26. Kesempatan Kedua


Tidak. Apa jangan-jangan...

Aku membungkuk dan menyentuh lengan Pak Gino. Tubuhnya masih hangat, tetapi beliau sudah tidak bereaksi. Baru lima menit yang lalu Pak Gino meninggalkan teras. Belum sampai dua menit saat bel itu berbunyi, Pak Gino pasti yang membukakan pintu itu.

"Pak Gino..."

"Dia sudah mati."

Brengsek!

Aku berbalik dan melihat Alice alias Toni sedang duduk berselonjor di sofa, seperti berada di rumahnya sendiri. Dia memakai celana panjang ketat warna hitam, dan jaket kulit yang juga berwarna hitam. Rambut model pixie-nya kini punya highlight merah di sana-sini, seperti lidah-lidah api. Melihat penampilannya, aku jadi teringat pada Catwoman.

"Gimana caranya kamu menemukan kami, Toni?"

Toni bangkit dengan hati-hati, gerakannya lagi-lagi mengingatkanku pada kucing yang baru bangun tidur. Gadis itu mengangkat tangannya. Kulihat ada dua kepingan kaca kecil yang berputar-putar di ujung jarinya, seperti meteor-meteor mini. Dan kaca-kaca itu berwarna merah, ternoda darah.

"Kalian orang-orang yang licik..." Toni menjilat bibir dan mendekatiku. Aku refleks mengambil jarak darinya. "Kalian memanfaatkan ilusi yang belum solid ini, lalu memodifikasinya. Seharusnya Tara si pengendali dimensi sialan itu juga turut kulenyapkan tapi... hmm... aku terlalu meremehkan kalian. Apa ya istilahnya?" Dia mengembus seperti orang mengembuskan asap rokok. "Kesalahan seseorang adalah keuntungan bagi lawannya? Kupikir setelah kekuatan kamu dimusnahkan, kamu bakal menyerah, Jen."

Aku harus mengulur waktu selama mungkin, sampai orang-orang rumah menyadari kedatangan Toni. "Jawab pertanyaanku!" Aku berteriak keras-keras, sengaja menimbulkan keributan. Suaraku bergema di rumah yang luas itu. "Gimana caranya kamu tahu kami berada di titik waktu ini?"

"Ketololan kamu itu benar-benar bikin aku muak, Jen," desis Toni. "Siapa yang membuat realitas alternatif ini? Aku. Kalian memang telah mengacaukan ilusi ini, tapi seorang pencipta pasti bisa memahami ciptaannya." Dia mendekat. "Kalian berpikir bisa lari dariku. Padahal aku sengaja memberi kalian waktu sehari untuk memulihkan diri, soalnya kalau kalian semua langsung mati, permainan ini jadi nggak seru, kan?"

Toni meniup udara. Kabut terbentuk di depannya. Aku mundur sambil mengamati sekeliling ruangan, mencari-cari benda yang bisa dijadikan senjata. Ada sebuah kursi kecil yang terbalik karena gempa barusan, dan kakinya patah. Kuambil salah satu kakinya. Semoga ini bisa dijadikan pemukul.

"Aku ingin membunuh kamu..." bisik Toni, suaranya sedingin es. "Selagi kamu bernapas..."

Kabut itu memadat seperti embun, dan mulai berubah bentuk. Toni berhenti meniup, dan tiba-tiba kabut itu menjelma menjadi sosok Pak Gino, persis seperti yang terbaring berlumuran darah di depan pintu. Hanya saja lehernya tidak terluka.

"Jen..." kata Pak Gino, tangannya terjulur untuk menyentuhku. "Kamu... yang membunuh saya... Kamu... jahat sekali..."

Apa Toni menghidupkan kembali Pak Gino? "Bukan! Bukan saya!" Tapi kalau nggak salah, kekuatan pengendalian tidak bisa menghidupkan orang mati, kan? Kalau begitu yang di depanku ini apa? Roh penasaran? "Itu... Bapak dibunuh oleh... keponakan Bapak sendiri."

