20. Ibu
Aku tidak mau menerima jawaban itu. Terlalu mudah. Aku tidak rela menerimanya begitu saja. Pak Gino tampaknya akan menyerah—aku mengerti alasannya—tapi dia tidak bisa menyerah sekarang, saat kehidupannya dan kehidupanku sedang dikacau balaukan begini. Dan dia satu-satunya orang di kehidupan versi ini yang mengenalku. Hanya dia yang bisa menolongku.
Aku memikirkan alasan untuk menolak. "Apa Bapak nggak mau bertemu Toni lagi? Kalau Bapak dan saya terjebak dalam kehidupan ini, Bapak nggak akan pernah bertemu keponakan Bapak lagi."
Hanya itu alasan yang bisa kupikirkan, tapi tampaknya sudah cukup. Pak Gino mencodongkan tubuhnya ke depan dan memegangi kepalanya, seperti pening.
"Tidak baik hidup dalam mimpi."
Aku diam, menunggu efek kata-kataku. Aku tahu yang dimaksud Pak Gino adalah Toni.
"Realita hidup kita, seberapa kelam, seberapa menyakitkan, tetaplah bagian dari diri kita. Dan ketika kita tidak menyukai keadaan, kita berhak mengubahnya. Namun kita harus berjuang keras supaya keadaan kita membaik, bukannya kabur dan malah hidup dalam khayalan," kata Pak Gino lirih. "Anisa harus belajar tentang itu. Dia harus belajar menerima masa lalunya, bukannya meniadakannya."
"Saya tahu, Pak."
"Ini juga berlaku buat kamu, Jen," lanjut Pak Gino tanpa menatapku. "Selama ini kamu selalu uring-uringan tentang hidup kamu—saya mengetahuinya. Kamu sering komplain karena harus menjalani hidup sebagai Jennifer Darmawan. Sama seperti Anisa, kamu juga harus berhenti menyesali kehidupan kamu. Sudah waktunya bagi kalian berdua untuk bersikap dewasa."
Ah. Aku kehilangan kata-kata.
Meski malu mengakuinya, tetapi Pak Gino benar. Tanpa kusadari, sebetulnya aku juga sering berusaha mengubur latar belakangku karena merasa tidak nyaman. Dan sekarang, ketika Toni memberiku kesempatan untuk "bertukar hidup", aku malah keberatan. Aku tidak pernah betul-betul memikirkan ini. Kurasa wajar jika orang sepertiku enggan dengan kehidupan semacam ini, tapi ternyata semuanya tidak sesederhana itu. Hidupku dan Toni tidak sempurna dengan caranya masing-masing. Dan kami harus belajar menerima itu.
"Saya akan mencoba ikhlas..." Aku berkata sungguh-sungguh. Perubahan mendadak ini memang pukulan telak buatku. "Tapi, apa dengan menerima realita hidup, saya bisa memperbaiki keadaan?"
Pak Gino menggeleng sedih.
"Bapak bilang ini hanya semacam realitas alternatif, kan?" Harus ada jalan. Pasti ada jalan. Aku tidak mau terjebak di kehidupan ini, tanpa ada yang ingat padaku! "Sementara Toni hidup di realitas utama—realitas kehidupan kita yang sesungguhnya. Berarti kita cuma perlu kembali ke realitas utama, kan?"
"Tidak segampang itu," tolak Pak Gino. "Realita tersusun atas ruang dan waktu. Realita Anisa dan realita kita punya dimensi ruang dan waktu yang berbeda. Kalau kita ingin kembali ke realita utama, maka kita—"
Pak Gino berhenti mendadak. Dia menatapku, dan seketika aku tahu apa yang dia pikirkan. Dia baru saja menyebutkan jawaban atas masalah ini.
Ruang dan waktu.
"Pengendali dimensi!"
Kami mengucapkan itu bersama-sama. Ya ampun, aku yang kemarin pasti nggak akan pernah mengira bakal berdiskusi akrab dengan si monster seperti ini!
