18. Lenyap


Tubuhku kehilangan bobotnya. Seakan-akan ada yang mencemplungkanku ke dalam sebuah kolam renang super besar. Aku mengapung-apung di sana, tidak tenggelam ke bawah, tidak juga mengambang ke permukaan. Aku tidak tahu apa aku masih hidup atau sudah mati—pikiranku masih bekerja, tetapi aku tidak lagi bisa merasakan kesakitan akibat luka-luka itu. Setiap jenis sensasi turut menguap. Dan semuanya masih gelap gulita.

Apa ini rasanya mati?

Aku pernah tanpa sengaja menonton video-video di YouTube tentang orang-orang yang pernah mengalami mati suri. Mereka menyebut kematian itu sebagai sesuatu yang amat menenangkan alih-alih menakutkan seperti yang selalu ditakutkan banyak orang. Rasanya seperti "pulang ke rumah," begitu kata salah satu narasumber di video itu. Damai dan tanpa beban.

Tapi sejak bertransisi ke tempat yang aneh ini, aku tidak merasa tenang. Aku malah kalut—ini pengalaman baru yang belum pernah kurasakan. Apa karena aku mati sebelum waktunya? Inikah yang dirasakan mereka yang mati mendadak? Apa aku akan jadi arwah penasaran?

Petir raksasa ciptaan Toni itu menyambar tubuhku. Aku melihat bagaimana Lucien, Pak Prasetyo, dan si Lorelei tewas karena tersengat petir. Sama seperti mereka, seharusnya aku juga sudah mati.

Jadi kalau begitu, di mana aku sekarang?

Aku berputar dalam zat asing itu, dan mencoba menegakkan diri. Aku bisa melakukannya, meski sebetulnya aku tidak yakin di mana atas atau bawah. Dan aku bisa merasakan sesuatu yang keras untuk berpijak, seperti selapis papan.

Kubelalakkan mataku lebar-lebar.

Setitik cahaya bersinar di kejauhan, dan perlahan-lahan membesar, sehingga kegelapan itu sirna. Garis dan bentuk mewujud, menjadi benda-benda. Aku melihat persegi-persegi panjang bata yang disusun membentuk tembok. Lalu ada benda-benda lain; tempat sampah besar berwarna hijau, kantong-kantong sampah warna hitam yang kelebihan muatan mengonggok di dekatnya. Langit di atas berwarna kelabu pucat, seperti akan turun hujan. Tidak ada Toni, Lucien, para guru serta orang-orang Dewan. Monas sudah lenyap, digantikan tempat asing ini. Waktunya juga berubah—sekarang siang hari. Bagaimana bisa aku tersasar kemari?

Bunyi-bunyian dan bau-bauan menyusul. Ada derum mobil dan motor, suara celoteh orang-orang, dan aroma busuk dari tempat sampah itu. Aku membuka mulut untuk menarik napas, tetapi udara yang kuhirup terasa begitu asing.

Di mana aku?

Pemandangan itu menjadi sangat jelas sekarang. Aku berada di sebuah gang sempit yang kumuh. Aku belum pernah melihat tempat ini sebelumnya. Kupandangi diriku sendiri. Secara ajaib luka-lukaku sudah menghilang, tetapi kulitku dekil sekali, seperti belum mandi berhari-hari. Dan pakaianku... baju apa ini? Lusuh dan bolong-bolong! Sandal jepit ini juga—tawaku meledak melihatnya: sandal ini sudah putus dan hanya diikat dengan karet. Mom tidak akan percaya kalau kubilang aku memakai sandal "sekarat" seperti ini.

Tapi... kenapa bisa begini? Apa ini surga? Atau neraka?

Kalau ini alam baka, sejujurnya terasa terlalu nyata.

Kucubit lenganku. Aw. Sakit.

Sebentar. Jadi ini... betul-betul nyata?

Perutku mengeluarkan suara aneh, bunyinya seperti... grooaarrr. Dan tiba-tiba kelaparan dahsyat menderaku. Sumpah, aku belum pernah merasa selapar ini seumur hidup!

Aku bangkit berdiri dan tergopoh-gopoh pergi ke ujung jalan. Tidak ada apa-apa di celana training kebesaran yang kukenakan; tidak ada uang, kartu kredit, atau ponsel. Aku tidak punya apa-apa.

