8. Ekstra Eskul
Cerita soal bagaimana Antoinette Darmawangsa nyaris membunuh Magda itu langsung tersebar di seluruh sekolah. Reputasi murid baru itu melejit di antara anak-anak. Apalagi di antara para murid kelas sebelas yang belakangan punya kebiasaan menggolongkan teman-teman mereka ke dalam level kekuatan Dewan. Taktik geriliya Toni yang brilian membuat anak-anak tanpa ragu menempatkannya dalam level lima. Sekarang setiap kali Toni lewat di koridor, anak-anak menatapnya dengan tatapan ngeri sekaligus memuja. Selain karena apa yang dia lakukan di kelas Pengendalian Kekuatan minggu lalu, alasan kepopuleran mendadak ini juga karena mereka juga belum pernah bertemu pengendali kaca.
"Sebetulnya sebelum Toni, ada pengendali kaca lain yang pernah sekolah di sini," Carl memberitahuku suatu pagi. "Aku iseng mengecek buku angkatan alumni tahun-tahun sebelumnya. Sekitar sepuluh tahun yang lalu, ada seorang cowok pengendali kaca."
"Memangnya kekuatan pengendalian kita disebutkan di buku angkatan?" tanya Tara.
"Iya," kata Carl. "Nggak eksplisit sih, karena takut ada non-pengendali yang membaca buku itu. Tetapi lewat simbol kecil di belakang nama setiap murid."
Kami semua berjalan berbarengan di koridor menuju ruang kelas sehabis istirahat. Kelas selanjutnya adalah Bahasa Prancis. Gurunya Madamoiselle Geraldine, agak longgar soal jam masuk kelas. Jadi kami sengaja berlama-lama.
"Hei!"
Meredith muncul dari puncak tangga dan mencegat kami.
"Lo dari mana sih, Dith?" tanyaku. "Katanya tadi ke toilet. Kok lama?"
"Iya, iya. Sorry gue lama." Meredith cekikikan seperti anak kecil. Pipinya bersemu merah. "Gue tadi ketemu Reo di koridor dan kita mengobrol. Tahu nggak, selama ini kita salah menyebut nama Reo. Nama aslinya adalah Leo Sahara – dia lahir tanggal tujuh belas Agustus."
"Memangnya kenapa kalau lahir tanggal tujuh belas Agustus?" Tara mengernyit bingung. "Pas kemerdekaan Indonesia, gitu? Apa harusnya namanya Merdeka atau yang penuh semangat juang kayak gitu?"
Aku ikut terkikik. Meski kata 'Merdeka' punya arti yang heroik, aku sama sekali nggak bisa membayangkan Reo sebagai cowok bernama 'Merdeka'.
"Ah, Tara! Elo mah lemot!" tukas Meredith sebal. "Itu artinya Reo punya zodiak Leo – Leo jadi Reo, paham? Tapi karena Papa Reo orang Jepang, nggak ada bunyi L dalam Bahasa Jepang, makanya huruf L dilafalkan R."
"Ooooo..." aku, Carl dan Tara menyahut berbarengan. Aku memang merasa nama Reo sedikit aneh – nama Jepang yang biasanya kudengar adalah Ryo. Meski fasih berbahasa Jepang, aku nggak pernah kepikiran tentang ini.
"Jadi apa sekarang kita harus memanggilnya Leo?" tanya Carl.
"Enggak, enggak," Meredith mengibaskan tangan dengan tak sabar. "Di akte, namanya jadi Reo karena pas ditanya petugas catatan sipil, Papanya menyebut 'Reo', bukannya 'Leo.'"
Kami bertiga ber-oooh lagi.
Meredith cengengesan makin heboh. Baru kali ini aku melihatnya seperti itu. Rupanya Tara dan Carl juga mengamati keceriaan mendadak sahabat kami ini.
"Eh, kalian lagi ngobrolin apa?" Meredith mengganti topik karena mulai risih dipandangi.
"Itu, soal si Toni," jawabku. "Carl bilang sebelumnya pernah ada pengendali kaca di sekolah ini."
Ekspresi girang di wajah Meredith menguap seperti es batu yang disiram air panas. "Calvin Senjaya, alumni tahun dua ribu. Pengendali level tiga."
Carl bergumam membenarkan. Tara terbelalak. "Lo kenal dia, Dith?"
"Enggak. Tapi gue udah mengecek semua buku angkatan sekolah," jawab Meredith.
