21. Para Sahabat


Gumpalan awan yang berarak-arak itu mengingatkanku pada es krim cone. Langit di latar belakangnya berwarna pink, seperti dilukis dengan krayon, dengan semburat ungu pucat di bagian atasnya. Beberapa bintang yang paling terang sudah menampakkan diri, membuatku betah memandangi angkasa berlama-lama.

Ini terasa seperti langit yang berbeda. Bukan langit Jakarta. Aku belum pernah melihat langit seperti ini di realitas yang satunya lagi. Apa Toni sengaja membuat langit di sini lebih indah?

Sesaat aku tergoda untuk bilang, mungkin di sini lebih baik. Cepat-cepat kubatalkan kata-kataku itu. Jangan sampai terucap. Kata-kata adalah doa, kan?

Kami sedang duduk di bangku di taman kecil tepat di seberang rumah Tara, menunggu sahabatku. Aku menoleh dan melihat Pak Gino tertidur sambil bertopang dagu. Mantan guruku itu tampak kelelahan. Aku tidak mau mengganggunya. Semuanya ini memang melelahkan.

Percakapan dengan Mom tadi siang berjalan baik. Aku tidak tahu apakah aku berhasil meyakinkannya—Mom hanya termangu sambil menangis, dan tidak mengatakan apa-apa lagi selain memegangi tanganku. Akhirnya Andre mengusirku, jadi aku bergegas keluar dari limusin sebelum muncul ribut-ribut lebih jauh. Tapi aku merasa lebih padat sekarang, seakan-akan ada yang menambah bobotku. Sebelumnya semua terasa surreal, seperti ilusi. Kurasa itu pertanda baik: Mom mengingatku, sehingga eksistensiku di realita ini jadi solid.

Kulirik jam tangan Pak Gino. Tak lama lagi, Tara akan pulang.

Kira-kira seperti apa Tara di realitas ini, ya?

Aku sudah bertemu dengannya dua kali, tetapi hanya sebentar, di kunjungan-kunjungan tiba-tiba itu. Apa Tara yang ini akan berbeda dengan Tara yang kukenal? Apa dia betul-betul lupa padaku juga, seperti Mom? Yang perlu kulakukan adalah membuat Tara mau melintasi ruang dan waktu, menuju ke realitas yang sebenarnya. Kalau itu terjadi, maka realitas alternatif yang dibuat Toni ini akan hancur. Tara adalah kunci dari rencanaku dan Pak Gino.

Dari kejauhan, aku mendengar derum mobil. Tidak berapa lama, sebuah Honda Civic hitam muncul. Itu mobil yang dikendarai Tara.

Dia datang!

Aku bangkit berdiri, dan pergi ke arah jalan. Aku harus menghentikan mobil itu sebelum sampai ke rumah, karena kalau sampai terlambat, aku pasti nggak akan diizinkan masuk ke rumah Tara yang megah. Lagi-lagi aku harus memakai cara ekstrem, tapi mau bagaimana lagi. Asalkan aku tidak mati, aku harus optimis bisa melakukan ini.

Kutarik napas dalam-dalam dan berhenti tepat di tengah-tengah jalan. Mobil itu berdecit karena mengerem mendadak (Jangan tabrak aku! Jangan tabrak aku!), dan oleng sedikit ke kiri. Mesinnya berdesis, lalu mati. Pintu pengemudinya terbuka dan seseorang melangkah keluar.

"Ma-maaf! A-aku baru belajar nyetir. Kamu nggak apa-apa, kan?"

Baru belajar nyetir, katanya? Meredith yang paling pertama punya SIM di antara kami! "Lo Meredith, kan?"

Meredith Smith terbelalak karena ditegur orang asing. Padahal aku yang lebih kaget melihat penampilannya. Meredith yang ini memakai kacamata tebal sekali, sehingga matanya diperbesar tiga kali lipat seperti mata cewek-cewek anime. Rambutnya yang biasanya digerai sekarang dikepang dua. Dia memakai kawat gigi, blazer yang kebesaran dua ukuran, dan rok sepanjang betis. Penampilan gadis ini begitu culun, sehingga nyaris menggelikan. Meredith yang kukenal nggak akan pernah memakai rok sepanjang itu. Dia memang jenius, tapi bukan nerd.

"Ka-kamu..." Meredith tergagap-gagap sambil memeluk dadanya. "Siapa? Kok kamu kenal sama a-aku?"

Sebentar. Kenapa mobil Tara disetir oleh Meredith?

"Hei! Kok malah ngobrol?"

Pintu penumpang terbuka, dan Tara Handoko keluar. Ah, rupanya Tara versi ini juga "dimodifikasi". Kuperhatikan rambutnya sedikit lebih panjang, dan cara jalannya lebih rapi, tidak serabutan seperti Tara sahabatku. Gadis ini juga pakai kuteks, anting-anting, dan beberapa gelang yang imut. Tara yang kukenal—yang satunya lagi, maksudku—agak tomboi.

