5. Pengendalian Jiwa
"Iya," sahutku dalam hati. "Selama ini aku pikir Ryu-san bukan pengendali!"
"Itu kan kelebihan pengendali pikiran?" Mata sipit Ryu memancarkan kilau jahil. "Bisa membuat orang lain berpikir bahwa kami bukan pengendali."
Ya ampun, aku malu banget. Aku sama sekali tidak menyadari hal ini, padahal aku sudah pernah mengendalikan chi Anne-Marie. "Terima kasih buat infonya, Ryu-san."
"Sama-sama, Jen. Jangan kasih tahu yang lain, ya. Termasuk Carl." Ryu mengguncang salaman kami dengan lembut. "Kamu diminta pergi sendiri."
"Jen, udahan dong salamannya," Azka menyenggol pundakku sambil memberenggut. "Yang lain mau gantian nih..."
Aku cepat-cepat melepaskan jabat tangan itu karena para cewek menatapku dengan cemburu. Malah Azka yang nyerobot. Cowok itu menjabat tangan Ryu sambil cengar-cengir sendiri.
"Benar kan gue bilang?" bisik Helen Karunia pada cewek teman sekelasnya yang kacamatanya tebal sekali seperti pantat botol. "Si Azka itu gay!"
"Aku... mau permisi sebentar," bisikku pada Carl sambil mengangkat ponselku. "Arini telepon. Katanya ada urusan mendadak."
Carl mengangguk paham. Aku menyelinap dan pergi ke kantor kepala sekolah. Meredith, Tara dan Reo cuma saling pandang dengan heran. Ah, aku sebal kalau terpaksa merahasiakan sesuatu dari teman-temanku seperti ini, apalagi kalau sampai harus membohongi mereka. Tapi... ini permintaan Pak Prasetyo. Apa pun yang ingin dibicarakan Kepala Sekolah denganku, aku tahu ini pasti serius.
Dan kemungkinan besar ada hubungannya dengan Toni.
...
Setelah Pak Gino kabur, Pak Prasetyo jadi satu-satunya guru yang punya kantor di lantai dasar. Selama beliau dirawat, Bu Olena yang menempati kantor itu karena dia menggantikan tugas-tugas Pak Prasetyo. Aku sudah pernah mampir ke sana.
Di depan pintunya, aku mengetuk. Pintu dibukakan oleh Bu Olena. Dia tersenyum padaku dan menyilakanku. "Masuk, Jen."
Aku membalas senyuman Bu Olena dan masuk ke dalam. Berbeda dengan kantor Pak Gino yang super bersih dan lebih mirip klinik dokter gigi, ruangan kepala sekolah terlihat normal—seperti kantor pada umumnya.
Di kursi kepala sekolah, duduk Pak Prasetyo. Aku terperanjat melihatnya. Beliau kelihatan seolah bertambah tua tiga puluh tahun setelah tiga minggu dirawat. Tubuhnya yang semula tegap kini kurus, dan rambutnya nyaris putih semua. Luka bekas sobekan pisau kaca Toni di lehernya masih membekas, dan berwarna merah gelap, seperti terbakar.
"Jennifer Darmawan," sapa Pak Prasetyo dengan suara parau.
"Selamat pagi, Pak Prasetyo."
Beliau tersenyum simpul dan mengisyaratkanku untuk duduk di kursi tamu. Bu Olena duduk di kursi lain di sebelah sang kepala sekolah. Aku bertanya-tanya bagaimana sebaiknya menanyakan kondisi Kepala Sekolah, karena menurutku belau kelihatan memburuk, bukannya membaik.
"Nah, bagaimana kabar kamu, Jen?" sapa Pak Prasetyo. "Bu Olena sudah memberitahu saya tentang persiapan yang kalian lakukan selama liburan semester. Katanya, kalian semua bekerja keras dan membuat banyak kemajuan."
