9. Klub Renang


Investigasi kecelakaan pesawat itu ternyata jauh lebih melelahkan dari yang kuduga.

Tebakan Mom benar, Helix terlibat. Tim pengacaraku berusaha menjauhkanku dari segala kerumitan itu, tapi aku tidak bisa mengelak. Aku sudah berumur tujuh belas tahun, di mata hukum aku sudah dianggap orang dewasa. Jadi dalam beberapa kesempatan yang "tak terhindarkan", aku terpaksa ikut investigasi dan sejenisnya. Tapi aku selalu ditemani pengacara dan Arini.

Aku menceritakan semua urusan berbelit-belit ini pada Carl, tapi merahasiakannya dari Tara dan Meredith. Kedua sahabatku itu sudah cukup khawatir karena Dewan, aku nggak mau bikin mereka tambah pusing.

Hari ini aku baru kembali dari kantor polisi. Mom meneleponku berkali-kali untuk menanyakan apa yang terjadi, tapi aku terlalu lelah untuk meladeninya. Kalau Mom betul-betul peduli, kenapa dia nggak terbang langsung dari New York ke sini? Toh Dad udah beli pesawat baru.

"Ini, Jen. Minum dulu." Arini membuka kulkas limusin dan mengeluarkan Pocari Sweat dingin. "Kamu kelihatannya capek banget hari ini."

Jelas saja aku capek. Sepulang sekolah, aku langsung ke kantor polisi.

"Sebentar lagi semua ini akan selesai, kok," kata Arini keibuan. Dia menyalakan mesin pijat di kursiku. "Kamu nggak usah khawatir. Nyonya Darmawan sudah memastikan soal itu."

"Aku rasa Mom nggak perlu pakai 'jalan belakang', Arini. Aku takut Mom justru terjerat hukum. Aku cuma mau semuanya selesai."

"Nyonya Darmawan akan mengusahakan begitu, Jen."

Aku menghabiskan minuman isotonik itu dalam beberapa tegukan besar. Tenggorokanku yang kering jadi lumayan segar. "Dan para polisi itu sama sekali nggak menyinggung soal badai."

"Soal itu..." Arini meringis maklum. "Di atas kertas badai itu tidak ada. BMKG dan pihak-pihak lainnya menyatakan cuaca di Laut Cina Selatan hari itu betul-betul cerah."

"Tapi kalau mereka memeriksa black box pesawat dan rekaman percakapan di kokpit, pasti mereka tahu kalau badai itu betul-betul terjadi, Arini."

Mendadak Arini terdiam. Dia memutar-mutar botol minuman yang kuberikan padanya dan mengalihkan tatapannya dariku. "Sebetulnya Jen, black box dan rekaman di kokpit sudah diperiksa polisi. Mereka tidak menemukan percakapan atau bukti apa pun yang membahas soal badai itu."

APA? "ITU NGGAK MUNGKIN!"

"Mereka sudah memeriksanya berulang-ulang, makanya mereka yakin tidak ada badai."

Kok bisa? Pesawat itu nggak mungkin jatuh ke laut begitu saja! Aku yakin sekali segala yang terjadi selama perjalanan nahas kami itu tercatat dalam sistem pesawat.

"Tapi saya percaya sama kamu, kok, Jen," Arini meremas bahuku. "Ini yang bikin tim pengacara kita harus bekerja ekstra keras dan akibatnya penyelidikan jadi berlarut-larut. Semua bukti tentang keberadaan badai itu entah bagaimana caranya sudah dihapus."

Dihapus?

Aku tertegun. Ya, hanya itu jawabannya. Bukti-bukti keberadaan badai yang menerjang pesawat kami itu memang sudah dihilangkan.

Dan aku tahu siapa yang melakukannya. Begitu menyadarinya, kemarahanku bangkit.

"Dewan Pengawas Pengendali. Mereka yang melakukannya."


...


'Jen, aku sama Reo di Lantai 22. Klub renang. Mampir aja.'

Kubalas pesan LINE dari Carl itu dengan emotikon 'oke'. Aku baru saja selesai ikut "klub" tambahan dari Bu Olena. Sesi pertama tadi cukup membosankan. Semula kukira Bu Olena akan mengajariku sesuatu yang keren seperti yang biasa dilakukan Pak Yu-Tsin di kelas Pengendalian Kekuatan. Tapi Bu Olena hanya duduk dan menanyaiku tentang kekuatanku. Dengan kata lain aku diinterogasi. Lagi.

