7. The Little Girl On Fire


Ternyata Meredith sangat serius soal pesta ulang tahun itu.

Entah bagaimana caranya, keesokan harinya saat datang ke sekolah, semua orang yang bertemu denganku sudah tahu aku akan berulang tahun beberapa hari lagi. Wynona dan Emma yang pertama membahas soal undangan itu. Mereka mencegatku dalam perjalanan dari lapangan parkir ke barisan dengan tampang muram.

"Jen, kita udah terima undangan Meredith," kata Wynona, jari-jarinya yang dipoles kuteks warna-warni menjentik-jentik. "Soal pesta ulang tahun elo."

Aku langsung cemas. "Siapa aja yang diundang Meredith?"

"Kalau yang mantan sepuluh Nobel ada gue, Wynona, Karina, Hanna, Azka, sama si Kiki. Dari kelas sebelah, katanya ada Timothy sama Hardi, terus si Farrel yang pakai kawat gigi itu juga bilang dia diundang; dan dia pasti bakal ngajak pacarnya, si Valen. Dan kalau Valen ikut, berarti dua BFF-nya juga pasti datang; si Selena sama Cathy," jawab Emma sambil membuka jari-jari di kedua tangannya, yang ternyata tidak cukup.

Sebentar, sebentar. Jangan-jangan Meredith mengundang satu sekolah!

"Masalahnya begini, Jen," kata Wynona terus terang. "Kita pada bingung mau kasih kado apa ke elo. Lo kan udah punya segalanya dan yang paling kaya dari kita semua. Otomatis apa pun yang kita kasih buat elo, pasti..."

"Dianggap cuma butiran debu," sambung Emma sedih.

Oooh! Hatiku langsung terasa pilu. "Kalian nggak perlu bawa kado. Datang aja ke pestanya, gue udah senang banget!"

"Tuh, kan!" Emma menunjuk Wynona dengan penuh kemenangan. "Apa gue bilang? Jennifer Darmawan mana perlu hadiah ulang tahun dari kita!"

Nada bicara Emma membuatku merasa semakin bersalah. Akhirnya aku hanya bisa nyengir sambil meminta sekali lagi supaya Emma dan Wynona nggak perlu pusing memikirkan kado. Lalu aku bergegas kabur ke barisan kelasku.

Apel pagi dimulai seperti biasa, dan Bu Olena masih menggantikan Pak Prasetyo. Beberapa anak di barisan kelas sebelah berbisik-bisik soal kedatangan Pak Pangestu kemarin sore—rupanya mereka ikut menyaksikan kunjungan tiba-tiba si Ketua Dewan. Samar-samar aku mendengar namaku ikut terbawa-bawa, tapi aku sudah pasrah; ini semester ketiga namaku jadi topik gosip terpanas di sekolah dan aku terlalu capek untuk memedulikannya.

Setelah apel pagi selesai, kutarik Meredith untuk bertanya padanya soal pesta ulang tahunku. "Dith, berapa banyak yang lo undang buat pestanya?"

"Empat ratus tiga puluh sembilan. Beberapa anak kelas sepuluh dan kelas dua belas belum konfirma—"

"Empat ratus tiga puluh sembilan?" Pekikanku sangat keras sampai-sampai Iswara yang melintas di sampingku tersandung. "Lo undang satu sekolah?"

"Oh, it's okay kok, Jen. Tara udah dapat aula yang muat seribu o—"

"Lo tahu kan ini cuma acara ulang tahun, bukan pesta nikah?"

"Jen, relax!" Meredith meletakkan kedua tangannya di bahuku, rambut bop-nya bergoyang-goyang. "Gue tahu, kok. Lo nggak perlu kaget begitu, gue kan udah bilang ini bakal jadi pesta ulang tahun termegah—"

"Tapi lo nggak perlu mengundang satu sekolah juga!"

"Sepanjang sejarah SMA Cahaya Bangsa," sambung Meredith lancar tanpa menggubrisku. "Semuanya udah diatur. Birthday girl tenang aja, oke?"

