19. Kisah Sang Ahli Kimia
Oke.
Aku bisa menerima kenyataan soal realitas alternatif yang membingungkan ini. Tapi apa yang dikatakan Pak Gino barusan...
Maksudku... what-the-hell...
Pak Gino mengangkat bahu dan terkekeh getir. "Mengejutkan, ya."
"Ja-jadi," aku tergagap. "Apa selama ini Bapak sudah tahu soal Toni dan kekuatan pengendaliannya?"
"Nah, soal itu... saya yang patut disalahkan." Pak Gino meremas-remas tangannya lagi. "Gimana caranya saya harus menceritakan ini ke kamu..."
"Saya sudah mengintip masa lalu Toni," kataku, berusaha sebisa mungkin membantu. "Pak Prasetyo membantu saya di awal semester."
Pak Gino terkesiap. Dia tampak terguncang, tapi segera menguasai diri. "Oh, yah... kalau begitu... saya rasa kamu sudah tahu apa yang terjadi pada Anisa."
Aku mengangguk. "Tapi saya tidak melihat Bapak di kenangan Toni."
"Karena dia tidak mengenal saya." Pak Gino mendesah dan ikut duduk di lantai di sebelahku. "Saya menjauhkan diri dari Tantri, adik saya—ibu Anisa. Sejak kecil saya sudah sadar bahwa saya punya kemampuan khusus, tapi saya merahasiakannya dari orangtua. Tantri tahu saya berbeda—saya rasa dia sering mengamati saya, dan tahu saya bisa mempengaruhi pikiran dan perasaan orang lain dengan mengubah sususan senyawa dalam tubuh mereka. Seluruh keluarga saya adalah non-pengendali; setidaknya mereka yang saya kenal. Jadi kekuatan ini membuat saya merasa sangat terasing."
Aku bergumam pertanda mendengarkan.
"Suatu hari, saat usia saya delapan belas tahun, saya meminjam jam tangan ayah saya tanpa izin. Jam tangan itu cukup mahal, dan saya memakainya untuk pamer di depan teman-teman saya. Tanpa sengaja jam tangan itu hilang—saya melepasnya saat pergi berenang bersama teman-teman, dan ada yang mencurinya.
Ayah saya marah besar begitu tahu. Saya membela diri karena jam tangan itu dicuri, tapi ayah saya tetap tidak terima. Saya merasa tersudut. Kami adu mulut hebat dan tiba-tiba... kekuatan saya bangkit dan mulai menyerang ayah saya. Kulitnya memucat dan dia megap-megap karena sulit bernapas. Saya kehilangan kendali; kekuatan saya mengubah senyawa dalam tubuh ayah saya sehingga dia keracunan darahnya sendiri..."
Oh. Itu sungguh mengerikan. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan kendali seperti itu: di ruang bawah tanah museum saat Casa Poca, kekuatanku meledak dan memunahkan pengendalian Anne-Marie. Dan semester lalu, aku nyaris membutakan mata Toni memakai pensil Billy gara-gara cemburu.
"Saya tidak pergi ke sekolah khusus pengendali, jadi saya belajar sendiri soal pengendalian. Tapi pengendalian senyawa amat rumit dan butuh latihan bertahun-tahun untuk menguasainya..." Kata-kata Pak Gino melambat, dia kedengaran seperti sedang melamun. "Malam itu, setelah bertengkar dengan ayah, saya kabur dari rumah. Saya tidak mau keluarga saya menjadi korban dari kekuatan saya, karena saya tahu persis saya bisa mencelakai mereka. Saya pikir, lebih baik mereka tidak usah mengenal saya, daripada terluka karena kekuatan saya.
Keluarga saya mereka mencari-cari saya, tetapi saya tidak pernah muncul lagi di depan mereka. Saya tidak menyadari bahwa perbuatan saya membuat Tantri sangat terpukul. Dia tiga tahun lebih muda dari saya, jadi usianya baru lima belas tahun ketika saya kabur. Saya rasa orangtua saya terlalu menaruh beban pada Tantri, karena sekarang dia menjadi satu-satunya anak yang bisa diharapkan dalam keluarga kami. Dia sebetulnya anak yang alim dan penurut, tetapi jadi urakan karena ditekan begitu. Tantri mulai bergaul dengan orang-orang yang salah...
