25. Tamu


Aku terbangun tiba-tiba karena tempat tidurku bergetar. Aku langsung duduk dan menghambur keluar menuju koridor.

Gempa bumi. Lagi.

Kaca-kaca di jendela bergetar karena gempa itu. Lukisan-lukisan yang tergantung di dinding ikut bergoyang-goyang. Beberapa pintu di ujung koridor, kulihat Pak Gino juga keluar.

Aku segera bergabung dengannya. "Pak, kita harus membangunkan yang lain."

"Saya baru saja membuat Carl tertidur. Luka-lukanya parah. Reo juga masih syok dan butuh istirahat. Meredith ada di bawah," cegah Pak Gino. "Tara jangan dibangunkan. Dia butuh menyimpan chi-nya untuk perjalanan waktu berikutnya."

Kami berdua turun ke lantai dasar. Rumah Meredith (aslinya rumah Tara di realitas utama) sangat besar. Di tangga, kami berpapasan dengan beberapa asisten rumah tangga yang ketakutan dan dalam perjalanan menuju teras. Salah satu dari mereka menghentikan kami.

"Ini udah gempa yang ketiga hari ini!"

"Saya tahu," kata Pak Gino tenang. "Tidak apa-apa. Sebentar lagi reda."

Kami berbondong-bondong mengungsi ke teras belakang. Meredith tidak ada di sana, mungkin dia sudah kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Kami tahu penyebab gempa-gempa ini, tetapi sulit menjelaskannya pada para asisten rumah tangga. Meskipun mereka cuma ilusi, tapi tetap saja mereka non-pengendali.

Sehari berlalu sejak kami kembali ke titik waktu ini. Aku belum banyak mengobrol dengan Pak Gino karena harus beristirahat memulihkan diri. Luka-luka kami sudah diobati, tetapi tidak bisa sembuh total. Sama sepertiku, Pak Gino juga tidak memiliki kekuatannya, jadi kami hanya mengandalkan obat-obatan medis. Untung Meredith punya dokter keluarga yang bisa membantu. Dokter itu kebingungan melihat luka-luka kami—dari bentuknya, pasti sang dokter sadar kami diserang oleh sejenis senjata tajam. Kami beralasan kami terluka saat mendaki gunung, dan untung saja sang dokter memilih tutup mulut dan memercayainya.

Aku dan Pak Gino berdiri di tepi kolam renang. Gempa itu telah berhenti, sama seperti gempa-gempa sebelumnya. Para asisten rumah tangga itu kembali ke dalam dengan ragu. Sejak gempa-gempa itu terjadi, tampang mereka menyiratkan mereka lebih memilih kembali menjadi gas ilusi daripada harus menjalani peran di "film" konyol ciptaan Toni ini.

"Durasi gempanya semakin lama," kata Pak Gino sambil menatap kolam. "Tapi kemunculannya bertambah sering."

"Apa artinya ini, Pak?"

Awan-awan putih di langit terpantul di permukaan kolam yang tenang seperti cermin. "Ilusi ciptaan Anisa mulai luntur, Jen," kata Pak Gino.

"Itu... berita bagus."

"Berita bagus?" Pak Gino mendelik. Aku kaget dengan reaksinya. "Kamu tahu apa akibatnya kalau realitas ini hancur, Jen?"

"Kita bisa kembali ke realitas utama kan, Pak?"

"Kalau Tara berhasil membawa kita melintasi dimensi! Kalau tidak, kita juga akan ikutan musnah bersama realitas ini!" Suara Pak Gino melengking naik. "Kamu lihat kondisi Tara sekarang. Matanya terluka, dia bahkan kesulitan untuk melihat. Saya ragu dia akan sanggup membawa enam orang sekaligus melintasi dimensi!"

"Ta-tapi, Pak..."

"Padahal kita sudah sepakat, kan? Tara cuma akan membawa dua orang: kamu dan saya," Pak Gino memejamkan mata, mencoba menelan amarahnya. "Tapi sekarang ada Carl, Meredith, dan Reo juga! Kenapa kamu harus membawa Carl dan Reo ke realitas ini? Apa kamu sadar akibat perbuatan kamu?"

"Saya harus melakukan itu, Pak. Reo dan Carl adalah sahabat-sahabat saya. Saya nggak tega meninggalkan mereka di titik waktu itu."

"Meredith bilang kamu juga hampir mengajak Anne-Marie."

"Ya," aku mengaku. "Tapi Anne-Marie menolak."