Sambil mengedip misterius, Meredith melengos pergi bersama Reo yang sudah menunggunya. Di sebelahku, Carl terkekeh pelan. "Aku akan bilang ke Reo," katanya dengan nada biar-aku-urus-ini. Belakangan Carl menyadari bahwa sifat kalem Reo ternyata bisa "meredam" perfeksionisme Meredith. Tara bilang itu mungkin cuma efek bucin dan lama-lama akan pudar. Menurut Carl itu justru hal yang bagus.

"Meredith mau balas dendam, Jen," Tara berbisik letih dari belakangku. "Semester lalu, Festival Sekolah yang dia rancang kan terpaksa dihentikan gara-gara serangan Toni. Padahal Meredith udah kerja keras supaya festival itu meriah."

Oh, Meredith! Begitu rupanya! Aku tahu dia kecewa soal Festival Sekolah itu, tapi please, jangan dilampiaskan ke pesta ulang tahunku, dong!

"Jen?"

Ryuichi Sahara mendekatiku sambil tersenyum. Kubalas dia dengan ucapan selamat pagi. Tara mendadak merona dan menutupi wajahnya dengan iPad-nya.

"Pak Prasetyo bilang, dia mau mengajak kamu latihan," kata si pengendali pikiran. "Kebetulan pelajaran pertama kelas Tesla hari ini Pengendalian, kan? Pak Yu-Tsin udah dikasih tahu. Ayo, ikut saya."

Aku mengucapkan selamat tinggal pada Tara dan mengikuti Ryu. Dalam hati aku penasaran apa yang akan kupelajari soal Toni nanti.


...


Aku dibawa ke ruang Kepala Sekolah. Di sana, Pak Prasetyo dan Bu Olena sudah bersiap-siap. Mereka duduk di sofa alih-alih kursi kerja, jadi aku bergabung dengan mereka di sana.

"Jennifer, kamu sudah mendengar apa yang dikatakan Pak Pangestu kemarin. Saya yakin setelah serangan di Bali itu, Antoinette dan Lucien akan menampakkan diri lagi. Oleh karena itu, hari ini kita akan belajar sedikit tentang sang pengendali realitas, berdasarkan apa yang saya ketahui," kata Pak Prasetyo, suaranya luar biasa serak sampai-sampai aku kepengin menyuruhnya minum. "Ryuichi akan membantu menghubungkan pikiran saya dan kamu, sementara Bu Olena akan bersiaga untuk mencegah... hal-hal yang tidak diinginkan."

"Hal-hal yang tidak diinginkan, Pak?"

"Saat pikiran kamu terkoneksi dengan pengendalian jiwa Kepala Sekolah, kamu akan menghidupi kembali suatu pengalaman dalam kehidupan Antoinette Darmawangsa," Ryu menjelaskan lambat-lambat. "Dan itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Tanpa sadar kamu mungkin akan bereaksi: menyerang saya atau Pak Prasetyo dengan kekuatan kamu, misalnya. Jika itu terjadi, Bu Olena akan menghentikan kamu dengan pengendalian darahnya."

"Tapi kalau kamu sanggup menahannya, saya tidak akan melakukan apa-apa," kata Bu Olena sambil meregangkan jari-jarinya yang kurus. "Kamu paham, Jen?"

Kedengarannya ini lebih serius dari dugaanku. Aku hanya mengangguk.

"Saya akan membawa kamu menghidupi pengalaman hidup Antoinette saat usianya tujuh tahun," kata Pak Prasetyo. "Seperti yang Ryu sudah sampaikan, ini adalah pengalaman yang sangat kelam, tapi kamu tidak bisa berhenti di tengah-tengah. Kalau kamu merasa tidak akan sanggup, kamu boleh menolak, Jen."

Aku tidak punya pilihan. Apa pun yang bisa membantuku melawan Toni harus kulakukan. "Saya siap, Pak."

