30. Festival Sekolah
Aku bangkit berdiri. Aku tak tega meninggalkan jasad Anne-Marie di sini, tapi aku juga tidak kuat untuk membopongnya. Aku harus melanjutkan perjalanan menuju teras depan.
Tiba-tiba dari belokan muncul beberapa orang sipir. Mereka melihatku dan terhenti.
Kuarahkan kedua tanganku pada mereka. Tapi salah satu sipir itu berseru, "Jen?"
Jen? Aku mendengar suara Tara dari mulut si sipir. Tapi sosok yang berbicara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar seperti tentara, yang nggak ada mirip-miripnya sedikit pun dengan Tara Handoko, sahabatku. Apa ini semacam pengendalian pikiran?
"Kuperingatkan kalian, jangan berani maju selangkah lagi."
Sipir itu malah mendekat. "Jen, ini gue. Tara. Para tahanan yang lain memberontak dan sedang bertempur dengan para sipir di teras depan. Bu Olena dan para guru yang lain terpaksa membantu para tahanan non-pengendali itu untuk mengulur waktu!"
"Elo Tara?"
"Iya. Carl memakai kekuatannya untuk mengubah wujud kami semua. Yang itu Meredith, dan mereka berdua adalah Reo dan Billy."
"Tapi kalau begitu, yang di teras itu siapa?"
"Duplikat si kembar," kata sipir lain dalam suara Carl. "Mereka membuat enam duplikat dan aku mengubah penampilan mereka menjadi seperti kami. Tapi penyamaran ini nggak akan bertahan lama. Aku belum cukup mahir mengubah wujud banyak orang sekaligus."
"Penjelasannya nanti aja," potong sipir wanita bersuara Meredith dengan tak sabar. "Ayo, Jen. Kita pergi sekarang."
"Tunggu." Aku mendadak waspada. "Aku harus mengecek kalian."
"Jen, ini benar-benar kita!" kata sipir bersuara Reo. "Nggak ada waktu lagi!"
"Tara!" Aku menoleh pada sipir pertama. "Waktu lo sama Meredith pertama kali datang ke rumah gue, benda apa yang kalian lihat di ruang tamu?"
"Miniatur semua pesawat buatan Helix," sahut Meredith. "Ayo!"
Sekarang aku yakin bahwa ini betulan teman-temanku. "Lucien Darmawangsa. Apa kalian melihatnya? Apa dia juga ada di sini?"
"Dia tadi ada di sini," jawab Billy. "Tetapi saat para sipir menyerang, kami kehilangan dia."
"Kenapa lo mencari Lucien, Jen?" tanya Tara.
"Dia pelaku semua serangan-serangan itu." Aku membungkuk ke tubuh Anne-Marie yang terbujur kaku dan berlumuran darah. "Aku nggak tahu gimana cara dia melakukannya, tetapi Anne-Marie tahu. Dia memergoki Lucien, dan cowok itu menghabisinya."
Teman-temanku menoleh pada Anne-Marie dan terkesiap. Meredith memekik ngeri.
"Apa yang terjadi?" tanya Reo sambil melotot.
"Lucien membunuhnya." Kuraup sisa-sisa pasir cokelat terang dari tangan Anne-Marie. "Lucien memprovokasi para sipir supaya bertindak beringas dan menyerang para tahanan!"
"Jen, tunggu dulu," Carl mengernyit heran. "Kenapa Lucien harus melakukan semua ini?"
"Mungkin dia mau membunuhku?" jawabku. "Aku nggak tahu alasan yang sebenarnya, Carl. Kita harus tanya langsung ke Lucien. Dia dalang dari setiap serangan itu. Di hari Bu Dorothea mampir ke sekolah untuk menginterogasi kita, aku bertemu Lucien di depan lift. Dia juga terlambat masuk ke kelas, padahal dia mengaku sudah ikut acara pembagian kelas. Seharusnya dia sudah tahu kelasnya. Dan dia juga ada di kolam sewaktu Fanny diserang."
"Terus gimana dengan Pak Gino, Jen?" tanya Meredith.
