8. Sweet Seventeen


Tanggal dua puluh empat Januari tiba, dan urusan Toni tergusur untuk sementara dari benakku. Ketakutanku terbukti: Meredith mengundang satu sekolah, termasuk para guru pula. Tara meminjam restoran di salah satu hotel bintang lima milik si kembar. Istilahnya adalah sky dining, karena restoran itu terletak di teras terbuka lantai tiga puluh satu. Dari foto-foto yang diberikan Tara, tempat itu tampak menakjubkan—pemandangan Jakarta bisa terlihat dengan jelas dari sana! Ternyata dia dan Meredith punya bakat terpendam jadi event organizer.

Melihat usaha para sahabatku itu, lagi-lagi aku hanya pasrah saja. Sebetulnya aku masih nggak enak bikin pesta besar-besaran di tengah ancaman Toni, tetapi aku tidak mau mengecewakan Meredith dan Tara yang sudah bekerja keras. Kalau mereka mau pesta ulang tahun yang dahsyat, ya sudah... sekalian saja, kan?

Bukan cuma acaranya yang disiapkan, tetapi aku juga. Sehari sebelum tanggal dua puluh empat, sebuah kotak kardus raksasa tiba di rumahku. Ternyata itu dari mama Karina, yang seorang fashion designer. Ada gaun warna peach model halter yang cantik sekali di sana, dibuatkan khusus untukku (aku heran dari mana mama Karina bisa dapat ukuran tubuhku, karena gaun itu pas sekali!) Aku menelepon Karina untuk mengucapkan terima kasih—aku terlalu sungkan untuk menanyakan harganya, tapi untunglah gaun itu dikirimkan sebagai hadiah ulang tahun dari keluarga Karina.

Akhirnya hari H itu pun tiba. Jam dua belas malam, ponselku dibanjiri pesan dan panggilan telepon ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku. Mereka bilang udah nggak sabar untuk datang ke pestanya jam tujuh sebentar malam. Aku juga.

"Nyonya Darmawan kirim pesan ucapan selamat ulang tahun," kata Arini sambil memeriksa ponselku. Aku sedang dirias. "Mau saya bacakan, Jen?"

Aku mengangguk. Arini membacakan pesan dari Mom. Pesan itu terkesan datar dan terlalu formal tapi aku nggak kaget—ibuku yang mengirimnya, dan dia memang seperti itu.

"Kamu mau balas apa?" tanya Arini. "Biar saya yang ketikkan. Kuteks kamu masih belum kering."

"Ehm... terima kasih?"

Bayangan Arini yang memantul di cermin tampak mengernyit, tetapi dia hanya tersenyum kecil. "Kamu mau telepon ibu kamu, Jen?"

Perasaan aku yang ulang tahun! Kenapa aku yang harus menelepon Mom duluan? "Nanti aja, Arini. Aku mau bergegas, takut terlambat ke pesta."

Arini bergumam paham. Dia lanjut membantuku menyiapkan diri. Khusus untuk hari ini, aku disarankan memakai beberapa asesoris berlian: kalung, sepasang anting dan gelang, untuk mempermanis penampilanku. Rambutku ditata dalam gelombang besar-besar supaya aku nggak kelihatan terlalu anak-anak, dan aku disarankan memakai high-heels (duh!). Biar nggak terkesan "tante-tante," aku memilih yang berwarna hitam polos dengan hiasan sulur bunga warna peach yang senada dengan gaunku. Untunglah sepatu Louis Vuitton selalu nyaman dipakai!

Jam enam tepat, aku turun ke bawah. Limusinku belum kelihatan, dan aku mendengar bunyi ratata-ratata-ratata dari halaman rumahku. Tukang kebun mana yang memotong rumput malam-malam begini?

Di teras depan, Carl menungguku. Dia memakai tuksedo dan tampan sekali. Aku kaget melihatnya, karena rencananya Carl hanya akan menungguku di hotel.

"Kok kamu di sini, Carl?"

Carl mengangkat bahu. "Meredith suruh aku jemput kamu supaya nggak terlambat." Dia menunjuk ke halaman. "Lihat..."

