
Tara melambai kepada kami lewat jendela mobilnya dan keluar dari parkiran.
Kuteliti lapangan parkir itu, mencari-cari Lamborghini merah milik Anne-Marie. Warnanya yang mentereng bikin mobil itu jadi pusat perhatian. Tapi mobil itu sudah nggak ada. Kemungkinan besar Anne-Marie sudah pulang.
Baiklah kalau begitu.
"UKS lantai berapa, Dith?"
"Lantai dasar, Jen."
Meredith memimpin kami menerobos rombongan anak-anak lain yang menuju lapangan parkir. Sebagai SMA paling elit di Indonesia, semua anak di Cahaya Bangsa yang sudah punya SIM menyetir mobil pribadi ke sekolah, jadi lapangan parkir adalah tempat paling ramai di jam pulang sekolah.
Cahaya matahari yang terik membakar tengkukku dan aku hampir kehilangan Meredith di antara kerumunan orang-orang yang sibuk bergerak itu. Ketika berhasil kususul, Meredith sudah sampai di lobi depan. Suasana lantai dasar sudah mulai agak sepi. Beberapa anak sedang berceloteh riang di sudut lobi dan mereka melirik kami. Menebak bakal digosipi lagi karena berjalan bersamaku, Meredith langsung membawaku ke bagian belakang lobi melewati ruang tunggu yang pertama kali kumasuki ketika sampai di Cahaya Bangsa.
Ternyata UKS ada tepat di belakang ruang tunggu.
UKS SMA Cahaya Bangsa nggak pantas disebut UKS. Ruangan itu menempati tiga perempat lantai dasar dan lebih pantas disebut rumah sakit karena ukurannya yang luar biasa luas. Ketika masuk ke ruangannya, kami disambut sebuah lobi lain bernuansa serba biru. Aroma antiseptik khas rumah sakit langsung menyerbu hidungku.
Seorang wanita berseragam perawat yang duduk di belakang meja resepsionis sedang membereskan barang-barangnya, sepertinya bersiap-siap pulang.
"Maaf..." Dia menoleh menatap kami. "Klinik sudah ditutup."
Kudekati meja resepsionis itu. "Apa ada pasien bernama Carl Johnson?"
"Carl Johnson?" tanya si perawat. "Tidak ada. Hari ini klinik kosong."
"Kosong?"
"Iya," si perawat tersenyum bangga. "Jarang sekali bisa kosong begini. Sepertinya belakangan anak-anak jarang sakit karena ingin dipilih menjadi anggota tim untuk ikut Casa Poca."
"Jadi nggak ada satupun siswa yang datang ke klinik hari ini?"
Si perawat menggeleng. "Tidak ada."
Meredith melirikku dan mengangkat bahu. Kami keluar dari klinik dengan perasaan bingung.
"Kalau begitu si Carl ke mana?" tanya Meredith. Dia menarikku menepi ketika serombongan anak kelas sebelas lewat.
"Gue nggak tahu..." Carl berbohong, dia tidak ke klinik. Kukeluarkan ponselku dan mulai mencari-cari nomor Carl. Dia sudah membagi nomornya sewaktu aku menyelamatkannya di Bellagio waktu itu. "Gue coba telepon dia, ya."
Tut... tut... tut...
Panggilan itu nggak diangkat.
"Gue nggak tahu dia di mana," kataku putus asa.
"Di parkiran, apa mobil si Carl masih ada?"
"Carl nggak nyetir mobil sendiri. Dia diantar-jemput."
"Wah, bikin penasaran aja. Kalau gitu dia ada di mana?"
"Hei..."
Ada yang mencolek pundakku. Ternyata Iswara Hamid, teman sekelas kami yang berhijab. Dia menggendong sebuah tas kain besar. "Kalian belum pulang?"
"Belum," jawabku. "Lo sendiri belum pulang, Is?"
"Gue ikut eskul renang," kata Iswara ceria. "Kalian nggak ikut eskul? Seru loh. Si Reo juga ikut renang."
"Kita lagi mencari Carl," jawab Meredith. Wajahnya bersemu sedikit. "Lo lihat dia nggak?"
"Si bule Inggris?" kata Iswara. "Gue tadi lihat dia di atas."
"Di atas?" Aku langsung teringat insiden Carl dengan The Queens di loteng. "Di loteng?"
"Iya. Tadi pas istirahat, gue mengambil kartu anggota eskul renang gue di lantai dua puluh dua," kata Iswara cepat-cepat. "Gue satu lift sama di Carl. Gue pikir dia ikut renang juga, tapi ternyata dia ke obsevatorium."
Kutatap Meredith. "Kita ke obsevatorium sekarang!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top