31. Keseimbangan


Semuanya berhenti.

Tubuhku seperti terjebak di salah satu titik waktu, tidak bisa maju atau mundur. Sekelilingku gelap gulita, aku tidak bisa melihat apa-apa.

Setitik cahaya muncul dari kejauhan. Redup, menyerupai nyala lilin, tetapi pelan-pelan mulai membesar. Bola cahaya Iswara? Bukan, itu sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih besar dan bertenaga.

Sinarnya berwarna kuning kemilau, seperti emas cair. Lalu cahaya itu mulai menerangi kegelapan di sekelilingku. Ada garis yang membagi dua panorama menjadi sama besar—dan di atas garis itu, sebuah busur emas besar sedang tenggelam lambat-lambat. Aku melihat warna lain: biru, seperti mata Carl, dan cokelat muda, seperti mata Lucien. Ada suara burung-burung, berkaok-kaok di udara seakan saling mengobrol, disusul bunyi-bunyian yang lain. Deburan ombak yang memecah karang. Gemerisik daun-daun yang ditiup angin. Desiran pasir di kakiku.

Aku membelalakkan mataku lebar-lebar. Aku sedang berdiri di pantai di suatu sore, saat matahari sedang terbenam.

Suasana lapangan sekolah yang kacau balau telah hilang sepenuhnya, digantikan dengan pantai ini. Aku belum pernah pergi ke pantai ini, tetapi entah mengapa semuanya terasa familier. Aku tidak merasa takut atau khawatir.

Apa ini semacam déjà vu?

"Apa kamu pernah mampir ke sini?"

Aku menoleh ke asal suara itu. Di sebelahku, berdiri seorang gadis muda. Dia memakai baju panjang seperti jubah yang pasti tidak diproduksi lagi di zaman ini; dengan hiasan bulu, manik-manik dan sulaman warna-warni di sepanjang tepi kerah, lengan, dan kakinya. Dia tidak memakai alas kaki. Kulitnya putih seperti susu, dan rambutnya yang berwarna hitam sepunggung dikepang besar-besar. Garis wajahnya dari samping tampak tegas sekaligus lembut; sorot matanya yang cokelat gelap terlihat tajam dan berhati-hati.

Kuperhatikan gadis itu baik-baik. Aku yakin usia kami sepantaran, tetapi dia memancarkan aura bijaksana yang jarang dimiliki gadis lain seumuran kami.

Seperti anak-anak yang terpaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.

"Jennifer," sapa gadis itu.

"Qara."

Nama itu meluncur begitu saja dari mulutku. Gadis di hadapanku ini belum mengenalkan diri, tapi aku tahu namanya begitu saja, seakan-akan kami ini saudara kembar yang lama berpisah dan baru bertemu kembali.

Ya, dia adalah Qara: sang Pengendali Utama yang pertama.

Qara mengangguk. "Apa kamu pernah ke sini?" dia bertanya lagi.

"Rasanya pernah... tapi aku nggak ingat."

Qara manggut-manggut. Dia menunjuk di kejauhan, ke arah tepi pantai. Ada seorang anak kecil yang memakai gaun yang bagus di sana. Anak itu sedang duduk di atas hamparan selimut, dan ada keranjang piknik serta makanan di dekatnya. Porsi makanannya banyak sekali. Posisinya membelakangi kami, sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi dari rambutnya yang panjang sebahu, aku tahu itu anak perempuan.

"Apa ini... mimpi?" tanyaku.

"Mungkin," jawab Qara misterius.

"Tapi kamu sudah mati. Kamu hidup seribu tahun yang lalu... aku melihatnya dalam mimpi aku."

Qara memiringkan kepalanya sedikit, seperti menilaiku. "Ya... dan tidak."

"Kalau begitu, pasti ini mimpi."

"Anggap saja begitu." Qara tertawa, dan tawanya mirip Meredith, dengan kikik-kikik kecil di akhirnya. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan di sini?"

"Mengobrol sama kamu?"

"Tapi kamu bilang aku sudah mati seribu tahun yang lalu, kan?"

Nah, kalau begitu ini pasti mimpi. Mana mungkin aku mengobrol dengan Qara di pantai ini dengan begitu santainya, seperti aku mengobrol dengan Tara dan Meredith? Maksudku, gadis ini adalah legenda—melihatnya saat ini di depanku terasa amat tidak nyata, seperti bertemu unicorn.

"Apa kamu kenal anak itu?" tanya Qara lagi sambil menunjuk si gadis cilik yang sedang berpiknik seorang diri.

"Tidak."

