6. Si Mata-mata


Carl sudah menungguku di teras lobi ketika aku sampai.

"Mentang-mentang udah punya SIM, jadi sekarang nyetir ke mana-mana," godanya.

"Yah, kepergok kamu, deh." Aku pura-pura memasang tampang bersalah. Carl tertawa. "Ini lebih baik daripada pergi ke mall naik limusin dan ditemani Arini, lho."

"Oh, iya. Aku lupa. Kamu kan Jennifer Darmawan."

Giliran aku yang tertawa. "Kamu sendiri ke sini beneran naik busway?"

"Nggak jadi," kata Carl malu. "Salah satu orang kedutaan mengantar aku."

Seharusnya aku sudah tahu. Carl menganggap aku orang penting, padahal dia juga lumayan penting. Ayah Carl adalah duta besar Inggris untuk Indonesia.

Kami masuk ke dalam lobi mall dan langsung naik ke lantai lima untuk nonton di bioskop. Sepanjang perjalanan, aku refleks membetulkan topi dan rambut palsu yang kupakai, karena takut ada yang mengenaliku. Ya, aku memang harus serepot ini kalau pergi ke tempat umum. Di sini sepertinya semua orang mengenaliku. Padahal sewaktu di New York, aku bukan siapa-siapa

"Tahu nggak," kata Carl saat kami mengantre masuk studio. "Tingkah kamu yang menyamar begini ngingetin aku sama siapa?"

"Siapa?"

"Hannah Montana."

"Ya ampun, itu kan serial jadul! Memangnya kamu nonton juga?"

"Iya. Waktu SD. Dari serial itu aku belajar aksen American English."

"Penyamaran aku kurang oke, ya? Aku masih dikenali?"

"Kalau aku sih pasti bisa selalu mengenali kamu di mana aja, mau kamu nyamar pakai wig kek, pakai kostum kek, pakai topeng kek...."

"Hahaha. Dasar!"

Setelah mengenal Carl lebih dekat, aku sadar bahwa cowok ini betul-betul berbeda dengan apa yang dibayangkan orang lain tentang dia. Semester lalu saat aku baru masuk ke Cahaya Bangsa, Carl tidak punya teman. Semua anak menjauhinya karena mengira dia nggak bisa Bahasa Indonesia. Belakangan kami tahu kalau ternyata Anne-Marie dan The Queens punya andil dalam urusan "pengucilan" Carl. Tapi setelah itu pun, beberapa anak masih menjaga jarak. Setelah aku, Tara dan Meredith mulai bergaul dengan Carl, anak-anak yang menjauhinya sadar bahwa Carl itu tidak seperti yang mereka bayangkan. Beberapa bahkan jadi karib, seperti Reo dan Billy. Carl bilang ada untungnya juga dia dekat dengan Reo dan Billy karena mereka berdua cowok populer. Reo punya fans club-nya sendiri (yang didirikan oleh Trio Hanna-Emma-Wynona), sementara Billy adalah ketua kelas dan aktif di banyak klub.

Kami menghabiskan satu setengah jam menonton film. Yang kami tonton adalah film anime terbaru besutan sutradara terkenal Jepang, Makoto Shinkai. Waktu di Jepang, kami sudah melihat poster promo film ini muncul di mana-mana. Carl berjanji akan mengajakku nonton begitu film ini tayang di Indonesia (karena bioskop di Jepang nggak menyediakan subtitle. Aku  fasih berbahasa Jepang, tapi Carl enggak). Kebetulan aku juga suka dengan karya-karya Makoto Shinkai. Begitu tahu film itu premiere hari ini, Carl langsung mengajakku nonton.

Selesai nonton, kami singgah di sebuah restoran Korea untuk mengisi perut. Kami kompak memesan Bibimbab dan Topokki ayam.

"Setelah kupikir-pikir, ini pertama kalinya kita berdua nge-date," kata Carl.

"Tapi waktu di Jepang kan kita bareng-bareng terus."

"Iya, sih. Maksud aku berduaan aja. Waktu itu kan kita sama teman-teman sekelas."

"Ah, iya. Aku baru nyadar juga, lho."