Sebuah helikopter diparkir di sana.


...


Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan anak-anak satu sekolah kalau melihatku berangkat menuju pesta ulang tahunku sendiri naik helikopter.

Meredith berniat baik, dan aku menghargainya. Jam enam sore jalan-jalan Jakarta dipadati orang-orang yang baru pulang kantor, sehingga kemungkinan besar aku bisa terlambat. Tapi kenapa dia harus menyewakan helikopter untukku? Apa kata anak-anak satu sekolah besok? Jennifer Darmawan nggak puas ke sekolah naik limusin, dan sekarang diantar jemput pakai helikopter?

Kenapa sih Meredith selalu gas pol kalau mengerjakan sesuatu?

Perjalanan itu berlangsung singkat, hanya lima belas menit (karena kami terbang). Arini menyusulku dengan limusin. Kami mendarat di atap hotel, dan turun ke lantai tiga puluh satu memakai lift. Rambutku acak-acakan karena angin dari desingan baling-baling, aku harus memperbaikinya sebelum masuk ke tempat acara. Carl membantu menggotong ekor rokku yang panjang dan terbuat dari sutra, supaya tidak terinjak.

Begitu pintu lift terbuka, Meredith yang rupanya sudah bersiaga memekik melihatku. Malam ini si pengendali tanaman juga memakai gaun; tipe little black dress pas tubuh yang membuatnya tampak makin jangkung (sebagai blasteran bule, Meredith lebih tinggi dibanding aku dan Tara).

"There she is!" Meredith memelukku erat-erat, mawar merah besar-besar bermekaran di poninya karena dia sedang gembira. "Happy birthday, Jen!"

"Makasih banyak, Dith!"

"Lo suka sama helikopternya?"

Aku hanya cengengesan. Suka, katanya?

"Carl, makasih udah ngejemput Jen," kata Meredith sambil mencubit pipi Carl. "Sekarang urusan cewek-cewek! Rambut lo berantakan banget, Jen."

"Iya, nih. Gara-gara ketiup angin!"

"OMG, pasti gara-gara helikopternya!"

"Iya. Mana sepatu gue pakai nyangkut segala lagi."

"Rambut, sepatu sama gaun, ya. Got it! Jangan panik, oke?" Meredith menggerak-gerakan tangannya, jelas dia yang panik. "You need to calm down, Jen! Semuanya bakal baik-baik aja. Ada Wynona, dia bisa bantu betulin... oooh!"

Meredith melotot dan menunjuk ke belakangku. Aku dan Carl ikut menoleh dan sama-sama terperangah. Aku nyaris mengumpat.

Apa itu... Tara?

Tara memakai mini dress warna hijau neon dan high heels. Rambutnya yang bergelombang dikuncir tinggi, dan dia memakai anting-anting besar yang berkilau, serta gelang lebar seperti yang dipakai Wonder Woman. Gayanya mengingatkanku pada diva pop di era delapan puluhan.

"Kamu Tara, kan?" tanya Carl, mewakili kebingungan kami bertiga.

Tara tersenyum lebar dan mengangguk. Kami bertiga ber-oooh lagi. Kami belum pernah melihat Tara memakai dress—sahabat kami ini sedikit tomboi, makanya kami terpukau melihat penampilannya yang berubah drastis malam ini.

Kupeluk dia karena haru. "Lo cantik banget, Ra!"

"Thank you, Jen!" Tara mengambil sejumput rambutku. "Rambut lo... oh, pasti gara-gara helikopter itu, kan? Dith, apa gue bilang! Jangan pakai heli!"

Meredith ngotot. "Tapi Jen nggak boleh telat di pestanya sendiri!"

"Oh, well..." Tara mengertakan gigi. "Diam sebentar, Jen."

"Jangan!" Meredith menghambur dan menarik tangan Tara. "Lo mau bikin Jen celaka? Lo belum bisa memutar waktu untuk satu bagian tubuh aja—bisa-bisa kepala Jen terjebak di masa lalu!"

Eh, apa katanya? Kepalaku terjebak di masa lalu? Memangnya bisa?