"Lokasi penyerangan Pak Gino dekat dengan rumah Lucien. Malam itu kita nggak bertemu dengannya lagi setelah dia menyambut para tamu di pintu masuk."
"Tapi bagaimana dengan pengendalian pasirnya?" tanya Carl. "Lucien pengendali pasir dan kita sudah menyaksikannya sendiri. Bu Olena bilang ke kamu mustahil ada pengendali yang menguasai dua macam kekuatan, kan?"
"Pengendalian pasir itu hanya ilusi," jawabku. Mendadak semuanya terasa begitu jelas; kecurigaanku pada Lucien sejak awal memang tepat. "Pak Prasetyo sendiri bilang ada yang bermain-main dengan ilusi. Aku rasa kekuatan asli Lucien berhubungan dengan pikiran atau yang sejenis itu. Pasti dia tahu rencana kalian untuk membebaskan aku, makanya dia berniat menyelinap masuk ke sini. Karena kalau aku bebas, dia khawatir perbuatannya akan terungkap. Tapi kami telah berhasil memberontak, dan Lucien tanpa sengaja bertemu dengan Anne-Marie di gang ini. Sebagai mantan pengendali pikiran, gue rasa Anne-Marie menangkap gerak-gerik cowok itu dan menyadari kekuatan aslinya. Anne-Marie mencoba melawan Lucien, tetapi gagal."
Teman-temanku terdiam selama beberapa saat dan hanya saling pandang.
"Pantas aja dia kabur!" kata Billy gemas. "Kira-kira ke mana dia pergi?"
"Kita harus menemukan dia," kataku. "Kurasa akan terjadi sesuatu malam ini."
"Ke sekolah," kata Reo. "Hari ini pembukaan festival sekolah. Toni dan Carl akan dilantik secara resmi sebagai pengurus OSIS yang baru. Kita harus ke sekolah sekarang."
"Tapi bagaimana caranya?" tanyaku. "Kalian bawa mobil?"
"Arini dan limusin lo menunggu di dekat sini," kata Meredith. "Kita pergi sekarang!"
"Sebentar," potong Carl. "Jen nggak bisa keluar dengan wujud seperti ini. Aku harus menyamarkannya juga."
Teman-temanku setuju. Carl menggerak-gerakkan tangannya di sekeliling tubuhku seperti sedang menyihir. Alisnya berkerut, pertanda dia berkonsentrasi. Aku menunggu terjadi sesuatu – aku belum pernah berwujud orang lain selain Jennifer Darmawan yang kukenal. Setelah semenit, Carl mendesah dan mengangguk puas.
"Selesai," katanya.
Kupandangi diriku sendiri. Seragam tahananku telah berubah menjadi seragam sipir. Lenganku kini terasa berat dan kokoh, karena telah berubah menjadi lengan laki-laki.
"Ayo kita pergi sekarang!" ajak Billy.
"Tunggu," cegahku. "Kita juga harus membawa Anne-Marie!"
"Jangan, Jen. Anne-Marie tetap harus tinggal di sini," kata Tara. "Kalau kita membawa jasadnya, para sipir itu akan curiga. Setelah pertempuran ini, mereka pasti akan mengidentifikasi para korban yang meninggal dunia."
"Gue nggak bisa meninggalkan dia, Ra," tolakku. "Gue udah janji untuk mengembalikan kekuatan Anne-Marie begitu kami berhasil kabur dari sini, tapi...."
Teman-temanku mengangguk paham. Carl langsung bergerak, dia menyamarkan wujud jasad Anne-Marie menyerupai seorang sipir yang terluka. Lalu dengan telekinesisnya, Billy membopong tubuh Anne-Marie di belakang kami.
"Ke sini," kata Reo. Dia menunjuk tembok pembatas yang tinggi dan tebal, puncaknya dilapisi kawat berduri. "Kita harus melompati tembok ini."
