14. Di Paris
Salah satu petugas Dewan menjemputku dan Ryu-san memakai portal dimensi. Bu Olena sudah lebih dulu menyusul Pak Prasetyo. Aku kepengin sekali mengajak para sahabatku, tetapi petugas Dewan itu bersikeras mereka tidak boleh ikut.
Kami tiba di markas Dewan Pengawas Pengendali dalam tiga detik saja. Aku tidak tahu apa ini memang disengaja, tetapi markas Dewan Pengendali selalu membuat pengunjungnya merasa dicekam kepanikan. Koridor-koridornya yang panjang seolah tidak berujung, pintu-pintu misterius yang berjejer di sepanjang koridor; semuanya membuat tempat ini terasa sangat mengintimidasi.
Kupikir kami akan pergi ke ruangan khusus tempat Lucien ditahan, tetapi si petugas berbelok dari koridor utama dan menuruni tangga ke bawah tanah. Aku langsung hafal jalan ini. Kami sedang menuju ke penjara, tempat aku disekap semester lalu.
Lucien ditempatkan di sel khusus mirip akuarium seperti yang kutempati waktu itu. Hanya dia seorang yang menghuni sel itu. Pak Pangestu, Pak Prasetyo, Bu Olena dan beberapa petugas Dewan Pengendali sedang mengawasi di depan kaca penyekatnya yang bening.
Pak Prasetyo melihatku dan tersenyum muram.
"Pak Prasetyo, ada yang ingin saya bicarakan. Ini penting."
Pak Prasetyo menggeleng kecil. Matanya bergulir ke arah Pak Pangestu dan orang-orang Dewan di belakangnya. Tidak di depan mereka.
Ah. Rupanya Pak Prasetyo juga tidak mempercayai orang-orang Dewan ini. Terpaksa harus kutunda lagi. Padahal aku sudah tidak sabar ingin memberitahu Kepala Sekolah soal bayanganku dan kecurigaan Tara serta Meredith.
Pak Prasetyo menjulurkan tangannya. Dia menyalamiku dengan hangat, lalu meluncur menjauh. "Mari, bapak ibu."
Pak Pangestu dan orang-orang Dewan tampak tidak rela karena harus pergi, tetapi Pak Prasetyo mengajak mereka sekali lagi. Akhirnya hanya aku, Ryu-san dan Lucien yang tertinggal. Pintu sel itu sudah dibuka, dan Lucien memberi isyarat supaya aku masuk ke dalam.
"Jen aja," katanya, ketika Ryu-san kepengin masuk juga. "Just Jen."
Ryu-san mengernyit. "Tapi Lucien—"
"Jen," Lucien meraih tanganku. "Kamu percaya sama aku?"
Aku memikirkan kemungkinan Lucien menyerangku. Itu mustahil. Cowok ini tidak memiliki chi lagi. Dan sekalipun dia menyembunyikan senjata—entah bagaimana caranya—Ryu-san pasti sanggup menghentikannya. Toh meskipun Pak Pangestu dan orang-orang lainnya sudah pergi, kami tetap diawasi. Aku tahu persis apa yang terjadi di penjara ini karena pernah tinggal di dalamnya.
"Nggak apa-apa, Ryu-san. Aku bisa sendiri."
Lucien menutup pintu kaca itu. Dia menyilakanku duduk di tempat tidurnya, sementara dia sendiri bersila di lantai, tepat di hadapanku.
"Ayo kita mulai."
...
Suasana sebuah jalan yang ramai. Rupa-rupa toko berjejer di kiri dan kanannya; toko pakaian, toko perhiasan, toko buku, toko sepatu, hingga restoran dan kafe. Banyak orang lalu-lalang di jalan itu; mereka memakai mantel, jaket tebal serta syal, semuanya kelihatan sendu dan terburu-buru. Langit tampak kelabu, sehingga sulit diketahui apakah ini pagi atau sore hari. Pohon-pohon botak berderet-deret rapi di sepanjang trotoar, tidak ada daun-daun kering yang mengonggok di bawahnya karena sudah dibersihkan petugas penyapu jalan.
Ini Paris. Saat musim dingin.
Aku kenal suasana ini dengan sangat baik. Nyaris setiap tahun aku mampir ke Paris, entah untuk liburan atau sekedar menemani Mom belanja. Tapi Paris yang sedang kusaksikan ini tampak berbeda; mobil-mobil model lama yang berseliweran di jalannya menandakan bahwa ini adalah Paris di masa lalu. Aku mengenali salah satu Audi hitam yang melintas—mobil itu terakhir kali mengaspal sekitar delapan tahun yang lalu.
Seperti ada yang memberiku komando, perhatianku terarah ke satu gang sempit di antara restoran dan toko buku. Sekilas gang itu bisa luput dari pengamatan, tetapi jika diamati baik-baik, kelihatan seperti jalan menuju dunia lain. Para turis yang sekedar mampir ke Paris tidak akan menyadarinya, tetapi mereka yang rutin datang ke sini pasti tahu bahwa Paris tidak segemerlap yang ditampilkan di brosur-brosur wisata.