"Gue udah berlatih, oke? Lagipula kita nggak punya waktu! Ini emergency!" Tara menjentik-jentik cepat dengan tak sabar. Aku merasakan rambutku tertarik-tarik, seperti ada penata rambut kasat mata yang sedang menatanya, lalu tiba-tiba saja, semuanya rapi kembali.

"Rambut lo udah kembali ke lima belas menit yang lalu, sebelum lo naik helikopter," kata Tara bangga. "Sekarang, ratu pestanya udah siap!"

"Oke, Jen." Meredith kembali ke sikapnya yang serius. "Gue, Tara sama Carl bakal masuk ke dalam. Lo tunggu di sini, ya. Begitu musiknya mulai, baru lo boleh masuk. Pokoknya dengar aja suaranya. Paham?"

Aku mengangguk. Meredith mendorong Carl dan Tara masuk ke dalam, lalu menutup pintunya di depanku. Baiklah. Pesta ulang tahun. Aku tahu acara yang disiapkan Meredith pasti bakal luar biasa dan kemungkinan besar membuatku malu, tapi... bukan masalah. Aku cuma ingin teman-temanku menikmati pesta malam ini. Kami pantas menikmati "masa-masa muda" ini—setidaknya sampai Toni kembali berulah.

Toni... sedang apa dia sekarang, ya? Semua anak sibuk membahas pesta ini di grup LINE kelas, ada kemungkinan Toni membacanya juga...

Tiba-tiba ada yang mencolek pundakku. Aku berbalik, dan terkejut melihat Tara muncul di belakangku. "Lo Jennifer, kan?" katanya.

Tawaku meledak. "Maksud lo, Ra?"

"Lo Jennifer, kan?" tanya Tara lagi, tampangnya serius. "Lo sahabat gue, ya? Kita berteman, kan?"

"Lo ngomong apa, sih?" Ah, pasti Tara sedang berpura-pura. "Bukannya lo barusan udah masuk ke dalam bareng Meredith dan Carl? Kok lo keluar lagi? Gue nggak lihat lo keluar."

"Gue... dari toilet," kata Tara, masih serius. "Jadi, gue sama Meredith dan, ehm... Carl... kita betulan teman elo ya, Jen?"

"Ya iyalah! Lo kenapa, sih? Kok tiba-tiba ngomong kayak gitu?"

"Nggak apa-apa." Tara berbalik. "Kalau begitu... terima kasih, Jen!"

"Terima kasih? Lo mau ke mana, Ra?"

Aku tidak sempat mengejarnya, karena suara musik yang bergema dari dalam. Kedua pintu terbuka, dan aku bisa melihat teras yang penuh dengan teman-teman dan guru-guruku, semuanya tampak gembira dan bersenang-senang, kompak bernyanyi untuk merayakan ulang tahunku.

...


Pestanya berlangsung lancar. Tanganku pegal karena disalami ratusan orang, aku tidak sempat bertanya pada Tara soal tingkahnya yang aneh karena setiap orang ingin berbicara denganku. Pak Prasetyo sampai ikut datang juga, beliau didorang Ryuichi Sahara di kursi roda. Dibandingkan anak-anak yang all out dengan penampilan mereka, setelan para guru lebih membumi. Sebagian besar hanya memakai kemeja batik sederhana atau blazer, dan hanya Bu Nanda yang memakai dress terusan bermotif bunga-bunga hijau raksasa ("Pengendali tanaman sejati, tuh," komentar Azka sambil terkikik).

Setelah salam-salaman, kami melanjutkan acaranya dengan main games, dan bernyanyi bersama (ada band yang membawakan live music). Lalu dilanjutkan dengan mendengarkan "sambutan-sambutan." Acara yang melankolis ini sengaja ditaruh di bagian terakhir supaya lebih dramatis.

Nah, bagian ini yang paling menarik. Reo yang menggagas ide ini, untuk memberiku dukungan moral. Anak-anak dipersilakan mengungkapkan kesan pesan mereka terhadapku, sekaligus menyampaikan wish mereka.

