15. Rencana


"Carl?"

Cowok itu menoleh ke belakang. Begitu tatapan kami bertemu, senyumnya merekah.

"Aku terima pesan LINE kamu." Aku mendorong pintu yang sedikit macet itu dan melangkah keluar. "Kamu lagi ngapain di sini?"

Carl hanya mengangkat bahu. Dia menepuk sisi bangku di sebelahnya, memintaku untuk ikut duduk. "Setahun lalu, kita pertama kali ketemu di sini. Apa kamu ingat, Jen?"

Ya, aku ingat. Waktu itu aku dan Tara sedang menyingkir dari kerumunan anak-anak yang penasaran padaku di kantin. Kami lari ke loteng, dan tanpa sengaja melihat Carl sedang diperalat oleh The Queens, geng yang dipimpin Anne-Marie.

"Mana mungkin aku lupa, Carl."

Aku duduk di sampingnya. Kami berdua terdiam, menikmati semilir angin yang sejuk. Di loteng sini udaranya lebih adem ketimbang di bawah.

"Pak Prasetyo masih belum bisa ketemu kamu, Jen?"

"Nanti siang, sepulang sekolah. Kata Reo, beliau masih berdiskusi sama Bu Olena, Ryu-san dan guru-guru yang lain."

Carl manggut-manggut. Ryu-san membaca pikiranku sewaktu di markas Dewan kemarin, dan memberitahu Pak Prasetyo lewat telepati soal bayanganku yang menghilang. Sebetulnya aku kepengin bilang ke Kepala Sekolah secepatnya, tetapi ada saja yang menghalangiku bertemu beliau.

Tiba-tiba Carl menarik sesuatu dari kantong kertas di sampingnya. Saat tiba di sini, aku tidak menyadari keberadaan kantong itu. Carl mengeluarkan sekotak kue tart mini. Ada dua lilin kecil warna-warni di atasnya.

"Happy birthday," Carl menyalakan kedua lilin itu. "Kamu nggak sempat mencoba kue ulang tahun kamu sendiri di pesta itu, Jen. Jadi aku berpikir untuk bikin pesta kecil-kecilan sebagai penggantinya."

Oh, Carl! Aku jadi terharu. "Thank you so much!"

"Make a wish, terus tiup lilinnya, ya."

Kupejamkan mataku rapat-rapat. Tuhan, aku cuma ingin semua ini berakhir. Nggak muluk-muluk, kok. Hanya itu yang kuinginkan saat ini. Aku bersedia menukar semua wishes ulang tahunku di masa depan supaya urusan Toni ini tuntas tanpa memakan lebih banyak korban.

Kubuka mataku lalu bersiap meniup lilinnya. Tapi mendadak angin bertiup dan memadamkan kedua lilin itu. Carl tertawa. Aku juga. Carl menyalakan lagi kedua lilin itu, tetapi padam lagi karena angin di sini memang kencang. Akhirnya kumakan saja kue itu. Kuberi Carl setengah, tetapi dia menolak karena menurutnya aku pantas menikmati kue ulang tahun yang utuh.

"Apa hari ini kamu bakal ketemu Lucien lagi?" tanya Carl sambil melihatku makan.

Aku mencelus. Seketika kue itu terasa hambar. "Enggak."

"Kenapa?"

"Aku nggak sanggup menatap wajah Lucien lagi, Carl." Kutelan kue yang sudah terlanjur kukunyah itu dengan susah payah. "Kan aku udah cerita."

"Toni jadi seperti itu bukan gara-gara kamu, Jen."

"Kamu salah. Seandainya aja waktu itu aku menolak ajakan Mom ke Paris—"

"Itu udah terjadi, oke?" tukas Carl agak keras. "Toni udah luka batin sama orangtuanya sebelum bertemu Lucien dan sebelum bertemu kamu. Artinya kamu nggak bisa menyalahkan diri kamu sendiri karena penjaga pintu restoran itu memperlakukan Toni sama Lucien dengan kurang pantas."

