23. Twisted
Aku tidak mengira efeknya akan sedahsyat itu. Kami memodifikasi waktu—aku tahu aku akan bertemu dengannya, tetapi... ini sulit dipercaya. Pakaian pelayan itu juga mengagetkan; Toni membuat kami bertukar peran dan sifat secara acak. Di realita ini, aku sudah mulai membiasakan diri dengan kejutan-kejutan itu. Tapi Anne-Marie yang hidup, bernapas, dan berbicara di depanku lebih mengejutkan lagi.
Gadis ini meninggal di dekapanku sebulan lalu.
Apa aku bisa menyelamatkannya? Aku bisa saja membawanya kembali ke dimensiku. Ide itu menggoda dan sejujurnya kedengaran amat mungkin dilakukan. Dengan begitu, aku bisa menyelamatkan satu nyawa lagi.
Tapi... tidak, tidak. Berbahaya. Pak Gino sudah mengingatkanku sebelum kami berpindah waktu tadi. Orang yang sudah mati di masa lalu, tidak akan bisa dihidupkan kembali. Itu adalah batas kekuatan pengendalian.
"Kamu siapa?" Anne-Marie menunjukku. Matanya berpindah ke Tara dan Meredith. "Kalian kan—"
"Kita udah terlambat, kan?" Tiba-tiba Tara nyelonong dari belakangku dan membekap mulut Anne-Marie. "Yuk, buruan masuk! Pasti kita udah ditungguin."
Meredith melirikku dan nyengir gugup. Kami mengikuti Tara yang sudah menarik Anne-Marie ke dalam.
Bagian belakang kelab tidak seheboh bagian depannya. Orang-orang dalam setelan pelayan sibuk lalu-lalang, membawakan minuman dan makanan. Tidak ada yang memerhatikan kami. Tara membawa Anne-Marie ke satu sudut yang sepi dan gelap, dan anehnya gadis itu tidak melawan. Dia hanya menatap kami.
Akhirnya Tara melepaskan kami.
"Sebelum kalian nge-judge gue," Anne-Marie memulai dengan nada gue-nggak-cari-masalah. "Kalian harus ngerti bahwa SMA Cahaya Bangsa itu mahal. Makanya sebagai anak yang bisa sekolah di sana karena beasiswa, gue harus kerja."
Duh. Kejutan lagi. Jadi Anne-Marie yang ini nggak kaya raya. Dan dia bekerja sebagai pelayan kelab malam. Benar-benar, deh...
"Lo berdua," Anne-Marie memelototi Tara dan Meredith. "Please jangan kasih tahu Rita sama Carly. Mereka nggak tahu kalau gue kerja jadi pelayan di sini. Kalau sampai ada anak lain di SMA Cahaya Bangsa yang tahu—"
"Sebentar lagi ada yang bakal tahu juga, kok," sela Tara. "Carl Johnson, teman sekelas kita. Dia juga ada di sini."
Wajah Anne-Marie memucat. "Apa?"
"Bukan itu maksud kita ke sini," kata Meredith menenangkan. "Kita mau—"
"Kalian nggak bisa melakukan itu!" potong Anne-Marie sebelum Meredith melanjutkan. "Itu gila, tahu nggak? Kalian bakal bikin gue dipecat! Lagian kalian nggak seharusnya ada di sini! Kalian masih kelas sepuluh! Ini tempat untuk orang dewasa!"
"Ooh!" Meredith terperangah. "Kamu membaca pikiran aku, ya?"
"Sst!" Anne-Marie mengedik padaku. "Ada non-pengendali di sini!"
"Jen pengendali juga," tukas Tara lancar. "Cuma... ceritanya panjang."
Nggak ada waktu untuk menjelaskan. Semakin lama kami berada di masa lalu seperti ini, semakin besar kemungkinan kami mengubah arus waktu.
Aku memutar tubuh Anne-Marie supaya dia menghadapku. "Gue tahu lo itu pengendali pikiran. Silakan baca pikiran gue. Lo bakal mengerti."
Anne-Marie mendengus sangsi. Tapi melihat kami ada bertiga sementara dia cuma sendiri, akhirnya dia menyerah. Dia berdiri tegak dan menghadap kami.
"Dimensi alternatif?" Anne-Marie mengernyit, matanya yang menatapku bergerak-gerak. "Masa depan? Ini cuma omong kosong, kan?"
"Baca pikiran gue juga," Tara menunjuk dadanya. "Gue udah membuktikan."
Anne-Marie menatap Tara selama beberapa detik, lalu menggeleng-geleng. Dia seperti bergairah mengetahui bahwa ada kehidupan lain selain yang sedang dijalaninya, sekaligus takut memercayai kenyataan itu.
"Di realitas itu, gue..." Mendadak Anne-Marie mundur. "Mati?"