"Dan kamu bentrok dengan Anisa. Saya sudah mewanti-wanti, kalau sampai kamu mati di realitas ini—"

Ya, aku memang mengambil risiko. Tapi aku tidak punya pilihan. "Saya nggak akan pernah meninggalkan teman-teman saya dalam situasi seperti itu, Pak."

Pak Gino mendesah panjang dan mengusap-usap dahinya. Dia duduk di kursi gazebo dan bersandar dengan goyah. "Kepala Sekolah pernah kasih tahu saya soal kamu. Yah, akhirnya saya mengerti."

"Pak Prasetyo?" Apa ini semacam obrolan rahasia? "Soal apa, Pak?"

"Kamu menghargai teman-teman kamu lebih dari diri kamu sendiri," kata Pak Gino. "Kejadian di Bellagio dua semester lalu. Serangan di Casa Poca. Huru-hara di markas Dewan Pengendali. Kekacauan di Festival Sekolah... Kamu seperti punya naluri alamiah untuk melindungi teman-teman kamu."

Begitukah? Aku tidak pernah berpikir untuk melakukan semua itu dengan sengaja. Aku hanya otomatis melakukannya.

Dan kurasa aku tidak pantas dipuji untuk itu. Jadi aku diam saja.

"Garis waktu sudah sangat kusut gara-gara semua ini," kata Pak Gino lagi. Jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja. "Tara akan semakin kesulitan membawa kita berpindah ke realitas utama. Ditambah lagi kondisinya sedang tidak fit."

Itu benar.

Selama ini kekuatan Tara terkesan kurang berguna kalau dibandingkan dengan kekuatan Meredith atau Reo. Tara hanya bisa memodifikasi waktu selama tiga kali dalam satu jam. Tapi kalau dipikir-pikir sebetulnya kekuatan Tara-lah yang paling bermanfaat: dia bisa melawan musuh utama setiap makhluk hidup, yaitu waktu. Dan dia juga sudah beberapa kali menunjukkan betapa bergunanya kekuatannya itu. Waktu di Casa Poca, Tara mengubah waktu sehingga kami bisa melacak letak trofi itu. Sepulang dari liburan ke Jepang, kami semua sudah mati tenggelam di laut kalau Tara tidak membantu.

Apalagi Tara di realitas ini juga bisa mengendalikan portal. Itu luar biasa, kan?

"Tara hanya seorang diri," kata Pak Gino, seperti menyimpulkan isi pikiranku. "Dan kita semua berharap padanya. Ini memang terlalu berat."

Ah. Seandainya aku memiliki kekuatanku, Tara pasti tidak akan terbebani.

Aku tidak bisa hanya berdiam diri begini. Aku harus membantu. Tapi Tara adalah satu-satunya pengendali dimensi yang kukenal. Pengendali dimensi lain adalah Dorothea Latuharhary, si orang Dewan. Dia sudah tidak berdaya karena kekuatannya dilenyapkan Toni semester lalu.

Apa ada pengendali dimensi lain yang bisa membantu kami?

Mungkinkah Carl menggandakan Tara sehingga dia jadi dua orang? Tapi saat ini kekuatan Carl belum bangkit.

Eh. Sebentar...

Menggandakan diri?

"Ada dua Tara!"

Pak Gino terlonjak karena pekikanku. "Apa maksud kamu, Jen?"

"Ada dua Tara, Pak!" Kutarik kursiku ke dekat Pak Gino. "Di realitas ini dan di realitas utama! Tara yang ini nggak perlu bekerja sendirian. Dia bisa kerja sama dengan Tara yang satunya lagi untuk memindahkan kita!"

Pak Gino mengerjap-ngerjap, matanya terbelalak.

"Itu... ehm—maksud saya, itu mungkin saja. Tapi gimana caranya kita memanggil Tara kedua? Ditambah lagi, bukankah Tara yang satunya lagi tidak bisa mengendalikan portal?"

"Dia bisa belajar dari Tara kita!" Oooh. Aku senang sekali Pak Gino tidak menolak usulan ini. "Dan kita nggak perlu mendatangkan Tara kedua, Pak. Tara pertama yang harus ke realitas utama. Dia hanya perlu membawa dirinya sendiri sehingga nggak bakal kesulitan. Dari realitas utama itu, dia bisa bekerja sama dengan Tara kedua untuk membuka portal, dan memulangkan kita semua! Kita hanya perlu menunggu di sini!"

"Jen! Tenang dulu!" Pak Gino menangkap tanganku yang sudah menari-nari karena antusias. "Saya tidak bilang itu bisa dilakukan. Maksud saya, secara teori usulan kamu masuk akal, hanya saja—"

"Ide brilian!"

