4. Pengumuman Ujian
Hari-hari pertama di semester baru berlangsung menyenangkan. Karena sibuk berlatih selama liburan, aku sampai lupa betapa serunya kembali ke sekolah itu. Kami memang masih dibayang-bayangi Toni, dan Mom bisa memboyongku kapan saja ke New York, tetapi bisa kembali ke sekolah itu sangat mengasyikkan sehingga aku tergoda untuk melupakan kedua masalah itu (nggak bisa lama-lama juga, sayangnya).
Selain Ryuichi Sahara, ada beberapa kejutan lain di sekolah. Well, sebetulnya bukan kejutan juga sih, karena kami sudah mengantisipasi hal ini. Yang pertama, latihan rahasia kami bersama Bu Olena dan para guru ditangguhkan untuk sementara. Sejujurnya aku tidak setuju, tetapi Bu Olena bersikukuh. Menurutnya, kami harus "menikmati masa-masa SMA kami," serta membiarkan para "orang dewasa" yang mengurus Toni dan Lucien untuk sementara waktu. Lagipula, kami akan kembali disibukkan dengan PR, tugas-tugas, dan kegiatan klub.
Kejutan kedua, Carl diangkat menjadi ketua OSIS menggantikan Toni. Ya, Toni tidak sempat menjalankan tugasnya dan keburu kabur setelah dilantik. Jadi tanggung jawab itu jatuh ke wakilnya, yaitu Carl. Lagi-lagi, sebetulnya ini bukan hal yang mengejutkan. Rasanya tidak ada yang terlalu peduli lagi pada OSIS sejak Toni kabur, tetapi toh harus tetap ada yang mengurus organisasi kesiswaan itu.
"Kamu yakin, Carl?" tanyaku saat menemani Carl ke ruang Pembina OSIS untuk mengambil surat tugas. "Tanggung jawabnya gede, lho."
Carl hanya mengangkat bahu. Sama sepertiku, dia juga kelelahan karena digembleng habis-habisan sepanjang liburan, tetapi menikmati awal semester baru ini. "Kamu bakal dukung aku terus kan, Jen?"
"Itu sih pasti."
"Ya udah. Kalau begitu aku siap."
Kuremas tangannya dan kuberikan senyuman menyemangati.
Akhirnya Carl resmi dilantik menjadi ketua OSIS. Dia bertanya ke Pembina OSIS apa boleh menunjuk langsung wakilnya, dan ternyata dibolehkan. Carl menunjuk Meredith, yang menurutku adalah pilihan tepat. Dengan segala prestasi dan kemampuan sahabat kami itu, Meredith nggak perlu lagi membuktikan dirinya pantas mendampingi Carl.
Bukan cuma Meredith yang dapat jabatan baru, tetapi pacarnya juga. Karena Billy pindah sekolah, kelas sebelas Tesla butuh ketua kelas baru. Saat Pak Leon memimpin rapat kelas di hari pertama semester, kami semua kompak memilih Reo Sahara. Reo nggak menolak atau pun menerima, dia hanya mengangguk saja.
Pelajaran-pelajaran semester ini juga berjalan seru. Para guru sepertinya sadar kami bisa kehilangan kekuatan kami kapan saja kalau Toni menyerang di luar sekolah, jadi beban PR dikurangi supaya kami nggak paranoid. Bu Nanda tidak terlalu menggerecoki gambar sistem pernapasan kami—si kembar yang bikin komik di iPad mereka alih-alih struktur paru-paru tidak ditegur sama sekali. Pak Yu-Tsin juga membiarkan kami bermain-main di kelas Pengendalian. Dia beralasan belum bisa mengajarkan kami hal baru sebelum hasil Ujian Dewan Pengendali keluar hari Jumat ini. Pak Leon memberi kami semua nilai seratus di PR Fisika yang pertama tanpa alasan jelas. Meski terkesan para guru sedang memanjakan kami, tapi aku tahu perlakuan khusus ini nggak akan berlangsung selamanya. Kata Tara, sebaiknya kami menikmatinya.