"Saya harus mencari Tara, Pak. Dia bisa membantu kita! Tapi..." Masih ada yang belum pas. "Apa Tara Handoko juga ada di realitas ini? Bagaimana dengan para sahabat saya yang lain? Bapak bilang Toni adalah pencipta realitas ini, jadi dia bisa saja menghilangkan orang-orang yang saya kenal supaya hidup saya lebih menderita..."
Pak Gino tidak langsung menjawab. Dia menelengkan kepalanya ke arahku, seperti ingin memintaku mengulangi pertanyaan-pertanyaanku tadi.
"Anisa tidak bisa membuat sesuatu yang tidak dia ketahui."
"Saya... tidak paham, Pak."
Pak Gino memungut selembar daun yang jatuh di dekat kakinya. "Bagaimana kamu tahu kalau yang saya pegang ini adalah daun?"
Pertanyaan macam apa itu? "Karena saya... tahu?"
"Sudah pasti, kan? Maksud saya, kamu tahu ini daun karena kamu pernah melihatnya atau pernah mempelajarinya. Kamu tidak akan mengenali benda ini sebagai daun kalau kamu belum pernah melihat seperti apa daun itu." Pak Gino melipat daun itu dan meniupnya. "Realitas alternatif ini pastilah dibuat Anisa berdasarkan apa yang dia tahu soal kehidupan kamu di realitas utama. Tapi Anisa tidak tahu semua detail kehidupan kamu, Jen. Itulah yang saya maksud kenapa realitas ini masih rapuh—ada bagian-bagian yang tidak bisa dibuat Anisa karena ketidaktahuannya itu, dan dia akan mencoba mengisinya sebisanya. Kita bisa memanfaatkan 'kekosongan' realitas ini untuk mengubahnya."
Ooooh!
"Jadi saya rasa realitas alternatif ini akan mirip-mirip dengan realitas utama," lanjut Pak Gino. "Artinya, kemungkinan besar ada Tara Handoko lain di sini. Hanya masalahnya, dia tidak kenal sama kamu."
"Saya bisa meyakinkan Tara bahwa kami bersahabat!" Sekonyong-konyong semuanya menyatu dalam pikiranku, seperti puzzle yang sudah jadi. "Dia bisa pindah ke realita utama untuk membuktikan bahwa kami bersahabat—Tara malah sudah melakukannya dua kali!"
Pak Gino mengerjap bingung. Kuceritakan padanya soal kemunculan dua sosok Tara yang lain beberapa hari sebelumnya. Tara kedua itu pasti datang dari realita ini: Tara yang muncul di pengumuman Ujian, Tara yang bertanya padaku di pesta ulang tahunku apakah kami bersahabat. Ya, tak salah lagi! Semuanya cocok! Meredith pasti bangga sekali padaku karena berhasil memecahkan misteri ini!
Pak Gino tidak langsung puas. Dahinya berkerut, pertanda sedang berpikir.
"Di realita utama..." Aku teringat hal lain, yang mungkin berhubungan dengan hipotesisku ini. "Saya sempat tidak bisa melihat bayangan saya sendiri." Kutambahkan cerita soal bayanganku yang menghilang waktu di kelas.
Pak Gino memejamkan mata sambil mengernyit. "Pengendalian realitas itu amat kompleks..." Dia bergumam-gumam sendiri. "Bahkan Dewan Pengendali tidak sepenuhnya paham soal itu. Bayangan kamu yang menghilang di realita utama... saya rasa itu adalah bukti bahwa di masa depan Anisa akan melenyapkan kamu, sehingga eksistensi kamu di masa lalu perlahan-lahan mulai terhapus."
Aku sudah paham apa yang sedang terjadi. Intinya aku harus kembali ke realitas utama, ke kehidupanku yang sebenarnya. Karena kalau aku terjebak di sini, Toni yang akan mengatur hidupku selamanya. "Pak, kita betul-betul butuh pengendali dimensi!"