Aku tiba di depan sebuah kafe. Aroma kopi yang khas serta pastry yang manis menguar dari etalasenya. Mungkin aku bisa meminjam telepon di kafe itu untuk mengontak Arini.

O-MY-GOD.

Is that me? Aku tersandung kakiku sendiri sampai terjengkang. Etalase kafe itu memantulkan bayangan seorang gadis yang penampilannya lusuh dan acak-acakan. Perlu dua detik bagiku untuk menyadari bahwa gadis itu adalah aku.

Apa-apaan ini?

Kucubit lenganku sekali lagi. Sakit. Kugigit lidahku keras-keras. Sakit. Kutampar-tampar pipiku—ayo Jen! Bangun! Banguuun! Masih sakit juga.

Ini mustahil!

"Hei, kamu!" Salah satu petugas kafe menghardikku. Dia menunjukku dengan semprotan kaca. "Jangan berdiri di situ! Pergi!"

Orang itu bisa melihatku, jadi aku masih hidup, bukan roh. "Saya Jennifer Darmawan. Apa saya bisa pinjam—"

"Jennifer Darmawan?" Cewek itu mengernyit. "Siapa tuh?"

"Orangtua saya pemilik Helix, perusahaan otomotif itu."

"Helix? Belum pernah dengar."

"Saya..." Ya ampun, mau bagaimana lagi. "Gadis terkaya di Asia."

Cewek petugas kafe itu tercengang. Dia manggut-manggut padaku seperti paham, lalu tiba-tiba meledak tertawa. "You wish!"

"Saya serius!" Kudekati dia. "Tolong pinjamkan saya telepon! Saya mau menelepon pelayan pribadi saya—namanya Arini—dia bisa menjelaskan—"

"Pelayan pribadi?" Tawa cewek itu makin menggelegar. Dia mendengus padaku, menghina. "Please, Mbak. Kalau Mbak cuma mau lihat-lihat aja, sebaiknya Mbak menyingkir."

Cewek itu kelihatan serius, jadi kuturuti saja permintaannya. Lagipula penampilanku begitu miris sekarang. Dia mungkin tidak tahu aku siapa, tapi kalau sampai belum pernah mendengar soal Helix...

Kuputuskan mencoba sekali lagi. Kali ini kudekati seorang bapak-bapak yang sedang menunggu lampu merah di dekat zebra cross. Dia memakai setelan kemeja rapi khas pegawai kantoran.

"Permisi, Pak."

Pria itu mengangkat tangannya. Oh, dia pikir aku pengemis!

"Saya cuma mau bertanya," aku berkata sesopan mungkin. "Apa Bapak tahu tentang perusahaan otomotif Helix?"

"Helix? Maaf, saya kurang tahu."

Ini tidak melegakan. Aku mencoba menanyai dua cewek-cewek yang duduk di halte bus. Sepertinya mereka mahasiswi—dan mudah-mudahan mereka lebih cerdas dari si pegawai kafe dan bapak-bapak itu. Mereka meladeniku dengan lebih ramah, tapi cuma saling tatap dengan heran ketika kutanyai tentang Helix. Aku pindah beberapa meter lebih jauh sampai menemukan sebuah bengkel. Pria kekar yang sedang menambal ban di sana juga tidak tahu soal Helix.

Apa artinya ini?

"Memangnya ada perusahaan Helix?" tanya si pria kekar.

"Ada, Mas. Itu perusahaan milik keluarga saya. Saya Jennifer Darmawan, dan—" Kata-kata itu tidak mampu kuteruskan. Dan saya gadis terkaya di Asia. Saya tidak seharusnya berpenampilan seperti pemulung begini, dan terdampar di tempat asing ini!

Perhatian si pria kekar teralih. Dia menatap sesuatu di belakangku, matanya membeliak kagum. Aku berbalik untuk mengecek apa yang dilihat pria itu.

Sebuah limusin hitam melintas perlahan. Jantungku seperti diremas.

Itu mobilku!

Aku berlari mengejarnya. "ARINI! TUNGGU!"