"Bagus sekali," kata Pak Prasetyo sambil tersenyum samar. Dia memberiku isyarat untuk duduk dengan santai di sofa. "Kalau begitu, mari kita mulai."

Ryu membuka kedua tangannya, lalu menunjukku dan Pak Prasetyo. Aku bisa mendengar suaranya dalam kepalaku, "Santai aja, Jen," lalu tiba-tiba... ruangan kepala sekolah memudar. Ketiga sosok guru di hadapanku juga mengabur, semuanya berganti menjadi suasana lain yang belum pernah kulihat sebelumnya...

Jendela.

Aku sedang menatap ke balik sebuah jendela yang reyot dan kotor. Cat di tulang-tulang kayunya sudah mengelupas, dan aroma debunya yang pekat amat menusuk hidung. Ada secarik tirai putih kusam yang sudah digerogoti ngengat.

Dadaku berat sekali, seperti ditiban dengan setumpuk bata. Setiap tarikan napas perlu perjuangan ekstra, dan setiap embusan terasa seperti meregang nyawa. Seumur-umur aku belum pernah merasa sesulit ini untuk bernapas. Ada yang salah dengan paru-paruku. Mulutku terbuka untuk memperlancar aliran udara itu, napasku yang hangat memburamkan kaca jendela.

Di luar sana, hujan turun dengan deras. Suaranya bisa menerobos masuk ke dalam ruangan ini—pastilah dindingnya tipis sekali. Udara yang pengap ini terasa begitu dingin, menggigit sampai ke tulang-tulangku. Aku merasa sungguh letih dan kepayahan.

Ada siluet seorang wanita yang berjalan terseok-seok di bawah sana, sedang meninggalkan rumah.

Mama.

Seketika aku tahu wanita itu adalah ibuku. Entah bagaimana caranya aku memahami koneksi itu—aku tahu begitu saja. Dan aku merasa marah karena wanita itu. Dia akan pergi meninggalkanku. Dia tidak akan kembali, dia meninggalkanku di rumah ini sendirian.

Sebelum membuka pagar rumah yang nyaris ambruk, Mama mendongak ke arah jendela. Dia menatapku—tatapan kami berserobok. Tidak ada setitik pun rasa sesal di sorot matanya. Kutempelkan kedua tanganku di jendela—tangan-tangan kurus dan kotor, lalu aku berteriak sekeras-kerasnya di tengah-tengah tarikan napas yang menyusahkan itu. Aku mengutuki tindakan Mama. Wanita itu tidak menggubrisku. Dia berbalik, membuka pintu pagar dengan satu tarikan kuat, dan berlari pergi menerobos hujan. Sekalipun dia tidak menoleh ke belakang.

Kemarahanku berlipat ganda. Rasanya panas, nyaris seperti api. Dalam kondisi kesakitan seperti ini, dia tega meninggalkanku seorang diri. Dia ibuku, dia seharusnya menyayangiku. Aku anak perempuannya, Mama seharusnya tidak membiarkanku sendirian begini. Dia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal, dan pergi begitu saja seakan-akan aku ini hanyalah seonggok barang yang tidak diinginkan, bukan darah dagingnya.

Air mataku tercurah. Hatiku sakit sekali. Ditambah dengan derita yang dirasakan tubuhku, kesakitan itu seolah berlipat ganda.

Aku ingin memecahkan kaca ini dan menarik Mama kembali ke sini.

Ada bunyi langkah-langkah kaki yang berat dari luar ruangan. Aku berbalik, dan melihat isi kamarku. Tempat itu nyaris seperti gudang. dindingnya retak-retak dan basah karena rembesan air. Bohlam kuning kecil menggantung dari plafon miring yang dipenuhi pola-pola hitam air dan jamur. Tidak ada perabotan apa pun. Pakaian-pakaian ditumpuk acak-acakan di sebuah kardus rokok yang sudah runyam. Kasur yang sedang kududuki amat tipis sampai-sampai dinginnya lantai di bawahnya bisa tembus terasa, selimutnya hanya kain tipis yang berlubang-lubang. Lantai itu juga lusuh—hanya semen kasar tanpa keramik, dan sudah pecah-pecah pula.