"Hah?" Meredith ikut-ikutan kaget. "Kok bisa?"
"Kita nggak punya waktu, oke?" serobot Tara kesal. "Jen bisa menjelaskan semuanya nanti. Kita harus segera mencari Carl. Dia ada di antara orang-orang ini. Anne-Marie, lo harus bantu kita."
"Enak aja!" Anne-Marie menarik Tara dan menyandarkannya ke dinding. "Kenapa gue harus membantu kalian? Apa untungnya buat gue?"
"Toni—alias Alice—adalah pengendali realitas." Ya ampun, rupanya aku harus meyakinkan setiap orang di realitas ini berkali-kali. "Dan dia berencana menghancurkan kehidupan semua orang. Bukan cuma gue yang akan menderita, tapi juga lo, dan semua orang yang kita kenal."
"Intinya akhir dunia," tukas Tara pendek.
"Kiamat," timpal Meredith dengan dramatis.
"Dan lo satu-satunya yang bisa menolong sekarang," aku menambahkan.
"Ini bukan bullshit, kan?" ancam Anne-Marie. "Gue bisa menyelidiki semua isi kepala kalian, jadi kalau kalian coba-coba pakai pengendali pikiran lain buat ngeblokir—"
"Ini bukan bullshit," sela Tara. "Lo pikir gue repot-repot memodifikasi masa lalu cuma buat bersenang-senang, begitu?"
Anne-Marie menatap kami bertiga berganti-ganti. Matanya yang dilapis bulu mata palsu terlihat membesar.
"Yah, kalau memang kayak gitu..." Akhirnya dia mengumpat keras-keras, dan mendorong kami ke sisi lain gedung. "Gue nggak punya pilihan, kan?"
YES! Anne-Marie percaya pada kami!
Ada sebuah ruang loker di situ. Anne-Marie membuka sebuah lemari yang berisi seragam-seragam pelayan yang baru dicuci, lengkap beserta celemek. Dia mengambil dua stel, dan menyodorkannya pada Tara dan Meredith. "Pakai ini. Kalian nggak bisa berkeliaran begitu aja—sebagian besar pengunjung di kelab ini udah kenal satu sama lain, mereka bakal penasaran kalau melihat wajah-wajah baru."
"Terus Jen gimana?" tanya Meredith.
"Nanti," sahut Anne-Marie. "Lo berdua keluar duluan."
Tara dan Meredith mengangguk. Mereka masing-masing mengambil sebuah nampan, dan keluar dari loker itu. Keduanya berpegangan tangan seperti sepasang anak kecil di hari pertama bersekolah.
Setelah Tara dan Meredith keluar, Anne-Marie memandangiku dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Lepas jaket lo."
"Hah?"
"Nggak usah banyak tanya. Nurut aja!"
Aku melakukan seperti yang dimintanya. Anne-Marie mengambil sebuah gunting, dan tiba-tiba mulai membabat bagian bawah kaosku sampai tinggal setengahnya sehingga perutku terlihat. Dengan satu tarikan cepat, dia merobek kerah kaosku. Lalu dia mengikatkan jaket itu di sekeliling pinggangku, melepas ikat kunciran rambutku dan mengacak-acaknya. Selanjutnya dia menarikku ke sebuah kaca seukuran tubuh, dan menambahkan eyeliner serta lipstik di wajahku.
Aku tahu apa yang sedang dilakukannya. Kutatap bayanganku. Ooh. Diriku saat ini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan gadis yang masuk ke kelab tadi.
Anne-Marie memandangiku lagi seperti pelukis yang menatap lukisannya, lalu tersenyum puas. Dia membimbingku keluar ruangan loker dan menuju ke arah bar. Suasana di sana sudah lumayan ramai. Tara dan Meredith tidak terlihat.
Aku mulai mencari-cari Carl. Di mana dia?
"Gue udah lihat apa yang ada di pikiran lo..." kata Anne-Marie tiba-tiba. Dia berpura-pura mengelap meja. "Kehidupan gue di realitas itu... brutal banget."
"Memang," aku setuju. "Itu karena lo aslinya badass, Anne-Marie."
"Kita bermusuhan. Anne-Marie yang itu, benci banget sama lo."
"Nggak selamanya. Tapi terakhirnya kita jadi teman."
"Teman?" Anne-Marie memutar kepalanya sedikit. "Kok bisa?"
"Ya. People change. You changed."
Anne-Marie kembali menghadap meja, tetapi kuperhatikan napasnya jadi sedikit melambat. Tangannya masih bergerak dengan teratur, membersihkan meja dengan secarik kain lap.
"Gue nggak bisa melihat apa yang terjadi setelah lo ketemu gue di penjara itu," katanya. "Lo sengaja menutup pikiran lo di bagian itu, kan?"
"Ya. Dan gue nggak akan bilang ke elo."