"Kalau begini terus, gue rasa mungkin nggak apa-apa juga Toni buron," celetuk Iswara saat kami sedang nongkrong di perpustakaan saat jam pelajaran kosong. Bola-bola cahaya bertebaran di sekitar hijabnya, sehingga gadis itu kelihatan seperti sedang memakai mahkota dari bintang.
"Lo yakin?" selidik Meredith. "Nothing lasts forever, Is."
Iswara hanya mencibir dan mengangkat bahu. Dari raut wajahnya, aku yakin Iswara tahu Meredith benar.
Hari yang paling ditunggu-tunggu murid kelas sebelas itu pun akhirnya tiba. Kupikir pengumuman hasil Ujian Dewan Pengendali akan diberikan secara pribadi (lewat email atau SMS). Tapi kata Pak Yu-Tsin, hasilnya akan ditampilkan di layar plasma di lobi sekolah.
Pantas saja Meredith cemas setengah mati. Bayangkan, satu sekolah bisa melihat level kekuatan pengendalian kami! Aku nggak tahu apakah ini termasuk hal yang membanggakan atau memalukan (karena bisa jadi dua-duanya).
Sejak Jumat pagi, Meredith sudah mencari macam-macam alasan supaya bisa lewat di depan lobi, padahal pengumumannya baru akan muncul pukul sepuluh, setelah istirahat pertama. Aku dan Tara menurut saja ketika Meredith meminta kami menemaninya "mengecek." Dan ternyata bukan cuma Meredith yang penasaran. Dari pengamatanku, jumlah anak yang izin ke toilet menjelang pukul sepuluh meningkat gila-gilaan.
Sekitar sembilan empat lima, saat sepertiga kelas sudah hilang karena "pergi ke toilet," Madamoiselle Geraldine akhirnya menghentikan kelas Bahasa Prancis dan memberi kami izin untuk pergi ke lobi. Kami pun berbondong-bondong turun. Rupanya kelas-kelas sebelas yang lain juga mendapat izin, karena mereka juga tumpah ruah di koridor dan berdesakan saat mengantre lift.
Tara jadi agak pucat saat melihat ada Tara kedua yang keluar dari lift. Anak-anak terbengong-bengong melihatnya.
"Gue datang dari satu jam dari sekarang," kata Tara kedua, yang ternyata berasal dari masa depan. "Hasil Ujiannya—"
"Jangan kasih tahu!" Tara membekap mulut versi masa depan dirinya sendiri. "Lo nggak boleh memodifikasi masa lalu, tahu!"
"Gue cuma mau menguatkan diri sendiri kok," si Tara masa depan berdalih.
Tara betul-betul menguatkan dirinya sendiri. Beberapa anak terkikik diam-diam melihat itu. Aku tidak tahu apa harus ikut merasa geli atau senang dengan kehadiran Tara masa depan ini. Aku tergoda untuk bertanya soal hasil Ujianku—Tara satu jam dari sekarang pasti sudah tahu hasilnya—tapi... lebih baik tidak.
Sebentar. Kalau dipikir-pikir, ini agak aneh. Bagaimana caranya Tara di masa depan mengunjungi Tara di masa lalu? Dia memang pengendali waktu, dan modifikasi masa lalu atau masa depan seharusnya tidak diperbolehkan. Tara tahu betul itu, makanya dia berhati-hati sekali memanfaatkan kekuatannya. Dan kurasa Ujian ini bukan sesuatu yang termasuk emergency. Kalau begitu...
"Jen?" Carl menyentuh pundakku. "Kamu nggak apa-apa?"
"Oh..." Lamunanku buyar. "Aku baik-baik aja, Carl."
Carl mengangguk dalam-dalam dan kembali diam. Dia memilih tidak membicarakan tentang Ujian itu denganku karena menjaga perasaanku. Meredith nggak bersama kami karena dia sudah pergi duluan ke lobi, ditemani Reo.
