3. Guru Baru


Aku berusaha menahan kuap saat keluar dari mobil. Arini melirikku, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. Aku sudah minum dua cangkir kopi saat sarapan, dan Arini cukup bijaksana tidak merekomendasikan cangkir yang ketiga. Bisa-bisa maag-ku kumat.

Hari Senin. Semester baru. Halo SMA Cahaya Bangsa!

"Saya akan stand-by di sini," kata Arini saat aku menutup pintu mobil (hari ini limusin lagi, karena aku terlalu mengantuk untuk menyetir sendiri).

"Nggak perlu, Arini. Kamu pulang aja."

Arini hanya diam, tapi aku tahu dia tidak akan beranjak dari parkiran itu. Arini mencemaskanku. Dia yang mengantarku latihan sepanjang libur semester kemarin—nggak seperti Mom, Arini tahu persis betapa kerasnya aku berusaha, dan mendukungku habis-habisan. Pokoknya Arini is the best and I looooove her so much!

Banyak mobil baru di parkiran. Kuperhatikan Tesla sepertinya jadi merk paling favorit semester ini. Emma termasuk yang nyetir Tesla model terbaru—dia baru lulus ujian SIM-nya minggu lalu dan kami semua menyelamatinya (di-announce di grup LINE anak-anak eks sepuluh Nobel). Dan Wynona yang merupakan sahabat karib Emma, juga beli mobil yang sama. Rupanya mereka janjian ke dealer minggu lalu.

Mobil kedutaan Inggris yang mengantar Carl berhenti di ujung parkiran. Aku ingin menghampirinya, tetapi ada yang menyenggol lenganku.

"Lo melihat ada yang aneh nggak?" seloroh Tara tiba-tiba. Blazer-nya baru, karena yang lama sudah robek saat kami latihan, dan rambutnya yang bergelombang dikuncir ekor kuda.

Aku menguap. "Banyak Tesla?"

"Lo bete ya karena mereka pada pilih Tesla, bukannya Helix?"

"Enggak, biasa aja. Mobil Helix memang nggak dijual di Indonesia, kan?"

Tara mencubit lenganku dengan gemas. "Perhatiin lagi! Yang teliti dong!"

"Kasih tahu aja, sih!" Aku terlalu mengantuk untuk memikirkan hal-hal yang kurang penting. Kapasitas otakku hanya tersisa untuk menyimak pelajaran hari ini. "Kenapa lo sok-sokan misterius begini?"

Tara mencebik. "Mobil Reo nggak ada."

Aku memindai seisi parkiran. Honda Supra merah milik Reo nggak tampak. Oke, ini nggak biasa. Biasanya Reo memarkir mobil seharga dua milyar miliknya itu di dekat Audi punya Billy (yang juga udah nggak ada, karena Billy pindah. Uuh, aku jadi sedih, nih!).

"Mungkin Reo ganti mobil?" usulku.

Tara memutar matanya. "Tanpa bilang ke kita?"

"Ngapain juga Reo harus lapor ke kita kalau dia mau ganti mobil?"

"Tapi harusnya Reo kasih tahu Meredith, dong?" Tara menarikku mengitari parkiran. "Mereka kan udah jadian. Dan Meredith seharusnya bilang ke kita—"

"Meredith seharusnya bilang apa?"

Aku dan Tara berbalik bersamaan. Meredith berdiri di belakang kami sambil bersedekap. Alis kirinya terangkat dan matanya memicing. Dari ekspresinya saja aku tahu mood sahabat kami itu sedang nggak baik.

"Reo ganti mobil," kataku, dengan nada menyudahi.

Meredith mendesah dan ikut-ikutan memutar mata seperti Tara tadi.

"Jadi benar, Dith?" sergah Tara antusias. "Reo ganti mobil apa?"

"Itu nggak penting," tukas Meredith. Ada semak berduri yang mencuat dari belakang kerah blazer-nya, mengkonfirmasi kecurigaanku tentang mood-nya.

"Ya jelas penting, lah!" Tara ngotot, dan aku bersiap mendengar adu mulut khas hari Senin antar kedua sahabatku ini. "Kita jadi... ehm... nggak tahu Reo parkir di mana."

Astaga Tara. Kita tinggal tanya ke Reo nanti, kan? Mendingan lo jangan memancing amukan Mother Earth pagi-pagi begini.

"Gue heran sama elo berdua!" bentak Meredith. "Memangnya nggak ada hal lain yang lebih penting buat dibahas pagi ini, apa?"

Nah, lihat kan? "Toni sama Lucien yang belum tertangkap?"

"Jen, please. Lo jangan bikin gue tambah stres."

Seharusnya aku yang stres, Meredith!

"Lo stres karena apa, sih?" Tara melotot. "Semester kan baru dimulai. Kita belum dapat PR, nilai-nilai PR lo semester kemarin bagus semua, plus lo dapat pacar baru. Dan bukan cowok biasa pula, tapi Reo Sahara, cowok paling keren nomor dua di sekolah ini setelah Lucien Darma"

Buru-buru kuinjak kaki Tara untuk menyetopnya. Meredith kan paling benci jadi nomor dua, masa Tara nggak sadar soal itu?