Pak Gino membuka matanya. Tangannya yang kurus seperti cakar bergerak-gerak, seakan mencoba mengurai isi kepalanya. "Realitas alternatif ini seperti kendi tanah liat yang belum kering. Kita harus bergerak cepat, selagi realita ini masih 'diproses'. Kalau Tara cukup kuat, dia bisa membuat jalan pintas yang tembus ke realitas utama. Dengan begitu, dia bisa membawa kita berdua kembali ke realitas utama."
"Tapi bukannya Toni tidak ingin kita kembali ke realitas utama?"
Pak Gino tersenyum misterius. "Kita tidak perlu meminta izinnya, kan? Asalkan jalan pintas itu bisa dibuat Tara, kita tinggal melewatinya. Ini seperti melompati pagar sekolah, Jen. Hanya karena ada pagar, bukan berarti kita tidak bisa melintas, kan?"
Aku tahu ide ini memang brilian! "Kalau begitu, kita harus ke rumah Tara, Pak!"
"Tidak. Kamu harus mulai dari ibu kamu."
"Ibu saya?"
"Ya." Pak Gino menuding-nudingku. "Ibu kamu yang melahirkan kamu di realita utama. Di realita ini, kalau ibu kamu tidak mengakui kamu sebagai anaknya, maka kamu belum eksis. Tara Handoko tidak bisa berteman dengan seseorang yang belum dilahirkan, Jen."
Oh.
Oh.
Yah, kalau seperti itu... masuk akal juga sih. Tapi... ugh. Mom? Aku lumayan optimis bisa meyakinkan Tara, tapi kalau Mom... Maksudku, waktu di lampu merah, aku sudah mencoba. Mom malah mengancam akan melaporkanku ke polisi!
"Jen," Pak Gino menepuk pundakku. "Ibu kamu adalah kuncinya."
"Baiklah." Oke, Mom. You have to admit that I'm your daughter! "Kita harus, ehm... menemukan limusin itu." Tapi, bagaimana caranya? Berpikir, Jen. Berpikir! "Sekarang jam makan siang. Kalau mampir di Jakarta, ibu saya selalu makan siang di Hotel Hilton di daerah Kuningan."
Pak Gino bangkit berdiri. "Kita harus mengecek ke sana!"
...
Pak Gino mengantarku ke sebuah pom bensin untuk membersihkan diri di toilet umum. Ada jas hujan plastik yang sedang ditiriskan di dekat toilet—sepertinya milik salah satu petugas pom. Aku terpaksa mengambil jas hujan itu untuk menutupi pakaianku yang lusuh. Hari agak mendung, jadi memakai jas hujan seperti ini tidak terlalu mencurigakan. Kemudian kami berangkat ke Hotel Hilton. Untung saja Pak Gino membawa uang, sehingga kami bisa naik taksi online.
Kami turun di dekat parkiran masuknya. Begitu melihat limusinku diparkir di sana, aku lega luar biasa. Tebakanku benar!
Dengan busana seperti ini, aku pasti dilarang masuk ke restoran hotel oleh petugas security, jadi kuputuskan untuk menunggu sampai Mom selesai. Kami bergerombol di dekat portal parkir, sambil mengamat-amati.
Sepuluh menit menunggu, Mom muncul. Dia memang tidak suka dijemput di depan restoran selesai makan siang dan memilih berjalan ke parkiran, untuk 'menurunkan makanan' (padahal Mom nggak pernah makan banyak). Sang sopir limusin keluar dan membukakan pintu untuknya.
Aku bergegas pergi, tetapi Pak Gino menarik tanganku.
"Ingat, kamu harus berhati-hati, Jen," katanya serius. "Meskipun ini realita alternatif, tetapi tetap berbahaya. Kamu tidak boleh mati di realita ini. Kalau kamu mati di sini, di realita utama kamu juga akan meninggal."
Yah, aku sudah menebak bahwa solusi ini pun pasti ada risikonya. Sopir Mom punya senjata, karena dia merangkap bodyguard. Dan dia bisa menggunakan senjata itu, jika Mom terancam. Aku tidak berniat mati di realita ini, tanpa diingat siapa-siapa. "Saya mengerti, Pak."