"Saya sehat, Pak. Begitulah, kami semua ingin menangkap Toni."
Pak Prasetyo terdiam sejenak. Dia mengamatiku dengan matanya yang cokelat gelap, seperti tanah basah. "Saya dengar Tara Handoko sudah bisa memajukan waktu secara sempurna, meski baru beberapa menit. Apa betul begitu?"
Aku mengangguk. Pak Prasetyo bergumam senang. "Apa Bapak merasa... sudah baikkan?"
"Seperti yang kamu lihat, kondisi saya seperti ini..." Pak Prasetyo terhenti dan terbatuk-batuk. Luka di lehernya menyala seperti tersulut api. "Nah, sebelum kita mulai, apa ada yang ingin kamu tanyakan pada saya?"
Pak Prasetyo sedang tidak memakai pengendalian jiwanya padaku, tetapi entah bagaimana caranya, kepala sekolah kami itu selalu tahu kalau aku punya masalah. Apa tersirat di wajahku? Aku bahkan belum cerita apa-apa ke Carl!
"Anu Pak..." Oke, sebaiknya aku memulai dengan yang ringan-ringan dulu. Kondisi Pak Prasetyo kelihatannya belum betul-betul prima. "Nama saya nggak ada di daftar pengumuman hasil Ujian."
Pak Prasetyo menarik napas dalam-dalam, seperti bersiap mengatakan sesuatu yang serius. "Kamu pasti sudah diberitahu kalau kamu adalah pengendali pengendali pertama yang berhasil diidentifikasi dalam tiga ratus tahun terakhir."
Aku mengangguk. Pak Yu-Tsin memberitahuku soal itu sewaktu aku baru menemukan kekuatanku sesudah Casa Poca.
"Karena pengendali pengendali itu langka, maka Dewan Pengendali tidak bisa mengklasifikasikan kekuatannya," lanjut Kepala Sekolah. "Saya bahkan menangkap kesan mereka... agak takut pada kekuatan Pengendali Utama."
Jelas, kan? Semester lalu Dewan Pengawas Pengendali sampai memenjarakanku! "Apa itu berarti... saya nggak lulus Ujian, Pak?"
Pak Prasetyo tersenyum samar. "Kata siapa?"
"Soalnya waktu Ujian, saya nggak diberi soal tertulis dan malah diminta memakai kekuatan saya untuk..." Aku teringat pada Tommy, anak kecil yang disiksa oleh si wanita berwajah seperti tikus; bagaimana Kolonel Sanders mencoba membakarku hidup-hidup, dan bagaimana aku dipaksa berduel dengan Santoso, si pembunuh. "Untuk..."
"Demonstrasi," sambung Bu Olena. "Waktu itu Dewan melakukan macam-macam ke kamu karena mau memfitnah kamu. Mustahil mereka nggak meluluskan kamu, Jen. Apalagi setelah Antoinette kabur."
Aku menelan ludah dengan getir. Jadi sekarang Dewan Pengendali bersikap manis padaku karena mereka butuh bantuanku.
"Apa masih ada yang mengganggu pikiran kamu, Jen?" tanya Pak Prasetyo.
Aku ingin cerita soal telepon Mom tempo hari, tapi... tidak, aku tidak mau membuat para guruku cemas. Mereka berharap aku bisa menghentikan Toni. Tapi ada satu hal yang kurasa akan menarik minat Kepala Sekolah.
"Minggu lalu sebelum semester dimulai, saya... bermimpi, Pak."
Pak Prasetyo hanya menatapku, memintaku untuk melanjutkan.
"Tentang seorang gadis kecil. Saya tidak kenal dia. Namanya Qara..."
Kuceritakan mimpiku dan bagaimana aku menyaksikan semuanya dari sudut pandang Qara, seolah-olah diri kami melebur menjadi satu tubuh. Bu Olena mendengarkan dengan sungguh-sungguh sementara Pak Prasetyo bergumam-gumam sendiri. Di akhir cerita, kedua guruku itu manggut-manggut.