"Gantengnya Carl kayaknya belum bisa dibandingin sama Reo deh, Jen..." sahut Tara, jelas-jelas nggak paham kode dariku tadi. "Tapi mungkin Carl masih bisa masuk sepuluh besar, lah. Nggak apa-apa, kan?"

Huh. Seharusnya kuinjak kaki Tara lebih keras!

"Gue lagi mikirin hasil Ujian Dewan Pengendali!" kata Meredith akhirnya. "Hasilnya keluar minggu ini! Lo berdua nggak deg-degan apa?"

Ah. Ujian yang itu. Aku nggak pernah memikirkannya. Ujianku waktu itu kacau balau. Ditambah perlakukan Dewan padaku semester lalu, aku sama sekali nggak peduli lagi pada Ujian itu.

"Alah, paling lo level lima!" tukas Tara menggampangkan.

"Gue nggak yakin!" Meredith meremas tali tasnya, matanya berkaca-kaca. "Di soal terakhir, gue diminta menumbuhkan kol, tapi gue malah bikin kubis!"

"Bukannya kol sama dengan kubis?" tanya Tara.

Meredith mencak-mencak dan kabur ke barisan. Tara mengejarnya untuk minta maaf. Aku hanya tertawa melihat tingkah kedua sahabatku itu.

"Good morning."

Carl muncul dan menyapaku. Kubalas sapaannya. Dia menjulurkan tangan, mengajakku untuk bergandengan. Kugandeng lengannya. Lengannya jadi lebih kokoh setelah dua minggu kami berlatih, dan aku suka itu.

"Meredith kenapa?" tanya Carl sambil memelototi ranting-ranting berduri yang sudah bergerumbul di belakang kerah blazer Meredith.

Kuceritakan ketakutan Meredith soal Ujian Pengendali. Carl juga tertawa mendengarnya. Kami berdua sama sekali tidak ragu Meredith akan masuk ke kategori pengendali level lima, terlepas dia bisa atau enggak menumbuhkan kol. Terkadang ambisi Meredith memang bikin dia jadi paranoid.

Kami terus ke barisan. Karena bertemu hampir setiap hari selama libur semester, tidak ada hal baru yang bisa kubicarakan dengan Carl.

"Omong-omong, Reo ganti mobil, ya?" tanyaku, teringat keabsenan mobil Reo di parkiran. Sejak Billy pindah, Reo jadi lebih banyak menghabiskan waktu dengan Carl.

"Oh, enggak." kata Carl sambil menunjuk Reo. Cowok itu menjulang di barisan anak laki-laki, tampak glowing seperti biasa, meski ekspresinya agak cemberut. "Reo sekarang bareng kakaknya."

"Reo diantar jemput kakaknya?" Kami sudah beberapa kali bertemu kakak laki-laki Reo, tapi nggak tahu namanya karena Reo hanya memanggilnya dengan sebutan Nii-san (bahasa Jepang untuk kakak—akibatnya kami jadi ikut-ikutan memanggil kakak Reo dengan sebutan itu). "Memangnya mobilnya kenapa?"

Carl tidak sempat menjawab karena Bu Olena sudah naik ke podium. Hari ini tidak ada Pak Prasetyo. Bu Olena rutin mengabari kami tentang kondisi kepala sekolah, tetapi kami belum melihatnya lagi. Beliau juga tidak boleh dibesuk. Bu Olena selalu bilang kondisi Pak Prasetyo "membaik."

 Upacara bendera pun dimulai. Bu Olena yang jadi inspekturnya. Kami mengikuti dengan khidmat. Aku agak menyesal kenapa nggak minum kopi lagi sebelum berangkat.

Untungnya langit pagi ini agak mendung. Kuperhatikan mood anak-anak juga ikutan "mendung." Biasanya di awal semester kami semua bersemangat. Aku bisa memakluminya. Bukan hanya aku yang khawatir, tetapi semua murid di SMA Cahaya Bangsa. Beberapa wajah menghilang dari barisan kelas-kelas yang lain—Billy bukan satu-satunya murid yang pindah. Desas-desus tentang siapa saja yang pindah menjadi hot topic di grup LINE kami sepanjang libur semester. Melihat secara langsung bahwa desas-desus itu benar, membuat kami makin nelangsa.

Ditambah lagi, ada kemungkinan aku bergabung dalam kelompok anak-anak yang pindah itu. Aku sudah memohon sama Arini, dan asisten Mom itu ada di pihakku. Tapi tetap saja... kalau Mom bilang aku sudah harus kembali ke New York, hanya Tuhan yang bisa menghentikan ibuku. Semoga terjadi mukjizat. Aku nggak bisa balik ke New York, setidaknya sampai Toni tertangkap.