Meredith mengibaskan tangan. Sulur tanaman raksasa menyeruak dari dalam tanah. Daun-daunnya yang selebar tikar melambai bak permadani terbang. Teman-temanku melompat ke atas daun-daunnya. Carl menjulurkan tangan dan membantuku naik di salah satu daun. Tanaman itu melewati pagar dan membawa kami ke sisi sebelah tembok.
Tara memimpin kami dan berlari ke arah lapangan parkir gedung sebelah. Dari markas besar Dewan Pengendali, masih terdengar suara-suara ledakan dan jeritan. Aku mengkhawatirkan nasib si kembar dan para guru. Bu Olena, Pak Leon dan Bu Nanda adalah pengendali yang hebat, sewaktu di sekolah mereka bertiga melawan dua lusin petugas dari Dewan. Tapi kali ini para petugas itu berada di markas mereka sendiri, dan jumlah mereka seakan tak ada habisnya.
"Kamu mikirin apa?" bisik Carl peduli. Tiga perempat rambutnya sudah berubah menjadi pirang, dan iris matanya sudah kembali biru. Penyamaranku sendiri sudah luntur. Badanku masih berwujud si sipir laki-laki, tetapi rambutku sudah kembali panjang.
"Bu Olena, si kembar dan guru-guru yang lain. Mereka seharusnya ikut kabur bareng kita."
"Mereka akan baik-baik aja," kata Carl menenangkan. "Ketiga guru itu bertempur kayak dewa. Mereka setuju untuk ikut menyerang para sipir supaya kita punya cukup waktu untuk melarikan diri. Si kembar aman di bawah perlindungan para guru."
"Ke sini!" Tara menikung tajam di ujung gang. Aku nyaris terpeleset seandainya Carl tidak memegangiku. "Mobilnya ada di sebelah sini."
Di ujung gang itu, aku melihat limusin hitamku. Arini sedang menunggu dengan cemas di samping pintunya.
...
Limusin itu jelas bukan mobil balap, tetapi supirku telah memacunya seperti mobil balap. Kami melaju di jalanan, meliuk-liuk di antara lalu lintas Jakarta yang ramai untuk menuju ke sekolah. Seakan mendukung perjuanganku, jalanan yang biasanya ramai hari ini agak lengang.
Dalam perjalanan, aku menceritakan pada Arini apa saja yang sudah kualami seringkas mungkin. Wujud kami telah kembali, dan kami membersihkan diri luka-luka pertempuran tadi karena kami nggak bisa muncul di sekolah dengan keadaan babak-belur begini. Dibantu Arini, para cewek membersihkan jasad Anne-Marie sebaik-baiknya dan membungkusnya dengan handuk bersih. Meredith menjahit robekan di leher Anne-Marie memakai serat tanaman dan menumbuhkan beberapa jenis rempah harum untuk jenazahnya. Aku tidak kuasa menahan air mataku. Carl hanya bisa menatapku dengan heran dan sedikit prihatin; dia tidak tahu apa yang telah Anne-Marie lakukan untuk membebaskanku. Semester lalu Anne-Marie memang musuhku, tetapi dua hari belakangan ini dia telah membuktikan bahwa dia juga pantas menjadi sahabatku. Aku berpesan pada Arini untuk menyemayamkan Anne-Marie di rumah duka. Kami tidak bisa mengadakan pemakaman terbuka karena Dewan Pengendali pasti akan ikut campur, jadi kuminta Arini untuk mencari keluarga Anne-Marie dan menghubunginya. Karena anak-anak SMA Cahaya Bangsa semuanya berasal dari keluarga konglomerat, tidak akan sulit menemukan keluarga Anne-Marie.
Akhirnya kami sampai di sekolah.
Cahaya lampu-lampu bersinar di atas langit. Suara musik dan hiruk-pikuk manusia sudah terdengar dari depan sekolah, pertanda festival yang berlangsung meriah. Kami berenam turun dari limusin. Satpam yang menjaga gerbang tersenyum ramah pada kami dan menyilakan kami masuk.
