1 - Aku si murid baru
♫ "Unwritten" by Natasha Beddingfeld ♫
"Tuh kan, Arini... Jadi heboh begini!"
"Lama-lama kamu akan terbiasa kok, Jen."
"Tapi Mom bener-bener udah kelewatan!" Kucoba menahan amarah yang sudah menggelegak di tenggorokan. "Aku udah bilang, kita kan bisa naik taksi aja. Bukan limusin..."
"Nyonya Darmawan nggak mau kamu terlambat, Jen," jawab Arini lembut, nyaris keibuan. "Lagipula kamu bukan satu-satunya anak yang bawa mobil ke sekolah. Lihat, ada yang bawa Lamborghini juga..."
Arini mengucapkan kalimat barusan dengan gaya santai biasa saja, seolah normal bagi anak SMA di Indonesia ini untuk menyetir Lamborghini ke sekolah. Mungkin termasuk normal untuk ukuran SMA Cahaya Bangsa, sekolah paling elit di Indonesia yang isinya anak-anak super tajir. Tapi aku berani taruhan, ini bukan pemandangan yang lumrah di sekolah-sekolah lain.
Lamborghini merah yang dimaksud Arini itu melesat lalu berhenti di tempat parkir tepat di seberang mobilku. Melihat mobil itu membuat perasaanku jadi sedikit lebih baik, setidaknya aku bukannya satu-satunya yang bawa mobil mewah.
Pengemudi Lamborghini itu adalah seorang gadis langsing berambut panjang yang memakai kaca mata hitam. Wajahnya agak dingin. Dia turun dari mobilnya, mengambil tas sekolahnya dan melirikku sekilas. Lalu dua orang gadis lain menyapanya dan mereka bertiga bergegas ke lobi sekolah. Para siswa lain yang berkerumun di sekitar kami memberi jalan ketiga gadis itu seolah mereka adalah putri-putri bangsawan.
Tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon yang samar-samar tertelan oleh suara bisik-bisik dari kerumunan orang. Arini cepat-cepat menarik keluar sebuah ponsel dari balik sakunya.
"Selamat pagi, Nyonya Darmawan," kata Arini.
Rupanya Mom.
"Benar, Jennifer sudah sampai di sekolah. Benar, naik mobil yang Anda perintahkan."
Tampaknya Mom menelepon untuk mengecek aku masuk sekolah naik mobil pemberiannya. Meskipun aku mati-matian menolak, Arini tetap nggak berani melawan Mom. Percakapan singkat itu segera berakhir.
"Yang ceria dong, Jen..." hibur Arini sambil menyimpan kembali ponselnya. "Nanti kamu dikira sombong, lho."
Arini nggak perlu mengingatkanku untuk tidak kelihatan sombong. Nyatanya, kemunculanku saja sudah bikin heboh. Rasanya cap sombong itu sudah melekat di dahiku begitu melewati gerbang sekolah. Si anak baru bawa limusin ke sekolah, ditemani pelayan pribadi pula? Apalagi namanya itu kalau bukan sombong? Tapi asal kalian tahu saja, aku sama sekali nggak nyaman dengan semua kemewahan ini.
Aku sudah pasrah. "Kenapa sih aku nggak bisa ke sekolah dengan normal?"
"Karena kamu Jennifer Darmawan," jawab Arini kalem. "Putri keluarga Darmawan."
Oh, ya. Mana mungkin aku lupa soal itu. Aku kan Jennifer Darmawan. Aku mustahil jadi normal. Pasti sampai di kalimat ini kalian bertanya-tanya apa sih spesialnya jadi diriku. Hmm... kalian akan tahu sebentar lagi.
Aku menegakkan diri dan melangkah menuju gedung sekolah baruku. Kata-kata Mom bergema di kepalaku: 'Jalan yang tegak di muka umum. Jangan kayak orang nggak punya masa depan!'
Ratusan pasang mata mengawasi setiap gerakan-gerikku. Aku jadi bertambah nggak nyaman. Saat ini aku benar-benar berharap bisa menghilang.
Kami tiba di lobi utama. Seorang laki-laki menyambut kami dengan senyum sumringah.