Mobil itu terus melaju tanpa mengacuhkanku. Sandalku yang sudah sekarat itu putus, tetapi aku tidak peduli. Trotoar yang panas terasa memanggang telapak kakiku, tapi aku terus berlari. Akhirnya mobil itu melambat sebelum berhenti total karena lampu merah.

Aku melesat menyeberangi jalan. Salah satu motor nyaris menabrakku, tetapi aku segera berkelit—wah, aku tidak tahu aku bisa selincah itu!

Di dekat limusin, aku semakin yakin itu mobilku. Kaca-kacanya gelap (dan antipeluru juga), jadi aku tidak bisa mengintip penumpangnya. Kuketuk kacanya. Tidak ada reaksi. Kuketuk lagi dengan lebih keras. Setelah beberapa detik, kacanya bergerak turun sedikit. Dari celah sempitnya, keluar tangan yang mengulurkan selembar uang lima puluh ribu.

Aku dikira pengemis lagi!

Kuamati tangan itu. Cincin di jari manisnya bikin perasaanku melambung. Kusambar tangan itu sambil memukul kacanya lagi. "Mom! Ini aku!"

Si pemilik tangan menarik tangannya kembali, tetapi aku menahannya. Mobil-mobil mulai bergerak maju karena lampu merahnya sebentar lagi akan berubah hijau. Please, jangan yang ini juga. "Mom! Tolong buka!"

Kaca itu akhirnya terbuka sampai setengah. Dari baliknya, sosok Jacqueline Darmawan mengintip. "Lepaskan tangan saya!" Dia tampak murka. "Kamu siapa?"

"It's me, Mom! Jen, your daughter!"

"Daughter?" Mom memekik heran. "Mengada-ada! Saya nggak punya anak perempuan! Sekarang lepasin tangan saya atau saya laporkan kamu ke polisi!"

Kata-kata itu menghantamku seperti angin topan.

Limusin itu mulai melaju karena lampu sudah berubah hijau, tapi aku tidak mau menyerah secepat ini. Mom tidak mungkin lupa padaku. Dia yang melahirkanku. Bagaimana bisa...

TIN, TIIIIN!

Suara klakson bergema nyaring, memintaku untuk menyingkir. Aku terdorong oleh gerakan limusin yang maju ke depan. Pegangan tanganku terlepas. Sebuah mobil nyaris melindasku dan aku cepat-cepat mundur. Ini mustahil. Ini betul-betul mustahil. Orang lain boleh-boleh saja melupakanku, tapi Mom...

"Hei!"

Ada yang menepuk-nepuk pundakku. Aku menoleh dan mengumpat karena kaget. Sosok Gino Sudrajat si guru monster berdiri belakangku. Dia mengulurkan tangannya.


...


"Bapak tahu siapa saya?"

"Ya. Kamu Jennifer Darmawan."

Kuamat-amati pria yang duduk di sebelahku ini. Sosoknya yang kurus dan botak seperti burung pemakan bangkai raksasa masih sama persis seperti terakhir kali aku melihatnya sebelum libur semester, sebelum dia dinyatakan menghilang. Hanya saja kali ini Pak Gino tidak memakai jubah lab seperti biasa. Dia memakai kemeja lusuh dan celana katun seperti bapak-bapak pada umumnya. Penampilan monster kelihatan amat "normal," bahkan sedikit lebih ramah dibandingkan biasanya. Dan dia barus saja melakukan sesuatu yang pantas disebut mukjizat: membelikanku makan siang. Aku hampir tidak mempercayainya, tetapi sejauh ini Pak Gino tidak menunjukkan sikapnya yang haus darah seperti biasa.

"Sampai kapan kamu mau bengong begitu?" Pak Gino menunjuk mi ayam yang dibelikannya itu. "Dimakan sebelum keburu dingin."

"Ma-maaf. Terima kasih, Pak."

Kutatap mi ayamku. Oke. Begini masalahnya: seumur-umur aku belum pernah makan mi ayam kaki lima seperti ini. Tapi rasa kelaparanku nggak bisa dibendung lagi. Segera kusambar sumpit kayunya dan kupakai untuk mengaduk mi itu. Makanan apa pun saat ini layak dinikmati.

Kurasakan mata Pak Gino bergulir, mengamatiku makan. Dia cepat-cepat membuang muka saat kutatap balik. Baru kusadari bahwa aku telah melupakan semua tata krama yang diajarkan Mom padaku soal makan. Aku makan seperti orang kesetanan.