Kami berdua tersipu. Meski sudah resmi berpacaran, kami baru berani berpegangan tangan. Carl sangat sopan dalam memperlakukanku dan nggak menunjukkan niat untuk macam-macam. Aku menghargai betul sikapnya itu. Kalau kami berpacaran di New York pasti akan beda cerita. Tapi meskipun tumbuh besar di New York, Mom dan Dad mendidikku dengan budaya Timur yang kental, jadi aku sama sekali asing dengan gaya berpacaran ala Barat. Ditambah lagi baru sekarang ini kami berdua pacaran, jadi apa persisnya yang dilakukan pasangan saat nge-date, kami cuma bisa menebak-nebak.

"Menurut kamu, si Toni itu gimana orangnya?" tanya Carl tiba-tiba.

"Ramah, dewasa dan cantik." Aku nggak menyangka Carl akan membahas soal Toni. "Dan aku tertipu sama Lucien! Dia dewasa banget, lho! Aku sempat mengira dia itu senior!"

"Waktu SD, mereka tinggal di Southwold, lho."

"Southwold?" aku terkesiap. "Kampung halaman kamu? Aku pikir Toni tinggal di Paris?"

"Iya, Southwold. Ibu Toni, Denise, adalah orang Indonesia yang sempat menetap di Southwold. Toni cerita ke aku saat kami mengantre di kantin." Mata biru Carl berbinar antusias. "Kebetulan banget, kan? Aku bisa ketemu orang satu kampung!"

Carl memang punya keinginan terpendam untuk kembali ke Southwold, tapi masih belum bisa karena penugasan ayahnya. Aku pernah berjanji bakal pergi ke kota kecil itu bersama Carl. Kalau dipikir-pikir, sebetulnya kampung halaman Toni bukan di Inggris karena dia toh orang Indonesia. Tapi aku nggak mau merusak kesenangan Carl atas "penemuan" barunya ini.

"Apa lagi yang Toni ceritain ke kamu?"

"Dia juga kaget waktu tahu aku berasal dari Southwold. Dia menebak identitasku dari margaku, dan tahu kalau aku anak duta besar. Demian Darmawangsa pernah memasak untuk acara makan malam kenegaraan dan bertemu Dad."

"Dunia yang sempit, ya."

"Benar, kan? Toni juga bilang begitu."

Ah, rupanya tanpa sadar aku mengutip kata-kata Toni waktu itu. "Jadi bisa dibilang orang tua kalian udah saling kenal?"

"Bukan saling kenal. Cuma kenal aja. Maksud aku, siapa sih yang nggak kenal Demian Darmawangsa?"

"Demian memang populer, sih."

"Kayak kamu," Carl menambahkan dan kami tergelak. "Toni juga sempat bertanya-tanya soal eskul karena dia bingung mau ikut klub apa. Dia bertanya tentang klub aku, dan aku bilang aku juga baru mau mendaftar klub renang karena diajak Reo."

"Terus?"

"Toni kelihatannya tertarik," jawab Carl. "Kamu sendiri nggak mau masuk klub, Jen? Soalnya semester kemarin kita berdua nggak ikut klub apa-apa. Sayang, lho. Dua tahun lagi kita bakal lulus."

"Tara udah ngajak aku gabung di klub pecinta alam, dan Meredith udah menawarkan posisi jadi bendaraha klub bridge. Tapi aku belum memutuskan. Nanti aku pikir-pikir lagi."

"Gimana kalau klub olahraga? Vishnu sempat menyinggung soal klub basket, dan Billy sepertinya antusias banget pengen bikin klub anggar."

"Olahraga, ya...." Aku sebetulnya kurang suka olahraga. Satu-satunya latihan fisik yang nyaman kulakukan adalah yoga, tapi bikin klub yoga rasanya terlalu "emak-emak." "Aku pikirin nanti, deh."

Pelayan datang membawakan pesanan kami. Ternyata porsi makanan-makanan itu lumayan besar – amat berbeda dengan porsi yang biasa kumakan langsung di Seoul. Sepertinya restoran-restoran Korea di Indonesia sengaja membuat porsi makanan mereka jadi jumbo demi menyesuaikan dengan perut orang Indonesia yang apa-apa maunya banyak.