Kami berbalik dan melihat Tara berdiri di belakang kami. Rupanya dia sudah bangun. Ada perban besar di matanya yang terluka. Dia tampak pucat dan lemah.

"Tara, ini gila!" tegur Pak Gino. "Coba kamu pikirkan lagi!"

"Saya setuju sama Jen, Pak," kata Tara mantap. "Saya rasa saya mampu!"

"Kalau terjadi satu kesalahan saja, bisa-bisa realitas utama ikutan kacau." Suara Pak Gino jadi dalam, pertanda dia sedang serius. "Itu sangat berisiko! Kita akan mencampur realitas, bukan bahan-bahan pembuat kue! Kalian nggak bisa seenaknya menuang semuanya jadi satu. Tara, sebagai pengendali dimensi, kamu sadar bahaya rencana ini, kan?"

"Pak..." Aku tahu Pak Gino khawatir pada kami, apalagi setelah kami terluka setelah modifikasi waktu kemarin. "Maaf, bukannya saya lancang. Tapi Toni sudah mengacaukan hidup saya, hidup ibu saya, dan hidup teman-teman saya. Saat ini ibu saya tidak kenal saya, Reo jadi gay, Meredith bodoh sekali, Carl pacaran dengan Toni, Anne-Marie si cewek paling disegani di SMA Cahaya Bangsa malah jadi pelayan kelab malam..." Aku berhenti untuk mengambil napas. "Toni juga mengacaukan hidup Bapak. Saya mau memperbaiki semua ini, tapi saya nggak punya kekuatan. Kalau ini satu-satunya cara yang bisa kita lakukan, saya bersedia melakukan apa saja untuk melakukannya."

Suasana menjadi hening. Pak Gino hanya memandangiku dengan nanar. Akhirnya Tara bertepuk tangan. Dia membelai punggungku, memberi dukungan.

"Baiklah," Pak Gino membuang napas panjang dan duduk tegak. "Kali ini kita harus lebih teliti. Tara harus kembali ke titik waktu yang tepat di realitas utama. Tidak boleh ada kesalahan lagi."

"Sebaiknya di titik sebelum situasinya runyam," usul Tara. "Lo ada ide, Jen? Gue nggak tahu urutan kejadian di realitas utama"

Kusisir poniku dengan tangan, supaya bisa berpikir lebih jernih. Titik waktu yang tepat, sebelum semuanya jadi tidak terkendali. Sejak kapan semuanya jadi kacau balau begini?

Sejak Lucien muncul. Itu berarti...

"Di pesta ulang tahun gue!" Aku berbalik dan meremas tangan Tara. "Malam itu Lucien muncul, dan sejak saat itu semuanya jadi berantakan."

"Aaah!" Tara mengerang puas. "Lo pernah bilang, gue memang muncul di pesta ulang tahun elo, kan? Tepat sebelum pestanya dimulai? Dan gue tanya ke elo apa kita bersahabat?"

"Iya. Waktu itu lo nggak pakai perban, tapi..." Kuingat-ingat lagi pertemuan yang terasa tidak nyata itu. "Gue nggak bisa melihat mata kiri lo karena ketutupan rambut!"

"Poni gue memang panjang, sih." Tara mengajakku tos. "Kalau begitu semuanya cocok!"

Pak Gino belum mengatakan apa-apa. Dia menatap Tara dengan serius. "Kamu yakin mau melakukan ini, Tara? Kamu sudah siap?"

"Yakin, Pak!" angguk Tara percaya diri. Dia mencabut perban di matanya, dan menurunkan poninya sehingga matanya yang terluka tidak terlihat. "Cuma ini satu-satunya jalan, kan?"

"Lo nggak harus melakukan ini sekarang, Ra," kataku. "Kita bisa menunggu sampai nanti malam atau besok kalau lo merasa belum cukup kuat."

"Nggak perlu ditunda-tunda, Jen. Waktu kita sempit, kan? Gempa-gempa itu bakal datang lagi, dan kita nggak tahu sampai kapan realitas ini sanggup bertahan."

"Oke." Kupeluk Tara untuk menyemangatinya. "Lucien muncul setelah potong kue. Sekitar jam tujuh malam. Jadi lo harus bisa meyakinkan Tara kedua sebelum itu."

"Siap," kata Tara optimis. "Gue pergi sekarang. Kalian tunggu di sini. Gue akan membuka portal dimensi di sekitaran rumah ini. Sebaiknya lo ajak Meredith, Carl, sama Reo untuk siap-siap."