Suara langkah kaki itu mendekat.

Aku merapat ke dinding. Tiba-tiba pintu kamar yang reyot mengayun terbuka. Cahaya kuning temaram menerobos dari luar, menyinari si sosok pembuka pintu sehingga membentuk siluet hitam. Dia seorang laki-laki; dari napasnya yang berat terengah-engah, aku sudah mengetahuinya. Aku juga mengenalinya. Dia ayah tiriku.

"Dia sudah pergi," geram laki-laki itu.

Aku ingin membalasnya, tetapi lidahku membeku. Laki-laki itu mendekat, dan sekujur tubuhku mulai menggigil hebat. Dia akan melakukannya. Dadaku makin berat, aku harus membuka mulutku lebar-lebar supaya tidak tercekik. Dia sudah menunggu sekian lama, dan mendapat kesempatannya hari ini.

Aku mulai menjerit.

Pria itu menerjangku seperti harimau. Tangannya yang kekar dan basah oleh keringat membekap mulutku dan memberangus kedua tanganku. Dengan lututku, kuserang selangkangannya. Pria itu menggerung kesakitan dan menyumpah-nyumpah. Tanganku berhasil terlepas, aku bangkit terseok-seok dan lari menuju pintu, gerakan serba cepat itu membuat paru-paruku yang cacat ini seolah hampir meledak. Namun pria itu menarik blusku dan menyentakkanku ke belakang. Aku terjatuh ke atas kasur.

Dengan gerakan yang amat lugas sekaligus kasar, pria itu menindihku dengan tubuhnya yang asam dan berbulu—ditangkupkannya telapak tangannya ke mulutku, dikuncinya kedua kakiku dengan kedua pahanya. Aku meronta-ronta, kubenamkan tinju kecilku ke perutnya yang berlemak dan lagi-lagi, dengan kekuatan yang tidak sanggup kukalahkan, pria itu menyambar tanganku dan menekuknya dengan kedua sikunya. Wajahnya yang lebar dan ditutupi cambang serta janggut kasar hanya berjarak beberapa senti dari wajahku.

"Jangan melawan," bisiknya.

Aku tidak mau menyerah. Kubuka mulutku lebar-lebar dan kutancapkan kuat-kuat gigi-gigiku ke tangannya yang membekapku. Pria itu memaki dan melepaskanku, tetapi kemudian dia mencekikku. Aliran napasku betul-betul terhenti, dan selama sepersekian detik kupikir aku sudah akan menghadap malaikat maut. Pria itu melepaskanku—bukan karena iba, tetapi karena takut dia akan membunuhku—dan menampar wajahku. Tamparannya tajam dan perih, seperti sambaran setrika panas. Kumaki dia, dan dia menghadiahiku dengan dua tamparan beruntun. Dicengkeramnya leherku dan dibenturkannya kepalaku ke kasur tipis itu berkali-kali sampai mataku berkunang-kunang. Dan seolah belum puas, dia menamparku sekali lagi.

Ada yang patah dalam mulutku. Rasa nyeri yang luar biasa merambat dari kepalaku ke seluruh tubuhku, seperti sengatan listrik. Airmataku tumpah karena menahan sakit, tenagaku habis karena melawan, sambil tersedu-sedu aku hanya bisa memuntahkan gigi-gigiku yang telah tercabut, lalu terpuruk lemah di kasur. Aku ingin melawannya, tetapi tak berdaya. Tubuhku yang kecil dan sakit ini sudah tidak berdaya. Aku tidak memiliki kekuatan lagi.

Pria itu menggerak-gerakkan pinggulnya. Dia membuka ikat pinggangnya dan mengikat kedua tanganku, lalu menariknya hingga ke atas kepalaku. Aku menjerit sekuat tenaga saat pria itu membuka celananya. Dia merobek celanaku dan menyumpal mulutku yang penuh darah dengan kainnya. Udara malam yang dingin terasa di bagian bawah tubuhku, membelai pahaku yang telanjang seperti bisikan, dan seketika aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Tubuhku seakan koyak menjadi dua.

