13 - Obrolan di Kantin
♫ "Slow Hands" - Niall Horan ♫
"Hei, Jen! Tunggu!"
Aku menoleh karena tahu pasti Carl yang memanggilku. Dan memang betul, itu Carl. Wajah Tara berubah masam begitu melihat Carl berlari sepanjang koridor, mengejarku.
"Mau ngapain dia?" tanya Tara jutek.
"Mungkin cuma mau menegur," jawabku polos.
"Dia mengejar elo sepanjang koridor," balas Tara, kedengaran tambah jutek.
"Mungkin kebelet pipis?" timpal Meredith.
"Ngaco lo berdua. Toilet cowok kan di ujung koridor itu!" tunjuk Tara sambil mendengus. "Terus bisa nggak dia nggak teriak-teriak kayak gitu?"
Aku hanya tersenyum pasrah. Carl nggak berteriak-teriak kok, mungkin hanya kuping Tara saja yang kelewat sensitif.
Begitu Carl sudah dekat, tiba-tiba Meredith menanyai Tara apa menu makan siangnya. Pertanyaan yang nggak perlu, karena menu makanan di kantin kan hanya itu-itu saja. Tapi aku tahu bukan itu maksud Meredith: dia sengaja memberi kesempatan supaya aku dan Carl bisa mengobrol. Aku memberinya tatapan beterima kasih dan Meredith mengangguk pelan sekali sampai tak kentara. Dari tatapannya aku tahu Meredith mengerti.
"Hai," sapa Carl. Napasnya tidak keruan dan rambutnya lebih berantakan akibat berlari.
"Halo," balasku. "Kamu... baik-baik aja, kan?"
"Ya," jawab Carl. Dia nyengir lebar. "Kamu mau ke mana?"
"Kantin. Mau ikut?"
Tara batuk agak kelewat keras.
"Kalau yang lain nggak keberatan," kata Carl mawas diri. Dia menatap Meredith dan dibalas dengan anggukan ramah. Tara memaksakan diri tersenyum dan senyumnya kelihatan sangat palsu. Aku tahu Tara butuh usaha keras untuk sekedar tersenyum seperti itu pada Carl.
"Ya udah," kataku memutuskan. "Kamu ikut kita aja, Carl."
Kami bergerak menuju kantin bersama dengan serombongan anak-anak lainnya. Meredith masih merongrong Tara soal makan siang, yang aku tahu disengaja.
Beberapa anak kelas sebelas berbisik-bisik lagi ketika kami lewat.
"Kamu popular banget ya, Jen," kata Carl.
"Kayak artis," seloroh Tara. "Kontroversial pula."
"Macam Nikita Mirzani," sahut Meredith.
Tawa Carl meledak. Aku juga. Kami memandang Meredith dengan takjub.
"Njir," celetuk Tara. "Lo tahu Nikita Mirzani juga?"
"Gue punya Instagram juga kali," kata Meredith santai.
Geli rasanya melihat Meredith, cewek blasteran bule yang lebih kelihatan bulenya daripada Indonesianya, membicarakan Nikita Mirzani dengan begitu santainya. Aku paham kenapa Tara keheranan. Tampang Meredith membuatnya lebih pantas ngomongin Kylie Jenner ketimbang Nikita Mirzani.
Tatapan kepo dan bisik-bisik masih mengikuti kami sepanjang perjalanan ke kantin.
"Kamu nggak risih diperhatikan orang terus-terusan begitu?" bisik Carl hati-hati.
"Lama-lama terbiasa. Lagian aku memang bukan artis dan sejenisnya," jawabku merendah. Memang benar, kan? "Aku cuma cewek enam belas tahun, sama kayak Meredith dan Tara."
"Eh, si Meredith udah tujuh bel–" Tara menyahut, tapi Meredith merenggut lengannya dan mendadak bertanya soal Awkarin.
"Pak Gino... Kalian diapain aja tadi?" tanya Carl lagi. Dia kedengaran prihatin. "Si monster nggak nyuruh kalian macam-macam, kan? Kalian nggak dihukum kan?"