"Anisa tidak mungkin membunuh saya. Saya pamannya. Dia menyayangi saya."

"Ta-tapi, kalau begitu, siapa yang—"

"Kamu, Jen. Kamu yang membunuh saya, Pak Prasetyo..." Suara Pak Gino yang dalam berubah menjadi bisikan keji Toni. "Dan Lucien..."

Toni menjentik. Dua kepingan kaca di ujung jarinya melesat ke Pak Gino di depanku, menyayat lehernya. Darah memercik ke wajahku, aku menjerit kaget. Pisau-pisau itu melesat maju mundur, tubuh Pak Gino tercabik-cabik. Guru Kimia itu menjerit-jerit kesakitan sekaligus meminta tolong ("Jen, Jen... tolong saya!") darahnya berhamburan mengenaiku seperti disemprot dari selang kebun. Aku terhuyung-huyung mundur, tanganku menggelepar berusaha menghentikan hujan darah itu—begitu menjijikkan, begitu mengerikan... aku tak sanggup melihatnya.

Toni terbahak-bahak geli.

Jeritan Pak Gino menghilang. Sosoknya yang terluka itu melebur jadi asap. Begitu pula dengan darahnya yang menempel di sekujur tubuhku, semuanya seperti tersedot kembali.

Toni mengangkat tinjunya dan mengayunkannya ke jendela. Jendela itu pecah seperti diledakkan dengan meriam, tetapi tangan Toni tidak terluka sama sekali. Efek serangan itu turut menghempaskanku hingga terjengkang.

"Anisa, Anisa, dan Anisa!" Toni meniup kepalan tinjunya seperti koboi yang baru selesai menembakkan pistol. "Aku capek mendengarnya. Dari semester lalu dia terus berkoar-koar, 'Saya paman kamu. Saya menyayangi kamu...' Semua omong kosong itu... dia sama saja dengan yang lain!"

"Pak Gino memang sayang sama kamu, Toni." Aku berguling untuk bangkit, tapi pinggangku sakit sekali, sepertinya terkilir. "Dia menyesal karena telah mengendalikan ibu kamu untuk membenci ayah tiri kamu. Pak Gino hanya berusaha membantu kamu... Anisa."

Kepingan kaca itu melintas di samping pelipisku cepat sekali sampai aku tidak menyadarinya. Segaris darah mencoreng wajahku.

"Anisa sudah mati!" bentak Toni. "Aku Antoinette!"

"Anisa adalah masa lalu kamu, bagian dari diri kamu sendiri. Pak Gino cuma mau kamu belajar menerima diri kamu—"

Kata-kataku terhenti karena sesuatu yang tajam menusuk leherku. Aku tidak perlu mengeceknya karena aku tahu persis benda apa itu.

"You talk too much, Jennifer Darmawan..." Toni memutar telunjuknya, dan potongan-potongan kaca jendela yang pecah berkumpul di ujung jarinya. "Nah, apa Pak Gino guru kamu yang baik hati itu juga bilang ke kamu, apa yang akan terjadi seandainya kamu terbunuh di realitas ini?"

Aku ingin memukul Toni dengan sepotong kayu yang kupegang tapi kaca ini hanya perlu sedetik untuk menggorok leherku.

"Karena kamu begitu peduli sama guru kamu itu..." Toni menyeringai, kaca-kaca di jarinya bergerak ke arahku. "Bagaimana kalau kamu segera menyusulnya?"

"JEN!"

Sesuatu yang hijau melecut dari sisi kiri Toni. Sulur tanaman Meredith telah mengular. Sahabatku itu datang tergopoh-gopoh bersama Reo dan Carl. Toni memakai pisau kacanya untuk menebas sulur Meredith.