Karina paling pertama mengangkat tangan. Dia maju sambil memegang gelas jus, dan mulai nyerocos tentang betapa baiknya aku padanya. Aku takjub karena Karina ingat semua hal yang kulakukan padanya—termasuk hal-hal yang aku sendiri udah nggak ingat. Mulai dari dua semester lalu saat aku baru masuk ke SMA Cahaya Bangsa, kebersamaan kami sebagai tim support sepuluh Nobel di Casa Poca, sesi belajar bersama di rumahku, acara karaoke dadakan di limusinku semester lalu saat aku dituduh menyerang anak-anak, hingga gaun yang kukenakan (aku kurang paham apa hubungan gaun ini dengan testimoni Karina, tetapi semua orang menyimak dengan sepenuh hati). Di tengah cerita, Karina mulai terbawa emosi. Sambil terisak-isak, dia tanpa sadar melepaskan gelas jusnya sehingga gelas itu melayang-layang dan Wynona yang jadi MC harus mengejarnya supaya tidak terlihat oleh para pelayan yang non-pengendali.

Beberapa adik kelas dan senior kelas dua belas ikut memberikan ucapan. Mereka memujiku berani karena sudah melawan Dewan Pengendali dan Toni di Festival Sekolah, dan mendengarnya telingaku seperti berasap (aku sudah bergeser ke belakang kue ulang tahunku, tetapi Wynona menarikku ke tengah-tengah panggung lagi). Para senior dan junior itu bilang menyesal karena sudah menuduhku semester lalu, dan menyatakan dukungan mereka untukku. Aku merasa seperti kandidat calon presiden yang sedang berkampanye—dukungan-dukungan ini membuatku malu tapi harus kuakui, senang juga mendengarnya.

Lalu Bu Olena mengambil mik, beliau mewakili para guru memberikan ucapan selamat. Beliau berterima kasih padaku atas "semua yang telah kulakukan" selama bersekolah di SMA Cahaya Bangsa, dan mengaku bangga atas kemajuanku selama "sesi latihan" sepanjang liburan. Pengendali darah itu menutup kata-katanya dengan memberiku semangat supaya jangan cepat menyerah. Semuanya diucapkan dengan gaya formal khas Bu Olena, tetapi aku tahu kalau guruku itu amat sayang padaku dan kami semua.

Hatiku terasa hangat mendengar semua ucapan ini.

Tara, Meredith, Carl dan Reo juga mendapat kesempatan. Sebetulnya mereka tidak perlu maju, karena aku sudah kenal baik keempat sahabatku itu. Reo yang mewakili mereka berempat, dia mengucapkan terima kasih dengan sopan padaku, sambil menghaturkan harapan supaya aku selalu sehat dan bahagia di usiaku yang ketujuh belas ini. Si kembar bersuit-suit dari belakang dan menyoraki Carl supaya menciumku—permintaan ini segera mendapat dukungan penuh dari anak-anak lain, yang entah kenapa mendadak norak sekali malam ini. Suit-suitan dan teriakan itu baru berhenti setelah Bu Olena melempar tatapan galak pada si kembar.

"Sekarang, kita udah sampai di bagian yang paling ditunggu-tunggu, nih!" Suara Wynona bergema di teras itu, eye shadow-nya yang berwarna biru cerah berkilat-kilat diterpa cahaya lampu. "Potong kue! Kebetulan Jen punya tujuh belas kue ulang tahun—namanya juga sweet seventeen—tapi Jen cuma potong satu aja, ya... buat simbol. Tenang, semua bakal kebagian!"

"Bastian! Aldo! Jangan dicolek-colek dulu!" Suara Meredith menggelegar di latar belakang. Dia sedang memarahi si kembar yang tertangkap basah sedang mencolek-colek krim di salah satu kue.

"Oookeee... Ini pisaunya, Jen..." Wynona menyerahkan sebuah pisau kue yang sudah dihias pita padaku. "Mungkin potong kuenya bisa bareng Carl? Sebagai harapan supaya kalian berdua hidup bahagia selama—eh... iya, iya. Maaf, Bu Olena. Saya lupa, ini cuma acara ulang tahun, bukan pesta nikah Jen..."