Carl menyerahkan sumpit padaku. Dia menuangkan segelas air untukku, tapi tiba-tiba gerakannya terhenti. Matanya terpaku pada sesuatu di belakang bahuku.

"Kenapa Carl?"

"Laki-laki itu..." Carl merendahkan suaranya jadi bisikan. Dia menunduk sedikit. "Aku melihatnya mengikuti kita dari lobi, Jen. Dia bahkan ikut nonton bersama kita."

Aku ingin berbalik untuk mengecek orang yang dimaksud Carl, tapi dia menghentikanku.

"Jangan dilihat. Nanti dia tahu kita udah sadar sama kehadirannya."

Tapi aku ingin melihat orang itu. Aku teringat trik yang dilakukan Alex, salah satu detektif wanita dalam novel "X: OBSCURA" karya penulis thriller Kai Elian yang kubaca minggu lalu.

"Kamu mau ngapain, Jen?" Carl mengernyit heran. "Jangan berbalik."

"Enggak. Aku nggak akan berbalik, kok." Dari dalam tas, aku mengeluarkan kotak bedak. "Aku cuma penasaran aja...."

Dari cermin di kotak itu, aku bisa melihat si laki-laki asing. Sekilas dia tampak seperti karyawan kantor yang baru pulang kerja dan sedang menikmati makan malam,  tetapi dia terus-terusan melirik kami berdua. Dia duduk dua meja di belakangku. Kurasa aku tahu siapa dia, tapi aku harus membuktikannya dulu. Aku berkonsentrasi dan mengingat-ingat apa yang kulakukan pada Reo, Karina dan Meredith sewaktu di pesawat.

Carl sadar aku sedang berkonsentrasi, jadi dia hanya menonton dengan tegang. Dia sudah tahu bahwa aku bisa mendeteksi kekuatan pengendalian seseorang.

Aliran chi.

Seharusnya aku bisa merasakan energi itu mengalir atau memancar dari tubuh seorang pengendali. Reo dipenuhi embusan angin, Karina melayang-layang seperti planet, sementara Meredith bergerak dinamis seperti tumbuhan. Carl berubah-ubah seperti bunglon, setiap dia menyentuh benda-benda, ada sesuatu yang berbeda yang terpancar dari dirinya. Itu karena pacarku ini pengendali wujud. Sementara laki-laki asing yang menguntit kami ini....

Memori. Kenangan. Alam kesadaran. Mimpi.

"Pengendali pikiran." Ya, kurasa itulah dia. "Laki-laki itu pengendali pikiran."

"Pengendali pikiran?" Carl tercengang. "Ngapain seorang pengendali pikiran mengikuti kita, Jen? Apa dia ada hubungannya dengan Anne-Marie?"

Aku menggeleng. "Bukan, Carl. Dia bekerja untuk Dewan Pengendali."

Carl mengerjap kebingungan. Kuceritakan tentang interogasi yang dilakukan Dorothea Latuharhary padaku, tentang ketakutan Dewan Pengendali akan kekuatanku dan niat mereka untuk mengawasi setiap gerak-gerikku. Aku nggak menyangka bahwa Dewan benar-benar serius.

Setelah mendengar ceritaku, Carl kelihatan gusar. "Tapi kenapa Dewan harus takut sama kamu, Jen? Mereka Dewan Pengendali, sementara kamu cuma anak SMA biasa. Bukan maksud aku buat meremehkan kamu, tapi—"

"Kayaknya Dewan Pengendali khawatir aku bakal jadi sinting dan memutuskan untuk mengubah semua pengendali jadi non-pengendali memakai kekuatanku."

"Memangnya kamu bisa melakukan itu, Jen?"

"Aku sih ragu." Mau tak mau aku tertawa. "Kedengarannya konyol banget, kan? Masa aku, yang baru "mendapatkan" kekuatan pengendalian sebulan lalu ini, tiba-tiba sanggup memunahkan segala jenis kekuatan pengendalian?"

"Dewan pasti berpikir begitu karena kamu pengendali pengendali pertama sejak tiga ratus tahun terakhir," kata Carl serius. "Taruhan, bahkan ketua Dewan Pengendali sekalipun pasti belum pernah ketemu pengendali pengendali."