Qara mengangguk, sepertinya dia tidak terlalu mempermasalahkan jawabanku. Dia mulai berjalan mendekati anak itu. Dia menggerakan tangannya, memintaku untuk mengikutinya.

"Seharusnya aku berada di sekolah," kataku mengingat-ingat, karena kalau ini betulan mimpi, berarti aku harus segera bangun. Pertempuran sedang berlangsung, aku bermimpi di saat yang tidak tepat. "Ada pengendali realitas yang harus aku tangani."

Qara mengambil sesuatu dari balik jubahnya. "Dengan ini, kan?"

Aku terkejut sekali karena yang diambil Qara ternyata tongkat besi berujung runcing yang akan kupakai untuk menghunus Toni.

"Tongkat itu... seharusnya sudah tertusuk di tubuh Toni."

"Seharusnya," ulang Qara, menekan kata itu dengan lembut. "Tapi itu belum terjadi, karena kamu masih ragu-ragu."

Ah. Jadi Qara mengetahuinya.

Ini nggak masuk akal. Aku yakin aku sedang bermimpi, atau mungkin berhalusinasi. Tapi bagaimana bisa tokoh dalam angan-anganku ini mengetahui persis apa yang kupikirkan? Bukankah Qara hanya imajinasiku?

"Aku harus melakukannya. Semua orang sudah kepayahan menahan Toni. Kalau aku nggak membunuhnya, dia yang akan menghabisi kami semua."

"Tapi kalau kamu menusuk lawanmu dengan tongkat ini..." kata Qara sambil menimbang-nimbang tongkat itu, "maka kamu akan menjadi pembunuh."

"Ya," aku mengaku. "Aku nggak mau melakukan itu."

Qara diam dan berhenti. Dia menatap lurus ke depan. Si anak kecil yang sedang piknik itu masih jauh, padahal kami sudah berjalan cukup lama. Seolah-olah jarak yang kami tempuh sedari tadi tidak berkurang sedikit pun.

"Jenderal Liong Zhang membumihanguskan desaku," kata Qara tiba-tiba. "Dia dan pasukannya membunuh semua orang, termasuk keluargaku. Aku selamat karena aku bersembunyi di pegunungan ketika serangan itu terjadi. Saat menyaksikan kebrutalan mereka, aku bersumpah untuk membalas dendam. Aku tidak tahu bagaimana caranya; waktu itu aku hanya berkeliaran ke kota terdekat, tapi seluruh negara kami diserang habis-habisan oleh pasukan Jenderal Zhang. Tidak ada yang menolongku, aku hampir tewas kelaparan karena sudah tidak makan berhari-hari. Namun akhirnya aku bertemu dengan Pendeta Daimyō."

"Lalu Tenshin Daimyō dan yang lainnya memberimu kekuatan mereka," lanjutku, teringat pada mimpiku.

"Ya. Pendeta Daimyō adalah pengendali dimensi, dan dia sudah melihat di masa depan tentang kehancuran yang menanti seandainya Jenderal Zhang tidak dihentikan..." lanjut Qara, tatapannya menerawang ke arah laut. "Jenderal Zhang adalah pengendali petir, dan dia sangat hebat sehingga dijuluki Sang Naga dari Selatan. Waktu itu aku belum tahu tentang kekuatan pengendalian, tetapi aku sering mendengar desas-desus tentang sang Jenderal. 'Dia menguasai sihir,' begitu kata orang-orang, 'petir sekalipun tunduk padanya.'

Jenderal Zhang juga bersekutu dengan beberapa jenderal lain yang haus kekuasaan, dan mereka juga pengendali. Dengan gabungan kekuatan yang dahsyat dan pasukan yang mencapai lima ratus ribu orang, tidak ada seseorang pun yang berani melawan sang Jenderal, baik pengendali maupun non-pengendali. Saat itu Pendeta Daimyō menyadari bahwa mustahil mengalahkan Jenderal Zhang seorang diri, tetapi tidak mustahil jika beberapa pengendali bekerja sama. Singkat cerita, aku menerima anugerah chi, dan menjadi pengendali pengendali yang pertama."

Kengerian peristiwa seribu tahun yang lalu itu berkelebat di mata Qara. Aku hampir bisa melihat sosok sang Jenderal: pria tinggi besar dengan baju zirah berwarna merah, sorot matanya tajam seperti seekor naga. Tapi kenapa Qara menceritakan ini padaku?

"Lalu apa yang terjadi, Qara?"

"Setelah menjadikanku pengendali, Pendeta Daimyō dan yang lainnya melatihku," kata Qara. "Mereka melatihku selama dua tahun. Kurasa, alasan mereka melatihku selama itu adalah karena Synthannia Thievanny pernah membaca pikiranku. Dia pernah melihat keinginanku untuk membalas dendam, dan tahu bahwa niat itu akan membawa malapetaka, apalagi jika aku dianugerahi kekuatan pengendali pengendali...