Tetap saja, aku tidak sanggup mengenyahkan rasa bersalah itu. "Kejadian hari itu di Paris yang jadi pemicu kebencian Toni sama aku, Carl. Sejak saat itu, Toni berusaha mencari-cari aku. Kami sempat berpapasan beberapa kali meski aku nggak pernah menyadarinya: pas aku masih di New York, waktu di Casa Poca, dan ketika kita jalan-jalan sekelas ke Tokyo. Toni menganggap nggak adil ada gadis lain seumuran dia yang disambut kayak putri, sementara dirinya sendiri diperlakukan kayak anjing. Ryu-san memberitahu aku semua yang ada di pikiran Lucien."

Carl mengembus dan tertunduk. "Kamu menyesali hidup kamu lagi, Jen."

"Hidup aku memang menyebalkan." Ya, itu dia. Tidak ada kata yang lebih tepat untuk menggambarkannya. "Dan aku minta maaf karena sejak kita pacaran, hidup kamu juga jadi ikutan kacau gara-gara aku."

Carl menengadah. Alisnya mengernyit. "Kenapa kamu bilang begitu?"

"Well, kamu kan udah lihat sendiri. Aku bahkan nggak bisa merayakan ulang tahun aku dengan tenang. Setiap kali terjadi hal buruk, pasti ada hubungannya sama aku. Apa kamu belum menyadari juga bahwa sejak kamu kenal aku, hidup kamu selalu dalam bahaya?"

"Kata orang dewasa, hidup ini memang penuh tantangan, kan?"

"Iya, sih. Tapi kalau masalah itu datang bertubi-tubi, memangnya kamu nggak capek, apa?"

Carl memikirkan pertanyaanku itu sejenak. Aku kaget karena dia tiba-tiba tertawa. "Kalau aku capek, terus siapa yang kasih kamu semangat giliran kamu yang capek?"

Ini bukan sesuatu yang patut dijadikan lelucon. Aku nggak mau ada lagi yang terluka gara-gara aku—aku betul-betul serius soal itu. "Aku merasa bersalah karena terus-menerus minta dukungan kamu. Aku merasa hubungan ini berat sebelah. Kamu selalu harus berkorban untuk aku. Aku nggak bisa terus-terusan minta kamu berkorban buat aku, Carl."

"Kamu menolong aku dari Anne-Marie pas di Bellagio. Tara, Meredith dan Reo nyaris jadi korban di final Casa Poca seandainya kamu nggak meringkus Anne-Marie. Kamu juga menyelamatkan kita sekelas waktu di pesawat. Dan di Festival Sekolah semester lalu, kalau kamu nggak menghentikan Lucien, kita semua mungkin udah tamat sekarang," Carl berbalik, dan mengetukkan jarinya ke dahiku. "Your mind plays that trick again."

Yah, kalau dibilang seperti itu sih... "What trick?"

"Bahwa kamu merepotkan." Alis Carl terangkat. Dia menyentuh ujung hidungku. "Aku tahu kamu jenis cewek yang nggak suka merepotkan orang lain, Jen. Tapi jujur aku nggak pernah merasa direpotkan sama sekali. Aku nggak pernah berniat pamrih ke kamu. Aku melakukan semua yang aku lakukan untuk kamu, karena aku kepengin melakukannya. Teman-teman yang lain juga begitu, kok. Kamu bisa tanya sendiri sama Meredith, Tara, Reo dan yang lain. Aku yakin guru-guru juga berpikir begitu."

Mendengar itu, perasaanku tertohok. Aku selalu bangga karena jadi cewek mandiri—sebegitu mandirinya sampai kadang-kadang aku lupa bahwa nggak masalah meminta bantuan jika memerlukan. "Kamu benar, Carl. Karena selama ini aku selalu melakukan apa-apa sendirian. Aku nggak punya teman dekat sampai datang ke Jakarta ini. Di New York, semua orang menjaga jarak sama aku."

"Karena latar belakang keluarga kamu."

"Itu salah satunya. Dan Mom..." Mendadak aku merasa letih. "Mom selalu memperlakukan aku seolah-olah aku ini sebongkah berlian yang begitu spesial."

Carl meraih tanganku dan menggenggamnya erat-erat. "Kita semua spesial dengan cara kita masing-masing, kan?"

Lagi-lagi dia benar.