Percikan api di dalam diriku yang tadi terpantik karena kepergian Mama, meledak menjadi kobaran raksasa. Mama meninggalkanku dengan monster ini dan membiarkanku menderita. Monster ini—ayah tiriku, seharusnya dia menjagaku dan merawatku. Seharusnya dia menjadi tempat perlindungaku setelah penolakan dari ibu kandungku sendiri. Namun dia malah menodaiku seperti ini... Tanpa ampun dan dengan beringas... Kobaran api itu menari-nari, berkobar semakin besar seiring tiap entakan dan erangan, membara di setiap sel tubuhku yang telah dirusak, membakar apa saja yang tersisa dari diriku yang sudah hancur secara fisik dan mental ini, melumatnya menjadi debu, membinasakannya.

Aku tidak menginginkan hidup yang seperti ini.

Aku menginginkan hidup keluarga yang sempurna. Aku mendambakan dua orangtua yang menginginkan, menyayangi dan melindungiku. Aku memimpikan piknik keluarga di pantai; menghabiskan waktu layaknya keluarga yang bahagia. Aku menginginkan rumah yang bagus dan megah; alih-alih gubuk reyot dan tidak layak ini. Aku menginginkan pakaian-pakaian bagus seperti gadis-gadis kecil lain seusiaku; gaun-gaun cantik dan sepatu-sepatu kecil yang manis, bukannya kaos lusuh mirip kain lap yang sedang kupakai. Aku menginginkan hidup penuh sukacita, bukannya mimpi buruk penuh penderitaan dan dan tak berkesudahan ini.

Aku ingin mengubah segalanya.

Kobaran api di dalam diriku meledak. Kaca jendela di sebelahku pecah, begitu juga dengan bohlam lampu di langit-langit. Pria bejat itu memekik karena kaget dan melepaskan tindihannya. Sambil berbaring, kufokuskan tatapanku ke langit-langit, ke arah noda hitam jelek itu, membayangkan versi sempurna dari hidup yang semestinya kujalani. Air hujan yang tempias dari jendela tak berkaca itu membasahi wajahku, memerciki tubuhku yang telanjang, seakan-akan ingin membasuh segala kengerian yang telah kualami.

Sesuatu melesat dengan cepat. Terdengar bunyi tercekik, dan tiba-tiba pria itu menggeram ketakutan.

"Anisa... apa... yang..."

Menolehlah, kata api yang merajai diriku ini. Lihat dia sekarang. Lihat apa yang telah kau perbuat pada monster itu. Kau harus menyaksikan dia mati.

Kumiringkan leherku yang kebas ke arah pria itu.

Dia sedang mencengkeram lehernya. Sejenis cairan kental berwarna merah sedang memuncrat dari balik tangannya seperti keran air bocor, mengalir ke kaosnya dan turun ke bagian bawah tubuhnya yang menjijikkan itu, membalurinya dalam warna merah pekat. Sepotong besar kaca tergeletak di dekat kaki si monster, ujungnya yang tajam bernoda darah.

"Anisa..." Si monster memekik parau, matanya mendelik tidak percaya, kedua tangannya gemetar menekan lehernya, berusaha menghentikan cucuran darah itu. "Bagaimana caranya..."

Api itu.

Aku tahu apa yang melakukannya. Aku tidak peduli apa pria ini mempercayaiku—aku tidak peduli. Api dalam diriku yang melakukannya. Seolah bersorak karena pengakuanku, api yang panas itu bergelora sekali lagi, dan aku menyaksikan pecahan-pecahan kaca yang lain terbang ke udara, melayang-layang ringan dan berputar-putar seperti kepingan mimpi.