"Maaf," kuambil selembar tisu dan kubersihkan mulutku. "Saya betul-betul kelaparan, Pak."

Pak Gino mengibaskan tangannya, pertanda maklum.

"Bapak... kok bisa ada di sini? Bapak nggak lupa sama saya? Bukannya Bapak kabur dari markas Dewan Pengendali?"

"Sssh!" Pak Gino berdesis menyuruhku diam. "Selesaikan dulu makannya, baru setelah itu kita bicara."

Aku mengangguk patuh dan bergegas menghabiskan mi ayamku. Ternyata rasanya lumayan juga. Aku heran kenapa Mom tidak membolehkanku makan makanan seperti ini. Mom selalu beralasan makanan kaki lima tidak "higienis". Tapi tampaknya para pelanggan mi ayam ini menikmati dan tidak terganggu sama sekali.

Selesai makan, aku mengembalikan mangkuk kotornya pada sang penjual. Tidak ada bak cuci piring di gerobaknya, jadi bagaimana dia bakal—oh, baiklah. Mom pasti akan pingsan kalau tahu mangkuk itu hanya dibilas air di ember saja.

"Kamu tahu kita ada di mana?" tanya Pak Gino setelah aku duduk lagi.

"Saya nggak tahu. Tapi sepertinya ini masih di Jakarta."

Pak Gino menunjuk seorang laki-laki yang sedang ikut makan mi ayam di seberang kami. "Kamu tahu pengendali apa orang itu?"

Aku berkonsentrasi untuk merasakan chi-nya. Hmm, aku tidak merasa apa-apa. Laki-laki itu terasa... kosong. "Dia bukan pengendali."

Pelipis Pak Gino menegang. "Jadi benar."

"Benar apanya, Pak?"

Pak Gino mendelik cemas dan bangkit berdiri. Dia mengisyaratkanku untuk mengikutinya. Kami menyingkir ke teras sebuah ruko yang sedang disewakan. Suasana di sini lebih sepi.

"Kamu bukan lagi pengendali, Jen," kata Pak Gino tiba-tiba.

"Apa maksud Bapak?"

"Saya tahu kamu kebingungan, karena ini begitu mendadak." Pak Gino meremas-remas tangannya. "Toni telah 'melenyapkan' kamu."

Aku mencelus. Aku sudah sempat memikirkan kemungkinan itu, meski belum rela memercayainya. Petir raksasa itu, ketidaktahuan orang-orang soal Helix, bahkan penolakan dari ibuku sendiri... "Melenyapkan? Tapi saya masih pengendali kan, Pak?"

"Tidak. Kamu sekarang non-pengendali," balas Pak Gino tajam. "Orang yang tadi itu punya kemampuan telekinesis. Saya memerhatikannya. Dia tidak bergerak untuk mengambil botol saus dan kecap. Botol-botol itu yang bergeser ke arahnya."

Oooh! Jadi aku betul-betul kehilangan kekuatanku! Ini bencana!

"Kamu nggak sendiri," Pak Gino mengangkat tangannya dan menatap telapaknya. "Saya juga kehilangan kekuatan. Toni ikut menghapus pengendalian senyawa saya."

Aku terlalu syok untuk berkata-kata. Ternyata bukan hanya aku yang bisa memunahkan kekuatan pengendalian, tetapi Toni juga. Dan dia melakukannya dengan begitu mudah, seolah hanya menghapus kata-kata yang salah dengan penghapus.

"Orang-orang nggak lagi mengenal kamu," lanjut Pak Gino. "Bahkan ibu kamu sendiri. Kekuatan kamu juga sudah hilang. Toni betul-betul telah melenyapkan kamu."

"Ta-tapi..." Melenyapkan? Apa maksudnya itu? Aku masih di sini, kok! "Bukannya saya masih hidup, Pak? Saya masih bernapas, masih bisa makan, masih bisa mengobrol sama Bapak..."

