22. Misi Penyelamatan Bagian 2
"Lo pintar banget, Dith! Sumpah! Lo pengendali level empat, terus nilai Ujian lo itu salah satu yang paling tinggi se-angkatan!"
"Se-serius?"
"Iya! Terus lo nggak lemot dan lo... modis. Lo nggak pakai kacamata, apalagi behel! Terus rambut lo dicat... pokoknya lo keren banget!"
Tara sedang berapi-api menceritakan pengalamannya di realitas utama. Dia terheran-heran sendiri dengan "keajaiban" ini, dan betapa berbedanya kedua realitas ini. Namun perjalanan singkat itu ternyata menghabiskan begitu banyak chi sehingga Tara langsung pingsan sewaktu kembali. Dia tertidur sekitar enam jam, dan baru bangun beberapa menit yang lalu. Aku dan Meredith menungguinya. Meredith sudah setuju menampung kami di rumahnya—aku bahkan dibelikan pakaian baru. Pak Gino juga diizinkan menginap di kamar tamu. Baik Meredith yang ini maupun Meredith yang kukenal, dua-duanya sama-sama baik hati.
"Jen bilang, aku juga pacaran sama Reo Sahara?" tanya Meredith penasaran.
"Yes! Gosh! He's sooo handsome!" Tara mengipasi dirinya sendiri, wajahnya merona. "Dan cool, nggak letoy kayak Reo kita!"
"Terus kamu yang satunya lagi gimana, Tara? Lebih keren yang mana?"
"Ehm, soal itu..."
Tara yang ini kurang bersemangat menceritakan Tara versi realitas utama. Aku sendiri menyukai kedua Tara itu—mereka memang berbeda, tetapi sama-sama menyenangkan dan heboh. Yang paling penting, kedua Tara itu percaya padaku.
Kualihkan tatapanku ke motif bunga di selimut Tara. Meski tampaknya aku sedang menyimak Tara, tapi sesungguhnya pikiranku masih teringat pada foto yang ditunjukkan Meredith di Instagram-nya. Carl dan Toni. What the hell is happening here...
"Waktunya nggak sinkron, Jen," Tara tiba-tiba menyentuh lenganku. "Sepertinya realitas utama berjalan lebih lambat. Gue belum sempat ngecek pesta ulang tahun itu, karena gue capek banget. Lo... kenapa?"
"Nggak apa-apa, Ra." Aku tersenyum menenangkan. "Gue cuma... kelelahan."
"Dan semua yang lo ceritain ke kita itu benar!" lanjut Tara. "Ada nama Antoinette Darmawangsa di layar pengumuman Ujian. Pasti dia Toni; pengendali realitas yang menjebak elo di sini, kan?"
"Jen bilang..." Meredith memotong. "Toni itu Alice."
"Alice?" Tara membeliak kaget. "Pacarnya Carl?"
Duh. Pacarnya Carl. Kubiarkan Meredith mengambil alih penjelasan soal Carl. Aku ingin membantah, tetapi sayangnya itulah yang terjadi di realitas ini. Di sini, Carl bukan pacarku. Dia malah berpacaran dengan Alice alias Antoinette alias Toni, gadis yang mengacaukan hidupku.
"Kenapa bisa si Alice—mak-maksud gue, Toni..." Tara tergagap-gagap. "Jadi pacar Carl?"
"Realitas ini ciptaan Toni. Dia yang mengatur segalanya." Aku mendengus kesal. "Sejak semester lalu, dia memang mengincar Carl."
"Maksud lo, Toni memang udah naksir sama Carl?" tanya Tara.
"Atau jangan-jangan, dia cuma mau bikin kamu kesal, Jen," usul Meredith. Tara tercengang—aku juga. Baru kali ini Meredith mengatakan sesuatu yang "cerdas". "Kamu kan cerita kalau Toni benci sama kamu. Jadi mungkin aja dia sengaja melakukan semua ini supaya kamu, ehm... sakit hati. Dia mau bikin hidup kamu menderita, Jen."