Setahun setelah saya pergi, saya mengetahui kalau Tantri hamil.
Dia melakukan hubungan terlarang itu dengan kakak kelasnya, yang hanya memanfaatkan keluguannya. Pemuda brengsek itu tidak mau mengakui perbuatannya. Akhirnya semua orang mengetahui soal kehamilan itu. Tantri dikeluarkan dari sekolah, dan orangtua kami malu besar karena ini. Tidak tahan karena penolakan orang-orang di sekitarnya, Tantri melarikan diri. Dia melahirkan bayi perempuannya di sebuah gudang kosong."
"Anisa," kataku.
"Ya, yang kemudian menjadi Antoinette," kata Pak Gino.
"Gimana Bapak bisa tahu soal kehamilan Tantri?"
"Saya masih rutin mampir ke rumah tanpa ketahuan. Saya mengendalikan anggota keluarga saya sehingga mereka tidak bisa melihat saya," jawab Pak Gino. "Saya tahu apa yang menimpa Tantri disebabkan karena perbuatan saya. Saya merasa bersalah, dan menampakkan diri di hadapannya. Tantri senang sekali bisa ketemu saya lagi, selama setahun ini dia mengira saya sudah kabur ke luar negeri.
Saya sudah bekerja sebagai guru les, makanya saya membantu Tantri. Sampai Anisa berumur dua tahun, saya yang mengurusnya. Anisa tidak mengingat ini, karena waktu itu dia masih terlalu kecil."
"Lalu apa yang terjadi, Pak?" tanyaku.
"Tantri jatuh cinta lagi," Pak Gino meringis sedih. "Usianya memang baru delapan belas tahun waktu itu. Laki-laki yang ditaksirnya bernama Herman, dan dia lebih tua lima tahun dari Tantri." Pak Gino berhenti sejenak dan menerawang ke langit. "Jen, kamu pasti pernah mendengar istilah 'cinta itu buta', kan?"
Aku mengiyakan.
"Saya menyelidiki Herman, karena khawatir Tantri terlena oleh laki-laki jahat yang lain. Saya tidak mau dia terluka lagi—menjadi ibu tunggal sudah cukup berat bagi gadis delapan belas tahun manapun. Dari luar Herman tampaknya sempurna, dia menyayangi Tantri dengan tulus. Tapi saya tahu kalau laki-laki itu sangat pencemburu—senyawa Kimia dalam tubuhnya tidak stabil, dan selalu meledak-ledak, sehingga mempengaruhi perangainya. Ditambah lagi Herman jatuh cinta pada Tantri, tapi tidak suka pada Anisa. Dia hanya menginginkan Tantri.
Sejujurnya saya menentang hubungan itu, karena saya tahu kalau sampai Tantri berpacaran dengan Herman, Anisa akan jadi korban. Tapi Tantri sudah dimabuk asmara. Saya berniat untuk menghentikan Tantri—rasa cinta erat hubungannya dengan perubahan hormon Kimia dalam tubuh, tapi saya takut untuk melakukannya. Saya takut akan kehilangan kendali lagi seperti waktu adu mulut dengan ayah saya."
"Jadi, Bapak membiarkan Tantri?"
"Cinta adalah perasaan yang mulia," Pak Gino menelan ludah, bibirnya bergetar. "Kalau saya memanipulasi perasaan adik saya sendiri, kakak macam apa saya ini? Saya tidak berani melakukannya.
Hubungan itu berlanjut dan jadi semakin serius. Tantri menikah dengan Herman, lalu pindah ke rumah barunya. Anisa turut diboyong. Saya sebetulnya tidak merelakan Anisa pergi, tapi bagaimanapun juga, saya hanya pamannya. Yang lebih berhak menentukan nasib Anisa adalah Tantri, ibunya. Dan Tantri ingin Anisa ikut bersamanya dan Herman. Jadi saya menerima keputusan itu dan mendukungnya sebisanya.
Tiga tahun pertama pernikahan Tantri dan Herman, semuanya tampak baik-baik saja. Namun perlahan-lahan kecurigaan saya pada Herman terbukti. Dia tidak mengurus Anisa dengan semestinya, dan malah menelantarkan anak itu. Tantri tidak tahu soal ini, karena Herman selalu bersikap manis pada Anisa di depan Tantri. Lambat laun, hidup Anisa semakin menderita. Saya tidak tega melihatnya."