"Idih..." Tara melongo. "Lo kurang kerjaan?"
"Bukan," kata Meredith tenang. "Cuma riset kecil-kecilan. Gue mau tahu pengendali tumbuhan lulusan sekolah ini termasuk pengendali level berapa. Rata-rata pengendali tumbuhan masuk level tiga atau empat. Belum pernah ada pengendali tumbuhan masuk level lima."
Alis Tara terangkat. Dari kata-kata Meredith kami sudah tahu bahwa dia ingin jadi pengendali tumbuhan level lima yang pertama, mengalahkan para alumnus dengan kekuatan yang sama.
"Nah, kalau si Toni gue yakin pasti masuk level lima, nggak kayak seniornya si... siapa tadi namanya?" kata Tara. "Kevin? Karin?"
"Calvin Sanjaya," jawab Carl.
"Toni belum tentu jadi pengendali level lima," bantah Meredith sengit. Dia kelihatan nggak senang karena ada yang menyainginya. "Cuma gara-gara dia bisa bikin peluru kaca itu."
"Tapi, triknya hebat banget, Dith!" kata Tara. "Si Magda sampai terkecoh gitu."
"Tanpa kekuatan pengendalian pun, saat ada kaca pecah di dekat kaki, kita harus berhati-hati, kan?" Meredith mulai sewot. "Harus pakai sendal pas menyapu pecahan itu, dan sejenisnya. Karena pecahan kecil yang nggak terlihat bisa berbahaya. Semua orang tahu kok soal itu. Magda aja yang ceroboh. Dia pikir Toni bakal menyerangnya pakai potongan kaca besar-besar."
"Tapi... tapi..." Tara masih belum puas. "Sempat-sempatnya si Toni—"
"Mungkin Jennifer yang akan jadi pengendali level lima," potong Carl yang sudah mencium gelagat tidak enak antara Tara dan Meredith (yang sebetulnya selalu berdebat soal apa pun, cuma Carl belum tahu saja). "Iya kan, Jen?"
Perhatian Tara dan Meredith teralih padaku.
"Aku nggak tahu," jawabku jujur. "Aku nggak masalah ditempatkan di level mana aja."
"Eh, tapi pengendali pengendali itu masuk kategori apa?" Meredith akhirnya menanyakan pertanyaan yang menghantuiku sejak kelas Pengendalian minggu lalu. "Pengendali Organik? Tapi yang dikendalikan Jen kan bukan si pengendali, tetapi kekuatannya. Atau Pengendali Elemental? Apa aliran chi termasuk elemen alam?"
Tara dan Carl jadi tersadar dengan pertanyaan itu. Aku sendiri sudah sering memikirkan jawabannya. Dari empat kategori kekuatan yang ada: Elemental, Organik, Substansial dan Dimensional, sepertinya tidak ada satu pun yang sesuai dengan tipe kekuatanku. Seperti yang Meredith bilang, yang kukendalikan adalah kekuatan pengendalian itu sendiri. Bingung kan aku masuk ke kategori apa?
"Mungkin ada kategori khusus untuk Jen," kata Carl, lagi-lagi mencoba menengahi Tara dan Meredith yang sudah terjebak debat serius. "Kategori pengendali pengendali."
"Bisa jadi," dukung Tara. "Pak Yu-Tsin bilang, terakhir kali pengendali pengendali muncul itu tiga ratus tahun yang lalu. Pasti saat itu Dewan Pengendali belum dibentuk."
Aku tidak begitu yakin dengan pendapat Carl dan Tara, tapi aku berharap mereka benar. Dianggap sebagai ancaman oleh Dewan yang seharusnya melindungiku saja sudah membuatku merasa cukup buruk.
Kutarik napas dalam-dalam sambil mencoba tersenyum pada mereka. "Mungkin."
...
Saat jam pelajaran usai, Pak Leon memberitahuku bahwa Bu Olena ingin bertemu denganku di kantornya. Pak Leon nggak bilang untuk urusan apa, tapi dia mewanti-wantiku untuk tidak melewatkan pertemuan itu.
"Kamu ada eskul hari ini, Jennifer?" tanya Pak Leon.
Hari ini rencananya aku dan Carl akan pergi ke ruang pengurus eskul di lantai dua puluh. "Belum, pak. Saya belum mendaftar eskul."
"Bagus. Temui Bu Olena dulu, ya. Setelah itu baru daftar eskul."
"Baik, Pak."