"Kamu..." Si monster terbeliak menyaksikan sihir itu. Dia mundur ke pintu sambil berusaha menarik celananya yang melorot. "Kamu... yang... melakukan..."

DIAMLAH!

Pecahan-pecahan kaca itu melesat seperti mendengar komandoku, bergerak cepat seperti pisau-pisau gaib ke arah si monster yang tersandung celananya sendiri, lalu menembus lengan, kaki, perut, dan pahanya. Dia merintih kesakitan dan melolong minta ampun. Lebih banyak darah yang memercik, rasanya seperti sedang menonton atraksi air mancur.

Dari energi yang mengalir dari sang api, aku bangkit berdiri. Si monster itu sudah berlumuran darah, tetapi dia masih mampu bergerak. Dengan pecahan-pecahan kaca yang menghunus tubuhnya, dia merayap ke pintu, berusaha keluar, masih ingin menyelamatkan dirinya yang sudah menyebabkan begitu banyak nestapa itu.

Dia tidak boleh keluar, kata si api. Monster keji sepertinya tidak pantas diampuni.

Pecahan-pecahan kaca yang tertanam di tubuhnya tercabut—pria itu mengerang lagi. Kutatap matanya lekat-lekat saat kaca-kaca tajam itu kembali menghunusnya; sekali, dua kali, tiga kali, berkali-kali. Di lengan, perut, kepala, dada, dan kaki. Aku ingin melihatnya merasakan seperti apa rasanya disakiti dan tidak mampu melawan. Aku ingin dia paham apa yang kurasakan. Aku ingin tubuhnya juga menikmati kesakitan yang kurasa saat dia mengoyakku tadi. Aku ingin dia menderita. Aku ingin dia mati.

Suaranya seperti pisau mencincang.

Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu sampai akhirnya si monster hanya berwujud onggokan daging. Tapi aku tahu dia tidak akan menyakiti siapa pun lagi.

Kuambil sehelai pakaian dari kardus, dan kukenakan. Lalu aku melangkah keluar; darah si monster yang membanjir di lantai membasahi kaki-kakiku yang telanjang tetapi kubiarkan saja. Ini adalah bukti perjuanganku, cinderamata dari peperanganku melawan si monster jahat. Kaca-kaca yang terserak tidak menyakitiku—lagi-lagi mereka menurutiku dan bergeser sendiri, menyediakan jalan bagiku. Aku turun ke lantai bawah, dan keluar. Hujan mengucur dari langit tetapi aku tetap kering—aku tidak ingin kebasahan dan sama seperti kaca-kaca di dalam, tampaknya air ini juga mendengarkan permintaanku. Secara ajaib napasku membaik, segala kesusahan yang dirasakan tubuhku seolah ikut dikunci dalam kamar di dalam.

Di dekat pagar aku berbalik dan menatap bangunan di hadapanku.

Rumah ini. Gubuk penyiksaanku. Tempat laknat ini pun harus musnah.

Aku melihat api yang membakarku itu berembus keluar; mulanya sedikit saja, seperti bara api, tetapi langsung membesar dengan cepat. Api itu melumat dinding gubuk yang terbuat dari kayu; naik, naik dan terus naik, membumbung sampai ke puncak atap, membakar dengan ganas, sedikit pun tak terkalahkan oleh curahan hujan. Memang harus seperti ini. Aku tidak ingin ada satu pun yang tersisa. Aku ingin semuanya ludes, hangus menjadi abu sehingga tidak ada jejak apa pun pada kehidupan merana yang akan kutinggalkan ini.

Karena dengan begitu, kehidupanku yang baru akan lahir.

Warna api yang merah menutupi pandanganku. Aku tergoda untuk membakar yang lain—pagar ini, pekarangan yang tidak terurus ini, rumah-rumah tetangga di sekitar dan para penghuninya yang mulai berhamburan keluar... Maksudku, kenapa tidak? Mereka juga adalah bagian dari kehidupan lama yang tidak ingin kukenang sama sekali. Jadi, apa salahnya kalau mereka juga turut kumusnahkan. Sekalian saja. Toh aku mempunyai api ini, dan dia menuruti keinginanku. Aku tidak akan diremehkan lagi. Dengan api ini, aku siap menjadi kuat, dan aku akan membakar apa pun yang akan menyakitiku lagi.