Tapi aku berusaha memendam hasratku untuk membalas dendam. Pendeta Daimyō mengajariku cara meditasi untuk mengosongkan diri dari hasrat-hasrat duniawi. Selama dua tahun, aku berhasil mengontrol keinginan balas dendam itu. Niatku berubah, dari yang awalnya ingin membalaskan kematian keluargaku, menjadi keinginan untuk menegakkan keadilan. Akhirnya aku menyatakan diriku siap untuk bertempur. Waktu itu Synthannia Thievanny sudah tidak bisa membaca pikiran lagi. Dia dan yang lainnya mempercayaiku, dan mereka membantuku untuk bertemu Jenderal Zhang...

Kami bekerja sama dengan pihak oposisi yang ingin mengalahkan sang Jenderal. Ada banyak pengendali dalam kelompok itu, dan aku memakai kekuatanku untuk meningkatkan kemampuan mereka. Berkat bantuanku, kami berhasil memukur mundur pasukan sang Jenderal. Desas-desus tentang gadis yang bisa melipatgandakan kekuatan pun beredar, hingga akhirnya sampai ke telinga Jenderal Zhang. Sang Naga dari Selatan mengundangku datang ke istananya untuk berduel.

Aku menyanggupi tantangan itu. Sang Jenderal dengan pongahnya merasa dia tidak mungkin dikalahkan seorang gadis kecil, dan semua orang pun menganggap begitu. Tantangan duel itu lebih mirip lelucon, mereka yakin Jenderal Zhang akan membunuhku dalam sekejap. Namun sebelum berangkat duel, Synthannia mengingatkanku untuk tetap pada tujuanku, yaitu memunahkan kekuatan sang Jenderal, bukan membunuhnya.

Tapi ketika aku berhadapan langsung dengan Jenderal Zhang di istananya, aku jadi teringat pada anggota keluargaku yang sudah dibantainya. Kuingatkan dia tentang perbuatannya. Bukannya menyesal, sang Jenderal malah mengakui dia menikmati saat-saat mencekik adik-adikku, memerkosa ibuku, menguliti ayahku hidup-hidup, dan membakar desa kami..."

Kata-kata Qara terputus. Dia membuang napas dengan berat, menutup matanya dan tertunduk.

"Apa kamu... membunuhnya?"

Qara menelan ludah dengan getir dan mengangguk.

"Melihat sikap sang Jenderal, diriku dikuasai amarah. Keinginan untuk membalas dendam itu kembali menggelora. Lewat teknik kuncian tubuh yang kupelajari dari Pendeta Daimyō, aku melumpuhkan sang Jenderal dan mencabut kekuatannya. Jenderal Zhang masih belum juga mengakui kesalahannya, dia menyebutku pelacur kecil dan pantas mati juga seperti ibuku. Aku kehilangan kendali. Tanpa sadar, aku memakai kekuatan seorang pengendali logam untuk menerbangkan sebilah pedang, dan menebas leher sang Jenderal..."

Begitu rupanya.

Aku tahu persis apa yang dimaksud Qara. Aku beberapa kali merasakan perasaan lepas kendali seperti itu semester lalu, saat cemburu pada Toni.

Anehnya, Qara tidak terlihat lega. Gadis itu masih tertunduk, seperti menyesal.

"Tapi bukankah kalau Jenderal Zhang mati, kedamaian akan kembali?"

"Semula kupikir begitu, tapi aku salah," Qara menggeleng kuat-kuat. "Justru pasukan sang Jenderal marah besar dan melakukan serangan yang lebih gila lagi. Mereka membunuh Pendeta Daimyō dan yang lainnya..."

Oh, astaga. Aku tidak sanggup berkata-kata.

"Aku terlalu syok akibat perbuatanku. Setelah sang Jenderal mati, aku tidak merasa tenang. Justru sebaliknya, aku merasa... hampa." Qara menggerak-gerakan tongkat di tangannya dan menggambar sesuatu di atas pasir. "Aku kabur dari kota dan pergi mengasingkan diri di pegunungan. Aku tetap tinggal di sana sampai usiaku tujuh belas tahun, dan tidak pernah mengendalikan lagi. Kekuatan pengendalianku melemah karena bertahun-tahun tidak pernah diasah, dan suatu hari, seekor harimau yang kelaparan menemukanku..."

Qara terhenti. Sebutir air mata meluncur ke pipinya yang putih.