Terpaksa kubatalkan rencana mendaftar eskul bersama Carl. Aku juga memberitahu Tara dan Meredith soal pertemuan dengan Bu Olena. Mereka memintaku untuk kasih kabar seandainya aku diiterogasi lagi. Kami berpisah di koridor – Carl, Tara, Meredith dan Reo naik lift ke lantai dua puluh, sementara aku turun ke lantai sebelas ke ruangan Bu Olena.
Lantai sebelas dikhususkan untuk kantor guru. Tidak seperti sekolah-sekolah lain di mana biasanya para guru memakai sebuah besar sebagai kantor bersama, di sini mereka punya ruangan masing-masing. Hanya Pak Prasetyo, Pak Gino dan dua guru lain yang tidak berkantor di sini.
Saat sampai di lantai sebelas aku teringat bahwa aku belum pernah mampir sekali pun ke kantor Bu Olena. Satu-satunya kantor guru yang kukunjungi semester lalu adalah kantor Pak Gino. Tapi untungnya ada papan petunjuk di atas setiap pintu.
Aku menemukan kantor Bu Olena di dekat lift. Pintunya terbuka, dan ketika aku melongok ke dalam, sepertinya mantan wali kelasku itu juga sudah menungguku.
"Jennifer!" Bu Olena tersenyum ramah. "Silakan masuk!"
Aku masuk ke dalam dan duduk di kursi tamu. Berbeda dengan kantor super bersih milik Pak Gino, kantor Bu Olena tampak seperti ruang kantor pada umumnya. Ada rak buku besar di belakang meja kerja, lemari berkas yang penuh terisi sampai ujung-ujung kertas mencuat keluar, tumpukan map, papan tulis yang penuh coretan soal Matematika, lusinan penjepit kertas, staples dan stabilo yang ditaruh dalam wadah plastik transparan, dan bekas kaleng permen besar yang dipenuhi spidol dan pulpen warna-warni.
Aura "normal" ruang kantor ini membuatku merasa rileks seketika.
"Pak Leon bilang ibu mau bertemu saya?"
Bu Olena menutup pintu. Dia menunjuk sofa di dekat lemari berkas. "Betul, Jen. Bagaimana kelas kamu sejauh ini? Nggak ada masalah, kan?"
"Semuanya lancar, Bu."
"Bagus!" Bu Olena ikut duduk. "Begini, Jen. Pasti kamu sudah mendengar tentang Ujian Dewan di akhir semester ini. Pak Yu-Tsin sudah menjelaskannya pada kalian, kan?"
"Iya, Bu."
"Nah, mulai saat ini materi kelas Pengendalian Kekuatan akan lebih fokus untuk mengajari para murid cara melewati Ujian itu," kata Bu Olena. "Ujiannya sendiri tidak sulit, tetapi bisa jadi bumerang jika dipandang enteng. Nah, saya diminta Pak Prasetyo untuk mengajari kamu."
"Pak Prasetyo?" Aku terkesiap. "Tapi... kenapa?"
"Soal itu..." Bu Olena menarik napas dalam-dalam, mendadak kelihatan lelah. "Ada dua alasan, Jen. Pertama, karena kekuatan pengendalian kamu sangat langka. Mungkin satu-satunya di dunia saat ini. Kekuatan kamu bahkan tidak masuk klasifikasi dari Dewan Pengendali."
"Saya sudah sadar soal itu," jawabku. "Sewaktu Pak Yu-Tsin menyebutkan empat klasifikasi pengendalian, saya bertanya-tanya di kelompok mana pengendali pengendali berada."
"Jadi kamu sudah tahu," Bu Olena kelihatan lega. "Karena memang pengendali pengendali tidak masuk dalam keempat kelompok itu, Jen. Akan saya jelaskan soal itu nanti. Nah, yang alasan yang kedua ini mungkin lebih... mendesak. Dorothea Latuharhary, si wanita dari Dewan yang tempo hari menginterogasi kamu itu, meminta sekolah mengambil tindakan khusus terhadap kamu."
"Mereka minta saya diawasi," sahutku. Kurasa nggak perlu berbohong di depan Bu Olena. Aku mempercayai mantan wali kelasku ini seperti aku mempercayai Arini. "Saya umm... mendengar obrolan di kantor Pak Gino waktu itu."