"Jadi itu namanya..." kata Bu Olena, tampangnya takjub. "Qara. Pengendali Utama yang pertama. Kita tidak pernah tahu siapa gadis ini."
"Tenshin Daimyō memberitahu Synthannia Thievanny dan pengendali yang lain. Seluruh keluarga Qara tewas karena pasukan Mongolia membumihanguskan desanya," lanjutku. "Saya nggak tahu kenapa saya tiba-tiba mendapat mimpi itu. Saya sama sekali nggak pernah memikirkan tentang pengendali utama yang lain atau kekuatan mereka."
"Anggap saja mimpi itu sebagai bukti penugasan kamu, Jennifer," kata Pak Prasetyo. "Tenshin Daimyō dan kawan-kawan sudah memilih Qara, dan sekarang kamulah yang terpilih. Kamu dan Qara dianugrahi jenis chi yang sama. Kalian juga mendapat tanggung jawab yang sama."
Ah, pastilah begitu. "Apa Qara itu nenek moyang saya, Pak?"
"Bisa ya, bisa juga tidak. Yang pasti, kalian sama-sama Pengendali Utama. Apa kamu sudah menceritakan mimpi kamu ini ke teman-teman kamu? Tara, Meredith, Reo... dan Carl?"
"Saya masih ragu-ragu untuk cerita ke mereka, Pak."
"Itu mimpi yang menarik. Pasti teman-teman kamu tertarik."
Aku bergumam patuh. Pak Prasetyo terbatuk lagi, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Beliau seperti ingin mencakar luka robek di lehernya yang tampak terbakar itu. Bu Olena segera mengangsurkan setumpuk tisu. Ada darah di tisu itu setelah Pak Prasetyo menyeka mulutnya.
"Pak..." Sudah jelas, kondisi beliau sama sekali tidak membaik. Aku belum pernah melihat luka yang membara seperti ini. "Saya punya kenalan dokter yang bagus. Kalau Bapak mau..."
"Ini bukan luka biasa, Jen," kata Pak Prasetyo, suaranya jadi begitu parau sehingga terdengar mirip bisikan. "Saat menggorok leher saya sewaktu di festival sekolah, Antoinette Darmawangsa tidak sekedar berniat melukai saya. Dia ingin membunuh saya."
"Tapi... Bapak nggak mati. Dan lukanya sudah diobati..."
"Lukanya tidak bisa sembuh, Jen," kata Bu Olena prihatin. "Kami sudah melakukan berbagai macam cara untuk menghentikan pendarahannya, tetapi tidak berhasil. Dewan Pengendali bahkan sampai menerbitkan izin khusus untuk modifikasi masa lalu demi menyembuhkan luka ini, tetapi itu juga gagal. Antoinette tidak mengizinkan luka itu sembuh."
Toni! Gadis itu betul-betul kelewatan! "Karena dia pengendali realitas."
"Kamu benar," kata Pak Prasetyo. Beliau sedikit mendongak saat berbicara, tampaknya kesakitan sekali. "Intinya, karena gagal membunuh saya waktu itu, dia ingin saya mati perlahan-lahan."
Dengan penuh kesakitan pula! "Apa nggak ada pengobatan lain, Pak?"
Pak Prasetyo menggeleng pelan. Bahkan untuk gerakan kecil seperti itu saja, beliau meringis sambil memejamkan mata. "Tidak ada yang bisa dilakukan. Saya bisa terus dirawat di rumah sakit Dewan Pengendali dan menunggu ajal di sana dengan putus asa, atau kembali ke sekolah..."
"Tapi, Pak—"
"Tolong jangan dibantah dulu, Jen," tegur Bu Olena.