"I-ini, Tara..." Meredith yang sudah pucat pasi membungkuk sedikit pada Tara (sesuatu yang juga tidak akan pernah dilakukan Meredith yang kukenal). "Cewek ini tiba-tiba nongol, dan aku... setirnya... ter-terpaksa harus..."

Kata-kata Meredith hilang dan dia hanya bisa meringis gugup.

"Lo siapa?" Tara mendekatiku. "Kenapa lo tiba-tiba muncul di tengah jalan kayak tadi? Bahaya, tahu! Bisa-bisa lo celaka!"

Aku tidak tahan melihat ketidaktahuan kedua sahabatku ini. Meski masih bersama-sama mereka kemarin—atau... kapan? Entahlah, ini dimensi yang berbeda, kan?—aku merasa kangen sekali pada mereka.

"Lo..." Kutunjuk Tara. Mungkin sebaiknya basa-basi dulu? "Kenapa nggak nyetir mobil, Ra? Itu mobil lo, kan?"

Sama seperti Meredith, Tara juga tercengang. "Lo... kenal gue?"

"Iya. Lo Tara Handoko. Gue..." Wah, tampaknya aku harus berbohong supaya Tara nggak panik atau menuduhku sebagai stalker. "Tadi tanya ke satpam di depan kompleks. Katanya rumah lo yang ini."

"Lo bohong." Tara memicing. "Kalau lo beneran tanya ke satpam, lo pasti tahu kalau ini rumah Meredith Smith."

Hah? "Kalian... tukaran rumah?"

Meredith mulai mundur menjauh. "Siapa yang tukaran rumah? Ini memang rumah Meredith dan itu mobilnya," kata Tara. Dia bersedekap, lagaknya menjaga jarak.

Ohoho, aku paham. Jadi rupanya di realita ini Tara dan Meredith bertukar rumah! "Kalau begitu, ngapain lo di sini, Ra?"

"Gue mampir hari ini buat ngajarin Meredith, karena dia dapat nol lagi di ulangan harian," Tara mengerling pada Meredith. "Kalau pas remedial dapat nol lagi, bisa-bisa dia nggak lulus!"

Tawaku otomatis pecah. Seorang Meredith dapat nol? Dan dapat kursus privat dari orang lain pula? "Mustahil! Meredith itu anak paling pintar di sekolah, dia nggak pernah dapat nilai di bawah sembilan puluh lima..."

Meredith dan Tara beradu pandang. "Kamu siapa, sih?" tanya Meredith.

"Gue Jen. Gue sahabat kalian!" Toni, lo benar-benar kreatif dalam membuat realitas alternatif ini! "Kalian nggak ingat karena gue berasal dari realitas lain—"

Tiba-tiba Tara mendekatiku dan menyambar kerahku. Semula kupikir Tara bakal membantingku ke tanah, tapi dia hanya menarikku ke arahnya.

"Realitas lain?" bisiknya. "Lo serius?"

"I-iya. Lo nggak sadar soal ini, tapi sebetulnya—"

Aku kehilangan kata-kata. Tara memelototiku, ekspresi wajahnya seperti melihat makhluk mitologi yang melompat keluar dari buku dongeng. Tapi tiba-tiba dia mendesah lega dan tersenyum lebar.

"I knew it!" Tara berpaling pada Meredith. "Lo dengar kata cewek ini barusan, Mer? Ternyata gue memang nggak gila!"


...


Meredith menekan naik kacamatanya yang sudah melorot sampai ke ujung hidung. "Realitas alternatif? Maksud kamu, ada... Meredith yang lain?"

"Ya. Dan Tara yang lain juga."

Meredith menggigit bibir. Dia tampak kesulitan mencerna semua ini—hal yang lagi-lagi mustahil terjadi pada Meredith di realitas utama.

Tara kembali dari kamar kecil bersama seorang asisten rumah tangga. Aku disuguhi kue dan minuman. Meredith mengucapkan terima kasih pada asisten rumah tangga itu. Pak Gino memilih menunggu di teras depan. Meredith sudah memastikan mantan guru Kimia itu juga diperlakukan dengan baik. Aku sudah menceritakan semua yang terjadi pada Tara dan Meredith. Awalnya mereka kaget karena aku tahu mereka adalah pengendali, tetapi setelah mendengar ceritaku, mereka berdua langsung paham.

"Apa yang terjadi..." Tara berkacak pinggang. Dia belum duduk. "Kalau gue menolak membantu elo, Jennifer?"

"Toni si pengendali realitas akan semakin merajalela," sahutku. "Dan gue bakal 'mati' betulan di realitas utama itu."