Obrolan anak-anak berkurang drastis saat kami sampai di lantai dasar. Begitu pintu lift terbuka, Magdalena Ratulangi langsung ambruk karena pingsan saking tegangnya. Si kembar menduplikat diri mereka dan langsung membawa Magda ke klinik yang untungnya ada di belakang lobi.
Layar plasma pengumuman yang digantung di dinding panji sekolah nyaris tak kelihatan karena kerumunan para murid kelas sebelas. Gumaman dan pekikan antusias bergema di lobi, menandakan pengumuman itu sudah terpampang.
Kira-kira bagaimana hasil Ujianku, ya?
"Ayo, Jen." Carl mengulurkan tangannya, mengajakku gandengan. Ah, pasti dia mengerti aku juga sedang kalut. Kuraih tangannya dan kami bersama-sama mendekati layar plasma itu.
Di tengah-tengah hiruk pikuk itu, lolongan Meredith membahana.
"Drama deh," gerutu Tara masa depan. "Padahal dia level empat."
Tara masa sekarang melempar tatapan membunuh pada kembarannya yang cepat-cepat tutup mulut karena keceplosan. Kami berdesak-desakkan untuk melihat layar itu dengan lebih jelas. Iswara dikelilingi selusin kupu-kupu cahaya yang dibuatnya tanpa sadar, karena hasil Ujiannya bagus. Karina melayang di udara dengan mata berbinar-binar, kekuatan gravitasinya yang lepas kendali bikin beberapa anak ikutan melayang sehingga dia harus ditarik turun oleh kekuatan gabungan Azka, Wynona, Emma, dan Hanna Hutabarat.
Setelah berhasil menyeruak di tengah-tengah kerumunan, akhirnya aku dan Carl bisa melihat sebuah daftar yang ditayangkan di layar plasma itu. Nama kami semua diurutkan berdasarkan level kekuatan dan golongan kekuatan kami: Elemental, Substansial, Organik, atau Dimensional. Tapi bukan penggolongan itu yang membuat cemas—sebagian besar anak sudah tahu mereka masuk golongan apa; level kekuatannya lah yang bikin penasaran.
Hasilnya cukup beragam. Tidak ada anak yang masuk pengendali level satu, jadi level terendahnya adalah level dua. Aku kaget karena ada lumayan banyak anak yang tergolong pengendali level dua. Setengah kelas sebelas Tesla dan mantan sepuluh Nobel masuk ke pengendali level tiga.
Aku menemukan nama Charles Johnson di sana.
"Selamat Carl!" Refleks kupeluk dia. "Kamu pengendali level tiga!"
Carl tersenyum lega dan balas memelukku. Dia tidak tampak kecewa sedikit pun. "Aku bersyukur bisa lulus Ujian itu," bisiknya di telingaku dengan nada lega. "Mengingat sebelumnya aku masih non-pengendali!"
Kami mencari nama teman-teman yang lain di daftar itu. Tara Handoko (satu-satunya Pengendali Dimensional) dan Billy Tan juga ada di level tiga, sama seperti Carl. Nama Reo Sahara baru muncul di level empat, beberapa baris di bawah Meredith Smith yang merajai daftar para pengendali level empat. Hanya ada satu nama di level lima: Antoinette Darmawangsa, dan kami nggak heran melihatnya.
Namaku sama sekali nggak ada di daftar itu.
"Nama kamu nggak ada, Jen," kata Carl yang turut menyadarinya.
"Mungkin karena aku Pengendali Utama?" kataku beralasan, padahal aku... cukup panik. Aku berharap setidaknya namaku ada di daftar itu, sekalipun masuk level dua. Aku bahkan nggak keberatan kalau namaku ditempatkan di kategori tersendiri. Keabsenan namaku itu membuatku merasa terasing.
"Iya, ya." timpal Sonja Romanov, cewek Rusia kelas sebelas Adam Smith yang ikutan pencalonan OSIS semester lalu. "Nama Jen nggak ada."
"Tapi Jen ikut Ujian, kan?" tanya Ramon. "Jen ada kok di markas Dewan Pengendali waktu itu. Gue lihat. Pakai baju tahanan."