Kudekati gang itu. Mobil-mobil lewat menembusku—aku hampir menjerit karena mengira bakal tertabrak, sebelum menyadari bahwa aku sedang berada di pikiran Lucien.
Gang itu sempit dan gelap. Di sebuah tempat sampah besar, aku melihat dua anak kecil. Usia mereka sekitar sepuluh tahun. Pakaian mereka bagus-bagus, dan tampaknya mereka anak-anak orang berada. Si anak laki-laki bermata cokelat terang seperti pasir, dan si anak perempuan punya rambut hitam panjang bergelombang yang sangat indah, seperti boneka. Mereka sedang duduk bersebelahan.
Sebentar. Mereka adalah Lucien dan Toni, kan?
Aku melihat mereka dari sudut pandang orang ketiga. Padahal biasanya aku menjadi Lucien atau Toni. Apa ini karena Pak Prasetyo tidak jadi perantaranya?
"Toni," kata Lucien. "Seharusnya kita tetap di Indonesia aja. Kamu terlalu banyak memakai sihir kamu."
"Kamu bilang kamu mau jalan-jalan ke luar negeri, Luc..." bisik Toni. Dia hanya bergelayut lemah di lengan Lucien. Matanya separuh terpejam, sepertinya dia sedang... mengantuk? "Paris kota yang indah. Aku pernah lihat di majalah."
Lucien tampak tercabik di antara rasa puas dan ketakutan. "Aku nggak mau kamu memaksakan diri seperti ini lagi sampai-sampai harus mengorbankan diri. Ayo, kita harus keluar dari ini."
"Aku nggak bisa, Luc."
"Tapi kamu belum makan. Kita harus mencari makanan."
Ah, ya. Lucien pernah bilang bahwa kekuatan Toni tidak bisa dipakai untuk menciptakan makanan dan manusia baru. Aku tidak bisa merasakan aliran chi Toni, karena ini hanyalah bagian dari memori. Namun dari ekspresi dan gerak-gerik gadis kecil itu, aku tahu kekuatannya sedang sangat lemah. Kurasa itu penyebab mereka berdua ada di sini sekarang. Pasti Toni tidak sanggup menahan realitas rekaannya karena telah memakai kekuatannya secara berlebihan untuk membawa Lucien ke Paris. Bagaimanapun juga, dia masih anak-anak saat itu. Dan karena Toni sedang tak berdaya, maka Lucien juga terkena imbasnya.
Lucien bangkit. "Aku akan cari makanan."
"Aku ikut."
"Jangan. Kamu di sini aja."
"Kalau kamu ditangkap polisi..." Toni bersusah payah mengangkat dirinya sendiri. Kakinya yang kurus dan dibalut stoking linen putih gemetar. "Kamu bisa dibawa ke penjara anak nakal, Luc. Kita nggak punya paspor sama kartu identitas."
"Tapi kamu harus makan, Toni. Dan minum obat."
"Aku bakal baik-baik aja. Jangan mencuri, Luc."
"A-aku nggak bakal mencuri," kata Lucien. Dia meluruskan kemejanya yang sedikit kusut. "Aku bakal minta tolong seseorang."
"Memangnya ada yang mau membantu kita?" Toni mendengus getir. "Kita cuma anak-anak yatim piatu, Luc. Nggak ada yang peduli sama kita."
Lucien kelihatan kesal sekaligus putus asa. Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, sinar matanya memancarkan tekad. "Setidaknya kita harus mencoba."
Lucien memapah Toni keluar dari gang itu. Kuikuti mereka. Sambil tertatih-tatih, keduanya muncul di jalanan utama dan mulai bergerak ke arah restoran di sebelah kiri gang. Rasanya aneh melihat dua anak kecil semenawan mereka berkeliaran di jalanan Paris tanpa orangtua. Kalau ini di Indonesia, orang-orang pasti akan bertanya-tanya. Tapi karena ini di luar negeri, masyarakatnya sudah terbiasa untuk tidak memusingkan urusan orang lain.
Papan nama restoran itu berbunyi: Maison Blanche—Rumah Putih. Dari luar, tampaknya itu restoran mahal. Entah kenapa aku merasa restoran itu familier.
Lucien mendekati si penjaga pintu. "Permisi, Monsieur..." sapanya dalam bahasa Prancis yang fasih. Kutebak Toni memakai sedikit sisa kekuatannya untuk menggerakkan lidah Lucien. "Apa aku bisa minta sepotong roti dan segelas susu?"
Penjaga pintu itu mendelik. Papan nama di saku jasnya bertuliskan: Maël. "Roti dan susu? Untuk apa?"
"Untuk kakakku," Lucien menunjuk Toni yang pucat dan berkeringat. "Dia sedang tidak enak badan."
"Begitu ya," kata Maël, kedengaran tidak simpatik sama sekali. "Di mana orangtua kalian, anak-anak?"