"Kalau orang-orang menjauhi kamu karena hal yang bikin kamu spesial," Carl meraih pipiku, wajahnya mendekat. "Berarti mereka salah menilai kamu. Apa yang membuat kamu spesial, seharusnya itu yang membuat kamu jadi lebih kuat."

Aku mengangguk. Meredith dan Tara punya cara mereka sendiri untuk bikin aku nyaman, tetapi Carl berbeda—dia selalu membuatku merasa mampu menerima diriku apa adanya. Aku tidak pernah betul-betul memikirkan ini, tapi tampaknya pertemuanku dengan Carl dua semester lalu sudah digariskan takdir. Cowok ini bukan hanya memahamiku, tetapi dia menerimaku.

Wajah Carl semakin mendekat. Seperti sihir, aku merasa diriku juga tertarik kepadanya. Jarak di antara kami menyempit, mata Carl yang sewarna laut berkilau hingga akhirnya melebur menjadi bayang-bayang biru yang hangat ketika bibir kami bersatu. Semuanya terjadi begitu saja; alami tanpa paksaan, dan tak ada sedikit pun rasa takut, malu atau risih.

Sebaliknya, aku sungguh-sungguh tenang.


...


Ruangan Kepala Sekolah mulai terasa seperti rumah. Selama aku bersekolah di SMA Cahaya Bangsa, baru semester ini aku mampir ke ruangan seorang guru sampai berkali-kali (kantor Pak Gino pengecualian. Semua sudah tahu dia rutin menyiksa anak-anak setiap hari).

Di dalam, sudah ada Ryu-san, Bu Olena, Pak Yu-Tsin dan Kepala Sekolah. Mereka berempat mengangguk ramah padaku. Ryu-san tiba-tiba duduk tegak seperti meerkat, dan rasa maluku memuncak. Pasti dia tanpa sengaja mengintip isi pikiranku dan melihat adegan di loteng bersama Carl.

Aku memang tidak akan bisa mengenyahkannya. Itu first kiss-ku.

"Selamat siang, Jen," sapa Pak Prasetyo. "Saya mengundang Pak Yu-Tsin untuk ikut bergabung. Saya harap kamu nggak keberatan."

"Nggak apa-apa, Pak. Halo, Pak Yu-Tsin."

Guru kelas Pengendalian itu tersenyum. "Kepala Sekolah bilang ada hal penting yang mau kamu bicarakan? Bu Olena sudah cerita ke saya soal Tara Handoko. Apa ini ada hubungannya dengan Tara?"

Aku menceritakan kejadian di kelas saat bayanganku menghilang, dan tentang kemunculan-kemunculan misterius Tara yang lain. Keempat guruku itu menyimak dengan sungguh-sungguh. Bu Olena kelihatan agak tegang, ini bukan pertama kalinya dia mendengar cerita ini karena Tara sudah pernah melapor.

Di akhir ceritaku, mereka berempat terdiam. Aku jadi sedikit kecewa. Ini bukan reaksi yang kuharapkan. Aku berharap mereka punya jawabannya. Atau setidaknya bisa menjelaskan apa yang terjadi.

"Sebaiknya Jen nggak usah ikut rencana itu, Pak Prasetyo," kata Pak Yu-Tsin tiba-tiba. Dia menatap Kepala Sekolah dengan cemas.

"Rencana apa?" aku refleks bertanya.

Pak Prasetyo bersandar di kursi rodanya, jari-jarinya terpilin. Kupikir beliau sedang tertidur, tapi setelah ditanyai Pak Yu-Tsin, kepala Pak Prasetyo terangkat.

"Dewan Pengendali berencana memakai Lucien sebagai umpan," kata Pak Prasetyo. "Untuk menjebak Toni."

Wah, itu bukan ide bagus. "Bukannya koneksi chi mereka udah putus, Pak?"

"Setelah meneliti isi pikiran Lucien, Pak Pangestu yakin Toni akan berusaha menjemput Lucien kembali," kata Bu Olena. "Meski Lucien percaya dia sudah 'dibuang' dan hubungan chi-nya dengan Antoinette telah putus, tetapi mereka berdua tetap punya ikatan yang erat."

"Sejenis kontak batin," timpal Ryu-san. "Antoinette dan Lucien sudah hidup berdua saja selama bertahun-tahun. Mereka memang bukan saudara sedarah, tetapi sudah saling terhubung seperti saudara kandung."