Lapangan depan yang biasanya dipakai untuk apel pagi telah disulap menjadi arena pasar malam. Kios-kios berjejer di rapi di sekelilingnya, menjajakan makanan, minuman, pernak-pernik dan permainan-permainan seru. Lampu warna-warni digantung di atasnya, menambah semarak tempat itu. Di bagian tengahnya ada meja-meja bulat dan kursi-kursi kayu untuk duduk. Orang-orang lalu-lalang, mengobrol, mengambil foto atau sekedar makan. Sebuah panggung raksasa telah didirikan di sisi lain lapangan, di sana ada band dari senior kelas dua belas yang sedang menyanyikan lagu-lagu pop. Di belakang panggung itu ada layar besar yang bertuliskan "Festival Sekolah SMA Cahaya Bangsa", beserta daftar acara hari ini.
"Ingat, ada banyak non-pengendali di sini," kata Meredith serius. "Kita sama sekali nggak boleh memakai kekuatan."
"Kira-kira di mana Lucien bersembunyi?" tanya Reo tak sabar. "Pasti dia ada di sini, kan?"
"Kita harus berpencar," usul Tara. "Arena sekolah terlalu luas. Kita bisa saling kasih kabar lewat ponsel."
"Tapi Lucien berbahaya," kataku. "Saat ini aku rasa Lucien sudah tahu kalau kita mengejarnya. Kalau ketemu dia, jangan menyerang sendirian. Kita bisa membahayakan diri sendiri dan anak-anak non-pengendali ini."
"Apa sebaiknya kita kasih tahu guru?" tanya Billy. "Mereka bisa membantu."
"Ide bagus, Bill," angguk Tara. "Lo bisa cari Pak Prasetyo. Gue akan periksa klinik dan ruangan lain di lobi."
Billy lari ke arah lobi disusul Tara. Kami yang tersisa siap berpencar, tetapi tiba-tiba seorang gadis berwajah bulat dan bertubuh langsing mendekati Meredith.
"Meredith Smith?"
"Err... iya." Meredith tergagap gugup. "Ada umm, yang bisa dibantu?"
"Kamu ketua panitia acara ini, kan?"
Meredith melenguh seperti orang sakit gigi. "Benar."
"Saya Gigi, ketua OSIS SMA Karya Bakti," kata gadis itu. Dia menunjuk cowok bertubuh gempal di sebelahnya. Tampangnya agak konyol. "Ini Ciko, pacar saya. Terima kasih udah ngundang kami ke acara ini. Festivalnya meriah banget, lho! Sebentar lagi babak penyisihan School Idol-nya akan dilaksanakan, kan?"
Meredith melirik aku, Carl dan Reo lalu mengedik putus asa, menyuruh kami bergerak. Dia tersenyum ramah pada Gigi dan Ciko, anak-anak non-pengendali dari SMA Karya Bakti itu, dan menuntun mereka ke arah panggung.
Reo memberi isyarat bahwa dia akan mengecek area rumah kaca. Aku dan Carl terhenti di depan lift di lobi. Saat mau menekan tombol lift, Carl menghentikanku.
"Aku yang akan mengecek ke loteng," kata Carl. "Kamu bisa mengecek lapangan parkir, Jen. Lantai yang lain ditutup."
"Tapi itu bukan masalah bagi Lucien, Carl."
"Pak Amir menyegel jalan-jalan itu," kata Carl. "Beliau pengendali dimensi, Jen. Semuanya sudah disegel untuk mencegah anak-anak non-pengendali itu berkeliaran dan tersasar. Kalau ada yang naik lift menuju lantai yang tertutup, dia akan muncul lagi di lobi. Lucien nggak akan bersembunyi di lantai yang ditutup."
"Aku tetap nggak akan membiarkan kamu naik ke loteng sendirian, Carl. Lucien bisa saja bersembunyi di loteng."
"Kamu lebih dibutuhkan di sini," kata Carl sambil mengguncang bahuku. "Setelah mengerjai anak-anak pengendali, mungkin sekarang Lucien akan menyerang anak-anak non-pengendali itu. Kamu harus tetap di sini untuk melindungi para non-pengendali, Jen. Aku akan baik-baik aja. Lihat...."