"Maman sedang ada di toko itu..." Lucien menunjuk restoran lain di seberang jalan. Namanya Chez Demian. Wah, apa itu restoran milik Demian Darmawangsa, ayah angkat Lucien dan Toni?
Maël memandang restoran di seberang jalan itu dan terbahak-bahak. "Kalian para penipu cilik! Kalau Maman-mu ada di restoran itu, kenapa kalian minta roti dan susu di sini?"
Lucien terbelalak, sepertinya menyadari kesalahannya. Wajahnya memerah, dan sesaat tampaknya dia akan menyerah. Tetapi Toni yang bernapas pendek-pendek di sebelahnya mengobarkan keberaniannya lagi. "Maaf, Monsieur. Tolong kami. Hanya sepotong roti, kalau begitu. Untuk kakakku saja. Dia belum makan dari kemarin malam, dan tubuhnya demam."
Maël terbahak semakin keras. "Coba lihat!" Dia menunjuk plang nama di atas etalase restoran. "Apa di sana tertulis 'panti asuhan'? Kalau kau mau roti, kau harus membayar, Nak!"
Toni merintih lemah. Lucien mendesah. "Kami tidak punya uang."
"Kalau begitu, carilah uang!"
"Tapi kakakku sakit. Aku tidak bisa meninggalkannya!"
"Memangnya aku ibumu? Bilang sama ibumu sana!"
"Kami yatim piatu."
Maël terhenti. Dia berkedip-kedip sejenak, seperti menimbang-nimbang. Tapi akhirnya dia tertawa lagi. "Akting kalian jago juga! Dasar tikus jalanan!"
Lucien memohon lagi, kali ini lebih memelas dari sebelumnya. Maël tidak mengacuhkannya. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telepon resepsionis yang tadi berbunyi. Penjaga pintu itu mengangguk-angguk dengan gugup.
"Kalian harus pergi," kata Maël ketika telepon itu ditutup. "Kami akan kedatangan tamu penting."
"Sepotong roti saja, Monsieur..." Lucien mulai terisak. "Aku mohon."
"Pergi!" hardik Maël. "Jangan kembali lagi!"
Lucien sudah berlutut di depan Maël dan memohon-mohon, tetapi penjaga pintu itu menendangnya. Lucien memberanikan diri memeluk kaki Maël, dan pria itu menyambar kerah baju Lucien dengan kasar lalu melemparkannya kembali ke gang. Toni ikut terjatuh, tetapi dia segera bangkit dan menyusul Lucien sambil berteriak ketakutan. Keduanya menangis di gang yang gelap itu.
"Tidak apa-apa, Toni..." hibur Lucien, hidungnya berdarah karena terantuk aspal. Dia merangkul Toni yang gemetar hebat karena demam. "Aku baik-baik saja. Ini cuma luka kecil. Aku nggak kesakitan."
"Kita butuh orangtua, Luc." Toni tersedu-sedu di dada Lucien. Tangisnya berbeda; bukan tangis kesakitan, tetapi kemarahan. "Kalau aku sudah pulih, aku akan mencarikan orangtua—"
"Ya. Kamu istirahat aja, Toni."
Tangan Toni yang meremas kemeja Lucien di bagian dada terkepal. "Kalau punya orangtua, kita nggak akan diremehkan seperti ini lagi..."
Sebuah limusin lewat di depan gang itu. Aku berbalik, kaget karena kemunculan mobil itu.
"Aaah!" pekikan lantang Maël yang sengaja dimanis-maniskan bergema. "Madame! Selamat datang di Maison Blanche!"
Lucien dan Toni mengintip. Maël sedang membukakan pintu mobil, dan seorang wanita anggun melangkah keluar. Dia memakai jaket bulu warna ungu dan kacamata hitam. Perhiasan berlian di leher dan tangannya berkilau-kilau seperti bintang-bintang putih.
Aku langsung membeku. Itu ibuku!
"Maël," sapa Mom dengan logat Prancis yang sempurna. "Bonjour."
"Madame Jacqueline. Bonjour!" balas Maël khidmat, nada suaranya menjilat. "Sedang kunjungan bisnis ke Paris?"
"Ya. Hanya satu hari. Kebetulan meeting-nya diadakan di hotel dekat sini, dan saya teringat Flamiche kalian. Saya harap kedatangan saya yang tiba-tiba ini tidak merepotkan."
"Tidak, tidak sama sekali!" Maël membungkuk amat rendah, seperti akan mencium sepatu Mom. "Selalu ada tempat untuk Madame Jacqueline di Maison Blanche! Kami tersanjung Anda bersedia mampir lagi, Madame."
Mom mengibaskan tangannya, pura-pura tersanjung. "Omong-omong, aku datang bersama seseorang. Meja untuk dua orang?"
"Meja terbaik kami sudah siap, Madame."
Mom tersenyum puas lalu mengedik ke dalam limusin. "Perkenalkan, ini putri semata wayang saya, Jennifer..."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top