Aku segera mundur. Meredith menumbuhkan pohon-pohon di sekitar Toni, mengurungnya dalam sejenis jeruji kayu, dan mengikat tangannya dengan sulur tanaman setebal selang pemadam kebakaran. Toni terperangkap, tangannya terkunci, dan pisau kacanya tidak cukup kuat untuk menebang pohon-pohon itu.

Carl dan Reo berusaha menolong Pak Gino, tetapi kutarik mereka. "Kita harus ke halaman belakang sekarang. Portalnya bakal terbuka di tempat itu."

Carl dan Reo mengangguk berbarengan. "Oke!"

"Meredith!" Aku berteriak sekeras-kerasnya. "Ke halaman belakang! Sekarang!"

Meredith masih sibuk menumbuhkan lebih banyak pohon di sekeliling Toni untuk mengurungnya. Tapi dia mendengarku dan segera bergabung denganku menuju ke teras.

"Kapan portalnya terbuka?" tanya Meredith sambil mengintip cemas ke dalam rumahnya yang sudah berubah menjadi hutan. "Aku nggak bisa menahan dia lama-lama, Jen."

"Gue nggak tahu, Dith! Kita harus menunggu Tara!"

"Tapi Alice kakak Lucien," kata Reo tiba-tiba. "Apa kita nggak bisa bicara baik-baik sama dia? Mungkin Lucien yang mengirim Alice, dan ini cuma salah paham. Lucien sedikit cemburuan."

Aku mengerti kenapa Reo masih ragu-ragu. Hanya dia yang belum "melihat" apa yang terjadi di realitas yang sebenarnya. Carl sudah mengintip isi pikiranku lewat bantuan Anne-Marie sewaktu di kelab.

"Alice membunuh Pak Gino, Reo. Dia itu pembunuh!" pekik Meredith. Dia frustasi berat karena Reo masih belum yakin juga—tebakanku Toni membuat Reo versi ini jadi lebih keras kepala. "Dan dia mau membunuh Jen juga!"

Kami berempat berdiri jauh-jauh dari pintu teras, sampai nyaris tercebur ke kolam renang. Teriakan marah Toni menggema dari dalam rumah. Kapan Tara akan kembali? Jangan sampai dia gagal...

"Jen," Meredith menarik sikuku. "Apa sebaiknya kita membawa jenazah Pak Gino ke realitas utama? Kita nggak mungkin meninggalkan beliau di sini. Setidaknya beliau harus dimakamkan dengan layak."

Benar juga. Hubunganku dengan Pak Gino selama ini memang nggak mulus, tapi dia berjasa besar membantuku di realitas ini.

"Meredith, berapa lama pohon-pohon itu bisa bertahan?"

"Aku nggak yakin, Jen. Tapi butuh waktu untuk menebangnya, apalagi kalau cuma pakai kaca."

"Gue bakal masuk lagi ke dalam—"

"Aku ikut. Kita bisa memutar dan masuk lewat pintu depan."

"Nggak. Lo tetap di sini. Jaga portalnya bersama yang lain."

"Aku saja," Reo mengangguk yakin. "Kamu nggak kuat mengangkat jasad itu. Aku bisa pakai pengendalian anginku."

"Oke. Kita lakukan secepat mungkin, Reo!"

Aku bersama Reo keluar dari halaman belakang dan menuju pintu utama. Pintu besar itu masih terbuka. Bagian dalam rumah itu menjadi remang-remang karena tertutup pohon-pohon yang rapat. Kami mengendap-endap masuk. Para asisten rumah tangga tidak terlihat. Toni sedang terjepit di antara pohon-pohon ini. Aku tidak bisa melihatnya, tetapi aku bisa mendengar teriakan frustasinya serta bunyi kaca yang beradu dengan kayu.

Tubuh Pak Gino tertambat di sebuah dahan tebal. Kepalanya tertekuk ke bawah, sehingga lehernya yang robek tidak terlihat. Sekilas mantan guru Kimia itu tampak seperti sedang tidur di pohon.