Aku menceritakan pada Carl bagaimana Pak Gino mencoba menghukum kami tapi digagalkan oleh aksi penyelamatan gabungan dari Bu Olena dan Pak Presetyo.
"Aku minta maaf," kata Carl mendadak. "Gara-gara aku kamu jadi ikut terbawa-bawa."
"Aku terbawa-bawa dengan sukarela," jawabku, berusaha kedengaran biasa saja. "Yang memergoki kamu sama The Queens itu Tara, dan dia nelpon aku. Sebagai teman, aku merasa perlu menolong kamu, apalagi sejak kejadian di loteng waktu itu. Selain itu, kita nggak dihukum kok. Jadi kamu nggak perlu minta maaf."
"Apa kamu kasih tahu Pak Gino alasan kenapa kamu ada di sana?"
"Nggak," jawabku. "Kita nggak diberi kesempatan buat menjelaskan."
Carl hanya mengangguk pelan. Dia melirikku dan sekilas tatapan kami bertemu. Kembali kusadari betapa biru warna iris matanya. Dia tersenyum samar.
"Oke," kata Carl. "Maksudku, terima kasih. Pak Gino... nggak suka sama aku."
"Aku udah tahu."
Wajah Carl kelihatan kaget.
"Mer-" Nggak, aku nggak boleh bilang aku tahu dari Meredith. "Maksudku, mereka... anak-anak sekelas. Pernah ngasih tahu aku kalau Pak Gino memang sentimen sama kamu."
"Iya," kata Carl, kedengaran nelangsa. "Aku juga nggak ngerti alasannya."
Mendadak aku bersyukur Pak Gino nggak memberi kami kesempatan buat menceritakan kejadian sebenarnya. Meredith benar, ternyata Pak Gino memang benci pada Carl.
"Aku nggak akan bilang pada siapa-siapa," lanjutku. "Soal apa yang dilakukan The Queens ke kamu, Carl..."
Carl diam saja. Dia menatap lantai sekolah kami yang dilapisi marmer. Rambut pirangnya meluncur turun, menutupi dahinya.
"Anne-Marie," kata Carl. "Dia bilang apa sama kamu tadi pagi?"
"Oh, dia cuma menggertak aku."
"Persisnya dia ngomong kayak gimana?"
Aku memandang mata Carl, mencoba menebak apa maksud pertanyaannya. Tapi Carl dengan gesit mengalihkan tatapannya dariku dan terus menatap lantai.
"Cuma gertak sambal biasa. Aku rasa dia mau menakut-nakuti aku..." jawabku jujur. Mungkin Carl merasa tegang karena dia terus-terusan menghindari tatapanku. "Omong-omong, kamu berani banget ngelawan The Queens tadi pagi."
Carl diam lagi. Dia menarik napas panjang dan dalam sekejap lurus-lurus memandangku.
"Aku sempat dengar..." Iris birunya melebar. "Anne-Marie bilang dia akan menghancurkan kamu."
"Ah, mana mungkin dia berani," balasku yakin. "Memangnya Anne-Marie bisa apa? Mendorong aku sampai jatuh dari loteng? Dia cuma tukang bully, Carl. Kamu nggak perlu cemas."
"Kamu belum kenal The Queens, Jen..." kata Carl serius. "Mereka nekat."
"Aku pernah ketemu yang kayak mereka di New York. Senior kelas sebelas yang selalu bikin gara-gara, hobinya nge-bully junior..."
"The Queens bukan sekedar tukang bikin gara-gara," potong Carl tajam. "Mereka bisa ngelakuin apa saja, Jen. Mereka punya kekuatan. Mereka sanggup melakukan hal-hal yang lebih mengerikan dari sekedar menyekap kamu di gudang atau melabrak kamu di parkiran."
"Kalau mereka betul-betul kelewatan, mereka bisa dikeluarkan dari sekolah, kan?"
"Kamu tahu kan masalahnya. Nggak ada bukti secuilpun soal perbuatan mereka," jawab Carl. "Karena nggak ada yang ingat..."
Nggak ada yang ingat... Aku terhenyak. Ya, Carl ada benarnya. Tiba-tiba aku baru sadar apa sebenarnya yang sanggup dilakukan The Queens. Selama ini mereka bebas berbuat onar dan meneror para junior karena Anne-Marie memakai pengendalian pikirannya untuk memastikan tak ada satupun yang ingat perbuatan mereka.