"Kenapa Bapak tidak menolong Anisa?" tanyaku.
"Karena seperti yang saya bilang, Herman sangat pencemburu. Dia bahkan cemburu pada saya—mengira saya akan merebut Tantri. Padahal saya hanya ingin menyelamatkan Anisa. Herman melarang saya mampir ke rumahnya lagi. Dia mengancam akan melaporkan saya ke polisi kalau saya berani datang, dan menuduh saya sebagai perusak rumah tangganya dengan Tantri. Tapi saya tetap nekat mengunjungi Anisa tanpa ketahuan. Saya terpaksa mengendalikan Herman, supaya dia tidak bisa melihat saya saat datang berkunjung. Anisa mungkin agak bingung melihat saya yang bisa tiba-tiba berada di kamarnya—setelah kami bertemu di sekolah, Anisa mengaku waktu itu dia mengira saya hanya halusinasi. Kehidupannya yang keras bersama ayah tirinya membuat Anisa pesimis ada saya—sosok laki-laki yang betul-betul sayang padanya.
Kemudian restoran milik Herman bangkrut karena terlilit utang. Seluruh asetnya dijual, dan Herman jadi pengangguran. Tantri terpaksa bekerja serabutan untuk menghidupi keluarga. Stres karena kehilangan pekerjaan, Herman berpaling pada alkohol. Kecanduan alkohol membuat Herman jadi semakin beringas, dan sikapnya itu berpengaruh pada Anisa. Saat Tantri pergi kerja, Anisa sering dianiaya. Saya makin gerah melihat tingkah Herman, tapi saya tidak bisa berbuat banyak. Herman dan Tantri adalah suami istri, saya tidak bisa mengusik rumah tangga mereka begitu saja. Tapi kondisi Anisa makin mengenaskan.
Akhirnya saya memutuskan untuk bertindak.
Saya ingin Tantri lah yang memutuskan hubungan tidak sehat ini. Saya tidak peduli pada Herman; Tantri dan Anisa lah yang merupakan darah daging saya. Maka saya memakai kekuatan saya untuk menanamkan kebencian di hati Tantri."
Pak Gino memejamkan matanya dan menyandarkan kepalanya ke teralis ruko. Semakin lama bercerita, tampaknya mantan guruku ini kian nelangsa. Dan aku tahu cerita ini tidak berakhir bahagia.
"Pengendalian senyawa untuk mengontrol perasaan jauh lebih kompleks daripada mengatur fungsi tubuh," kata Pak Gino dengan mata terpejam. "Ada lebih banyak hormon yang terlibat. Dan saya belum seahli itu. Pengendalian saya pada Tantri tidak sempurna sehingga dia... kebablasan."
"Kebablasan?"
"Dia tidak hanya membenci Herman, tapi Anisa juga. Saya mencoba memperbaiki keadaan, tetapi gagal—kebencian Tantri pada Herman dan Anisa semakin lama semakin parah," Pak Gino mulai menangis lagi. "Puncaknya, pada suatu malam Tantri pergi dari rumah. Dia meninggalkan suami dan anaknya begitu saja, lalu tidak pernah kembali lagi. Anisa tidak paham kenapa sikap ibunya mendadak berubah. Saya terlambat menyadari semua ini. Saya baru tahu ketika mampir keesokan harinya, dan melihat rumah itu sudah hangus terbakar. Ada darah di sekitar situ—saya bisa merasakannya, dan itu darah Anisa. Dia terluka, tapi jenazahnya tidak ada di puing-puing itu. Saya hanya menemukan tulang belulang Herman..."
Kebakaran itu. Kenangan yang kurasakan di kantor Pak Prasetyo. Waktu itu aku—maksudku Toni—memang tidak tahu kenapa ibunya meninggalkannya. Dia marah karena ibunya tiba-tiba pergi. Pasti dia tidak tahu kalau ibunya sedang berada di bawah pengendalian pamannya.
Lalu api dalam diri Toni bangkit dan meledak. Sang pengendali realitas pun terlahir.
Ya Tuhan. Aku mengerti sekarang.
Pak Gino terdiam, tampaknya terlalu terpukul untuk melanjutkan. Dia hanya termangu beberapa saat seperti orang linglung, air matanya mengucur deras.
