2. Panggilan dari New York


Aku terbangun dan melihat cahaya putih di atasku.

Salju?

Kubelalakkan mataku lebar-lebar. Bukan, ternyata cuma cahaya dari lampu kamar.

Aku langsung duduk. Jantungku berdentam-dentam di dalam dada, seakan aku berlari maraton saat sedang tertidur. Aku belum pernah bertemu enam orang asing dalam mimpiku itu, tetapi mereka terasa begitu nyata, seolah-olah mereka adalah sahabat-sahabatku. Tapi aku tahu mustahil aku mengenal mereka; pakaian orang-orang itu menjadi bukti bahwa mereka sudah hidup ratusan tahun sebelum masa kini—atau bahkan ribuan tahun.

Anak kecil itu. Qara...

Baru kali ini aku menjadi orang lain dalam mimpiku sendiri. Semua yang baru saja kusaksikan, aku melihatnya dari sudut pandang Qara. Kenapa bisa begitu?

Meski tidak mengenal Qara, tapi aku tahu persis siapa dia. Dari cerita-cerita Bu Olena sewaktu eskul ekstra kami, anak kecil itu adalah Pengendali Utama yang pertama, leluhurku. Entah berapa ratus tahun sudah berlalu sejak Tenshin Daimyō dan kawan-kawan bertemu di Siberia lalu memberikan kekuatan mereka pada Qara. Tapi dalam mimpiku itu, terasa seperti tadi pagi. Ingatannya begitu segar dan jelas: angin dingin yang berembus, butir-butir salju yang menerpa wajahku, suara-suara yang diterjemahkan oleh Synthannia Thievanny ke dalam kepalaku, serta rasa hangat di dadaku saat kelima pengendali itu mengalirkan kekuatan mereka ke tubuhku...

Aku bisa turut merasakan apa yang dirasakan Qara saat itu. Dia sangat ketakutan setelah tahu apa yang akan dia hadapi, tetapi setelah kelima kekuatan itu masuk ke dalam tubuhnya, dia tidak lagi ketakutan. Sebaliknya, keberanian tumbuh di dalam dirinya, seperti kuncup bunga yang perlahan-lahan mekar. Aku tidak menyaksikan apa yang terjadi pada Qara selanjutnya, tetapi aku yakin sekali bahwa Pengendali Utama yang pertama itu berhasil melaksanakan tugasnya: mengembalikan keseimbangan energi di semesta, dan menumpas kejahatan.

Tapi apa maksud mimpi itu? Kenapa aku memimpikan Qara? Aku bahkan tidak tahu seperti apa rupa Synthannia Thievanny dan kawan-kawannya. Bagaimana bisa aku bermimpi tentang orang-orang yang tidak pernah kuketahui sebelumnya?

Kuambil ponselku. Jam tiga pagi. Aku ingin memberitahu seseorang tentang mimpiku itu, tetapi teman-temanku pasti sedang tidur.

Aku turun dari tempat tidur dan minum segelas air. Tubuhku masih pegal-pegal karena latihan hari ini. Sejak penerimaan laporan akhir semester lalu, kami sudah berlatih selama dua minggu penuh. Bu Olena, Pak Yu-Tsin serta guru-guru yang lain menggembleng kami dengan keras dan mendorong kami memakai kekuatan pengendalian kami sampai di level maksimal. Aku tahu Carl, Tara, Meredith, dan Reo juga kewalahan meski mereka nggak pernah komplain—mereka sudah setuju untuk membantuku memburu kakak beradik Darmawangsa. Sayangnya tim kami harus berkurang satu orang, karena Billy pindah sekolah. Kejadian di Festival Sekolah itu bikin orangtua Billy waswas dan memindahkannya ke Melbourne, Australia (orangtuanya sudah tahu Billy pengendali dan bangga pada anaknya).

Dan selama dua minggu itu pula, aku terus-terusan merasa diawasi. Seakan Antoinette Darmawangsa bisa melompat kapan saja dari balik tirai kamarku dan merobek leherku memakai pecahan kaca. Kemungkinannya kecil—penggunaan portal diperketat sejak Toni kabur, dan satgas Dewan Pengendali memantau ruang antardimensi selama dua puluh empat jam setiap hari. Tetap saja aku masih waswas. Sampai Toni dan Lucien tertangkap, aku tidak akan merasa tenang.

Aku duduk di meja belajarku dan meraih iPad untuk mengecek situs berita. Belakangan aku jadi lebih sensitif saat membaca berita, karena bisa saja terselip informasi yang berguna tentang keberadaan Toni. Bu Olena yang melatih kami soal ini. Beberapa peristiwa mungkin tampak biasa-biasa saja di mata para non-pengendali, tetapi kalau dicermati baik-baik, bisa dipastikan peristiwa-peristiwa tersebut ada hubungannya dengan kekuatan pengendalian.