Itu akhir yang sangat mengenaskan. Aku tidak menyangka Pengendali Utama yang pertama ternyata bernasib tragis seperti itu. "Tapi... kenapa?"

"Tindakanku yang membunuh Jenderal Zhang justru telah mengacaukan keseimbangan energi di semesta." Qara menunjuk gambar yang telah dibuatnya di atas pasir. "Apa kamu tahu gambar ini?"

"Ya. Itu lingkaran yin dan yang."

"Lingkaran ini adalah simbol keseimbangan. Seharusnya ada dua warna dalam lingkaran ini: hitam dan putih." Qara menunjuk dua sisi lingkaran. Karena digambar di atas pasir, lingkaran itu tidak berwarna, tetapi aku sudah sering melihatnya. "Warna putih atau yin, adalah simbol dari cahaya. Yin melambangkan sifat-sifat terbaik dalam diri manusia: cinta, welas asih, keberanian, kesetiaan, dan kebijaksanaan. Sedangkan yang, si warna hitam, adalah lambang kegelapan. Ia menjadi lawan dari semua sifat kebajikan yin: ketamakan, kelicikan, amarah, dan dendam kesumat..."

Lalu Qara berlutut dan menyapu salah satu sisi dengan tangannya.

"Yang kulakukan adalah meniadakan yang. Jenderal Zhang mewakili kegelapan, dan dengan membunuhnya, aku telah menghapuskan kejahatan dari lingkaran kosmik ini. Sekarang, semuanya tidak lagi seimbang."

"Tapi..." Kuamati gambar itu. "Bukankah bagus kalau kebaikan yang mendominasi? Bukankah itu kehidupan ideal yang diharapkan semua orang?"

"Kupikir juga begitu, tetapi aku melupakan satu hal..." Qara menunjuk lingkaran hitam kecil di dalam area yin. "Sebaik-baiknya seseorang, dia tetaplah tidak sempurna. Lingkaran hitam di area putih ini melambangkan sifat jahat yang ada dalam diri setiap orang. Tidak ada manusia yang seutuhnya baik dan bajik." Qara menggambar ulang bagian yang dihapusnya tadi. "Begitu juga dalam diri mereka yang kita anggap jahat dan culas: sekeji apa pun orang-orang itu, pasti selalu ada setitik kebaikan dalam diri mereka."

Tubuhku gemetar mendengar penjelasan itu.

"Keadilan berarti memberi penghargaan terhadap orang yang baik, dan menghukum yang jahat. Namun keadilan berbeda dengan keseimbangan..." Qara mempertegas garis seperti huruf S di tengah-tengah lingkaran. "Keseimbangan berarti menerima bahwa cahaya dan kegelapan akan selalu berdampingan; seperti siang dan malam, matahari dan bulan, laki-laki dan perempuan. Keduanya bisa tetap berjalan bersama-sama, selama porsi salah satunya tidak melebihi yang lainnya. Dan inilah tugas kita sebagai Pengendali Utama: menjaga keseimbangan energi di semesta, bukan menghilangkan salah satunya. Kita adalah para Hakim yang diciptakan untuk menjaga harmoni yang sakral ini, bukannya menjatuhkan hukuman atau memberi penghargaan."

Menjaga keseimbangan energi di semesta.

Menjaga harmoni yang sakral.

Tampaknya selama ini aku salah memahami peran "Hakim" itu.

"Seringkali kita dihadapkan pada pilihan yang sulit," Qara menyerahkan tongkat logam itu padaku. "Ketika melihat orang-orang yang kita sayangi dilukai, bahkan dibunuh, maka sebagai manusia kita pasti ingin membalas dendam. Atau memakai kekuatan kita untuk menghukum penjahatnya. Tapi sebagai Hakim, kita dituntut untuk bersikap lebih dari itu." Qara meraih tanganku, dan mengatupkannya di dadaku. "Di saat-saat seperti inilah nurani diuji: apa kamu sanggup mengutamakan belas kasih dan pengampunan di atas keadilan serta pembalasan dendam? Karena dalam kegelapan yang paling gelap sekalipun, pasti ada cahaya, sekalipun redup. Nah, apakah kamu melihat cahaya yang redup itu, atau kegelapan di sekitarnya?"

Perasaanku bergetar. Tanpa sadar, air mataku tumpah.

"Aku hanya melihat kegelapan dalam diri Jenderal Zhang, sehingga membunuhnya," kata Qara. Tangannya terasa hangat, seperti sedang menyalurkan tenaga dalam padaku. "Aku membayar harga yang mahal karena kekeliruan itu. Aku masih sangat muda sewaktu dibentuk sebagai Pengendali Utama, sehingga belum bijaksana. Tapi kamu berbeda, Jennifer."