"Saya tidak tahu kalau Anisa seorang pengendali," kata Pak Gino setelah membersit di selembar saputangan. "Kekuatan pengendalian bisa melompati generasi. Saya pikir setelah saya, tidak ada pengendali lagi dalam keluarga kami. Waktu itu, Anisa masih pengendali kosong. Seandainya saya tidak mengendalikan Tantri untuk membenci, maka Anisa..."
Kalimat itu menggantung. Pak Gino hanya bisa menggeleng-geleng lagi. Dia membenamkan wajahnya di saputangannya dan terisak pedih.
"Apa yang Bapak lakukan selanjutnya?"
"Saat saya mengorek puing-puing rumah Anisa untuk mencari tahu, saya bertemu dengan orang-orang Dewan Pengendali. Mereka menyelidiki kebakaran itu dan berusaha memberi penjelasan yang masuk akal bagi para non-pengendali di sekitar yang jadi korban. Hari itu saya tahu tentang para pengendali dan chi. Saya bertemu dengan Pak Prasetyo, yang waktu itu masih bekerja sebagai Ketua Satgas Dewan Pengendali.
Dewan Pengendali mencari-cari Anisa, tetapi anak itu menghilang. Saya tahu saya harus menemukan Anisa sebelum orang-orang Dewan, karena kalau sampai tertangkap Dewan, Anisa akan dimasukkan ke tempat rehabilitas. Pak Prasetyo mengetahui rencana saya—beliau membaca inti jiwa saya. Kebetulan waktu itu Pak Prasetyo dipindahtugaskan untuk mengurus SMA Cahaya Bangsa. Beliau menawarkan saya posisi sebagai guru. Menurut Pak Prasetyo, suatu saat Anisa pasti akan muncul di SMA Cahaya Bangsa. Tempat itu adalah satu-satunya sekolah pengendali di Asia Tenggara, dan jika Anisa ingin melatih kekuatannya, dia pasti akan menemukan SMA Cahaya Bangsa.
Saya menerima posisi sebagai guru Kimia. Jabatan itu cocok, karena saya juga bisa mengembangkan kekuatan pengendalian saya. Selama bertahun-tahun mengajar, saya belum menemukan Anisa. Anak itu seolah hilang ditelan Bumi. Saya terus rutin menyelidiki, tetapi tidak bisa terang-terangan karena takut ketahuan Dewan Pengendali.
Setelah sepuluh tahun mengajar, saya kehilangan kesabaran. Alasan utama saya untuk menjadi guru adalah untuk mencari keponakan saya, tetapi misi itu tidak kunjung tercapai. Pak Prasetyo menyadari hal ini, beliau menegur saya karena sikap saya berubah terhadap para murid. Bagaimana bisa saya diharapkan mengajar anak-anak pengendali di sekolah, sementara Anisa tidak jelas keberadaannya? Pak Prasetyo masih tetap yakin Anisa akan muncul di sekolah, tetapi saya mulai meragukannya. Maksud saya, sepuluh tahun sudah berlalu, dan sama sekali tidak ada tanda-tanda kemunculan Anisa. Saya sempat terpikir, jangan-jangan keponakan saya itu sudah mati..."
Ah. Aku paham sekarang. Sikap Pak Gino yang terkesan membenci murid-muridnya sendiri itu... Dia menunggu selama bertahun-tahun tanpa kejelasan. Dia harus mengurus kami sementara keponakannya sendiri luntang-lantung entah di mana...
"Saya hampir mengundurkan diri," kata Pak Gino. "Sampai akhirnya Bu Olena datang."
Aku tidak menduga bagian ini. "Bu Olena?"
"Ya. Sebelumnya Bu Olena bekerja untuk Interpol (International Police—Polisi Internasional). Dia sering menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan pengendali di luar negeri," sahut Pak Gino. "Suatu hari saat sedang mengobrol, Bu Olena tanpa sengaja menceritakan salah satu kasus unik yang pernah ditanganinya. Tentang dua remaja yang menipu para non-pengendali pemilik restoran di Paris. Dua remaja itu tidak bisa ditangkap karena mereka selalu berpindah-pindah dan memakai penyamaran yang canggih. Bu Olena yakin mereka orang Indonesia.