"Halo, Jennifer! Selamat datang di SMA Cahaya Bangsa!" Pria menyalamiku dengan hangat. "Saya Pak Prasetyo, kepala sekolah. Senang akhirnya bisa ketemu kamu di sini! Gimana, apa kamu menikmati Jakarta?"
"Jakarta begitu hidup dan ramai," jawabku sopan sambil tersenyum. "Lumayan mirip New York."
Pak Prasetyo mengangguk-angguk. "Hari ini Bu Darmawan nggak ikut mengantar kamu?"
Aku menggeleng. Arini mengulurkan tangannya ke Pak Presetyo. "Saya Arini, asisten pribadi Nyonya Darmawan. Hari ini beliau berhalangan hadir karena ada urusan bisnis di Filipina."
Pak Prasetyo bergumam paham. Kemudian beliau mengantar kami menuju sebuah ruang tunggu sambil mengobrol dengan Arini. Orang-orang masih mengekorku, bisik-bisik mereka yang menyebalkan mendengung di belakangku seperti sekumpulan lebah. Rasanya memang nggak nyaman, tapi kalau seumur hidup kalian diperlakukan seperti ini, lama-lama kalian akan terbiasa. Sepertiku.
Akhirnya kami tiba di sebuah ruang tunggu superluas mirip lobi hotel.
"Jennifer, kamu bisa tunggu di sini dulu..." kata Pak Prasetyo ramah. "Sebentar lagi wali kelas kamu bakal menjemput kamu untuk ke kelas."
"Terima kasih, pak."
...
"Kelas sepuluh Nobel..."
Kutatap pelat nama kelas di atas kepalaku sekali lagi untuk memastikan. Ya, ini dia ruang kelasku yang baru. Tidak seperti sekolah lainnya, Cahaya Bangsa menamai kelas-kelas mereka dengan nama-nama unik, seperti senyawa kimia, tokoh penting ilmu pengetahuan atau kejadian alam.
Aku menunggu namaku dipanggil dari dalam.
Kurapikan rambutku dan kutarik-tarik rokku karena takut kelihatan kusut. Sebuah tindakan yang tak perlu, karena Arini sudah memastikan penampilanku sempurna. Jantungku berdebar keras seolah mau meledak. Sudah lama sekali aku merasa gugup seperti ini karena menjadi murid baru. Lalu detik berikutnya, aku mendengar namaku dipanggil dari dalam.
"Jennifer? Silakan masuk..."
Aku melangkah masuk ke dalam kelas. Di dekat meja guru, seorang wanita muda tersenyum padaku. Pasti dia wali kelasku yang baru.
"Ini Jennifer Darmawan," kata wanita itu. Papan nama di dadanya bertuliskan 'Olena Susilowati'. Warna rambutnya hitam sekali seperti disiram tinta. "Nah, Jennifer. Silakan perkenalkan diri pada teman-teman sekelasmu, ya..."
Teman-teman baruku memandangiku dengan berbagai macam tatapan.
"Halo. Nama saya Jennifer, bisa dipanggil Jen," kataku, berusaha kedengaran percaya diri sekaligus ramah. "Saya baru pindah dari Manhattan, New York. Senang bertemu dengan kalian..." Aku menambahkan buru-buru, sambil nyengir. "Semoga kita bisa berteman!"
Seluruh kelas melongo.
Eh, kok jadi diam begini? Apa jangan-jangan aku bakal diteriaki...
Seorang cowok bule bertepuk tangan. Anak-anak yang lain mengikutinya dengan kurang antusias. Hmm, baguslah. Setidaknya mereka nggak perlu tahu siapa diriku sebenarnya.
Bu Olena menatapku lagi dan senyumnya merekah bak bunga matahari. "Jennifer ini anak kelurga Darwaman, pemilik perusahaan otomotif Helix..."
Seisi kelas ber-ooooh panjang.
Yah. Selesai deh.