Pak Gino menepuk punggungku untuk menyemangati. Aku mengendap-endap dari belakang limusin, bergerak ke arah pintu yang satunya lagi yang masih tertutup. Sang sopir tidak melihatku, karena perhatiannya terpusat pada Mom.
Begitu Mom masuk dan menutup pintu, aku langsung membuka pintu di sisiku dan menyelinap ke dalam. Mom berteriak kaget. Segera kubekap mulutnya dan kutarik dia ke arahku. Sang sopir terlonjak, tapi segera merespon dengan mencabut pistolnya.
"Siapa kamu?" Pistol itu terarah padaku. "Lepaskan Nyonya Darmawan!"
"Saya hanya ingin bicara dengan Bu Jacqueline!"
"Keluar sekarang! Saya tidak main-main!"
"Bu Jacqueline..." Tangan Mom meronta-ronta untuk membebaskan diri, napasnya menderu, tetapi kukekang dia sekuat tenaga. "Tolong dengarkan saya!"
Mata Mom bergulir ke arahku. Dia memelototiku selama beberapa saat. Come on, come on, come ooon! Aku juga tidak kuat menahannya lama-lama; fisik Mom lebih bugar dariku karena dia rutin latihan yoga.
Setelah semenit, akhirnya Mom berhenti melawan. Dia mengangguk lemah padaku, pertanda menyerah. Kulepaskan bekapanku.
"Andre, tutup pintunya."
"Tapi Nyonya—"
"Tidak apa-apa. Tutup saja pintunya."
Andre si sopir mengangguk ragu. Dia kembali ke kabin depan. Ada bunyi klik, pertanda semua pintu terkunci. Ha, dia pikir dia bisa mengurungku di sini. Aku naik limusin ini setiap hari. Aku tahu letak tombol untuk membuka sunroof-nya, jika terpaksa harus kabur.
"Kamu..." Mom memandangiku lekat-lekat. "Gadis di lampu merah itu."
Kulepaskan peganganku di tangannya. Mom beringsut perlahan ke seberang. Dia menarik tas tangannya dan menaruhnya di depan dada, seperti perisai.
"Maaf saya menyerang Anda sampai dua kali begini."
Cuping hidung Mom yang tipis melebar. "Kamu mau apa? Kamu mau menculik saya?"
Dia masih tidak mengenaliku. Dia betul-betul tidak ingat aku siapa. Fakta itu memukul perasaanku dengan telak. Aku merasa amat risih. Wanita ini ibu kandungku, dan sekarang aku harus mengenalkan diri padanya.
"Kalau kamu mau uang, saya bisa berikan. Sebutkan saja!"
Tipikal Mom banget. "Saya tidak mau uang Anda."
Mom memiringkan kepalanya sedikit. Dia selalu heran kalau bertemu orang yang tidak tertarik pada uang. Itu salah satu pelajaran pertama yang diajarkannya padaku, di kelas satu SD: semua orang mau uang, Jen. Pelajaran yang mengerikan, tapi... benar. Mother knows best, begitu Mom selalu membela dirinya. Kata-katanya waktu aku kecil itu terngiang-ngiang di telingaku.
Memori itu membuat perasaanku semakin tertusuk-tusuk. Setengah mati kutahan air mataku yang sudah menggenang.
"Bu Jacqueline..." Mom paling benci dipanggil 'Bu', dia selalu mengernyit kalau dipanggil seperti itu—nah, lihat. Dia melakukannya. "Apa ibu punya anak?"
Leher Mom menegang. "Saya tidak punya anak."
"Ibu yakin?"
Matanya melebar dan bibirnya memucat. Kulihat jari-jarinya yang berhias cincin berlian besar-besar gemetar.
"Ibu punya seorang anak perempuan..." Please, Mom. Ini semua cuma realita palsu ciptaan Toni! "Anak perempuan satu-satunya. Namanya..."