"Kalau begitu..." Aku bergidik. "Apa rencana Dewan Pengendali?"

"Perayaan Imlek Nasional akan diadakan dua hari lagi di Monas," kata Kepala Sekolah. "Akan ada pesta lampion, bazaar makanan, penampilan tari, dan acara-acara lain. Lucien akan diselundupkan di acara itu untuk memancing Toni."

Aku pernah melihat acara seperti itu tahun lalu di televisi. Tunggu dulu. Kalau Toni muncul di acara itu, artinya...

"Akan ada banyak non-pengendali di acara itu!" Tanpa sadar aku sudah duduk di ujung kursiku. "Kalau Toni mengamuk, mereka bisa jadi korban!"

"Saya sudah memperingatkan Dewan soal itu," angguk Pak Prasetyo setuju. "Namun mereka menganggap Toni yang buron akan jadi ancaman lebih besar bagi para non-pengendali."

"Dewan Pengendali memang tak pernah menganggap serius jiwa manusia," komentar Bu Olena penuh kemarahan. "Mereka terlalu percaya diri satgas mereka sanggup melindungi para non-pengendali nanti. Kita sudah menyaksikannya; kenyataannya para satgas itu sangat tidak kompeten."

"Pak Pangestu minta kamu ikut dalam acara itu, Jen," lanjut Pak Yu-Tsin. "Kami para guru juga diminta untuk membantu."

"Bagaimana, Kepala Sekolah?" Bu Olena berpaling ke Pak Prasetyo. "Apa Jen bisa ikut? Setelah apa yang terjadi, saya rasa kita berhati-hati."

Pak Prasetyo termenung lagi. Kami semua menanti jawaban beliau. Aku jadi semakin yakin ini bukan ide yang bagus. Toni sudah menghilang selama sebulan. Apa dia akan terpancing jebakan murahan seperti itu?

"Satu-satunya cara untuk mengetahui apa yang akan terjadi pada Jen adalah meminta Tara Handoko mengecek masa depan. Saya tidak punya jawabannya, tapi yang pasti ini berkaitan dengan Tara," kata Pak Prasetyo akhirnya. "Meski begitu, mengecek masa depan dari sekarang juga belum bisa dijadikan jaminan. Masa depan dipengaruhi oleh masa kini—apa yang kita lakukan hari ini akan menenukan apa yang terjadi selanjutnya."

"Mengajak Jen ke acara itu jelas bukan ide bagus!" tolak Bu Olena mentah-mentah, yang dibalas anggukan setuju Ryu-san dan Pak Yu-Tsin. "Kita nggak boleh gegabah seperti Dewan Pengendali, Kepala Sekolah! Kalau terjadi kesalahan, bisa-bisa Antoinette membawa kabur Lucien! Ini sangat—"

Pak Prasetyo mengangkat tangan. Bu Olena terhenti.

"Saya serahkan keputusannya pada Pengendali Utama," kata Pak Prasetyo. "Jen, kamu bisa ikut membantu atau tidak; itu hak kamu. Setelah apa yang kamu alami, saya percaya kamu cukup bijak untuk menentukan. Saya juga tidak perlu memberitahu kamu risikonya."

"Jen, jangan!" cegah Bu Olena. "Kita bisa pikirkan rencana lain!"

"Saya ikut."

Pak Yu-Tsin tercengang. Bu Olena mendesah kecewa. Hanya Ryu-san yang tidak kaget, karena kutebak dia sudah membaca isi pikiranku.

"Kamu yakin, Jen?" tanya Pak Prasetyo.

"Ya," jawabku mantap. Kalau ini akan menjadi pertarungan keduaku dengan Toni, aku akan melakukannya. Aku sudah berlatih keras sejauhi ini. Aku siap melawan Toni. "Ini sudah tanggung jawab saya. Dan seandainya terjadi sesuatu yang buruk, saya siap menanggung semua konsekuensinya."

"Baiklah," Pak Prasetyo menarik napas dalam-dalam. Luka di lehernya berpijar seperti terbakar. "Saya dan para guru yang lain akan membantu kamu sebisa kami. Kamu tidak akan sendirian."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top