Orang-orang memang suka kepo soal hidupku, tapi belakangan ini ke-kepo-an itu sudah memecahkan rekor baru. Dalam dua minggu saja aku sudah diinterogasi sebelas kali, yang terakhir adalah dengan Bu Olena barusan.

Semua urusanku ini membuat semangatku untuk mendaftar klub melempem. Tara sudah berhenti menawariku ikut klub pecinta alam. Susunan pengurus setiap eskul sudah dilantik, yang artinya "posisiku" sebagai bendahara klub bridge sudah diisi.

"Kenapa kita selalu ketemu di depan lift, ya?"

Aku menoleh. Sosok jangkung Lucien menghampiriku sambil senyum-senyum. Hari ini dia memakai jaket hoodie dengan banyak coretan-coretan. Dengan gaya cool yang sama seperti waktu itu, satu tangannya menyampirkan tas sekolah di bahu, tangan yang lain di saku celana.

"Eh, kamu..." sapaku. "Adik kelas."

Lucien mendengus tertawa. Dia merapat ke sebelahku. "Memangnya kalau ada orang yang melihat kita berdua sekarang, mereka akan percaya kalau aku junior kamu?" 

Karena tinggiku hanya sampai di dadanya, aku sadar akulah yang terlihat seperti anak kecil di sebelahnya. "Sombong, ya. Mentang-mentang kamu tinggi."

"Suer, aku nggak pakai high-heels!" Cowok itu mengangkat sepatunya dan menyodorkannya padaku. Melihat tingkah kocaknya, aku tertawa. "Waktu itu kamu percaya aku ini senior, kan?"

"Hei, ngomong sama senior harus sopan. Jangan pakai aku-kamu seenaknya begitu."

"Oke, deh." Lucien pura-pura memberenggut. "Kak."

Aku manggut-manggut puas sambil tersenyum geli.

"Omong-omong, kak. Kakak mau ke mana, kak?"

"Kepo deh, dek."

"Jangan-jangan kakak hantu penunggu lift di sekolah, ya, kak? Soalnya adek selalu ketemu kakak di lift."

Tawaku meledak lagi. Aku nggak tahan mendengar Lucien menekan setiap kata 'kak' yang diucapkannya dengan konyol. "Bukan. Kamu mengada-ada, deh."

"Maafin adek, ya, kak. Adek terlalu kepo sama kakak."

Ya ampun, cowok ini! "Udah, udah. Nggak usah panggil kak lagi. Aneh, tahu."

Lucien bersiul lega. "Jadi, Nona Jennifer yang baik..." katanya dengan nada dan lagak pura-pura formal. "Anda hendak pergi ke mana?"

Aku malah tertawa lagi. "Apa kamu memang selalu konyol begini?"

"Sometimes," dia mengangkat bahu dengan enteng. "Tergantung siapa lawan bicara aku."

Hmm. Apa maksud cowok ini?

"Alors, où vas-tu, madmoiselle?"

Lucien baru saja bertanya lagi dalam Bahasa Prancis ke mana aku pergi. Dan dia memakai sebutan akrab untuk orang yang sudah kenal lama, bukan sebutan sopan. "22ème étage. Et tu?"

"Aaaah!" Lucien malah mendesah sambil mengacak rambutnya. "Seharusnya aku sudah menduga kalau seorang Jennifer Darmawan pasti fasih berbahasa Prancis."

"Lho, memangnya kenapa?"

"Padahal aku berniat sok-sok keren di depan kamu, tahu. Besok-besok aku belajar Bahasa Sansekerta, deh."

"Bukannya mau sombong, tapi aku juga paham sedikit Bahasa Sansekerta."

Lucien mengerang dan pura-pura tersungkur di lantai seakan ada yang menonjok perutnya. Aku tidak sanggup menahan tawa melihat tingkahnya. Pintu lift terbuka dan kami berdua masuk ke dalam. Aku memencet tombol dua puluh dua dan Lucien juga menjulurkan tangannya. Jari kami bertemu di tombol itu. Ternyata tujuan kami sama.

"Jadi kamu mau ke lantai dua puluh dua juga?" tanyaku.

"Siapa yang kepo sekarang?" balas Lucien.

Hahaha. "Aku mau ke kolam renang. Kamu ikut klub renang juga?"

Lucien mengangguk serius seperti anak kecil. "Aku suka berenang. Ada hubungannya sama pengendalian aku, soalnya."

"Oh, ya? Memangnya kamu pengendali apa?"

Lucien mencondongkan wajahnya ke arahku seperti ingin memberitahu sebuah rahasia penting dan aku mendekatinya. Tapi dia malah nyengir jahil. "Tebak!"