Aku mengangguk patuh dan mengunci mulutku. Pak Prasetyo melanjutkan dengan susah payah. "Selagi saya masih kuat, saya ingin memberitahu kamu soal apa yang sudah saya ketahui tentang Antoinette dan Lucien Darmawangsa..."
Aku mengangguk lagi, mengisyaratkan ke Kepala Sekolah bahwa aku mendengarkan.
"Sepertinya yang sudah kamu ketahui, saya adalah pengendali jiwa. Sekilas jenis pengendalian ini terdengar mirip pengendalian pikiran, tetapi punya perbedaan mendasar. Pengendali pikiran dapat menerobos pikiran orang, tapi pengendalian jiwa lebih rumit dari itu. Kekuatan itu dapat menyelami keinginan-keinginan terdalam orang yang bersangkutan. Seperti membaca hati nurani."
Kuberanikan diri menyela. "Saya kurang paham."
"Contohnya begini," Bu Olena mengambil alih. "Pengendali pikiran bisa melihat isi kepala Pak Prasetyo saat ini, dan tahu bahwa beliau sedang tersiksa oleh kesakitan. Namun hati nuraninya belum tentu merasa seperti itu. Pengendali jiwa akan tahu bahwa Kepala Sekolah tidak tersiksa—beliau sudah ikhlas menghadapi penderitaan ini, dan melawan kesakitannya dengan berani dan penuh harap."
"Saya bisa tahu inti jiwa seseorang," lanjut Pak Prasetyo. "Harapan-harapan terbaiknya, motivasi hidupnya, hal-hal yang dia dambakan, siapa yang dia kasihi, dan apa yang menurutnya paling berharga. Jiwa inilah yang membuat setiap orang menjadi diri mereka masing-masing. Setiap orang memiliki hati nurani yang berbeda-beda, dan ini menjadikan kita semua unik."
Aku mencoba memahami penjelasan itu. Hmm, rupanya pengendalian jiwa itu lebih abstrak dari dugaanku. "Jadi... apa Bapak sudah tahu kalau Toni berniat jahat saat dia masuk ke sekolah ini?"
"Di dalam nurani setiap orang, pasti terselip sedikit kejahatan," jawab Pak Prasetyo, matanya mengernyit menahan sakit. "Manusia makhluk tidak sempurna. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa orang tersebut akan membiarkan kejahatan menguasai hatinya, atau tetap mempertahankan kemurnian nuraninya, meski dalam situasi paling kelam sekalipun?"
Aku terdiam dan memikirkan kata-kata Kepala Sekolah. Aku juga punya pilihan untuk menjadi jahat—semester lalu, aku cemburu setengah mati pada Toni sampai pernah "tidak sengaja" berniat melukainya. Tapi aku berusaha menahan diri.
"Kalau begitu, apa Bapak punya ide bagaimana cara menghadapi Toni?"
Pak Prasetyo tersenyum kecil lalu menatapku lurus-lurus. "Satu-satunya pengendali yang bisa menaklukkan Antoinette Darmawangsa adalah kamu," kata beliau, dan mendengar itu, perasaanku tambah bergejolak. "Tapi sebelum kamu berhadapan dengan Toni, kamu harus mengenalnya lebih dulu. Yang harus kamu atasi adalah kekuatan jahat dalam diri Toni, bukan orangnya. Ini penting sekali, karena Antoinette dan pengendalian realitasnya adalah dua hal yang berbeda. Apa kamu memahami ini dengan baik?"
Aku tersentak dan teringat mimpiku. Synthannia Thievanny juga bilang begitu saat Qara berniat membunuh penjahat yang telah menyerang desanya.
"Saya harus melenyapkan pengendalian realitas Toni."
"Betul, tetapi itu bukan perkara mudah," lanjut Pak Prasetyo. "Apa kamu tahu bagaimana caranya Antoinette bisa mengendalikan realitas, Jennifer?"
"Dia memakai chi Lucien. Di Festival Sekolah, saya merasakan bagaimana chi Lucien berubah-ubah karena dikendalikan Toni."