"Ya." Hatiku mencelus. Satu lagi kebenaran yang tak terbantahkan. "Memang begitu."
"Gue udah lama curiga si Alice itu psycho," tuduh Tara lancar. "Sejak dia datang ke sekolah semester lalu, gue merasa itu cewek terlalu... sempurna."
"Too good to be true," angguk Meredith. "Kayak mimpi."
Memang mimpi, sahutku dalam hati. Lebih tepatnya... ilusi.
"Kalau begitu, kita harus bikin Carl ingat sama lo juga, Jen!" kata Tara. "Soalnya kalau dia nggak kenal sama lo, di realita utama dia juga bakal lupa, kan?"
Benar, sih. "Gue setuju, Ra. Tapi... gimana caranya? Gue nggak mungkin tiba-tiba mutusin hubungan dia dengan Alice, kan? Apalagi Carl yang ini nggak kenal sama gue."
"Modifikasi waktu," Tara meregangkan jari-jarinya, seperti orang yang bakal bertinju. "Kita harus mengubah momen pertemuan Carl sama Jen, yang jadi cikal bakal hubungan kalian berdua. Kapan lo pertama kali ketemu Carl, Jen?"
"Di loteng, dua semester lalu. Pas Carl dijebak sama The Queens." Aku nggak mungkin lupa kejadian itu. "Waktu itu ada elo juga, Ra."
Tara mencebik serba salah. "Bukan Tara yang ini."
Oh, right. Aku lupa!
"Nah, kita harus kembali ke momen itu!" kata Tara. "Carl harus ketemu elo dulu sebelum ketemu Alice, Jen. Lo bisa menjelaskan tentang realitas paralel ini, sama kayak waktu lo jelasin ke kita. Kalau Carl udah mengerti, dia nggak bakal lupa sama elo!" Tara mencoba duduk tegak. "Sebentar lagi chi gue pulih total. Kita harus siap-siap! Lo ingat hari apa itu, Jen?"
"Hari pertama gue di SMA Cahaya Bangsa," kataku. "Hari pertama, dua semester lalu."
"Oke." Tara menyibakkan rambutnya. "Kalau nggak salah... empat belas Juli, ya?"
"Sebentar!" Meredith menyela. "Jen, bukannya tadi kamu cerita kalau pertama kali ketemu Carl, kalian belum ngobrol? Kamu curiga Carl nggak bisa Bahasa Indonesia. Apa kamu yakin momen itu yang jadi awal hubungan kalian?"
Aku teringat sesuatu. "Lo benar, Dith. Waktu itu gue sama Carl memang belum ngobrol. Pertama kali gue dengar suara Carl adalah waktu..." Oooh. Untung saja Meredith mengingatkanku! "Di Bellagio!"
"Bellagio?" tanya Tara dan Meredith berbarengan.
"Ya. Itu kelab malam." Cepat-cepat kutambahkan karena mereka berdua melongo. "Panjang ceritanya. Nanti gue ceritain dalam perjalanan ke sana. Kita bertiga pergi ke Bellagio di malam hari, setelah gue melihat Carl di loteng. Meredith, elo yang melihat Carl dibawa ke kelab itu."
Tara ber-uuh cemas. Meredith memutar-mutar ujung kepangannya sambil tertunduk. Seandainya bisa, aku memilih untuk jauh-jauh dari Bellagio. Pak Gino nyaris mengeluarkan kami dari sekolah gara-gara kunjungan dadakan ke kelab itu, yang berakhir dengan kericuhan.
"Yah, kalau begitu..." Tara bangkit berdiri. Dia terhuyung sedikit, tetapi segera menstabilkan diri. "Kita ke Bellagio!"
"Tu-tunggu!" Meredith menarik tangan Tara. "Kalian yakin soal ini? Tara, kalau rencana ini berhasil, maka realita yang ini—realita kita—bakal hancur!"