"Ini," Reo menyentakkan kain gorden yang sudah copot. "Pakai ini."

Kami menurunkan jasad Pak Gino dengan hati-hati dan membungkusnya dengan kain gorden. Lalu Reo memakai kekuatannya untuk menerbangkan Pak Gino, dan membawanya kembali ke halaman belakang lewat pintu depan.

"Jen..."

Meredith merintih. Dia menunjuk ke arah kolam. Portal dimensi terbuka di dekat gazebo, berputar-putar indah bak pusaran galaksi. Tara berdiri kaku di depannya, seperti sedang disandera. Tiba-tiba terdengar suara tawa, dan sosok Toni muncul.

"Kadang aku lupa aku bisa apa," kata Toni sambil menjambak rambut Tara dan menarik kepalanya. "Pengendali realitas bisa segalanya."

Ujung kuku di telunjuk Toni telah bertambah panjang sekitar sepuluh senti. Kulihat dia telah melapisi jarinya itu dengan pecahan kaca.

"Nah, sekarang..." Toni mengetuk-ngetukkan jari berlapis pisaunya di leher Tara. "Tinggal pilih, Jen. Mau menyerahkan diri, atau teman kamu mati."

Tara menggeleng perlahan, terlalu takut untuk berbicara.

"Aku yang kamu incar, Toni," aku maju mendekat, sambil memikirkan cara untuk menghentikannya. "Lepasin Tara!"

"Aku nggak mau bikin kesalahan lagi," desis Toni sambil mengelus-elus leher Tara dengan jari pisaunya. "Kalau Tara mati, kalian nggak akan lagi bisa berpindah dimensi."

Aku tahu itu. Makanya Tara harus diselamatkan!

"Toni," kutatap gadis itu lurus-lurus, untuk membuktikan aku serius. "Aku bakal tinggal. Biarkan yang lain pergi. Aku janji."

Toni memicing ragu-ragu. Kuangkat tanganku di atas kepala, pertanda menyerah. Aku masih belum punya rencana, tapi satu hal yang pasti, Tara tidak boleh terluka. Dia satu-satunya yang bisa membawaku keluar dari sini.

KLAANG!

Muncul dua borgol logam yang mengikat tanganku. Toni mengedip, dan ada rantai berat yang melilit kakiku, sehingga aku jatuh terjerembab. Meredith memekik, dia bergerak untuk membantuku, tetapi aku berteriak dan memintanya tetap di tempat. Lalu, seakan ingin memastikan aku betul-betul dilumpuhkan, Toni juga membelit mulutku dengan selembar kain hitam.

Setelah melihatku betul-betul tidak berdaya, gadis itu terbahak.

"Well, setelah kupikir-pikir..." Toni mengarahkan salah satu ujung jari pisaunya ke nadi di leher Tara. "Lebih baik semuanya mati saja. Maaf, aku berbohong..."

PRAANG!

Ada yang pecah di belakang Toni. Sekilas aku melihat sesuatu berkelebat dari balik portal, cairan merah pekat memercik dari kepala Toni, dan tiba-tiba gadis itu terhuyung. Dia melepaskan Tara, matanya berputar ke atas seperti mau pingsan. Namun sebelum terperosok ke tanah, Toni menyabetkan telunjuknya ke leher Tara—bunyi sabetan keras bergema, disusul bunyi letusan—dan sosok Tara tercabik-cabik menjadi helaian-helaian berwarna merah.

"Ini..." Carl memungut salah satu helaian merah itu. "Balon."

Meredith segera membelit Toni dengan sulur tanaman. Dia membelitnya rapat-rapat, seperti mumi.

Tara melompat dari balik portal, tangannya memegang ujung botol anggur yang sudah pecah, sisa cairan anggurnya menetes-netes seperti darah. "Ayo kita pulang!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top