"Itu karena Jen Pengendali Utama," Carl membantu menjelaskan. Lagi-lagi dia memahami perasaanku tanpa perlu kuberitahu.
"Tapi memangnya kekuatan pengendali pengendali itu nggak bisa diukur?" sahut Dian Kesuma, pasangan Sonja di pemilihan OSIS. "Kalau begitu, buat apa Jen ikut Ujian waktu itu?"
Supaya Dewan Pengendali bisa memfitnahku, jawabku dalam hati.
"Pokoknya kekuatan Jen itu spesial," Tara merangkulku dari belakang. Kembarannya tidak terlihat lagi, sepertinya sudah kembali ke masa depan. Meredith dan Reo bergabung, mereka membawaku keluar dari tengah-tengah kerumunan itu.
"Mungkin kita bisa tanya ke Bu Olena," usul Carl saat kami sudah agak jauh dari kerumunan. "Atau Pak Prasetyo. Beliau udah ada di kantornya."
"Banyak selamat buat kalian!" Satu sosok jangkung menghampiri kami. "Kalian semua keren! Omedetou gozaimasu!"
Ryuichi Sahara berdiri di belakang Reo dan memeluknya sampai kemeja Reo terangkat. Meredith merona. Reo otomatis mengelak, tetapi Ryu menahannya.
"Nii-san! Apa-apaan nih?"
"Lho, aku kan mau kasih selamat untuk adikku yang keren ini."
"Malu tahu! Lepasin!"
Ryu tertawa-tawa melihat wajah adiknya memerah. Perhatian para cewek langsung teralih dari layar plasma itu. Satu cowok Sahara saja sudah bikin mereka klepek-klepek, dan sekarang mereka ada dua. Di belakangku, aku mendengar Hanna Hutabarat mendesah sambil mengipasi dirinya sendiri, "Ya Allah, kalau ngasih cobaan nggak gini-gini juga kali!"
Kami semua menonton kakak beradik Sahara saling kejar dengan kocak. Ryu berbeda seratus delapan puluh derajat dari Pak Gino. Si monster kejam dan berlidah pedang, sementara Ryu konyol dan nggak tahu malu. Lagipula usianya baru dua puluh dua tahun—fresh graduate, jadi masih pantas bergaul dengan kami. Mapel Kimia sebelas Tesla yang pertama dengan Ryu baru akan dimulai setelah istirahat nanti, tetapi sebagian anak sudah tahu dia jenis guru yang asyik.
Ryu berhasil menangkap Reo dan membopongnya kembali ke tengah-tengah kami. Reo malu setengah mati, dia menjerit-jerit, "Nggak mau!" sambil menutup wajahnya dengan tangan. Wynona mengangkat ponselnya dan merekam kejadian ini, matanya melotot menatap layar tanpa berkedip. Melihat kekonyolan ini, aku jadi sedikit terhibur. Sekarang si kembar sudah mendapat tandingannya.
Setelah "memulangkan" Reo pada kami, Ryu menyalami kami satu per satu dengan hangat. Beberapa cewek sengaja bersalaman lama-lama, bahkan ada yang sampai minta selfie segala (dilayani dengan baik oleh Ryu, hanya saja dia nggak berpose cool seperti Reo saat difoto, melainkan bergaya kocak; lidah terjulur, bibir monyong, hidung mengerut, mata juling, dan yang sejenis itu). Carl dan Tara terkikik-kikik setiap kali melihat Ryu bikin ekspresi konyol. Meredith menyulap setangkai daun palem raksasa dan mengipasi wajah Reo yang sudah merah menyala karena malu dengan tingkah Nii-san nya.
Saat sampai giliranku, Ryu tersenyum. Dia mengajakku salaman.
"Halo, Jen. Bu Olena minta tolong saya untuk kasih tahu bahwa kamu ditunggu Pak Prasetyo di ruangannya," katanya tanpa membuka mulutnya.
Aku kaget setengah mati mendengar suara Ryu di kepalaku. "Eh... Ryu-san pengendali pikiran?"
Senyum Ryu melebar. "Iya. Kamu baru tahu, ya?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top