Hmm, cuma perasaanku saja atau Meredith pelan-pelan jadi cerdas lagi?
"Artinya semua yang kita tahu, apa yang kita punya, dan orang-orang yang kita kenal..." Wajah Meredith memucat, suaranya melejit histeris. Dia menatap Tara dengan serius. "Kehidupan kita akan musnah!"
Bukannya panik, Tara hanya terkekeh. Dia menaruh kedua tangannya di bahu Meredith, dan menekannya dengan lembut. "Lo nggak usah takut, Mer. Percaya sama gue, di realita yang satunya lagi, kehidupan kita jauh lebih seru!"
...
Lewat kekuatan Tara, kami berpindah ke dua semester lalu, saat kami menyelinap ke Bellagio. Tara yang ini lebih paham soal pengendalian dimensi, dan dia yakin bahwa dia dan Meredith belum pernah pergi ke Bellagio. Jadi tidak akan ada clash antardimensi: kejadian di mana ada dua orang yang hidup di dalam momen yang sama. Aku tahu, pengendalian dimensi itu sangat rumit. Tapi kami harus memperhitungkan semuanya dengan cermat. Kalau kami tidak berhati-hati, satu perubahan kecil saja bisa mengubah banyak hal.
Tara agak lemas setelah memakai kekuatannya, jadi aku menggantikannya menyopir (Meredith masih enggan dekat-dekat roda kemudi). Kami pun meluncur ke Bellagio. Pak Gino memilih tinggal di rumah. Menurutnya, jika terlalu banyak orang yang ikut memodifikasi waktu, maka kemungkinan kesalahan akan makin besar.
Begitu masuk ke area parkir Bellagio, Meredith mulai panik lagi.
"Jen... gimana tadi rencananya? Aku lupa."
"Masuk ke dalam, kasih Jen waktu buat ngomong sama Carl, terus udah," kata Tara dari kursi belakang. "Gampang kok, Mer."
"Oke." Meredith memeluk dadanya. "Kita akan masuk pakai trik 'orang dalam' kayak yang diajarin Jen. Terus—"
"Kita coba panggil Carl supaya ketemu Jen," sambung Tara.
"Dengar dulu!" Meredith mulai terisak, sepertinya dia betul-betul gugup. "Jen tadi bilang, di realitas utama kita berhasil keluar karena aku membuat jeruk-jeruk raksasa yang mendobrak pintu. Masalahnya... aku nggak bisa!"
Aku refleks menginjak rem. "Ya ampun, gue lupa soal itu!"
Kami bertiga bertukar pandang lewat spion tengah. Gawat, bisa repot, nih! Meredith yang ini tidak seahli Meredith yang satunya lagi, dan aku juga tidak punya kekuatan. Satu-satunya yang bisa diandalkan adalah Tara, tapi dia juga sudah cukup kelelahan karena membawa kami mengarungi waktu.
"Kita pikirin itu nanti." Tara mendesah, lalu menepuk bahu kami berdua. "Kita udah sampai di sini. Kita masuk aja sekarang."
Aku mencoba menegarkan hati Meredith dengan mengusap-usap bahunya. Kami bertiga keluar dari mobil. Aku sudah pernah melakukan ini sebelumnya, tapi kedua teman "baruku" masih awam. Nggak masalah. We can do this!
Kami mendekati pintu masuk Bellagio. Aku mencoba mengingat-ingat. Penjaga pintunya adalah seorang pria bertubuh besar seperti beruang. Dia akan melarang kami, lalu aku akan berpura-pura kenal dengan Anne-Marie yang sudah ada di dalam saat ini. Kami akan masuk ke dalam, lalu terus menuju stage, tempat Anne-Marie sudah menunggu bersama Rita dan Carly, kedua antek-anteknya. Carl duduk di dekat situ, sedang dirayu oleh seorang tante girang.
Baiklah.