Fanny Subekti, pengendali air kelas sepuluh yang kekuatannya dilenyapkan Toni semester lalu, berdiri agak bungkuk di bagian belakang barisan kelasnya. Para guru sudah berusaha mengembalikan kekuatan Fanny, tetapi belum berhasil. Aku salut karena cewek itu masih tetap bersekolah di sini, meski sekarang berstatus sebagai non-pengendali. Sempat ada isu miring yang menuduh Fanny playing victim—katanya dia menikmati "popularitas" menjadi korban Antoinette Darmawangsa, tetapi aku kurang mempercayainya. Fanny kelihatan risau dan aku mengerti perasaannya; waktu di kelas sepuluh, aku juga seorang non-pengendali. Menjadi seorang non-pengendali di sekolah yang penuh terisi oleh pengendali rasanya seperti naik motor di jalan tol (kurang lebih seperti itu, aku juga nggak pernah mencoba naik motor di tol).

Upacara bendera akhirnya selesai. Saatnya pengumuman.

"Selamat pagi," sapa Bu Olena, dan dijawab dengan lesu oleh kami semua. Bu Olena tidak protes—biasanya dia kurang suka kalau kami lesu seperti ini.

"Selamat datang di semester baru. Saya yakin kalian sudah bertanya-tanya kapan Pak Prasetyo akan kembali ke sekolah," lanjut mantan wali kelasku itu. "Saya punya kabar baik: beliau sudah ada di kantornya saat ini. Karena sedang dalam masa pemulihan, Pak Prasetyo belum bisa ikut apel pagi bersama kita, tetapi sudah bisa ditemui oleh mereka yang betul-betul berkepentingan saja."

Bu Olena memberi penekanan yang sangat keras di beberapa kata terakhir itu. Matanya sedikit melirik ke arahku—betulan, nih? Atau cuma perasaanku saja?

Anak-anak mulai berbisik-bisik seperti biasa. Ini berita bagus! Selama ini kami semua waswas akan kondisi Pak Prasetyo. Bu Olena berdeham di mik, meminta perhatian kami kembali.

"Jadwal mata pelajaran semester baru sudah dikirim ke email masing-masing, jadi silakan dicek. Casa Poca masih ditiadakan, untuk alasan keamanan. Omong-omong soal keamanan, mulai semester ini sekolah kita akan dijaga oleh satgas dari Dewan Pengendali..." Bu Olena mengedik pada beberapa pria berseragam serba hitam yang tiba-tiba muncul dari sudut-sudut lapangan. "Tidak perlu khawatir, ini untuk keamanan kita semua. Kalian sudah tahu apa yang terjadi semester lalu, jadi saya tidak akan menjelaskan lagi. Dewan Pengendali menjamin keselamatan kalian selama berada di lingkungan sekolah. Mereka berupaya supaya tidak ada lagi pengendali yang kekuatannya dihilangkan. Betul begitu, bapak-bapak?"

Orang-orang bertampang serius itu mengangguk kaku.

Bisik-bisik di antara para murid semakin heboh. Para satgas Dewan sudah mendapat cap buruk oleh kami semua, karena huru-hara yang mereka timbulkan di sekolah semester lalu. Entah siapa yang menyebarkan cerita pembobolan penjara Dewan waktu itu (banyak yang menyebut-nyebut si kembar), tetapi yang pasti semua anak sudah tahu kejadiannya. Apalagi setelah semua kejahatan Toni Darmawangsa terbongkar dan namaku dibersihkan, anak-anak jadi tambah benci pada Dewan Pengendali.

"Dan yang terakhir, saya ingin mengenalkan guru baru..." kata Bu Olena.

Dari bagian belakang, seorang cowok tinggi kurus melangkah ke podium. Hampir semua murid cewek memekik bergairah, kecuali aku, Meredith, dan Tara. Jelas cewek-cewek itu antusias—guru yang ini masih sangat muda, hanya terpaut empat tahun lebih tua dari kami. Anak-anak mantan sepuluh Nobel kenal betul siapa guru baru ini. Dia membantu kami mengerjakan ratusan soal balas dendam permintaan Pak Gino waktu itu. Kami memanggilnya dengan sebutan Nii-san.

Reo mendesah dan tertunduk, telinganya merah sekali.

"Masih belum ada kabar soal Pak Gino, sehingga pihak sekolah sudah mencarikan penggantinya. Ryuichi Sahara akan mengambil alih kelas Kimia mulai hari ini," kata Bu Olena. "Ryu... maksud saya, Pak Ryuichi, mau kasih sambutan?"

Ryu maju ke depan mik dan mengetuknya sedikit. Dia tersenyum lebar, matanya berbinar-binar. "Terima kasih kepada Pak Prasetyo, Bu Olena, dan bapak ibu guru yang lain, karena sudah menerima saya di sekolah ini. Saya berjanji akan membuat kelas Kimia jadi menyenangkan! Mohon bantuannya!"

Ryu membungkuk dan kami otomatis balas membungkuk sebelum bertepuk tangan dan bersuit-suit. Kelegaan yang luar biasa terpancar dari wajah anak-anak—baik yang mengambil kelas Kimia maupun enggak. Kami tidak merindukan si monster, dan sekarang dapat pengganti yang jauh lebih bagus.

Akhirnya ada satu hal baik setelah rentetan bencana yang telah kami lewati. Kurasa, semester ini akan jadi lebih menggairahkan dari sebelumnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top