Pak Gino berdiri dan menyalami Tara. Sahabatku itu memutar telunjuknya di udara, dan sebuah portal dimensi muncul di dekat kolam renang. Tara melangkah mantap menuju ke portal itu. Dia bahkan tidak berbalik menatap kami.

Kami menonton Tara menghilang ke dalam portal itu.

Ini sangat berbahaya, seperti yang diperingatkan Pak Gino. Tapi aku sudah melihat Tara yang ini muncul di pesta ulang tahunku. Aku tahu ini pasti berhasil. Rasanya seperti mengikuti Ujian yang sulit, tetapi sudah diberitahu jawabannya.

"Saya akan membangunkan Carl dan Reo dan meminta mereka bersiap," kata Pak Gino. "Kamu berjaga di sini seandainya portal terbuka lagi, Jen."

"Baik, Pak."

Pak Gino masuk ke dalam rumah. Aku duduk kembali ke kursiku sambil mengamati kolam renang itu. Cuacanya cukup adem. Lagi-lagi Toni sengaja bikin kesan bahwa realitas ini "baik-baik saja", padahal di baliknya dia menghancurkan begitu banyak kehidupan.

Sambil menunggu, aku mencoba mengatur strategi. Kalau Tara berhasil, artinya kami akan kembali di saat pesta ulang tahunku itu. Lucien akan muncul, dan Dewan Pengendali akan menangkapnya. Penangkapan Lucien itu ternyata hanya jebakan untuk mengundang Toni. Setelah Toni muncul, Lorelei akan membunuh Lucien, dan itu membangkitkan murka sang pengendali realitas sehingga mengirimku dan Pak Gino kemari.

Artinya, Lucien tidak boleh sampai tertangkap.

Aku harus menyadarkan Lucien soal perbuatannya. Aku tidak yakin persisnya bagaimana—mungkin aku bisa memakai kenangan-kenangan Lucien yang sudah pernah kulihat untuk mengubah pilihannya. Entahlah, saat ini hanya itu amunisi yang kupunya. Kalau Lucien sudah berpindah kubu, akan lebih mudah meringkus Toni.

Dan tentu saja, cowok itu tidak akan mati. Satu nyawa bisa diselamatkan. Pak Prasetyo juga.

TING TONG!

Bel di pintu depan berbunyi. Mungkin itu salah satu tamu keluarga Meredith.

Kuteliti lagi ingatanku soal pesta ulang tahun itu, mencari-cari titik lemahnya. Keadaannya kacau sekali saat Lucien muncul, banyak orang yang terluka. Kurasa... aku perlu melindungi diri dengan semacam senjata, mengingat saat ini aku tidak punya kekuatan. Pisau, mungkin? Itu cukup untuk sekedar untuk mengancam Lucien.

Ya ampun. Kedengarannya bengis sekali. Tapi... mau bagaimana lagi?

Di rumah ini pasti ada pisau, kan? Sejenis pisau dapur dengan sarungnya. Ya, aku harus membawa satu saat melintasi portal nanti.

Drrt... drrrtttt!

Gempa bumi itu terjadi lagi, kali ini disertai gemuruh. Aku berpengangan di meja gazebo. Langit yang semula cerah mendadak mendung. Awan-awan putih itu sekejap berubah menjadi hitam, seperti tersiram aspal basah. Kilat-kilatan petir menyala.

Apa akan turun hujan?

Aku bangkit berdiri dan tergopoh-gopoh masuk ke dalam. Kami harus berkumpul di sekitar kolam ini dan bersiap-siap.

Beberapa pajangan keramik yang tersisa menggelincir jatuh dan pecah—sebagian besar sudah hancur akibat gempa-gempa sebelumnya. Kaca-kaca berkeretakan lagi seperti akan meledak. Aku berpegangan di dinding dan pergi ke ruang depan.

Tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak.

Apa ini? Semacam firasat buruk?

Rambut-rambut halus di tengkukku berdiri. Aku terhenti dan mengamati kondisi sekeliling. Ada yang tidak beres. Rumah besar ini terasa begitu sunyi. Di mana Meredith? Di mana para asisten rumah tangga itu?

Di ruang depan, kulihat pintu utama terbuka lebar-lebar. Angin bertiup kencang dari pintu yang terbuka itu. Bukankah tadi bel rumah berbunyi?

Kudekati pintu itu untuk menutupnya. Tapi langkahku terhenti.

Pak Gino terbaring di depan pintu, satu tangannya memegangi lehernya yang robek. Darah menggenang di sekeliling tubuhnya, membentuk kolam berwarna merah.

Beliau sudah tidak bergerak lagi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top