Kutatap Bu Olena dengan pandangan keji. Ngapain coba dia harus nyebut-nyebut soal itu segala? Semua orang pasti tahu tentang Helix, perusahaan yang didirikan Dad. Dan sekarang teman-teman baruku ini jadi tahu siapa aku. Padahal aku nggak mau dikenal gara-gara itu. Macam kemunculanku tadi pagi naik limusin dan membawa pelayan pribadi belum cukup mencolok saja...
"Baiklah, Jen." Bu Olena menunjuk sebuah kursi kosong di belakang tempat duduk si cowok bule. "Kamu bisa duduk di belakang Carl Johnson..."
Aku bergerak menuju tempat duduk baruku. Cowok di depannya yang bernama si Carl Johnson kelihatan mencolok karena dia satu-satunya murid asing di kelas kami. SMA Cahaya Bangsa ini memang sekolah internasional. Kulitnya pucat, rambutnya pirang, dan hidungnya mancung sekali seperti dipahat. Ia mengenakan kacamata berbingkai kayu. Di balik lensa kacamatanya, ada sepasang mata warna biru cemerlang yang mengerling sekilas padaku. Aku tersenyum padanya, tapi dia membuang muka. Dari tebakanku, dia orang Skandinavia. Ciri-ciri rambut pirang dan mata biru itulah yang membuatku berpikir seperti itu.
Bu Olena masih ngomong sendiri di depan tapi sayangnya sudah tak ada yang menyimak karena perhatian seisi kelas kini terpusat padaku. Aku tahu teman-temanku sudah tak sabar untuk menginterogasiku.
Setelah menjelaskan tentang jadwal kami di semester baru ini tanpa ada yang memperhatikan, akhirnya Bu Olena keluar kelas dengan wajah cemberut.
Suasana kelas langsung berubah gaduh.
"Oi, Jennifer!"
Cewek yang duduk di sebelah kananku dengan berani mencolekku. Aku menatapnya. Ia cewek dengan rambut lebat bergelombang yang panjangnya sepunggung. Wajahnya bulat, matanya juga bulat seperti kelereng.
"Lo beneran anak keluarga Darmawan?"
"Iya."
"Keluarga Darmawan yang itu?"
"Iya."
"Seriusan lo?"
Aku tersenyum pasrah. "Kan tadi Bu Olena udah bilang..."
"Eh, lo bisa ngomong 'lo-gue' juga..."
Aku membalas dengan tersenyum lagi. Meski lama tinggal di New York, kemampuan Bahasa Indonesiaku lumayan. Aku bisa empat bahasa. Dad bisa bicara dalam lima bahasa, sedangkan Mom enam. Mengingat anggota keluarga kami nyaris sepanjang waktu bepergian dari satu negara ke negara lain demi mengurus bisnis, kami wajib menguasai setidaknya empat bahasa.
"Gue Tara Handoko..." Si gadis berwajah bulat mengulurkan tangannya. "Lo kapan pindah dari New York?"
Aku nggak sempat menjawab pertanyaan Tara karena teman-temanku yang lain berbondong-bondong datang untuk menyalamiku. Mereka semua sangat antusias. Aku sampai kesulitan menghafal nama mereka semua sekaligus. Ada Billy Satya yang sangat gemuk, Iswara Hamid yang berhijab, Emma Cahyadi yang lancar berbahasa Prancis, Wynona Salim yang roknya paling pendek di antara cewek-cewek, Reo Sahara yang blasteran Jepang, Meredith Smith yang blasteran Inggris, si kembar Aldo dan Bastian Nugroho yang amat gokil, dan.... yang lainnya.
Di akhir perkenalan, Tara menatapku dengan bangga. "Nah, sekarang lo udah tau nama kita semua kan?"
"Iya," dustaku. "Moga-moga kita jadi teman akrab."
Kami tertawa gugup.
"Eh, Jen... Katanya lo bawa pelayan pribadi ke sekolah?" tanya Karina Soetopo tanpa tedeng aling-aling.
"Terus yang tadi bawa limusin itu elo juga, kan?" sambung Hanna Hutabarat takjub.
"Gue baca di internet, katanya lo cewek paling kaya di Asia," kata Reo. "Beneran?"