Carl mengedipkan mata dan sosoknya berubah menjadi Pak Prasetyo, Kepala Sekolah kami. "Kalau Lucien ada di loteng, dia pasti segan menyerang kepala sekolah. Selesai mengecek, aku akan langsung turun ke sini."
Lift berdenting terbuka dan Carl menyelinap masuk. Aku ingin ikut bersamanya tapi aku tahu dia benar. Sampai Lucien diringkus, aku nggak boleh lengah.
"Hati-hati, Carl. Jangan kehilangan ponsel kamu, oke?"
Carl meremas tanganku. Pintu lift tertutup dan aku bergegas meninggalkan lobil menuju lapangan festival. Lucien pasti ada di tempat ini. Tapi di mana cowok itu bersembunyi?
Kutarik napas dalam-dalam untuk menjernihkan pikiran. Aku harus mendeteksinya. Aku duduk di salah satu sofa tamu di lobi dan memejamkan mata. Aku harus lebih berkonsentrasi lagi. Suasana festival begitu hingar binger, ada banyak sekali orang di sini.
Kekuatan yang berubah-ubah itu....
Lucien mungkin tahu kalau aku sedang mencarinya, tapi risiko itu harus kuambil. Aku siap menghadapinya. Mungkin dia seorang psikopat yang terobsesi padaku, aku tidak tahu. Tapi cowok itu telah menjungkirbalikkan hidupku selama satu semester ini. Apa pun rencananya malam ini, dia harus segera kuhentikan. Kubulatkan tekadku. Aku tak akan segan melenyapkan kekuatan asli Lucien jika diperlukan.
Pasir....
Ada pasir yang berdesir di suatu tempat di area ini. Bukan sekedar pasir yang terbawa angin atau yang menempel di sepatu. Pasir dalam jumlah banyak – pasir itu mengisi wajahnya sampai nyaris penuh, warnanya cokelat terang seperti iris mata Lucien. Pasir itu sedang bergerak, seperti hidup, dan siap merenggut satu nyawa lagi.
Aku berdiri dan mulai berlari mengikuti instingku. Asalnya dari lapangan parkir. Area festival semakin ramai oleh tamu, aku harus menyeruak dan menyelinap di antara mereka untuk ke lapangan parkir. Saat ini ada dua jenis lapangan parkir, yang letaknya di depan gerbang untuk para tamu, dan lapangan kami yang biasa, yang letaknya di samping sekolah. Aku yakin sekali di sana lah pasir itu berada.
Lapangan parkir sekolah sepi dan sunyi. Meski sekarang malam hari, tempat itu penuh seperti pagi harinya. Tampaknya hampir semua murid kembali ke sekolah untuk menghadiri festival. Kutajamkan indraku dan mulai mencari-cari. Pasir itu ada di sini, tapi di mana persisnya? Sejauh mata memandang, aku hanya bisa melihat mobil-mobil.
Ada ratusan mobil, dan aku tidak bisa mengecek semuanya. Jadi aku berlari sambil menyapukan tanganku ke atas mobil-mobil itu satu untuk merasakannya. Toyota Supra Reo aman, begitu juga dengan Honda Civic Tara dan Mini Cooper Meredith. Sambil bergerak menuju ujung terjauh lapangan, sensasi yang kurasakan menguat. Aku sudah semakin dekat.
Sebuah Range Rover hitam metalik di parkir di sudut lapangan. Beberapa slot parkir di sekitarnya kosong. Pasir yang kurasakan itu ada di sini, di mobil ini. Aku tidak tahu mobil siapa ini, ada selusin anak lain di SMA Cahaya Bangsa yang menyetir Range Rover.
DUK!
Ada bunyi gedebuk dari dalam mobil itu. Kacanya gelap, jadi aku mendekatinya dan menempelkan wajahku ke kaca samping untuk mengintip di dalam.