Informasi itu menarik minat saya. Saya mencoba mengorek lebih jauh, tapi Bu Olena menolak bercerita. Informasi rahasia, begitu katanya. Saya butuh pengendali pikiran untuk menerobos isi kepala Bu Olena. Saya hampir putus asa, tapi lagi-lagi Tuhan menolong saya lewat Anne-Marie Effendi."
Ooh. Sepertinya aku mulai paham hubungan dari semua ini. "Apa Anne-Marie... membantu Anda membaca pikiran Bu Olena?"
"Kurang lebih," Pak Gino mendengus dan mengangkat bahu dengan lemah. "Membaca pikiran seseorang tanpa izin itu ilegal, tapi waktu itu saya sudah tidak sabar lagi. Dan saya punya alasan untuk menyuruh Anne-Marie. Dia pengendali pikiran yang hebat, tetapi nakal. Sejak kelas sepuluh, anak itu sudah punya reputasi yang kurang baik di kalangan para guru. Dia sering masuk sekolah dengan keadaan teler dan mabuk. Dia berhasil menipu para guru yang lain dengan memakai masker dan berpura-pura sedang flu, tapi dia tidak bisa mengelabui saya. Kadar alkohol dalam tubuhnya tinggi, saya bisa membacanya. Jadi suatu hari saya melabraknya. Anne-Marie mengaku. Dia bisa dikeluarkan dari sekolah seandainya Pak Prasetyo tahu, tapi saya memberikan tawaran padanya."
"Anda meminta Anne-Marie untuk membaca pikiran Bu Olena," tebakku dengan yakin. "Sebagai gantinya, Anda akan melindunginya."
"Saya memastikan Anne-Marie selalu masuk kelas perwalian saya," kata Pak Gino. "Dan dia membantu saya. Sebagai mantan anggota Interpol, Bu Olena punya insting yang baik sehingga dia bisa tahu seandainya pikirannya sedang diusik. Jadi Anne-Marie melakukannya sedikit demi sedikit, selama satu setengah tahun. Belakangan Jovan Alessandro tahu bahwa Anne-Marie membaca pikiran guru lain, dan itu mengganggu hubungan mereka..."
Aku belum lupa soal itu. Di semester pertamaku, Tara bercerita bagaimana Anne-Marie dan Jovan Alessandro adalah pasangan paling hot di sekolah, sampai mereka mendadak putus tanpa alasan jelas. "Jovan adalah pengendali pikiran juga."
"Ya. Setelah putus dengan Jovan, Anne-Marie berhenti membaca pikiran Bu Olena. Namun saya sudah mendapatkan cukup banyak informasi. Saya semakin yakin bahwa remaja yang dimaksud Bu Olena adalah Anisa, tetapi dia sudah ganti nama menjadi Antoinette. Saat libur semester, saya pergi ke Paris untuk mencari Anisa, tetapi tidak punya cukup waktu karena harus kembali mengajar. Saya berniat mengajukan cuti mengajar di semester berikutnya, tapi kemudian kamu masuk ke sekolah..."
Aku hampir tersedak. "Saya, Pak?"
Pak Gino tersenyum kecut. "Pak Prasetyo yakin kedatangan kamu ke sekolah akan mengundang Anisa. Saya tidak tahu bagaimana beliau bisa sampai di kesimpulan itu—pengendali jiwa punya kemampuan yang sulit dipahami. Beliau meyakinkan saya untuk tetap di sekolah. Saya merasa dibohongi setelah tahu bahwa kamu bahkan bukan pengendali. Lagi-lagi Pak Prasetyo meminta saya bersabar. Satu semester saya menunggu, tidak terjadi apa-apa. Kemudian di akhir semester ada Casa Poca, dan kekuatan kamu muncul.
Pak Prasetyo bilang ke saya bahwa tidak lama lagi Anisa akan datang. Saya tidak tahu bagaimana caranya, tapi ucapan beliau terbukti di semester berikutnya. Anisa benar-benar muncul di sekolah, sebagai Antoinette."
"Saya rasa, Pak Prasetyo sudah membaca kenangan saya," aku mencoba berasumsi. "Waktu kecil, saya pernah bertemu dengan Toni dan Lucien di Paris, meski saya tidak menyadari pertemuan itu."
Pak Gino terbelalak. Kuceritakan soal kedatangan Mom di restoran Maison Blanche di Paris—bagaimana Toni dan Lucien ditolak dengan kasar di restoran itu, sementara aku dan Mom disambut seperti ratu. Kuceritakan juga bagaimana Pak Prasetyo membuatku mengingat kejadian itu lewat kenangan Lucien.