Aku kebingungan dari mana harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Namun satu jawaban yang bisa menjawab ketiganya, betul, semua itu aku. Aku naik limusin ke sekolah dan ditemani pelayan pribadi karena aku gadis terkaya di Asia. Bukan karena aku mau begitu, tapi karena ibuku memaksaku.
Hadeh.
Sekarang, bagaimana harus menjelaskan semua ini tanpa kedengaran pamer di depan teman-teman baruku, coba?
Untunglah aku diselamatkan oleh guru Bahasa Inggris yang masuk ke kelas. Kami buru-buru kembali ke kursi masing-masing lalu mengeluarkan iPad untuk mencatat.
Akhirnya aku bisa lolos, setidaknya sampai jam istirahat nanti. Kulirik teman-temanku, mencoba mengingat-ingat nama mereka.
Tapi, tunggu sebentar. Baru kusadari ada satu orang lagi yang belum berkenalan denganku.
Jarak tempat duduknya hanya setengah meter di depanku.
Meski seisi kelas masih mencuri-curi pandang melirikku, si Carl Johnson sama sekali nggak menunjukan minat untuk berkenalan denganku. Wah, kenapa ya?
"Tara..."
"Ya?" Tara buru-buru melongok waspada ke arahku. "'K'napa?"
Aku menunjuk Carl.
"Oooh!" Mata bulat Tara berbinar-binar. "Dia memang agak aneh!"
"Sssh! Jangan keras-keras! Nanti kedengaran, lho!"
Tara mengatupkan tangannya di mulut dan merendahkan kepalanya. "Dia dari Inggris... Anaknya agak autis. Sejak datang ke sekolah ini, dia baru ngomong sepuluh kata!"
Jadi bukan dari Skandinavia. "Ah, seriusan?"
Tara mengangguk bersemangat. "Bahasa Indonya belum lancar, jadi dia selalu ngomong pakai bahasa Inggris. Ngomong cas-cis-cus begitu, siapa yang ngerti? Makanya anak-anak jadi malas buat ngobrol sama dia."
"Loh, tapi kan kita sekolah internasional."
"Iya sih..." kata Tara agak bersalah. "Tapi tetep aja Jen, mana greget ngobrol pake Bahasa Inggris terus-terusan?"
Greget. Aku paham soal itu. Mom dan Dad selalu ngomong pakai Bahasa Indonesia meski kami tinggal lama sekali di New York. Alasannya? Karena lebih greget.
Aku memandang punggung Carl, merasa sedikit kasihan padanya. Carl mungkin mendengar obrolan kami ini tetapi tidak mengerti apa yang kami bicarakan.
"Kasihan banget."
"Ih," Tara berjengit. "Kok kasihan? Wajar dong kalo kita berharap dia ngobrol Bahasa Indonesia! Si Meredith yang Bahasa Inggrisnya lancar kayak minum air pernah beberapa kali ngajak dia ngobrol, eh tapi malah dibentak-bentak. Orangnya nggak ramah!"
"Separah itu, ya?"
"Sejak kejadian itu, anak-anak jadi menjaga jarak sama dia. Mungkin dia bipolar."
"Bipolar?" Seriusan? Aku kok nggak yakin.
"Kalo lo nggak percaya, coba aja lo ajakin ngobrol nanti pas jam istirahat."
"Oke."
"Aih, lo serius?" Tara terkejut sekali sampai menabrak meja di depannya dan nyaris terjengkang. "Lo ngapain berteman sama dia? Mending lo ajak ngobrol si Reo Sahara..."
Aku melirik Reo Sahara yang duduk di baris depan, di sebelah Meredith. Tampang Reo lumayan cute, mirip artis-artis Korea. Tapi itu nggak menyurutkan rasa penasaranku pada si Carl.
"Gue cuma mau ajak kenalan kok..." dalihku. "Mungkin gue bisa minta tolong Meredith buat ngenalin..."
"Terserah kalau itu mau lo," Tara mengalihkan pandangan ke buku catatannya dengan lagak pasrah. "Gue udah ngasih tahu lo, Jen. Percuma juga minta tolong Meredith, dia nggak bakal nolongin lo. Nggak ada anak yang mau berurusan dengan si orang Inggris itu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top