"Mereka menyebutnya Pengendali Utama," kataku. "Aku risih dengan sebutan Pengendali Utama itu, Carl. Kesannya terlalu... superior."

"Bisa jadi kamu memang superior, Jen," sahut Carl. Kecemasan terpancar dari mata birunya yang seperti laut. "Karena kalau enggak, mustahil Dewan menganggap kamu sebagai ancaman. Mereka nggak bakal repot-repot mengurus anak-anak seperti kita kecuali mereka yakin ada sesuatu yang serius dan membahayakan."

Membahayakan. Kata itu membuatku ngeri. "Tapi aku nggak berbahaya, Carl."

"Aku tahu itu." Carl meraih tanganku. "Tapi orang-orang di Dewan bisa jadi nggak berpikir seperti itu, kan? Merekalah yang harus kita cemaskan."


...


Karena sudah memberitahu Carl, kurasa lebih baik aku juga mengaku pada Tara dan Meredith. Aku tidak melarang Carl untuk merahasiakan urusan ini karena aku percaya padanya, tapi Carl suka keceplosan dan bisa saja tanpa sengaja dia menyinggung soal itu saat mengobrol dengan Tara, Meredith atau Reo.

Jadi malam itu, sepulang jalan-jalan dengan Carl, aku melakukan group video call dengan Tara dan Meredith. Mereka kaget karena ditelepon malam-malam, dan aku menceritakan pada mereka semuanya seringkas mungkin. Bagian Dorothea Latuharhary yang ketakutan dengan kekuatanku sengaja kuceritakan dengan nada biasa-aja, supaya Tara dan Meredith nggak panik. Kuceritakan juga tentang penguntit yang mengikutiku dan Carl saat kami sedang nge-date.

"Wah, itu pelanggaran privasi namanya, Jen!" seru Meredith geram. "Bisa lo laporin ke polisi! Memangnya lo tersangka KPK yang lagi mau di-OTT, apa?"

"Polisi nggak bisa berbuat apa-apa kalau udah berurusan dengan pengendali," Tara mengingatkan dengan bijak. "Lo nggak usah panik, Jen. Dewan cuma parno. Selama lo nggak bikin yang aneh-aneh, gue yakin lo bakal baik-baik aja."

"Lo kan bisa minta tambahan pengawal pribadi dari orangtua elo?" saran Meredith. "Buat jaga-jaga aja. Gila, memangnya selama ini lo belum cukup kehilangan privasi apa? Maksud gue, lo kan terus-terusan diikuti bisik-bisik yang annoying itu."

Aku menimbang-nimbang saran Meredith itu.

"Gue nggak mau ambil risko, Dith," kataku memutuskan. "Pengawas gue itu seorang pengendali pikiran. Percuma gue pasang selusin pengawal pribadi. Mereka non-pengendali. Bisa-bisa mereka yang justru jadi korban."

"Ah, lo benar." Meredith mendesah. "Kayak si Carl waktu di Casa Poca."

"Tadi lo bilang Dewan ngotot ke Pak Prasetyo dan guru-guru yang lain," sahut Tara. "Bahwa mereka ngelakuin semua ini demi melindungi para pengendali, kan?"

Aku mengangguk.

"Nah, lo adalah pengendali," kata Tara gamblang. "Jadi bisa diasumsikan apa pun yang terjadi, mereka nggak bakal menyakiti elo, Jen."

"Kecuali ketakutan mereka jadi kenyataan," bantah Meredith yakin. "Kecuali mereka punya bukti bawa Jen betul-betul bisa jadi ancaman serius. Kalau kayak begitu, gue yakin Dewan nggak akan segan-segan bertindak, seperti yang mereka lakukan sama Anne-Marie."

"Memangnya apa yang mereka lakukan sama Anne-Marie?" tanyaku.

"Dia disekap di rumah sakit jiwa, Jen," kata Tara. "Bu Olena cerita ke kita-kita sewaktu lo koma di rumah sakit. Meskipun sepenuhnya waras, Dewan ngotot Anne-Marie punya gangguan jiwa akut yang berbahaya. Dia dikurung seumur hidup."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top