Air mataku bercucuran semakin banyak. Gelombang emosi menghantamku. Sambil berpegangan tangan, kami saling tatap: aku dan gadis yang hidup seribu tahun yang lalu ini. Tiba-tiba aku merasakan kedekatan yang begitu magis dengan Qara. Aku bisa merasakan kepedihannya, dukacitanya, kemarahan, sekaligus penyesalannya. Aku memahami apa yang dia pikirkan, rasakan dan harapkan. Seketika semuanya menjadi masuk akal: Qara bukan hanya Pengendali Utama, tetapi dia juga bagian dari diriku—chi yang mengaliri tubuhnya satu milenium yang lalu juga mengalir dalam tubuhku saat ini. Chi yang dia dapatkan dari pengorbanan  Tenshin Daimyō, teman-temannya, serta para sahabatku.

Hidupku hari ini adalah kesempatan kedua atas hidupnya. Kesempatan kedua untuk mengambil keputusan yang lebih bijak, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Qara.

Kesempatan untuk menjaga harmoni semesta.

"Lihat..." Qara melepaskan tangannya dariku dan menunjuk ke pantai.

Aku menoleh ke arah yang ditunjuknya. Anak kecil yang sedang berpiknik itu sudah menghilang, dan aku merasa tubuhku tersedot ke depan. Sekonyong-konyong tepi pantai itu menjadi sangat dekat. Selimut yang lembut menyapu kakiku, dan aku bisa mencium aroma makanan-makanan yang lezat dari keranjang piknik di sebelahku.

Kutatap kedua tanganku. Tongkat besi itu masih ada di genggaman tangan kananku, tetapi pakaianku sudah berubah: aku mengenakan gaun sutra indah dengan renda-renda yang cantik. Ini seperti baju anak yang sedang piknik tadi. Tubuhku terasa menyusut—atau memang sudah seperti ini dari tadi? Entahlah. Tiba-tiba saja aku telah menjelma menjadi si anak kecil yang sedang berpiknik.

Aku menoleh ke belakang untuk mencari Qara, tetapi gadis itu sudah menghilang.

Suara batuk seseorang menyadarkanku.

Beberapa meter di depanku, sesosok tubuh baru saja terdampar di pantai. Aku berlari dan mendekati sosok itu. Seorang gadis kecil sedang bertelungkup di atas pasir, wajahnya tertutup rambutnya yang basah dan kotor oleh pasir.

"Hei..."

Kuguncang tubuhnya dan kubalik dia dengan hati-hati. Kuusap rambut yang berantakan dan kubersihkan pasir yang melumuri wajahnya.

Gadis kecil itu terbatuk-batuk lagi. Air laut menyembur dari mulutnya. Dia membuka matanya, dan sekonyong-konyong, tatapan kami bertemu. Pemahaman menyerbuku seperti ombak. Aku kenal gadis ini, aku pernah bertemu dengannya dua kali.

Pertama, aku menjadi dirinya. Yang kedua, aku melihatnya dari sudut pandang orang lain, saat memasuki kenangan seseorang.

"Anisa..."

Gadis cilik itu terbelalak. Matanya bergulir ke tongkat besi yang masih kupegang dari tadi dan dia memejamkan matanya lagi.

"Lakukan saja secepatnya," katanya dengan serak. Dia mulai menangis, air matanya bercampur dengan butir-butir air laut di wajahnya. "Tolong. Aku siap."

Tidak.

Mengikuti suara hatiku, kulempar tongkat tajam itu ke arah laut. Ombak segera menelannya, dan menyeretnya pergi. Lalu kupeluk gadis cilik itu. Dia terbelalak karena pelukanku, dan isak tangisnya menghebat.

"Kenapa..." katanya dengan suara bergetar. "Setelah semua yang aku lakukan..."

Tidak.

Pasti masih ada kebaikan dalam dirinya, aku tahu itu dengan pasti. Aku tidak akan membiarkan kegelapan yang selama ini menguasainya membutakanku. Aku sudah berjanji pada seseorang: aku tidak akan meninggalkannya dalam kegelapan itu seorang diri. Aku akan membawanya kembali ke dalam cahaya, supaya dia tidak kesepian lagi.

Kulepaskan pelukanku dan kuraih wajahnya dengan kedua tanganku. "Karena kamu temanku juga."

Gadis itu terisak-isak, kepedihan dan haru bercampur menjadi satu dalam isakannya. Dia meemberanikan diri merangkulkan tangannya ke pundakku, dan balas memelukku erat-erat.

"Terima kasih."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top