"Hei!" Aku mengedik pada si pria beruang. Dia ada di sana, persis seperti dua semester lalu. Seketika aku optimis rencana ini bakal lancar. "Malam!"
Si pria beruang memicing menatapku. "Lo siapa?"
"Gue teman Anne-Marie," jawabku, dengan lagak se-cool mungkin. "Boleh masuk, kan? Gue juga bawa teman-teman."
"Wazzup?" sapa Tara sambil mengedipkan mata.
"Y-yo!" tegur Meredith kaku. "Mak-maksud aku, h-hai! Apa kabar?"
Aduh, Meredith!
Oke, tetap tenang, Jen. Kamu harus mengendalikan ini. "Masuk, ya?"
"Lo bilang tadi lo teman-teman Anne-Marie?" tanya si pria beruang. Aku mengangguk. "Kalau begitu, lo semua harusnya masuk lewat pintu belakang!"
Pintu belakang? "Uh-uh. Oke."
Pria itu mengedik dan menunjuk pintu belakang dengan jempolnya. Aku mengangguk sambil pura-pura lumrah, dan pergi ke arah yang ditunjukkannya. Tara dan Meredith mengekorku seperti dua anak bebek yang kebingungan.
"Kenapa kita masuk lewat pintu belakang?" bisik Meredith, suaranya surut jadi seperti cicitan tikus. "Ini nggak sesuai rencana, Jen!"
"Ya udah, sih!" hardik Tara. "Yang penting kita bisa masuk!"
Kami menelusuri gang sempit di samping bangunan kelab. Suasananya agak temaram, karena hanya diterangi beberapa lampu redup. Di ujungnya terlihat sebuah pintu yang terbuka. Alunan musik yang keras mengalir keluar dari pintu itu, dibarengi sinar warna-warni lampu disko.
"Hai!" Aku menyapa dua orang laki-laki yang sedang merokok di sana. Mereka memakai celemek, sepertinya pelayan. "Kita mau ketemu Anne-Marie."
Kedua laki-laki itu memandangi kami dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kami sudah memakai busana ala anak hiphop yang suka dugem. Uh-oh. Kenapa lagi, nih?
"Kenapa nggak datang sore tadi?" tanya laki-laki pertama.
"Kita..." Tara berkata serak. "Ketiduran."
Kedua laki-laki itu malah tertawa. "Wah, nggak niat, nih!"
Nggak niat? Apa maksudnya? Kami nggak mungkin bertanya balik, karena mereka bisa curiga. Meredith mulai menyikut rusukku dengan brutal, dia terisak diam-diam memegangi tanganku.
Huh. Aku nggak boleh gagal! "Anne-Marie nya ada, kan?"
"Ada." Laki-laki kedua menjatuhkan rokoknya ke tanah dan menginjaknya sampai mati. "Kalian telat banget, tapi yah... untung hari ini ramai. Kita lagi butuh."
Tara melirikku lewat sudut matanya dan tersenyum gugup. Telat? Butuh? Kami tidak tahu apa yang dimaksud kedua laki-laki ini. Apa kedatangan kami sudah ditunggu-tunggu?
Laki-laki yang pertama masuk ke dalam. Dia berteriak untuk mengatasi kebisingan kelab—aku tidak bisa menyimak kata-katanya, tapi sepertinya dia sedang berdebat dengan seorang wanita. Lalu akhirnya wanita itu balas berteriak, "Yaaa...", dan seseorang muncul.
"Nih!" kata si laki-laki kedua sambil menunjuk kami. "Anak-anak baru!"
Gadis yang muncul barusan memakai setelan pelayan. Dia menatap kami bertiga dengan kebingungan, tapi aku langsung mengenalinya. Tatapan kami berserobok. Dia Anne-Marie, ketua The Queens, geng paling ditakuti di SMA Cahaya Bangsa.
Sekujur tubuhku merinding.
"Anne-Marie... Lo... hidup."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top