Ah, sial!

Kuamat-amati lagi cowok itu, mencoba merasakan kekuatannya. Lucien menontonku, raut wajahnya setengah geli, setengah tertarik. Kubiarkan dia. Dari jarak sedekat ini, seharusnya aku bisa dengan mudah merasakan kekuatan Lucien. Coba kita lihat....

Sesuatu yang bergerak.

Tidak, tidak bergerak. Diam. Tapi tak juga diam. Digerakkan. Bukan seperti angin, air atau akar tumbuhan. Ini lebih padat, dan berwujud. Jumlahnya ada banyak. Berkelompok. Lembut, tapi juga keras. Kasar, tapi juga halus. Kuat, tapi juga lemah.

Kekuatan pengendalian apa ini? Aku baru pertama kali merasakannya.

"Nah?" Alis Lucien terangkat. "Gimana?"

Aku sama sekali tidak tahu kekuatan apa ini! "Salju?"

Tawa Lucien meledak. "Mana mungkin aku punya kekuatan yang cantik kayak begitu."

"Awan? Kamu pengendali awan?"

"Kedengarannya seru juga. Tapi aku bukan pengendali awan."

"Kalau begitu..." kekuatan apa yang kurasakan ini? "Kayu?"

Jawaban terakhirku memang ngaco dan aku nggak heran melihat Lucien terbahak-bahak. Aku menebak lagi, tapi dia mengangkat tangan tepat di depan wajahku seperti polisi lalu-lintas.

"Kesempatan menebak Anda hari ini sudah habis. Silakan coba lagi besok."

Pintu lift berdenting terbuka. Kami sudah sampai di lantai dua puluh dua.

"Aku akan tanya ke Toni," kataku. "Dia pasti mau kasih tahu."

"Wah, jadi Jennifer Darmawan mau main curang, nih?"

Aku berbelok ke arah kolam renang yang dibatasi dinding-dinding kaca raksasa, dan rupanya Lucien juga mengarah ke sana. Tapi cowok itu tidak mengatakan apa-apa dan hanya senyam-senyum misterius. Lucien menuju ruang ganti dan menghilang ke dalam. Aku masuk arena kolam. Klub renang lumayan ramai, sepertinya semester ini mereka jadi klub dengan peserta baru terbanyak. Serombongan anak-anak kelas sepuluh yang sudah memakai baju renang berkumpul di pinggir kolam sambil berbisik-bisik dan terkikik-kikik. Tampaknya mereka sedang membicarakan sesuatu yang seru. Dan di dekat mereka aku menemukan....

"Meredith? Lo ngapain di sini?"

Meredith gelagapan dan hampir tercebur ke kolam. Tampaknya dia juga kaget melihatku. "Lo sendiri ngapain, Jen?"

Aku mengedik pada Carl yang sedang berdiri di pinggir kolam bersama Reo. Rona merah menjalar di pipi Meredith dan dia cepat-cepat menarikku ke samping.

"Bukan, Jen. Jangan salah sangka dulu. Bukannya gue sengaja mangkir dari bridge."

"Lo ngomongin apa, sih?" Kutunjuk Carl dengan jariku. "Maksud gue Carl! Gue ke sini karena mau nyamperin Carl."

"Oh." Rahang bawah Meredith melorot. Dia cepat-cepat menutupnya lagi. "Oh."

"Bukannya sekarang ada klub bridge? Kok lo malah di sini?"

"Soal itu..." Meredith tertunduk dan meremas-remas tangannya. Pipinya sudah begitu merah sehingga dia kelihatan seperti orang demam. "Sebetulnya gue... diajak Reo."

Wah, tampaknya Reo mengajak semua orang masuk klub renang. Apa itu alasannya klub ini jadi ramai? Aku membuka mulut untuk membalas tapi Meredith memotongku.

"Lo jangan berpikiran yang aneh-aneh, Jen! Gue masih di klub bridge, kok. Gue cuma nggak enak menolak ajakan Reo. Reo nggak bisa berenang, makanya dia mau belajar renang. Dan dia bilang... dia bilang bakal seru kalau gue juga bisa ikut, jadi—"

"Lo bukan pengendali dimensi, Dith. Mana mungkin lo bisa berada di klub bridge dan kolam renang di waktu yang bersamaan."

"Ssssh!" Meredith membekap mulutku. Gerombolan anak-anak kelas sepuluh itu melirik kami. Beberapa memberiku tatapan mencela karena melihatku masih berpakaian seragam lengkap. "Jangan keras-keras! Gue tahu kok, makanya gue udah memutuskan. Kalau kayak gini, gue nggak punya pilihan. Gue udah main bridge sejak umur tujuh tahun, sedangkan Reo—"

"Lo mau cabut dari klub bridge? Meredith, elo ketuanya!"