"Jadi, gue harus melakukan ini supaya lo selamat, begitu?"

"Ra, dia bilang, dia teman kita," kata Meredith membelaku.

"Gimana gue yakin bahwa lo bukan Toni, si pengendali realitas itu?" balas Tara. "Bisa aja elo adalah Toni yang menyamar, kan?"

"Toni itu..." sela Meredith. "Cewek, kan?"

"Iya!" Tara berdecak gusar. "Lo lemot banget sih, Mer! Kan dari tadi udah dikasih tahu! Memangnya lo nggak menyimak cerita si Jennifer?"

"Aku dengerin, kok. Tapi karakternya banyak banget, aku jadi pusing..."

Tara mengibaskan tangan dan menunjukku. "Nah. Prove your words!"

"Gue nggak bisa membuktikan itu, karena gue bukan pengendali dimensi," kataku. "Tapi elo bisa, Ra. Lo tinggal perlu kembali ke dimensi utama dan membuktikan semuanya. Semua yang gue katakan itu benar."

"Maksud lo, gue harus... berpindah ke dimensi yang lain?" Bahu Tara bergetar. "Ke realitas utama yang lo sebut-sebut ini?"

Aku mengangguk dalam-dalam.

Tara mendesah dan berjalan mondar-mandir. "Gue memang merasa ada yang aneh belakangan ini. Gue udah cerita ke Meredith, tapi dia, yah... nggak ngerti. Gue dikira gila! Gue bingung harus cerita ke siapa! Terus tiba-tiba hari ini lo muncul dan menceritakan tentang dimensi alternatif itu..." Tara mengusap-usap lehernya, seperti kehausan. "Realita yang ini terasa nggak nyata, seperti mimpi. Gue merasa... tebal. Kayak dobel-dobel. Seolah-olah gue yang di sini cuma copy-an, nggak solid..."

"Itu karena ini memang realitas alternatif—ilusi yang diciptakan Toni." Ah, aku beruntung sekali Tara langsung mempercayaiku. Meredith yang ini sepertinya ragu-ragu—atau malah dia nggak paham, entahlah. "Buktiin aja, Tara."

"Gimana caranya kamu pindah dimensi, Ra?" tanya Meredith polos.

"Manipulasi ruang dan waktu. Ini susah banget. Gue harus mencari titik yang tepat di garis waktu dan memutar—oh, for fuck's sake!" Tara memekik karena Meredith memandanginya dengan mulut menganga, liurnya nyaris menetes. "Lo bengong lagi, Mer! Pasti nggak ngerti juga, kan?"

Astaga. Kalau Meredith bertemu dirinya yang versi ini, pasti dia juga nggak akan tahan. Meredith yang ini kebangetan lemotnya.

"Gue yakin lo bisa, Ra," kusemangati dia. "Lo cuma perlu fokus. Lo bisa mulai dari pengumuman Ujian. Itu hari Senin, dan—"

"Gue ingat kok, Jen." Tara bangkit berdiri. "Cuma... gue belum pernah melakukan hal kayak gini sebelumnya."

"Tapi kalau lo berhasil, itu artinya lo jadi makin kuat, kan?"

Mata Tara berbinar. Aku kenal kilau itu. Tara suka ditantang—dia tidak pernah mundur kalau harus menghadapi tantangan seperti itu.

"Gue bisa mencoba..." Tara mengibaskan tangan dan beranjak keluar ruangan. "Secara teoritis gue tahu caranya berpindah dimensi—Pak Yu-Tsin pernah mengajarkan..."

"Secara teoritis?" Meredith memekik dan menyambar lengan Tara. "Jangan ambil risiko, deh! Kalau kamu nggak bisa balik, gimana? Tempat yang kamu tuju itu... dimensi, ehm... apa tadi namanya?"

"Realitas utama," kataku sambil menahan tawa.

"Realitas utama," Meredith mengangguk kencang-kencang, kacamatanya bergoyang-goyang. "Ada di Google Maps, kah? Kamu share titik dulu aja, supaya kalau kamu hilang, kita bisa bantu cari—"

"Gue pasti balik, kok," Tara menyela. "Gue bakal baik-baik aja."

"Tapi—"

Tara melenguh sebal dan segera pergi. Dia mengarah ke pintu depan, dan Pak Gino ada di teras untuk mengawasinya. Meredith menatap kepergian Tara dengan mata berkaca-kaca, seolah-olah ditinggal mati.

Aku mengambil kueku dan menyantapnya. Dengan begini, semuanya akan segera kembali normal. Meredith menontonku makan sambil cemberut.

"Kita... betulan bersahabat ya, Jen?"

"Iya. Kamu nggak ingat sedikitpun ya, Meredith?"

Meredith menggeleng pelan.