"Apa yang lebih buruk dari kematian?" tukas Pak Gino tidak sabar. "Coba kamu pikir, Jen. Orang-orang yang meninggal setidaknya masih dikenang oleh keluarga dan para sahabat mereka. Tapi kamu lenyap. Meski kamu berada di sini, tetapi orang-orang tidak mengingat kamu karena mereka tidak pernah kenal sama kamu. Eksistensi kamu sudah dihapuskan. Dalam kehidupan ini, kamu tidak pernah ada..."

Tidak pernah ada?

Lututku langsung lemas. Aku bersandar di pintu teralis ruko, dan merosot ke lantai. Sekonyong-konyong pemahaman itu meresap dalam kepalaku. Pengendalian realitas. Kemampuan mengubah apa saja, termasuk menghapus eksistensi seseorang.

"Toni... memakai kekuatannya untuk melenyapkan saya."

"Ya. Dia ingin membuat kamu merasakan hal yang lebih buruk dari kematian. Dia menghapus kamu dari ingatan setiap orang. Kamu bisa mengingat semuanya, tetapi orang lain tidak ingat apa-apa tentang kamu. Itu yang saya maksud dengan 'dilenyapkan'."

Aku bergidik. Kalau betul Toni melakukan ini, artinya nasibku memang lebih buruk dari orang yang meninggal!

Aku mencoba tetap tegar. Ini mungkin tidak seburuk dugaanku. Pasti ada jalan keluarnya. Pak Prasetyo—beliau tahu banyak hal. "Kita bisa minta tolong ke Kepala Sekolah. Beliau—"

"Sudah tewas. Toni membunuhnya, ingat?"

Ah. Brengsek!

Aku kebingungan bagaimana harus menyikapi ini. Aku merasa seperti hantu. Apa gunanya aku tetap hidup kalau tidak ada yang mengingatku? "Jadi... di mana kita sekarang, Pak?"

"Di realitas yang berbeda," sahut Pak Gino. "Bisa dibilang ini adalah versi lain dari kehidupan yang selama ini kamu kenal, semacam realitas alternatif. Bedanya, di kehidupan yang ini, kamu dan saya tidak pernah eksis. Itu karena realitas ini diciptakan Toni."

"Apa ini seperti... ilusi yang dibuat Toni semester lalu?"

"Bisa dibilang begitu. Tapi bedanya Toni baru saja menciptakan realitas ini. Dia langsung membuatnya saat mengirim kita."

Wah! "Ta-tapi, kenapa Bapak bisa ikut terseret ke realitas ini?"

"Toni marah besar karena Lucien terbunuh," kata Pak Gino. Dia tertunduk, dan matanya agak berkaca-kaca. "Lorelei, si pengendali petir itu... seharusnya dia tidak ikut campur. Dewan Pengendali memang sangat teledor."

"Kenapa Bapak bisa tahu soal Lucien?"

"Karena saya ada di Monas, Jen. Saya menyaksikan semuanya. Saya mengikuti Toni," kata Pak Gino. "Di rumah sakit Dewan, saya tidak bisa bergerak bebas. Makanya saya melarikan diri. Sejak kabur, saya melacak gerak-gerik Toni. Saya berhasil menemukannya dan mencoba membujuknya untuk berhenti. Seperti yang kamu tahu, dia mengincar kamu. Sebetulnya kalau rencana Lucien sukses, Toni bisa dihentikan. Dia akan menghabisi kamu, tetapi saya sudah berniat mengubah susunan kimia dalam otaknya sehingga dia jadi lebih tenang. Dengan begitu, kamu bisa punya cukup waktu untuk meringkus Toni, apalagi setelah Lucien mendapatkan kembali kekuatannya. Lucien bisa menahan Toni selagi kamu bekerja. Tapi semuanya kacau. Saat Lucien terbunuh, Toni menyadari apa yang terjadi. Dia mengetahui keberadaan saya dan niat saya. Dia mengamuk, dan turut mengirim saya ke realitas ini bersama kamu."

Aku tidak bisa memercayai telingaku sendiri. Pak Gino membuntuti Toni karena ingin... meringkusnya? Tapi bukankah Pak Gino itu jahat?

"Pak, saya masih belum paham. Kenapa Bapak melakukan ini?"

Pak Gino menatapku lurus-lurus. Sebutir air jatuh dari pelupuk matanya. "Anisa adalah anak dari adik perempuan saya, Jen. Saya pamannya."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top