"Eh, itu dia! Itu orangnya!"

"Aaah! Gemes gue! Akhirnya nongol juga!"

"Kalau kita foto diam-diam ketahuan nggak, ya?"

Bisik-bisik para cewek di dekat kami mendadak tambah heboh. Mereka menunjuk-nunjuk sambil memekik gemas. Karena sering bergaul dengan Reo Sahara sang idol sekolah, aku terbiasa dengan reaksi cewek-cewek saat melihatnya. Namun dari arah lirikan para cewek itu, sepertinya yang mereka maksud kali ini bukan Reo.

Lucien Darmawangsa keluar dari ruang ganti sambil memakai pakaian renang, dan cewek-cewek itu memekik keras seperti kerumunan fans yang bertemu artis idola mereka. Otot-otot tergurat dengan jelas di tubuh Lucien yang tinggi dan langsing. Kulitnya putih sekali – bahkan lebih putih dariku, dan mulus, seperti terbuat dari porselen. Dia berjinjit di tepi kolam sambil menatap air seakan menilai kedalamannya, lalu memasukkan kaki kirinya ke air. Cewek-cewek di dekat kami menahan napas. Namun seolah menyadari ketegangan para cewek yang mengamatinya, Lucien menarik kakinya lagi lalu mulai melakukan stretching. 

Para penonton cewek itu menggila.

Jadi Lucien memang ikut klub renang. Jangan-jangan dia pengendali air!

Lucien mulai berlari mengitari kolam untuk pemanasan. Para cewek di sampingku sudah mengipasi diri mereka sendiri dengan tangan seperti orang kepanasan sampai-sampai Meredith mendelik galak pada mereka. Dan tiba-tiba saja, semendadak kemunculannya, Lucien berhenti di tepat di depanku.

"Hai lagi," katanya.

Aku refleks mundur. Belum pernah aku berada di jarak sedekat ini dengan seorang cowok, bahkan Carl. Apalagi yang setengah telanjang. "H-hai juga...."

"Mau berenang?"

"Err... aku—" Darah di sekitar kepalaku mulai terasa panas. Mendadak aku merasakan dorongan tak masuk akal untuk mengipasi diriku juga seperti anak-anak kelas sepuluh itu. Ada apa denganku? "Aku... aku nggak bawa baju renang."

Meredith melirikku dan mengernyit.

"Sayang banget." Lucien berkacak pinggang dan aku setengah mati menahan bola mataku untuk tidak bergulir ke bagian bawah tubuhnya. "Padahal aku harap kita bisa berenang bareng."

Salah satu dari para cewek di sudut itu pingsan, tapi tak ada yang memedulikannya.

"Mungkin lain kali, Lucien."

"Luc. Panggil aku Luc aja. Kan udah kubilang..." dia menarik napas dalam-dalam, otot dadanya yang liat menegang. "Kalau begitu, sampai ketemu lain kali... Kak Jennifer."

Sambil melambai, cowok itu melanjutkan larinya.

Kepalaku pusing mendadak. Enggak, aku nggak sedang diserang pengendali pikiran. Pemandangan yang baru saja kusaksikan penyebabnya.

"Jen?" Ada suara yang samar-samar memanggilku. "Jennifer? Halooooo?"

Aw. Sakit.

Ada yang mencubitku. Aku mengerjap, dan melihat wajah Reo dan Meredith di depanku. Sekarang bukan hanya wajah Meredith yang memerah, tetapi telinganya juga.

"Kok kamu bengong, Jen?" tanya Reo. Lirikan Meredith berpindah-pindah dariku dan Reo, seperti bingung mau memerhatikan yang mana. "Kamu ikut klub renang juga?"

"Eh... bukan, Reo." Tadi Carl ada bersama Reo. Ke mana dia? "Aku nyari Carl."

"Oh, Carl." Reo merentangkan tangan, menunjuk di kejauhan. "Itu, Carl ada di sana."

Rupanya selagi aku sedang mengobrol dengan Lucien, Carl sudah berenang menyeberang kolam. Pacarku itu sedang berbicara dengan seseorang sambil tertawa-tawa keras, gema tawa mereka terdengar sampai sini. Aku menyipit untuk melihat lebih jelas siapa lawan bicara Carl itu.

Dia sedang mengobrol akrab dengan Antoinette.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top