Di akhir cerita, Pak Gino mengembus lega. "Ah, begitu rupanya. Saya paham sekarang. Pak Prasetyo sudah tahu sejak awal." Dia berdecak kagum sambil manggut-manggut. "Pengendali jiwa betul-betul luar biasa."
Aku setuju. Meski terkesan pasif, rupanya Pak Prasetyo berperan besar dalam semua ini. "Waktu Toni di sekolah, apa Anda bilang padanya bahwa Anda adalah pamannya?"
"Saya mencoba," Pak Gino mengaku. "Bukan perkara mudah. Anisa adalah masa lalu yang ingin dilupakannya; sekarang dia adalah Antoinette Darmawangsa, anak dari Demian dan Denise Darmawangsa. Saya minta tolong Pak Prasetyo untuk memurnikan jiwa Anisa, tetapi Kepala Sekolah menolak. Beliau yakin Anisa akan kembali dengan sendirinya, di saat yang tepat. Saya masih tidak tahu bagaimana caranya. Saat Fanny kehilangan kekuatannya, saya tahu bahwa itu perbuatan Anisa. Saya mencoba melindungi Anisa, karena saya pikir dia tidak sengaja. Tapi sepertinya Anisa punya rencana lain—saya sering melihatnya berbisik-bisik rahasia dengan Lucien. Saya tidak tahu apa rencananya, tapi saya tidak mau Anisa mendapat masalah. Jadi suatu malam, saya datang ke rumah keluarga Darmawangsa untuk mencoba memperingatkan Anisa. Dia malah menyerang saya..."
Aku ingat soal itu. Berita tentang Pak Gino yang diserang di malam kami belajar kelompok di rumah Toni. Pasti Pak Gino datang ke rumah Toni setelah kami belajar kelompok! "Malam itu Toni sempat kehilangan kendali, saat kami belajar kelompok," kataku. "Toni mengira saya sudah tahu tentang asal-usulnya."
"Dia menuduh saya yang memberitahu kamu," sambung Pak Gino. "Makanya dia marah besar pada saya. Gara-gara kejadian itu, saya memutuskan untuk menyingkir sampai Anisa menenangkan diri. Saya minta izin tidak mengajar, dan Pak Prasetyo mengabulkannya. Saya pikir bisa berusaha lebih baik di kesempatan berikutnya, tapi lagi-lagi saya salah."
Kami terdiam. Cerita panjang yang baru saja kudengar menjelaskan semua yang terjadi selama dua semester belakangan ini. Aku takjub sendiri menyadari bagaimana peristiwa-peristiwa itu saling terhubung. Awalnya kupikir pertemuanku dengan Toni hanya seperti kesialan yang random, tapi rupanya semua ini sudah berkaitan sejak awal.
Takdir kehidupan bisa seajaib itu.
"Apa Toni masih ada, Pak?" Kuputuskan menanyakan soal itu karena itu satu-satunya yang mengganggu pikiranku saat itu.
"Ya, dia masih ada," jawab Pak Gino. "Dia ada di realitas utama—realitas asal kita."
"Bagaimana dengan realitas ini?"
"Itu bisa saja. Toni adalah pencipta realitas ini—di sini, dialah yang berkuasa. Dan saya yakin dia akan membalas dendam soal kematian Lucien."
Pak Prasetyo sudah meninggal. Para non-pengendali yang terkena ledakan bangau kertas itu juga. Dan orang-orang yang jadi korban kegilaan Toni. Sekarang ini gadis itu bebas beraksi di dunia yang lain. Aku teringat pada Mom—versi yang mengingatku. Arini. Carl, Tara, Meredith, serta Reo. Ryu-san, Bu Olena, Pak Yu-Tsin, dan Bu Nanda. Para sahabat dan guru-guruku. Orang-orang paling berharga dalam hidupku. Mereka akan menjadi sasaran balas dendam Toni, itu pasti.
Aku mengembus lewat mulut. "Toni harus dihentikan."
Pak Gino berpaling padaku, dan menatapku lurus-lurus. Matanya yang hitam kelam menyipit. "Itu mustahil, Jen. Kita sedang terjebak dalam kehidupan ini. Kita sudah dilupakan oleh semua orang."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top