Musnahlah!

"Jen..."

Ada suara samar-samar yang memanggilku dari kejauhan. Suara siapa itu?

Tiba-tiba aku merasa jantungku berdebar-debar—bukan karena aku bersemangat, tetapi karena sesuatu yang lain.

"Jen... tolong... kembali..."

Aku mengenalinya. Itu suara Bu Olena, guruku.

Kubelalakkan mataku lebar-lebar. Rumah yang dilalap api itu berangsur-angsur memudar, digantikan ruang kerja Kepala Sekolah. Aku tersentak. Bu Olena dan Ryu Sahara sedang berkutat menahan kedua tanganku yang teracung ke arah Pak Prasetyo. Kepala Pak Prasetyo mendongak, dia mencengkeram lehernya sendiri, dan wajahnya sudah mulai membiru. Sekonyong-konyong barulah aku sadar apa yang telah terjadi.

Kuturunkan kedua tanganku dan kutarik chi-ku kembali.

Pak Prasetyo menarik napas panjang dan terbatuk-batuk keras. Bu Olena melakukan serangkaian gerakan tangan cepat seperti sedang menari, lalu menepuk dada kiri Kepala Sekolah, tempat jantungnya berada. Kepala Sekolah membuat suara mengerikan seperti orang yang akan meregang nyawa, lalu napasnya menjadi normal kembali.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Kamu tiba-tiba mengambil alih seluruh pengendalian darah Bu Olena dan memakainya untuk mencekik Kepala Sekolah. Bu Olena sama sekali kehilangan kendali," kata Ryu, dia juga pucat pasi dan berkeringat, tetapi tampak lega. "Kamu kuat sekali, Jen. Saya tidak bisa mengganggu pikiran kamu sama sekali. Kamu memblokirnya. Dengan api..."

Api itu. Api yang dirasakan Antoinette. "Saya minta maaf. Saya nggak sadar sudah menyerang Kepala Sekolah!"

"Tidak apa-apa," kata Ryu. "Kami memang sudah mengantisipasinya. Itu bukan kamu, tetapi Antoinette. Tadi kamu menjadi dirinya saat berusia tujuh tahun."

Barulah aku menyadari apa arti pengalaman itu. Kekuatan yang tiba-tiba muncul dalam diri Toni sanggup membinasakan apa pun.

Pak Prasetyo minum segelas air lalu menatapku. Giliran aku yang dicek Bu Olena. Pengendali darah itu menyapukan tangannya ke seluruh tubuhku, dan mengembus lega.

"Kamu sudah aman," katanya. "Tapi tubuh kamu panas sekali. Darah kamu seperti mendidih, Jen. Apa kamu merasakannya?"

Aku merasa baik-baik saja. Kuceritakan pada ketiga guruku itu tentang api yang kurasakan sewaktu mendalami pengalaman Antoinette. Mendengarku, Pak Prasetyo mengangguk-angguk paham.

"Api yang kamu rasakan itu adalah chi dari Anisa," kata Kepala Sekolah. "Atau yang sekarang kita kenal sebagai Antoinette Darmawangsa."

"Anisa... jadi itu nama asli Antoinette?"

"Dia mengganti semua identitasnya setelah membakar rumahnya dan membunuh ayah tirinya," kata Kepala Sekolah.

Aku bergidik ngeri dan mengangguk mengamini. Aku menyaksikan semuanya secara langsung tadi; bukan sebagai penonton, tetapi sebagai pelakunya.

Bu Olena mengusap-usap lenganku dengan penuh perhatian. Dia juga tampak syok. Aku yakin Ryu juga membawa Bu Olena "menonton" masa lalu Toni tadi. "Jen, apa kamu menyadari bahwa awalnya Antoinette hanya pengendali kaca, tetapi apa yang terjadi padanya mengubah kekuatan pengendaliannya menjadi sesuatu yang lain?"