Aku tidak bisa melihat apa-apa. Ada sesuatu di dalam mobil yang menghalangi pandangan. Aku pindah ke jendela pengemudi. Sama, tetap tak nampak apa-apa. Dasbor dan jok mobil pun tidak terlihat. Aku belum pernah melihat kaca film setebal ini.
DUK! DUK!
Bunyi itu terdengar lagi, kali ini asalnya dari pintu samping kanan, di belakang pintu pengemudi. Kuputari mobil itu dan kutempelkan telingaku ke kaca jendelanya. DUK! DUK! DUK! Suara itu menjadi semakin jelas.
"Halo? Ada orang di dalam?"
DUK! DUK! DUK!
Siapa dia? "Apa kamu terkunci di dalam?"
DUK! DUK! DUK! DUK!
Ya, ada seseorang di dalam sana, dan dia menendang pintu mobil untuk menjawabku. Mobil siapa ini? Semua pintunya terkunci. Bagaimana bisa orang ini terkunci di dalam? Siapa yang menguncinya?
Bunyi tendangan itu terdengar lagi, kali ini semakin mendesak. Pasti terjadi sesuatu pada orang di dalam mobil ini sehingga dia nggak bisa berkomunikasi langsung denganku. Perasaan tak enak dalam diriku muncul lagi. Apa dia korban Lucien selanjutnya?
Kuraih batu besar di jalan. "Saya akan memecahkan kaca jendelanya."
DUK! DUK! DUK! DUK!
Kuanggap itu sebagai pernyataan setuju. Dengan sekuat tenaga, kupukulkan batu besar itu ke kaca jendela. KRAK! Kaca itu retak sedikit. Kutambah kekuatanku dan kupukulkan lagi, kali ini lebih keras. Retakannya melebar. Sekali lagi, dan sekali lagi....
SSSSHHHH.
Begitu kaca itu hancur, sesuatu menerjangku dari dalam mobil sampai aku terjengkang. Pasir cokelat tercurah dari jendela yang bolong, tumpah ruah ke arahku dan lantai semen lapangan sampai membentuk gundukan kecil. Mobil itu terisi pasir sampai ke langit-langitnya! Pantas saja aku nggak bisa mengintip ke dalam.
Suara alarm maling bergema. Aku berdiri dan mendekati jendela yang pecah itu. Tubuhku penuh pasir, sebagian menempel di mulutku dan masuk ke mataku. "Siapa di dalam sana?"
Terdengar suara batuk. Dari lantai mobil di bagian tengah, seseorang merayap ke atas jok sambil tersengal-sengal. Tubuhnya dilapisi pasir, rambutnya yang panjang bergelombang berwarna cokelat terang. Dia menjulurkan tangannya padaku dan aku menangkapnya. Pintu mobil masih terkunci, jadi terpaksa kutarik orang itu ke luar lewat lubang di jendela.
"Toni?"
Toni ambruk di atas gundukan pasir dan mengerang. Dia membuka mulutnya lebar-lebar, mengambil napas panjang dan batuk-batuk hebat lagi.
"Toni, siapa yang mengurung kamu di dalam sana?"
Toni meremas pergelangan tanganku. Jari-jarinya gemetar. "Lucien," katanya.
"Dia yang melakukan ini?"
Toni mengangguk sambil terbatuk-batuk. Napasnya mengeluarkan pasir. "Maaf, Jen. Aku kakak yang jahat. Aku sama sekali nggak tahu bahwa Lucien yang melakukan semua serangan itu. Aku baru sadar saat dia menyerang Pak Gino. Lucien tidak suka ada pengendali yang lebih hebat darinya. Aku mencoba menghentikan dia, tapi dia malah melenyapkan kekuatanku. Malam ini aku mengingatkannya lagi, tapi dia marah dan malah mau membunuhku di mobil ini."
"Di mana dia sekarang, Toni?"
"Aku nggak tahu," kata Toni. Dia tertatih untuk berdiri, dan aku membantunya. "Tapi kita harus segera menghentikannya, Jen. Untung ada kamu. Lucien berniat mengubah seluruh anak-anak pengendali di sini menjadi non-pengendali!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top