"Jennifer."
Kata itu diucapkan lewat bisikan, tapi aku mendengarnya dengan sangat jelas. Mom kelihatan kaget karena mengucapkan nama itu, dia menutup mulutnya dengan tangan. Sekujur tubuhku merinding. Air mataku mengalir. "Ya, Jennifer."
"Tapi Jennifer sudah meninggal setahun yang lalu," lanjut Mom, matanya juga berkaca-kaca. "Dia kecelakaan saat bermain ski di Swiss."
Oh, begitu ya, Toni? Ini cara kamu 'membunuh' aku di realita ini?
"Jennifer masih hidup." Kutunjuk dadaku. "Saya Jennifer."
"Tidak, kamu jangan mengada-ada," Mom mengangkat tangan, ingin mengusirku. "Saya sendiri yang memakamkannya. Putri saya sudah tiada. Saya tidak mau mengingat-ingat kejadian itu lagi. Saya tidak mau membicarakannya! Kalau kamu ingin mengungkit soal itu, sebaiknya—"
"Tapi saya di sini, di depan Anda..." Mom, ingatlah. Anakmu masih hidup, dan dia ada di sini! "Saya putri Anda. Apa Anda lupa?"
Mom menggeleng kuat-kuat. Dia mundur semakin jauh, sampai tersandar di pintu. "Kamu bukan Jennifer. Saya kenal putri saya. Dia tidak mungkin... seperti kamu. Penampilannya selalu rapi dan dia nggak akan pernah menyelinap ke mobil orang lain seperti ini. Itu sangat tidak sopan—Jennifer sangat santun... dia tahu saya akan memarahinya kalau dia kurang ajar..."
"Dia memang selalu rapi dan sopan..." Ini sungguh menyakitkan dan sulit dipercaya. "Karena Anda mendidiknya seperti itu. Berjalan tegak, jangan bungkuk, karena terkesan seperti orang malas. Menatap mata orang yang diajak bersalaman. Selalu bilang 'tolong' dan 'terima kasih'..."
Mom termangu. Dia kelihatan takjub sekaligus heran mendengarku.
"Anda membesarkannya seperti seorang putri, karena dia pewaris tunggal usaha Anda. Dia mencoba menjalani perannya, tapi Anda juga tahu bahwa Jennifer tidak selalu kepengin menjadi dirinya. Belakangan dia suka memberontak..." Kuingat-ingat semua yang kulakukan pada Mom baru-baru ini. "Anda ingin dia kembali ke New York, tetapi dia menolak. Dia tidak mengangkat panggilan telepon Anda, dan tidak membalas pesan-pesan Anda. Ya, dia melakukan semua itu...
Tapi bukan berarti dia membenci Anda..." Aku kesulitan bicara karena luapan emosi. "Ya, terkadang kalian bertengkar dan berbeda pendapat. Jennifer sering merasa Anda terlalu banyak menuntut. Dia juga punya mimpi dan cita-citanya sendiri, dan dia masih mencari tahu bagaimana mewujudkannya. Hidupnya tidak mudah, dan dia sedang berjuang. Tolong pahami sikapnya. Jennifer butuh waktu untuk menyadari bahwa Anda melakukan semua ini karena Anda sayang padanya. Dan Jennifer juga sayang pada Anda dengan sepenuh hati... karena Anda adalah ibunya."
Matanya yang seperti mataku melebar. Mom menangis.
"Jennifer tidak mati..." Kujulurkan tanganku dengan hati-hati dan kuraih tangannya. "Dia akan selalu hidup, selama Anda tidak melupakannya."
Aku terhenti, tidak mampu melanjutkan. Hanya sejauh ini yang bisa kulakukan. Aku tidak bisa memaksa lebih jauh. Aku hanya berharap...
Tiba-tiba, kehangatan yang manis mengalir dari ujung-ujung jariku. Aku menunduk dan tertegun.
Mom menggenggam balik tanganku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top