Semua orang tertawa. Carl mengisyaratkanku supaya memotong kue itu sendirian—dia kepengin sekali membantuku, tetapi terlalu malu karena diawasi oleh mata elang Bu Olena. Beberapa pelayan sudah bersiaga dengan pisau masing-masing di enam belas kue yang lain (aku nggak tahu sama sekali bakal ada tujuh belas kue. Semua ini diatur oleh Meredith, ingat?). Para tamu bernyanyi "Happy Birthday To You" dengan lantang. Aku mengangkat pisau itu hingga ke bagian atas kue enam tingkat itu, dan mulai memotongnya dengan hati-hati sampai ke bawah. Semuanya bersorak. Aku memotong beberapa bagian lagi, lalu seorang pelayan memindahkan kue-kue itu ke atas piring-piring untuk dibagikan.

Aku mengantarkan kue-kue yang kupotong pada guru-guruku dulu, lalu selanjutnya Carl, Arini, Tara, Meredith dan Reo. Teman-teman yang lain juga kebagian, para pelayan memberikan mereka jatah masing-masing. Senang sekali rasanya bisa berbagi separti ini!

Setelah semua kebagian, kami pun mulai makan.

"Kuenya enak. Lo pesan dari mana, Jen?" tanya Wynona, ada krim yang menggumpal di sudut-sudut bibirnya.

"Semuanya diatur sama Meredith, Wyn."

"Oh, iya. Gue mau dong nomor telepon tukang bikin kuenya."

"Jen..."

Aku berbalik. Tara berdiri di belakangku.

"Tara! Pas banget!" Sahabatku itu belum menyentuh kuenya. "Dari tadi gue mau ngomong sama elo, tapi belum dapat kesempatan!"

"Gue juga mau ngomong sama elo!" Tara menarikku ke pinggir panggung. "Apa lo merasa ada yang aneh malam ini, Jen?"

"Elo yang aneh!" Kutunjuk Tara dengan sendok kueku. "Masa tadi lo tanya ke gue apa kita masih sahabatan?"

"Gue... apa?" Tara tercengang. "Kapan gue ngomong begitu ke elo?"

"Tadi, sebelum gue masuk ke sini! Lo bilang lo baru dari toilet, tapi gue..."

Kata-kataku terputus oleh suara batuk-batuk hebat. Beberapa meter di depanku, Karina sedang tersedak. Dia mencengkeram lehernya sambil terbungkuk-bungkuk.

"Lo keselek, Rin?" Ramon mendekatinya dan menepuk-nepuk bahunya. "Lo makannya terlalu cepat, kali!"

"Ini..." Mata Karina merah dan berair. Dia menunjuk kue miliknya. "Kayaknya ada sesuatu di kuenya."

Meredith datang dan memberikan Karina segelas air. Dia meletakkan piring kuenya di meja, dan meneguk air itu sampai habis. Tara menarik sikuku, memberi isyarat supaya aku waspada. Mungkin Karina memang makan terlalu cepat. Semestinya tidak ada yang salah dengan kue itu...

Suara tersedak lain muncul, kali ini tepat dari sampingku. Wynona si MC menjatuhkan piring kuenya dan batuk-batuk parah. Carl yang ada di dekatnya langsung mengambilkan air.

"Kuenya..." kata Wynona sambil mengap-mengap. "Ada sesuatu..."

Aku dan Tara langsung bertukar pandang.

Belum selesai kami membantu Wynona, suara batuk yang lain menyusul. Magda, Azka, Sonja, Cathy, Farrel, Timothy, termasuk salah satu dari si kembar, mereka juga terbatuk-batuk. Seperti penyakit menular yang ganas, dalam sekejap saja setengah dari para tamu sudah terbatuk-batuk parah sambil memegangi leher mereka. Meredith kelabakan memberi air. Bu Olena menyingkirkan piring kuenya dan membisikkan sesuatu pada Ryuichi Sahara.

Ada yang tidak beres.

Kuamati kueku sendiri. Dengan sendokku, kupotong bagian tengahnya untuk menyelidiki. Begitu kue itu terbelah, aku melihat isi di dalamnya ternyata bukanlah cokelat dan krim, tetapi sesuatu yang halus dan kesat.

Pasir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top