"Yah, memang tidak ada gunanya menutup-nutupi hal ini dari kamu," Bu Olena mendesah serba salah. "Pak Prasetyo juga berpendapat begitu meski Dewan tidak setuju. Kamu memang sedang dalam pengawasan Dewan, Jen. Kalau kamu sudah mendengar pembicaraan kami waktu itu, pasti kamu juga sudah tahu alasan mereka melakukannya."
Aku mengangguk.
"Tapi kamu nggak perlu khawatir, selama kamu nggak berbuat yang aneh-aneh, orang-orang Dewan nggak akan mengusik kamu," kata Bu Olena lembut. "Sampai sini apa kamu punya pertanyaan?"
"Apa ini artinya saya tidak bisa ikut kelas Pak Yu-Tsin lagi mulai sekarang?"
"Oh, bukan begitu," jawab Bu Olena. "Kamu tetap bisa mengikuti kelas Pak Yu-Tsin seperti biasa. Tapi menurut para guru, sebaiknya kamu tidak menunjukkan kekuatan kamu di depan teman-teman kamu lagi. Kami khawatir mereka akan menganggap kamu berbahaya, seperti yang dikhawatirkan Dewan. Pak Yu-Tsin dan guru-guru yang lain sudah diberitahu soal ini, jadi mereka nggak akan meminta kamu untuk berdemonstrasi di kelas. Apa kamu keberatan dengan pengaturan ini?"
Aku memikirkan tawaran itu sejenak. Tampaknya aku tidak punya pilihan. Ini adalah satu-satunya opsi yang kupunya untuk membuktikan bahwa aku sama sekali nggak berbahaya. Dan aku nggak keberatan menyembunyikan kekuatanku – aku sudah terbiasa tidak punya kekuatan, sehingga rasanya pasti nggak akan jauh berbeda.
"Saya nggak keberatan sama sekali, bu."
"Bagus sekali!" Bu Olena tersenyum lebar. "Jadi mulai sekarang, setiap hari Jumat sepulang sekolah saya akan mengajari kamu untuk Ujian itu. Kamu bisa bilang ke teman-temanmu kamu ikut eskul Palang Merah Remaja."
Bu Olena menunjuk sebuah plakat yang kelihatan gaya di salah satu dinding. Di situ tertulis bahwa Bu Olena adalah pembina eskul PMR di SMA Cahaya Bangsa. Aku mengangguk paham.
"Sebetulnya Pak Prasetyo yang lebih pantas mengajari kamu, tapi beliau meminta saya untuk mengambil alih," sambung Bu Olena. "Seperti yang kamu tahu, saya pengendali darah. Tapi sebelum menjadi guru, saya pernah menghadapi berbagai macam jenis pengendali. Menurut Pak Prasetyo, pengalaman saya ini bisa bermanfaat untuk mengajari kamu."
Aku mengangkat tangan untuk menyela. Ada satu desas-desus yang harus dikonfirmasi. Bu Olena mengizinkanku bertanya. "Maaf, saya hanya penasaran, Bu. Apa betul sebelum menjadi guru, Ibu bekerja untuk Interpol?"
Bu Olena memicing serius. Selama beberapa saat dia hanya menatapku. Akhirnya dia tersenyum misterius. "Saya menginginkan kehidupan yang lebih tenang."
Kuanggap itu sebagai "ya". Jadi benar! Bu Olena adalah mantan polisi internasional!
"Di pekerjaan saya terdahulu, saya ditempatkan di divisi yang khusus menangani kasus-kasus yang di luar nalar, atau dengan kata lain, yang berhubungan dengan kekuatan pengendalian," kata Bu Olena. "Kekuatan pengendalian banyak sekali jenisnya, tetapi sebagai pengendali darah, saya bisa mengontrol setiap pengendali karena ada darah yang mengalir dalam tubuh mereka. Prinsipnya sama seperti kekuatan kamu. Kamu mengendalikan chi mereka, tetapi agar bisa mengendalikan dengan benar, kamu harus mengenali aliran chi itu lebih dulu. Aliran chi mirip dengan peredaran darah, sehingga saya paham cara kerjanya. Terus terang saja, ini akan jadi pelajaran yang menantang. Apa kamu siap, Jennifer?"
Aku JADI tertantang untuk mengelola kekuatanku. Bagaimanapun juga, aku memang pengendali pengendali. Kekuatan itu mengalir dalam diriku, dan aku harus siap memakainya. Rasa antusias dan penasaran bercampur aduk dalam diriku.
Kutatap Bu Olena lurus-lurus lalu berseru mantap. "Siap, Bu!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top