"Cukup adil," Anne-Marie mendengus getir. "Apa gue boleh tanya satu pertanyaan lagi?"
Aku mengangguk.
"How did I die?"
Ooh. Not that question! Tapi... tidak ada gunanya kututup-tutupi. Anne-Marie sudah membaca pikiranku, dan aku tidak bias menghalanginya.
Aku termenung beberapa saat, berusaha mencari-cari istilah yang tepat. "Sebagai pahlawan. Lo menyelamatkan nyawa seseorang."
"Ah," Anne-Marie mendesah. "Siapa yang gue tolong?"
"Gue." Kutaruh tanganku di atas pundak Anne-Marie dan kuremas erat-erat. "Lo menolong gue, dengan mengorbankan diri elo sendiri."
Anne-Marie menegakkan diri, rahangnya mengetat. "Dan nggak ada yang bisa gue lakukan untuk mengubah takdir itu, ya?"
Aku kehilangan kata-kata. Ini sungguh tragis. Kalau aku berada di posisi Anne-Marie, aku nggak bisa membayangkan reaksiku. Setiap orang pasti akan mati, tapi bagaimana kalau kematiannya seperti yang terjadi pada Anne-Marie?
"Arah jam sepuluh," kata Anne-Marie tiba-tiba. "Rambutnya pirang, kan?"
Aku memutar kepala ke arah yang disebutkan itu. Itu dia! Rambut pirang Carl tampak mencolok di suasana kelab yang remang-remang. Dia berdiri di dekat panggung, bersama dua orang cowok yang sedang menghadap belakang.
"Terima kasih," kataku. "Kok lo bisa tahu?"
Anne-Marie mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan telunjuk. Pengendali pikiran, itu maksudnya. "Lo ngerokok?"
"Enggak."
"Sekarang iya." Anne-Marie menyelipkan sebatang rokok ke jari-jariku. "Pergi ke sana, pura-pura pinjam lighter."
Dia menepuk pantatku dan terkikik kecil.
Kuberanikan diriku dan maju ke arah Carl. Rokok itu bertengger goyah karena jari-jariku gemetar, tetapi aku berusaha tenang. Suasana kelab yang pengap dan ingar bingar, busana yang seronok ini, dan aroma minuman keras yang pekat... aku betul-betul gugup. Meski lama tinggal di New York, aku belum pernah pergi ke tempat-tempat seperti ini (kecuali dua semester lalu, di realitas yang berbeda). Orang-orang di tempat ini seperti berasal dari dunia yang sepenuhnya berbeda, dan aku cuma cewek kelas dua SMA!
Beberapa lelaki hidung belang bersiul padaku, ada yang terang-terangan mengangkat gelas untuk mengajakku minum.
Ya Tuhan, semoga nggak ada orang gila yang melecehkanku.
"H-hei..." Suaraku bergetar saat sampai di belakang Carl. "Boleh minta tolong?"
Sebuah tangan terjulur di depanku, menawari pemantik rokok. "Silakan."
Aku berpaling untuk melihat si pemilik tangan.
"Lucien?"
...
Alis kanan cowok itu terangkat. Pupil matanya yang cokelat terang seperti pasir berkilat-kilat jahil. Dia tersenyum tipis padaku.
"Apa kita pernah ketemu?"
Ya! "N-nggak."
"How do you know my name, then?"
Astaga, apa yang dia lakukan di sini? Gaya rambutnya berbeda: cowok ini punya poni ikal yang menjuntai di depan dahinya, tetapi dia betul-betul Lucien Darmawangsa yang kukenal. Satu lagi sosok yang "bangkit dari kematian". Apa ini artinya Toni juga ada di sini?
Emosiku mulai bergejolak. Otakku berputar cepat, mencari-cari alasan. Nggak seharusnya aku keceplosan menyebut nama Lucien! "One of the servers told me about your name."
Lucien memicing. "Naughty girl. Kamu menyelidiki aku?"
Uuh. Wrong answer, Jen! Very wrong answer!
Kuputuskan untuk membalas dengan senyuman juga. Kumajukan rokokku dan kusulut dengan api dari pemantik Lucien. Sebaiknya aku segera tutup mulut.
"Want some drink?"
Cowok yang tadi berdiri di dekat Carl berbalik. Surrrpriseee! Ternyata cowok itu Reo Sahara! Aku hampir keceplosan meneriakkan namanya lagi.
"Cewek ini tahu namaku," Lucien menarik pinggang Reo dan mengedik ke arahku. "Katanya dia tahu dari seorang pelayan. Memangnya aku terkenal banget, ya?"
"Maybe," kata Reo. "It's because you're handsome."
"Apa bahasa Jepang-nya tampan?" balas Lucien menggoda.
"Hansamu," Reo bersandar di lengan Lucien. "Tapi kamu lebih dari itu. Kamu kakkoii..." Dia menaruh tangannya di paha Lucien. "Artinya... seksi."