Kuceritakan semua yang pernah kualami bersama Meredith. Bagaimana dia menyelamatkan aku, Tara dan Carl di Bellagio dengan mencipta jeruk-jeruk raksasa. Meredith yang ini juga pengendali tanaman, tetapi versi downgrade yang jauh lebih cupu. Pasti karena Toni tahu Meredith amat jago dalam mengendalikan. Meredith di hadapanku cuma bisa memakai kekuatannya untuk menumbuhkan enceng gondok dan rumput liar.

Liburan kami di Jepang itu juga kuceritakan—uuh, andai saja aku punya ponsel, aku bisa menunjukkan foto-foto itu! Lalu bagaimana kami bahu membahu menyelamatkan pesawatku yang nyaris terjun bebas. Dan segala kegilaan yang dilakukan Toni semester lalu; bagaimana dia menghilangkan kekuatan orang-orang cuma untuk bersenang-senang. Aku ingin melanjutkan bercerita soal kejadian di Monas, tetapi Meredith sudah mengernyit sangat dalam sambil mengurut-urut keningnya. Pasti dia nggak paham lagi.

Wah, kalau sudah seperti ini, lebih baik aku berhenti saja. "Oh, ya. Di realita utama, lo juga punya cowok, Dith."

"Co-cowok?" Meredith langsung duduk tegak. "Si-siapa? Memangnya ada yang suka sama cewek ada kayak aku?"

"Ada. Namanya Reo Sahara. Dia—"

"REO SAHARA?" Meredith menjerit. Dia melompat berdiri dan mengipasi wajahnya sendiri. "REO SAHARA YANG ITU?"

"Ehm... iya. Ada Reo Sahara juga di sini, kan?"

"Nggak mungkin banget!" Meredith bergidik. "Si Reo kan... dia..."

"Memangnya Reo kenapa?"

Meredith mencabut ponselnya dan duduk di sampingku. Dia membuka Tiktok, dan memperlihatkan sebuah video padaku.

'Hi, babes! Aku mau punya kejutan, nih!' Reo Sahara si prince charming muncul di layar. Tapi... ada yang lain. Suaranya, gerak-geriknya... 'Aku mau kasih tips makeup fierce ala Kim Kardashian! Yaaay! Tepuk tangan dooong! Aku pakai produk-produk ini, niiih... foundation jenis matte, concealer untuk kantong mata, pensil alis waterproof...'

"Dia..." Aku hampir tidak memercayai mataku. Reo yang ini gemulai. "Jadi makeup artist? Bikin tutorial MUA?"

"Nggak cuma makeup, juga. Tapi sampai produk fashion juga." Meredith menjentik-jentik heboh di ponselnya, menunjukkan video-video Reo yang lain. "Kemarin dia juga nge-review korset pelangsing, sama cara jalan pakai stiletto..."

Wah, sepertinya Toni menukar Reo dengan Azka di realita ini!

"Makanya mana mungkin aku pacaran sama dia?" Meredith mengangkat bahu. "Reo cakep sih, tapi... yah... kayak begitu. Sayang, ya? Tapi anak-anak di sekolah udah tahu, kok. Malah dengar-dengar Reo udah punya cowok."

Reo punya cowok? O-my-God! Aku nggak tahu harus tertawa atau sedih mendengar ini. Apa sih yang dipikirkan Toni sewaktu menciptakan realita ini?

"Reo normal, kok." Reo, aku nggak bakal ngebiarain kamu dilecehkan begini! "Kalian tuh cocok banget, Dith! Lo kan bule, sementara Reo blasteran Jepang. Kata Tara—jangan bingung dulu, maksud gue Tara di realitas utama—kalau menikah, kalian pasti punya anak yang lucu-lucu..."

"Punya anak, ya?" Meredith nyengir ragu. "Memangnya si Reo bisa..."

Astaga!

"Memangnya lo nggak naksir sama si Reo, Dith? Dia kan ganteng banget!"

"Iya, sih. Tapi kurang macho aja," kata Meredith. "Bukannya aku nggak suka cowok kalem. Aku justru suka cowok kalem, tipeku banget. Tapi yang normal, ya. Kayak si Carl Johnson..."

"Siapa?"

"Ca-rl-John-son," eja Meredith, seakan sedang berbicara dengan anak lima tahun. "Di realitas utama, ada dia juga, nggak?"

"Ada!" Jen, kenapa kamu baru kepikiran sekarang? Di sini pasti ada Carl juga! "Ehm... malahan... sebetulnya gue pacaran sama dia!"

"Masa?" Anehnya, Meredith tampak sangsi. "Tapi kamu bukan Alice."

"Alice?"

Meredith mengutak-atik ponselnya lagi. Dia membuka Instagram, dan menunjukkan sebuah foto padaku. "Ini si Alice. Dia pacar Carl."

Ada Carl bersama seorang gadis di sana. Dan gadis itu adalah Toni.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top