Misalnya ketika hujan es tiba-tiba melanda Bogor tiga hari lalu. Masyarakat panik karena serpihan-serpihan es jatuh ke atap rumah mereka di siang bolong. BMKG setempat menjelaskan itu hanya anomali cuaca, tetapi Bu Olena tidak secepat itu percaya. Dewan Pengendali menyelidiki dan menemukan seorang pengendali es level lima yang sedang patah hati berat karena diputusi pacarnya. Chi-nya jadi tidak terkontrol sehingga muncul lah hujan es dadakan itu. Atau kejadian-kejadian mistis. Seorang bapak-bapak sempat viral di TikTok karena ngotot mengaku dikunjungi arwah kakek buyutnya yang telah meninggal bertahun-tahun silam. Bapak-bapak malang itu nggak tahu kalau ternyata kakek buyutnya adalah pengendali dimensi dengan selera humor yang agak kelam. Setelah diringkus Dewan Pengendali, sang kakek buyut mengaku dia kepikiran untuk memberi "kejutan" pada cicitnya dengan pergi ke masa depan.

Aku membaca cepat headline berita-berita, mencari peristiwa-peristiwa aneh. Sejauh ini kami tahu bahwa Toni bisa mengendalikan kaca dan ilusi—well, sebetulnya dia pengendali realitas, tetapi Dewan Pengendali masih terlalu takut memakai istilah itu. Toni juga mengendalikan Lucien, jadi dia bisa bermain-main dengan pengendalian pasir. Dan Darmawangsa bersaudara ini sudah sering beraksi. Bu Olena rutin meneruskan kabar dari Dewan Pengendali tentang siapa saja pengendali yang kehilangan kekuatan mereka (di berita, biasanya para korban ini hanya disebutkan sakit mendadak atau keracunan senyawa aneh). Sejauh ini anak-anak SMA Cahaya Bangsa masih aman; tampaknya Toni masih senang bermain-main dengan pengendali lain di luar lingkungan sekolah. Hal ini tentu bikin komunitas pengendali gempar. Hidup kami semua kini berada di bawah bayang-bayang Antoinette Darmawangsa, sang pengendali realitas.

Lima menit membaca, aku menutup iPad itu dan menyandarkan kepalaku ke punggung kursi. Sama seperti kemarin-kemarin, hari ini juga nggak ada berita apa-apa soal Toni.

Ke mana dia?

Kami sudah melakukan segala cara untuk melacak dua orang itu. Para guru dan Dewan Pengendali mengerahkan semua sumber daya untuk menelusuri jejak Toni dan Lucien, tetapi usaha kami belum membuahkan hasil. Teman-temanku sepertinya mulai putus asa. Tara sempat keceplosan bilang menurutnya kami tidak akan pernah bisa menemukan Toni kalau gadis itu nggak ingin ditemukan, dan di dalam hati, aku setuju dengannya. Toni adalah pengendali realitas—ini artinya dia bisa memutarbalik fakta kapan saja sesuka hatinya.

Tidak banyak informasi tentang pengendalian realitas. Kata Pak Yu-Tsin, mereka sama seperti pengendali pengendali: amat sangat langka, dan luar biasa kuat. Sepanjang sejarah pengendalian yang sudah berusia ribuan tahun, hanya ada tiga pengendali realitas yang tercatat oleh Dewan Pengendali. Dua di antaranya mengidentifikasi diri secara sukarela dan bekerja untuk Dewan, sementara yang terakhir meninggal saat masih anak-anak. Saking langkanya, pengendalian realitas tidak termasuk dalam klasifikasi lima level kekuatan dari Dewan. Bu Olena yakin sebetulnya ada pengendali realitas yang lain saat ini, tetapi mereka mustahil diidentifikasi. Alasannya adalah karena para pengendali realitas dapat mematikan kekuatan lalu menghidupkannya kembali, berganti jenis kekuatan, memodifikasi dan mengambil alih kekuatan pengendali lain, sampai mentransfer chi pada non-pengendali.

Dengan kata lain, mereka bisa apa saja.

Dan mereka bisa melakukannya semudah memencet saklar lampu.

Setiap kali memikirkan ini, aku merasa nelangsa. Aku tahu semua orang berharap aku bisa mengalahkan Toni. Mereka mengandalkan aku. Tapi bagaimana caranya aku bisa mengalahkan seseorang yang bisa mengendalikan realita?

Bahkan Bu Olena yang selama ini kuanggap paling tahu tentang kekuatan, tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Beliau hanya memintaku berlatih dan menjadi lebih kuat.

Dalam dua minggu ini, aku dan teman-teman yang lain sudah membuat kemajuan pesat. Aku semakin ahli dalam mengenali kekuatan, dan tidak perlu lagi berada di jarak dekat atau kontak fisik untuk mendeteksinya. Jenis kekuatan yang agak "liar" untuk kukendalikan sebelumnya, seperti kekuatan angin Reo, kini juga bisa kukendalikan penuh. Aku merasa telah banyak berkembang. Tapi apa itu cukup untuk mengalahkan Toni? Aku perlu lebih banyak bantuan. Bukannya aku meragukan teman-temanku, tetapi aku tidak mau mereka terluka.