Bu Olena menggeleng. "Bukan seperti itu, Jen. Memang betul Lucien mendapatkan kekuatannya dari Toni, tetapi yang dimaksud Kepala Sekolah adalah, apa kamu tahu asal usul pengendalian realitas?"
"Saya nggak tahu, Bu."
"Pada dasarnya, tidak ada yang namanya pengendalian realitas," sahut Pak Prasetyo. "Sama seperti anak-anak pengendali lainnya, awalnya Antoinette hanya seseorang yang bisa mengendalikan chi—kami menyebutnya pengendali kosong. Pengendaliannya baru mengambil bentuk ketika dia berusia tujuh tahun—dan bentuknya adalah pengendalian realitas."
"Jadi..." Aku mencoba menghubungkan informasi baru ini dengan apa yang sudah kupelajari di kelas Pengendalian. "Toni memilih jadi pengendali realitas?"
"Dalam sebagian besar kasus, anak-anak pengendali tidak bisa memilih kekuatan mereka. Nyaris semuanya mewarisi kekuatan mereka dari nenek moyang berdasarkan garis darah," kata Pak Prasetyo. "Tapi pengendali realitas berbeda."
"Seorang pengendali kosong bisa menjadi pengendali realitas kalau dia begitu benci dengan realita hidupnya," sambung Bu Olena. "Toni menjalani masa lalu yang sangat tragis. Luar biasa kelam, Jen. Dia sebegitu membenci hidupnya sehingga ingin mengubahnya. Hasrat menggebu itulah yang menyebabkan chi-nya mewujud menjadi pengendalian realitas."
"Mungkin kamu pernah mendengar sebutan, 'Orang jahat adalah orang baik yang tersakiti,'" kata Pak Prasetyo lagi. "Antoinette adalah orang itu."
Aku tidak tahu soal ini. Selama mengenal Toni, yang kutahu dia adalah orang berada, sama seperti anak-anak di SMA Cahaya Bangsa lainnya. Carl bilang Toni dan Lucien adalah anak angkat, namun setelah diadopsi Damien dan Denise Darmawangsa, hidup mereka sudah jauh membaik. Kecuali ada lebih banyak hal mengerikan yang terjadi pada mereka berdua, yang belum kuketahui.
"Apa yang sebetulnya terjadi pada Toni, Pak?"
"Saya akan memberitahu kamu," kata Pak Prasetyo. "Tapi dengan cara yang sedikit berbeda. Ryuichi Sahara yang akan membantu kita dalam urusan ini. Pengendalian pikirannya akan menjembatani pikiran kamu dan saya, sehingga kamu bisa 'mengintip' apa yang saya ketahu tentang Toni. Lagi-lagi saya harus meminta kamu melakukan sesuatu yang besar, Jen."
"Jen..." Bu Olena menyentuh lututku. "Ini akan sama seperti latihan-latihan kita, tetapi jauh lebih berat. Kali ini bukan hanya fisik kamu yang terbebani, tetapi juga pikiran kamu. Saya ingin kamu mempertimbangkannya dengan bijak. Kalau kamu belum yakin, Kepala Sekolah bisa menunggu..."
Pak Prasetyo terbatuk lagi. Lebih banyak darah yang keluar.
Seketika aku menyadari bahwa hidup beliau tidak akan lama lagi. Aku takut sekali, apalagi setelah melihat apa yang dilakukan Toni pada Pak Prasetyo. Tetapi sekarang bukan saatnya bersikap pengecut. Aku tidak boleh menolak tawaran ini. Sama seperti Qara, akulah satu-satunya pengendali yang bisa mengembalikan keseimbangan chi di semesta. Aku mendapat kekuatan ini karena harus menghentikan sang Pengendali Realitas.
Aku menelan ludah dan memantapkan kata-kataku. "Saya siap."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top