5. Darmawangsa Bersaudara


Perasaan dejavu seperti yang kurasakan saat di lapangan parkir tadi muncul kembali. Aku teringat saat pertama kali aku bertemu Tara, Meredith, Reo, dan Carl. Sebagai murid baru waktu itu, aku takut penampilanku jadi bahan omongan. Makanya aku menarik-narik rok, mencoba meluruskannya. Waktu itu aku gugup setengah mati. Apalagi setelah mencuri perhatian orang-orang dengan membawa limusin dan pelayan pribadi ke sekolah di lapangan parkir.

Namun cewek baru di depan kelas ini tidak gugup. Dia justru tampak sangat tenang, seakan-akan ini adalah reuni dan kami semua sahabat lama. Dia bukan bule atau pun blasteran seperti Meredith atau Reo. Wajahnya oval dan proporsional, kulitnya cerah seperti artis-artis Korea. Rambutnya yang bergelombang ditata dengan baik sehingga terlihat rapi. Meski sama-sama kelas sebelas, tetapi cewek ini memancarkan aura kedewasaan yang kuat, seolah dia sudah hidup setidaknya lima puluh tahun lebih lama ketimbang kami semua.

Hmm, kalau kubandingkan dengan diriku, rasanya sesi "murid baru" versiku kelihatan lebih memalukan.

Eh, kok aku jadi insecure begini? Harusnya aku lega, karena sekarang aku bukan lagi si murid baru. Melainkan si cewek yang namanya belum kami ketahui ini.

Pak Leon mengangguk ke arah cewek itu. "Silakan mengenalkan diri."

Cewek itu tersenyum manis dan menatap kami semua. Dua lesung pipinya yang dalam terlihat.

"Selamat pagi. Salam kenal semuanya. Namaku Antoinette Darmawangsa, umurku tujuh belas tahun. Kalian bisa memanggilku Toni. Sebelumnya aku tinggal dan bersekolah di Prancis, tetapi minggu lalu aku ikut orangtuaku untuk kembali ke Indonesia."

Bisik-bisik bersemangat memenuhi kelas.

"Dan ayah kamu adalah Demian Darmawangsa, chef peraih Michelin Star* itu, kan?" tanya Pak Leon. "Sementara ibu kamu Denise Darmawangsa, ahli cokelat yang terkenal itu?"

Anak-anak saling tatap dan ber-oooh panjang.

Sepertinya sudah jadi kebiasaan bagi setiap guru saat mengenalkan murid baru untuk ikut mengenalkan orangtua mereka. Aku malu banget pas Bu Olena menyebut-nyebut soal Helix dan keluarga Darmawan. Tapi Antoinette tidak kelihatan malu. Kami semua tahu betul siapa itu Demian dan Denise Darmawangsa. Mereka berdua sudah jadi semacam legenda hidup di dunia kuliner. Dad harus masuk daftar tunggu selama setahun untuk makan di restoran milik Demian di Paris karena antreannya panjang banget.

"Betul, Pak," jawab Antoinette dengan bangga. "Tapi aku buta sama sekali soal memasak. Kata Papa, aku masih harus banyak belajar."

Beberapa anak tertawa maklum. Pak Leon juga ikut tertawa.

"Omong-omong," lanjut Antoinette. "Aku pengendali kaca."

Aku dan Tara saling lirik. Pengendali kaca? Wah, aku baru tahu ada pengendali jenis itu.

"Langsung kasih tahu kekuatannya, coy!" cowok di sebelah Carl menyikutnya. Carl hanya terkekeh segan.

"Pengendali kaca, ya..." Pak Leon berkedip-kedip seperti kelilipan. "Jadi kamu sudah tahu bahwa kamu punya kekuatan pengendalian?"

Antoinette mengangguk. Dia tersenyum lagi, kali ini dengan sedikit malu-malu. Wynona mendengus melecehkan sementara Vishnu dan si kembar ber-uuuh keras.

"Tapi sewaktu di Paris saya tetap bersekolah di sekolah umum, Pak," sahut Antoinette dengan sopan. "Karena sekolah untuk pengendali hanya ada di London."

Carl berbalik untuk melirikku. Aku tahu apa yang dipikirkannya. Sebagai penduduk asli Inggris, Carl pasti terkejut karena sekolah khusus pengendali ada di London, tanah airnya.

"Apa yang membuat kamu sadar bahwa kamu pengendali?" tanya Pak Leon.

"Film Frozen," sahut Antoinette sambil tersipu. "Di adegan Elsa menyanyikan Let It Go itu, saya ikut menggerak-gerakkan tangan saya seperti sedang menyihir salju. Tapi bukan salju yang muncul, tapi serbuk-serbuk kaca. Sejak saat itu saya sadar bahwa saya punya kekuatan."

Beberapa anak terang-terangan tertawa – Billy salah satunya – tetapi Antoinette malah ikutan tertawa. Sikapnya yang santai seolah melenyapkan jarak di antara dirinya sebagai murid baru dan kami murid lama di sekolah ini.

"Nggak keren banget momennya," dia menambahkan. "Meski gagal jadi Elsa, aku tetap bangga jadi pengendali kaca."