"Anne-Marie bisa mengendalikan satu sekolah," kata Carl. "Dia kuat banget, Jen."
Tanpa sadar aku bergidik. Carl benar. Buru-buru kubalik pikiranku. "Tapi pasti kekuatan pengendaliannya nggak sekuat Bu Olena..." Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku. "Dan Pak Prasetyo. Maksud aku, mereka kan guru. Sementara Anne-Marie cuma siswa biasa..."
Carl menatapku dan berkedip-kedip, seolah dia baru ingat sesuatu yang penting.
Aku nggak sempat memikirkan soal Anne-Marie lebih jauh. Kami sampai di kantin yang ramai, dan pikiran tentang The Queens tergusur oleh rasa lapar. Meredith mengambil sebuah meja kosong di pojokan dan kami duduk disitu. Tara memesankan pesanan kami (nasi goreng dan jus buah, salad buat Meredith, ketoprak untukku. Carl menolak memesan). Saat menunggu, Reo bergabung dengan kami. Dia menenteng-nenteng kotak biola. Rupanya dia baru selesai ikut eskul Musik.
"Perutku agak kurang enak," kata Carl tiba-tiba. Dia mengernyit. "Kayaknya keju yang aku makan pas sarapan tadi udah nggak bagus."
"Kamu mau aku antar ke klinik?"
"Terima kasih, aku bisa sendiri," tolak Carl sopan. Dia tersenyum sambil meringis pada Reo dan Meredith. "Aku mau istirahat saja di klinik."
Lalu tanpa ngomong apa-apa lagi, Carl beranjak pergi tepat saat Tara kembali membawa pesanan kami.
"TUH KAN!" bentak Meredith sambil nunjuk Tara dengan lagak menyalahkan. "UDAH GUE BILANG SI CARL PASTI NGUPING!"
"Heh!" pekik Tara bingung. "Lo ngomong apa, Dith? Kesambet lo?"
"Si Carl kabur gara-gara dia tahu lo ngomongin dia tadi!"
"Yang tadi itu adalah volume suara gue yang paling minimal, oke?" balas Tara nggak mau kalah. "Gue nggak bisa lebih diam dari itu, lo mau gue cuma komat-kamit kayak ikan cupang?"
"Gue mau lo nggak menggosipi orang..." kata Meredith sengit. "Yang ada setengah meter di belakang lo! Sekarang lihat, si Carl kabur! Pasti dia mengira kita berdua itu cewek-cewek tukang gosip!"
"Carl tadi bilang dia sakit perut," celetuk Reo polos.
"Astaga!" Meredith memekik naik pitam. Dia menatap Reo dengan sebal, seolah Reo bersekongkol dengan Tara lalu mulai menusuk-nusuk saladnya dengan geram.
"Carl tadi nggak merasa digosipi, kok," kataku, mencoba menenangkan Meredith. "Kita tadi membahas soal The Queens."
"SSSSSSTTTTT!"
Meredith langsung membekap mulutku, Tara tersedak nasi gorengnya sampai batuk-batuk parah dan Reo mengangkat kotak biolanya di depanku, seperti berusaha melindungiku dari penyerang kasat mata.
"Jangan-sekali-sekali..." Meredith berbisik dekat sekali di telingaku. "Nyebut-nyebut-The-Queens-di-kantin!"
"Lho, memangnya mereka siapa? Voldemort kembar tiga?"
"Banyak antek-anteknya," jawab Reo, mendorong kotak biolanya ke arahku, berusaha melindungiku. "Demi kedamaian seluruh bangsa, jangan ngegosip tentang mereka di sini."
"Oke."
Tepat saat Meredith melepaskan bekapannya dari mulutku, The Queens melenggok lincah memasuki kantin. Mereka nggak perlu repot-repot menyelinap di antara meja-meja dan kumpulan manusia. Anak-anak yang lain otomatis menyingkir atau menarik kursi untuk menjauh dari Anne-Marie yang berjalan di paling depan, sehingga membentuk semacam koridor khusus baginya dan kedua antek-anteknya. Bahkan tukang jual sate ayam sampai mematikan bakarannya karena takut kehadiran The Queens dapat entah bagaimana caranya, memicu kebakaran.