Ini tugasku sebagai Pengendali Utama. Sama seperti Qara yang mendapat lima kekuatan pengendalian sekaligus, aku pun diberikan tugas yang sama. Toni harus dihentikan. Kalau dia tega menghilangkan kekuatan pengendali hanya untuk bersenang-senang, apa yang akan dilakukannya pada para non-pengendali itu?

Aku merasa Pak Prasetyo bisa membantuku. Beliau adalah pengendali jiwa, dan sempat mengintip ke dalam relung jiwa Toni saat Festival Sekolah. Beliau pasti tahu kelemahan Toni, atau setidaknya apa yang ditakuti gadis itu. Tapi saat ini beliau masih dirawat gara-gara lehernya digorok Toni, dan kami tidak tahu kapan beliau akan pulih.

Memikirkan semua ini membuatku stres. Padahal aku cuma ingin menjalani kehidupan SMA yang biasa-biasa saja. Tapi yang terjadi malah luar biasa.

Aku memeriksa ponselku lagi. Kontak Toni ada di group LINE kami, tetapi belum pernah ada yang mencoba menghubunginya lagi sejak gadis itu lenyap. Kubuka foto profilnya. Toni tampak cantik sekali, berfoto di belakang lampu-lampu kawasan Champs-Élysées di Paris. Rambutnya yang panjang bergelombang tampak berkilau karena cahaya lampu, pipinya bersemu karena dia sedang tertawa, dan dia memakai topi dan syal rajut musim dingin bikin dia kelihatan semakin cute.

Siapa yang bakal mengira kalau gadis cantik ini seorang psikopat?

Aku kembali ke profilnya dan membuka pesan baru. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku. Ini konyol, tapi... entahlah. Setidaknya layak dicoba.

Toni?

Pesan itu terkirim. Jantungku berdebar-debar, berharap notifikasi Read akan muncul di sebelah bubble message-nya. Aku mendorong ponselku menjauh, berpura-pura tidak peduli, padahal cemas menunggu dering notifikasi. Aku tidak mengharapkan balasan, di-Read saja pasti akan membuatku lega, tapi...

Satu menit berlalu. Tidak ada reaksi apa-apa. Yah, sudah kuduga.

Kuusap wajahku dengan tangan. Aku seharusnya lanjut tidur, karena besok hari pertama semester baru. Tapi rasa kantukku sudah menghilang.

Tring, tring, tring!

Ponselku tiba-tiba berdering sehingga aku terlonjak. Cepat-cepat kusambar benda itu. Ah, ternyata panggilan telepon.

"Halo?"

"Jen." Suara Mom menyapaku. Sekarang sekitar jam setengah empat di New York, tetapi ibuku nggak pernah repot-repot mengecek jam saat mau meneleponku. "Mom punya kabar bagus buat kamu!"

Khas Mom banget, nggak pernah berbasa-basi! Ibuku menganggap basa-basi itu cuma buang-buang waktu, apalagi sama anak sendiri. "Berita apa?"

"Kamu jadi kan masuk ke Harvard?"

Nada Mom membuatnya terkesan hanya bertanya apa aku akan mampir ke mal sepulang sekolah nanti. "Aku belum mutusin."

"Tapi kamu udah kelas sebelas. You should have already decided."

"Mom, aku belum kepikiran sampai situ, oke?"

"Harvard Business School itu sekolah yang bagus, dan Mom mau kamu kuliah di sana," kata Mom. "Atau kalau kamu nggak suka Boston dan kepengin di New York, kamu bisa ke Columbia. Mom akan minta supaya penthouse kamu yang lama diberesin, lokasinya dekat dengan kampus. Yale juga boleh, kamu tinggal pilih..."

Ada seorang pengendali realitas yang sedang buron, tetapi yang dipikirkan ibuku adalah sekolah bisnis mana yang harus kupilih. "Mom, seriously, I haven't made my decision yet! Mom tahu jam berapa di Jakarta sekarang?"

"Mom cuma khawatir, Jen. Soalnya kamu jadi terlalu santai sejak pindah ke Jakarta. That's not good, you know. Kamu seharusnya belajar keras!"

Terlalu santai, katanya? Seandainya saja aku bisa memberitahu Mom bahwa aku nyaris tewas berkali-kali selama dua semester ini! "Aku belajar, kok. Aku cuma nggak kepengin membahas urusan kuliah sekarang. Ini masih subuh di Jakarta, Mom!"

Mom mendesah, tetapi aku tahu bukan berarti dia menyerah. Dia Jacqueline Darmawan, salah satu wanita terkaya di dunia. Dia terbiasa mendapatkan apa pun.

"Well, kalau begitu, you left me with no choice. Mom akan kirim pesawat, minggu depan harus udah balik ke New York—"

"APA?"

"Mom akan minta Arini untuk urus kepindahan kamu secepatnya. Kamu akan masuk ke Trinity School di Upper West Side pertengahan Agustus nanti, jadi masih ada waktu untuk mengejar ketertinggalan."

"Mom! Jangan seenaknya begitu! Aku nggak bisa tiba-tiba pindah—"

Suara Mom tak lagi terdengar. Panggilan telepon itu sudah diputus.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top