"Wah, jadi pengendali kaca sama sekali bukan masalah," kata Pak Leon. Dia menunjuk satu-satunya kursi yang masih kosong di baris depan, tepat di sebelah Meredith. "Terima kasih sudah mengenalkan diri, Toni. Kamu bisa duduk di kursi yang itu."

Antoinette alias Toni menghampiri kursinya. Sebelum duduk, dia melambai riang pada Meredith dan tersenyum manis, yang dibalas dengan anggukan sopan. Dia menarik kursinya dengan perlahan tanpa menimbulkan derit, lalu menyapu bagian belakang roknya dengan tangan sebelum duduk. Dari gerak-geriknya terlihat jelas bahwa Toni adalah cewek yang dididik dengan tata krama ala kaum ningrat.

"Baiklah kalau begitu, saya akan meninggalkan kelas untuk pelajaran pertama kalian," kata Pak Leon. "Saya harap kalian semua bisa berteman baik dengan Toni. Selamat belajar!"


...


Kami tidak punya banyak waktu untuk menanyai Toni karena pelajaran pertama hari itu adalah Bahasa Indonesia. Gurunya, Bu Ambar, adalah wanita kurus dengan tampang cemberut permanen di wajahnya yang selalu tepat waktu. Dia termasuk salah satu guru yang paling benci ngaret, karena menurutnya ngaret adalah masalah terbesar bangsa ini. Sebagai guru Bahasa Indonesia, Bu Ambar merasa wajib memperbaikinya. Anak-anak sering bertanya-tanya apa gerangan hubungan antara Bahasa Indonesia dan ngaret. Beberapa curiga sebetulnya Bu Ambar punya rasa nasionalis yang kelewat besar – apalagi mengingat dia adalah pembina paskibraka di sekolah. Dan sebagai pengendali bunyi, Bu Ambar bisa dengan mudah meniadakan suara kami sekaligus mengeraskan suaranya sendiri kalau menurutnya kelas terlalu berisik.

Setelah sembilan puluh menit pelajaran Bahasa Indonesia (tentang teks prosedur – aku kurang ngerti), kami harus menghafal nama tokoh-tokoh Reinasans bersama penemuan mereka dalam kelas Sejarah. Gurunya adalah Pak Joko, laki-laki tua membosankan yang punya gaya bicara yang dijamin bisa bikin siapa pun tertidur pulas dalam tiga puluh detik. Entah siapa yang menyusun jadwal kelas kami hari ini, tapi dari reaksi teman-teman yang sebagian besar sudah terlelap di balik iPad masing-masing (kecuali Meredith si bintang kelas yang masih mencatat), hari Senin secara tidak resmi dinobatkan sebagai Hari Rebahan Nasional di kelas sebelas Tesla.

Kami baru dapat kesempatan untuk mengobrol dengan Toni ketika jam istirahat.

"Kita samperin, yuk," ajak Carl. "Aku penasaran soal sekolah pengendali di London itu."

"Gue justru penasaran sama pengendalian kaca," kata Tara. "Kaca itu kan terbuat dari silika yang dilelehkan. Jadi apa pengendalian kaca itu sama dengan pengendalian unsur kimia? Apa itu termasuk jenis pengendalian elemental?"

Aku juga penasaran soal ibunya Toni, Denise Darmawangsa. Setahuku, kue cokelat kreasi Denise begitu legendaris sampai harga yang paling murahnya setara Toyota Calya.

"Eh, kok dia ngilang?" Tara celingak-celinguk begitu kami sama-sama menoleh ke depan kelas. "Anaknya udah nggak ada."

"Kayaknya orangnya pemalu," kata Reo yang sudah bergabung bareng kami. "Gimana menurut kamu, Meredith? Kan kalian duduk sebelahan."

"Kayaknya pintar," jawab Meredith sambil mengerucutkan bibir. "Rajin nyatet. Tulisannya bagus pula. Catatannya lebih panjang dari gue."

Aku dan Tara mendesah paham. Kami semua tahu Meredith paling sebal kalau ada murid lain yang lebih pintar darinya. Kalau Toni betul-betul pintar, dia harus siap menjadi saingan Meredith Smith. Dan persaingan persaingan itu bakal jadi amat seru.

Kami berempat berbondong-bondong ke kantin. Di sepanjang koridor kelas sebelas, perjalanan kami terasa tenang karena anak-anak yang lain sudah mengenalku. Bisik-bisik ingin tahu itu baru terasa saat kami memasuki kantin.

"Mulai," keluh Tara saat seorang cewek kelas sepuluh terperangah begitu berpapasan denganku dan memekik, "Jennifer Darmawan!"

Aku hanya bisa cengengesan.

"Lo nggak pernah kepikiran jadi artis apa, Jen?" seloroh Meredith. Carl dan Reo sedang pergi mencari meja kosong. "Lo kan udah tenar. Maksud gue, sekalian aja. Asli, gue udah lama memikirkan soal ini, lho."

"Ngapain," sahutku. "Gue kan nggak punya bakat apa-apa. Masa gue mau jadi famous for being famous doang?"