O-MY-GOD!
Reo berpacaran dengan... Lucien?
Aku kehilangan kata-kata untuk menyebut Toni. Kenapa dia melakukan ini? Apa sebutan yang lebih kejam dari psycho?
Lucien menggeser Reo, kemudian memangkunya. Perutku langsung mual. Setengah mati kutahan dorongan untuk menarik Reo dan memisahkannya dari Lucien. Cowok itu malah menyandarkan dagunya di pundak Reo. "Kamu mau pesan minum?"
"Iya," Reo mencium puncak kepala Lucien. "Mau pesan yang biasa?"
Tiba-tiba Meredith lewat di sebelahku sambil menenteng nampan berisi minuman. Gadis itu tampak linglung sampai-sampai dia tidak mengenaliku.
Kutarik dia dan kudorong maju ke arah Reo. "Ini... ada minuman!"
"Eeeh!" Meredith merepet. Dia terbelalak menatapku—pasti kaget karena penampilanku yang sudah seperti wanita malam—tetapi kuinjak kakinya supaya tutup mulut.
"Ada yang mau pesan minum," kataku. Lalu kutambahkan lewat bisikan. "Tahan mereka di sini. Gue mau ngomong sama Carl!"
Meredith melihat Reo sedang dipangku Lucien, dan menyumpah. Dia membeku di depan Reo, tangannya yang memegang nampan gemetar hebat sampai-sampai gelas-gelas di atasnya berdenting-denting. Reo menyebutkan dua jenis minuman. Meredith yang syok hanya bisa mengangguk-angguk cepat. Dia melirikku berkali-kali, meminta pertolongan, tapi aku tidak bisa menolongnya. Aku harus segera menemui Carl!
"Hei, tunggu dulu." Lucien melepaskan Reo dan mendekatiku. "Buru-buru banget. Gue baru melihat elo di sini. Anak baru, ya?"
Aku berbalik untuk melihat Carl. Dia sudah menjauh.
Gawat. Kalau Lucien sampai menahanku, dia bisa curiga. Tingkah Meredith yang sama sekali nggak persis seperti pelayan kelab sudah bikin Reo heran. Dan kalau Toni sampai muncul juga, rencana kami akan berantakan.
"Lo kenal Carl Johnson?" tanyaku asal saja.
"Tergantung," jawab Lucien licik. Sikapnya yang suka bermain-main ini sama persis dengan Lucien yang kukenal. Apa Toni tidak ikut mengubah Lucien? "Kenapa lo nyari Carl?"
"Gue... saudaranya."
"Saudara? Kayak... adik?"
Kenapa Lucien menginterogasiku? "Sepupu."
"Wrong answer. Sepupu-sepupu Carl semua tinggal di Inggris." Lucien mengacungkan dua jarinya padaku. "Reo temannya, jadi kita tahu. Lo punya dua kesempatan lagi buat menjawab."
Sial! Aku tidak pernah berhasil di permainan tebak-tebakan ala Lucien ini. Ayo, Jen. Cari jawaban lain! "Sebetulnya... gue orang kedutaan Inggris. Gue disuruh... mengawasi Carl."
"Reaaally?" Lucien mencolek perutku yang terbuka, dan aku refleks mundur. Cowok itu terbahak-bahak geli. Uuuh. Lagi-lagi jawaban yang keliru. Mana mungkin orang kedutaan Inggris muncul di kelab malam dan berpakaian mesum seperti ini?
"Kesempatan terakhir," kata Lucien geli. "Lo siapa sebenarnya?"
"Gue..." Otakku macet, tidak bisa dipakai berpikir. Kepanikan mulai menyerang. Carl ada di sana, hanya beberapa meter jaraknya. Tapi Lucien berdiri di antara kami, menghalangi jalanku. Apa Lucien sengaja menghalang-halangiku bertemu dengan Carl? Apa dia sebetulnya sudah tahu siapa aku sebenarnya? Gimana kalau aku nggak bisa memberikan jawaban yang benar?
Aku memikirkan kemungkinan minta tolong pada Anne-Marie lagi. Dia ada di sekitar sini, sedang mengawasi kami. Dia bisa memakai pengendalian pikirannya untuk melunakkan Lucien. Meredith dan Tara bisa mengurus Reo.
"Lucien..."
Tiba-tiba ada tangan yang meraih pundak Lucien. Cowok itu berbalik. Carl datang. Dia tersenyum pada Lucien. "Alice jadi datang, kan?"
"Jadi, dong. Sebentar lagi dia ke sini," jawab Lucien sambil mencubit ujung hidung Carl. Seketika aku merasa nggak rela melihat pacarku diperlakukan begitu. "Memangnya kenapa, Carl?"
Carl mengangkat bahu, wajahnya merona. "I miss her."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top