"Pengendalian realitas." Aku mengangguk yakin. Tanpa sadar air mataku mengalir. Rasa pedih itu masih membekas, meski api itu sudah berhenti berkobar. "Masa kecilnya penuh penderitaan. Dia miskin sekali dan menderita asma berat. Tubuhnya cuma tulang bungkus kulit. Dia juga ditelantarkan ibu kandungnya dan diperkosa sama ayah tirinya."

Ruangan itu menjadi hening. Tampaknya Pak Prasetyo sengaja memberi jeda supaya aku bisa lebih memahami apa arti pengalaman itu dalam hidup Toni. Disakiti dengan begitu kejam di usia semuda itu pasti akan menghancurkan jiwa gadis manapun—sekuat apa pun dia.

"Pengalaman itu yang membuat Antoinette mau mengubah hidupnya," kata Pak Prasetyo, menyimpulkan apa yang sedang kupikirkan. "Antoinette tidak serta merta menjadi pengendali realitas, Jen. Dan awalnya dia hanya seperti gadis tujuh tahun lainnya. Dia punya kekuatan, tetapi belum menyadarinya—waktu itu Antoinette masih pengendali kosong. Namun hidupnya yang keras membuat Antoinette menginginkan hidup yang lebih baik. Chi adalah energi kehidupan, dan energi itu merespon keinginan Antoinette supaya dia bisa tetap hidup."

"Api," sahutku. "Api itu adalah chi Toni."

"Betul," angguk Kepala Sekolah dalam-dalam. "Saya berharap kamu memahami hal ini sebelum melawannya nanti."

"Saya juga akan melakukan hal yang sama jika berada dalam posisi Toni," aku mengakui tanpa malu-malu. "Apa yang terjadi pada Toni setelah itu, Pak?"

"Saya tidak tahu banyak soal itu," jawab Pak Prasetyo. Dia kelihatan letih sekali, dan bisa kurasakan chi-nya sedang merosot. "Antoinette menutupi masa-masa 'transformasi' dirinya dengan begitu rapat, sehingga saya kesulitan mengorek semuanya. Tapi saya yakin dia bertemu dengan Lucien, dan mereka berdua berkelana sampai ke Paris, sebelum akhirnya bertemu Demian dan Denise Darmawangsa yang menjadi orangtua angkat mereka."

"Jadi Lucien bukan adik kandung Toni?" tanya Bu Olena.

"Bukan," jawab Kepala Sekolah. "Mereka bertemu sewaktu kecil. Kekuatan Antoinette menjadi asal pengendalian pasir Lucien. Chi mereka berhubungan."

"Tapi kita tak tahu pasti sampai salah satunya tertangkap," sambung Ryu.

"Betul. Jika dia tertangkap, Dewan akan mengacaukan pikiran Antoinette sama seperti yang mereka lakukan pada Anne-Marie," kata Pak Prasetyo. "Dan sudah pasti Dewan berharap kamu melenyapkan kekuatan pengendalian Antoinette."

"Apa sudah ada kabar terbaru dari Dewan, Pak?" tanyaku.

"Belum, tapi saya yakin tidak lama lagi salah satu dari kakak adik Darmawangsa itu akan tertangkap," jawab Kepala Sekolah. "Sampai saat itu tiba, saya harap kamu sudah memahami lebih banyak tentang Antoinette, Jen. Apa kamu ingat apa yang dikatakan Synthannia Thievanny pada Qara dalam mimpi kamu?"

Aku tidak mungkin melupakan mimpi itu. "Musnahkan kekuatannya, bukan pengendalinya."

Pak Prasetyo tersenyum puas. "Kamu boleh kembali ke kelas. Saya akan menghubungi kamu lagi jika sudah mendapat informasi baru."

Kutarik napas dalam-dalam dan mengangguk. "Saya mengerti, Pak."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top