"Eh, sekarang nggak perlu punya bakat buat jadi terkenal, tahu," balas Tara.

"Atau nggak, minimal lo bisa jadi sosialita," tambah Meredith, sepertinya kekeuh sekali ingin menjadikanku selebritis. "Kayak keluarga Kardashian, gitu."

"Aih, si Jen mah memang betulan sosialita," seloroh Tara. "Lo udah lihat belum saldo tabungannya, Dith?"

Mata biru Meredith berbinar. "Lo betulan punya saldo infinity, Jen?"

"Duh, kok lo berdua jadi ikutan ngegosip tentang gue kayak anak-anak kelas sepuluh itu, sih?" Ada apa dengan kedua sahabatku hari ini? "Mending kita antre makanan. Kios nasi goreng udah mulai rame tuh, Ra!"

Tara cepat-cepat pergi ke kios nasi goreng. Meredith bilang hari ini dia ingin makan soto, jadi dia mengantre ke kios soto. Aku titip pesan ketoprak pada Meredith – kebetulan kios ketoprak letaknya bersebelahan dengan kios soto.

Aku melihat Reo sudah menyiapkan sebuah meja kosong di bagian tengah kantin. Posisi meja itu sangat mencolok, tapi mencari meja kosong di kantin saat jam istirahat itu sama seperti memburu unicorn – hanya orang-orang yang beruntung yang bisa mendapatkannya.

"Carl sedang mengantre salad," kata Reo saat aku sampai di meja. Dia menepuk bangku di sebelahnya, menyilakanku untuk duduk.

"Kamu pesan apa, Reo?"

"Soto ayam. Aku udah nitip sama Carl kok, Jen."

"Wah, sama dong dengan Meredith."

"Oh, ya?" Punggung Reo langsung tegak. "Meredith juga pesan soto?"

Aku mengangguk. Reo menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti "Kok bisa sama gitu, ya?" lalu mencuri-curi pandang ke arah Meredith yang sedang mengantre.

"Hei!"

Ada yang menepuk pundakku. Aku berbalik dan melihat Lucien, cowok yang bertemu denganku di lift tadi pagi. Dia membawa nampan yang berisi seporsi jumbo spagetti dan latte.

"Halo!" balasku. "Kita ketemu lagi!"

"Boleh kan aku duduk di sini?"

Aku mengiyakan. Reo mengangguk sambil lalu. Hanna Hutabarat dan Emma Cahyadi baru saja muncul di belakangnya. Kedua cewek itu tersedu-sedu karena nggak sekelas lagi dengan Reo.

"Jadi kamu betulan di kelas sebelas Tesla, kan?" tanya Lucien sambil menyeruput latte-nya.

"Iya. Eh, kamu belum bilang kamu di kelas apa."

Lucien menjilat krim yang menempel di bibir atasnya. "Coba tebak!"

"Sebelas Newton? Atau sebelas Einstein?"

Lucien menggeleng dan nyengir menggoda.

"Atau kamu anak IPS? Sebelas Adam Smith?"

"Anda belum beruntung," kata Lucien usil. "Silakan mencoba lagi."

Hanya ada enam kelas sebelas. Aku menyebutkan dua kelas IPS yang lain, tapi Lucien masih menggeleng-geleng serius.

"Jangan-jangan kamu kelas dua belas?" tebakku. "Kamu senior baru, ya?"

"Wah, kamu pikir ini novel Wattpad," Lucien terkekeh. "Ayo coba lagi. Masa menyerah?"

"Lucien? Kamu di sini?"

Sebelum aku sempat menyahut, Toni si murid baru yang berasal dari Prancis itu mendatangi meja kami. Carl mengikutinya sambil membawakan satu nampan berisi makanannya dan pesanan Reo.

"Aku ketemu Toni saat mengantre," Carl memberitahuku. Toni sedang berkenalan dengan Reo. Hanna dan Emma melengos pergi dengan tampang terhina. "Kami mengobrol sebentar. Dia tanya apa boleh gabung di meja kita karena meja yang lain penuh. Aku bilang silakan aja."

"Aaaah!" Lucien mendesah kecewa dan menunjuk Toni. "Harusnya lo jangan ke sini dulu. Gue lagi main tebak-tebakkan nih sama Jennifer!"

"Lho?" mata cokelat gelap Toni bergulir padaku. "Kalian udah saling kenal?"

"Ketemu tadi pagi di lift," kata Lucien sok akrab. "Kalian berdua sekelas, kan?"

"Wah, dunia yang sempit," kata Toni "Apa Carl dan Reo juga udah kenal sama elo, Lucien?"

"Belum, belum! Makanya jangan dikasih tahu!"

Toni mendecak dan tertawa kecil seperti orangtua yang menertawakan anaknya yang lucu. "Teman-teman, kenalin: Lucien Darmawangsa..." Toni menjenggut dagu Lucien yang cemberut. "Dia adikku. Dia masih kelas sepuluh." 


---

*Michelin Star: Salah satu penghargaan bergengsi di bidang kuliner. Biasanya diberikan bagi chef yang sangat berdedikasi dan punya jam terbang yang tinggi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top