Anne-Marie menatap sekeliling kantin dengan lagak bosan lalu mendengus. Dia berdiri malas-malasan dan bertumpu di kaki kanannya yang jenjang bak supermodel sambil memainkan ujung rambutnya. Semua orang berdiri di radius satu meter dari mereka, tak berani menatap ketiga cewek itu apalagi mendekati mereka.
Lalu Anne-Marie memutar kepala dan tiba-tiba saja memandang sesuatu di arahku.
Oh. Bukan. Dia...
Sialan!
Aku langsung menunduk, mengalihkan tatapan. Tara menendang kakiku di kolong meja sementara Reo menarik kotak biolanya menjauh, rupanya baru sadar si kotak nggak bakal sanggup menyelamatkanku dari pemimpin The Queens.
Anne-Marie menatapku.
"Tuh, kan!" Suara Meredith bergetar. "Apa gue bilang barusan!"
"Gue cuma ngomong satu kata, Dith," belaku. "Dan gue nggak ngomong macam-macam!"
Tapi... tunggu sebentar.
Tunggu, tunggu, tunggu.
Aku lagi ngapain, sih?
Akal sehatku kembali dan mendadak aku merasa tolol. Kenapa aku harus menunduk menghindari tatapan Anne-Marie? Bukankah tadi aku yang memberitahu Carl bahwa cewek itu hanyalah seorang tukang bully yang suka menggertak? Kenapa pula aku harus takut padanya?
Kutarik napas dalam-dalam, membiarkan oksigen mengisi paru-paruku. Udara yang hangat itu seolah membakar semangatku. Aku menegakkan kepala dan langsung menatap balik Anne-Marie sambil berbisik dalam hati.
Gue nggak takut sama elo.
Alis kiri Anne-Marie terangkat naik dan dia mencibir. Dia memindahkan berat tubuhnya ke kakinya yang lain seolah sedang menimbang-nimbang akan menendangku dengan kaki yang mana, lalu mulai bergerak ke arahku.
Gue nggak takut, ulangku dalam hati. Kutatap Anne-Marie tanpa berkedip. Aku nggak mau dia berpikir kehadirannya membuatku ngeri seperti yang lain. Lo bisa baca pikiran, kan Anne-Marie? Nih, baca pikiran gue! Gue nggak takut sama lo!
Cibiran Anne-Marie berubah menjadi seringai kejam.
"Jen..." rengek Tara, kali ini kedengaran benar-benar takut. "Jangan dilihat!"
"Enggak, Ra!" tolakku mantap. "Gue nggak takut kok sama itu cewek!"
Anak-anak yang menepi memberi jalan membuat Anne-Marie kini tepat lurus di depanku. Gue nggak takut... Terus-terusan kuulang kalimat itu dalam hati. Dan kalo lo berani macam-macam, gue bakal laporin ke polisi apa yang lo lakuin ke Carl...
Rita berlari-lari menghampiri Anne-Marie dan membisikkan sesuatu di telinganya. Anne-Marie mendengarkan dengan teliti, alisnya berkerut. Lalu dia menatapku lagi dan seringainya yang kejam berubah menjadi tawa kecil yang misterius.
Aku menelan ludah dan terus menatap Anne-Marie.
Anne-Marie menyibakkan rambutnya dan mengisyaratkan Rita dan Carly untuk ikut. Mereka menuju pintu keluar. Sesampainya di pintu, Anne-Marie menatapku melewati bahunya lalu tertawa keras, sebelum akhirnya keluar bersama dua anak buahnya.
Begitu The Queens pergi, udara terasa mengalir kembali di dalam kantin.
"Fiuh..." desah Reo lega. "Benar-benar ya, mereka bertiga. Senior paling horor."
"Mereka bukan siapa-siapa," kataku berani. "Kita nggak perlu takut sama mereka! Mereka cuma tukang bully! Kita nggak boleh kalah sama tukang bully seperti mereka itu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top