28. Di Ruang Antardimensi
Penguji kelima yang sedari tadi belum berbicara, menjentikkan jarinya.
Tiba-tiba saja portal dimensi terbuka di bawah kakiku. Segera saja aku meluncur ke dalamnya. Santoso si pembunuh ikut terjatuh juga. Kami tenggelam ke dalam sebuah ruangan serba putih yang kosong. Santoso yang terjerembab cepat-cepat bangkit berdiri.
"Untuk alasan keamanan, duel ini dilaksanakan di ruang antardimensi." Suara Kolonel Sanders bergema di tempat itu, tetapi sosoknya tidak terlihat. "Tidak perlu khawatir, kami tetap akan memantau jalannya duel."
Aku pernah mendengar istilah ruang antardimensi ini di kelas Pak Yu-Tsin. Itu adalah sebuah tempat singgah yang dipakai pengendali portal sebelum berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Biasanya pengendali portal hanya melintas di ruangan ini beberapa detik saja. "KALIAN TIDAK BISA MENGURUNG KAMI DI SINI!" teriakku.
"Akses keluar akan dibuka jika salah satu dari kalian menyatakan diri menyerah," kata Kolonel Sanders. Aku bisa membayangkan dia sedang tersenyum saat ini. "Namun mengingat ini Ujian Anda, Jennifer, kami berharap bukan Anda yang menyerah."
Ini betul-betul gawat.
Santoso berteriak seperti banteng yang terluka. Dia bersiap merangsek maju, tetapi aku segera mencegatnya. "Saya tidak ingin melawan Anda!"
"Kau pikir aku peduli?" geram Santoso. "Pilihanku hanya dua: mati di tangan Dewan atau bebas sebagai non-pengendali. Menurutmu pilihan mana yang akan kuambil?"
Rupanya Dewan Pengendali mengiming-imingi kebebasan bagi Santoso supaya dia melawanku. Dan laki-laki ini tahu persis risikonya: kekuatan pengendaliannya bisa lenyap. Melihat sorot matanya yang penuh tekad, aku tahu Santoso memilih kebebasan.
Dia mengentakkan kakinya. Dua tiang besi raksasa sebesar gerbong kereta menyeruak dari kedua sisi tubuhku dan nyaris menjepitku sampai lumat seandainya aku tidak refleks mundur. Belum sempat aku memulihkan diri dari serangan itu, tiang-tiang itu berubah menjadi sepasang banteng besi sebesar truk lalu mengejarku.
"Santoso, dengar! Kita nggak harus saling serang begini!"
"Jangan banyak omong, gadis tolol! Lawan aku!"
Banteng-banteng itu berlari lebih cepat dariku. Aku mengubah arah lariku menuju Santoso, dan kedua banteng logam itu mengejarku. Santoso menyadari niatku agar banteng-banteng itu menyerang penciptanya; dia menjatuhkan diri ke samping sebelum tanduk salah satu banteng merobek-robek perutnya.
Sambil bernapas lewat mulut, aku terus berlari. Satu hal menjadi sangat jelas: Santoso akan menyerangku habis-habisan. Kalau sudah begini, apa boleh buat....
Aku berhenti berlari dan membiarkan kedua banteng itu mengincarku. Selagi mereka berderap ke arahku, aku memejamkan mata dan merasakan kekuatan pengendalian logamnya. Besi. Kuat, tak terkalahkan dan siap membunuh. Santoso mengendalikan kedua banteng itu dengan sepenuh hati, aku merasakan otot-otot pria itu juga mengeras seolah turut terbuat dari besi.
Aku membuka mata. Kedua banteng itu tinggal berjarak dua meter dariku. Kuangkat kedua tanganku ke arah mereka. Aku tidak ingin besi-besi ini mencelakai diriku.
KRANG!
Kedua banteng itu meledak menjadi potongan besi kecil-kecil.
Santoso terbelalak, lalu tertawa terbahak-bahak. "Jadi ini kekuatan pengendali pengendali? Kau bisa mengambil alih kekuatanku, ya? Kalau begitu, coba rasakan yang ini!"
Dia menebas udara berkali-kali dengan cepat. Pasak-pasak berlian raksasa mencuat dari lantai seperti onak duri, tumbuh liar di sekelilingku. Ah! Salah satu pasak itu menghunus betisku, sikuku, merobek bajuku hingga terbelah sampai punggung, dan menghimpitku. Belum sempat aku melarikan diri, pasak-pasak itu mulai naik turun dengan cepat bak gergaji mesin, menusuk pahaku, lututku dan telapak tanganku, bunyinya seperti ratusan pisau yang sedang mencincang.
Hentikan semua ini! "BERHENTI SEKARANG JUGA!"
Kukerahkan seluruh rasa sakit, putus asa, kecewa, dan marah itu keluar. Gergaji berlian itu terhenti dan aku terbanting ke lantai. Setiap jengkal tubuhku sakitnya bukan main. Pakaianku basah oleh keringat dan darah.
"Hei, nak! Aku nggak harus menyiksamu seperti ini!" bentak Santoso lantang. Dia sedang bergerak ke arahku, dua kapak tembaga melayang di belakang kepalanya. "Kau tahu cara menghentikannya. Hanya perlu satu jentikan jari saja."
Tidak. Itu yang diinginkan oleh Dewan Pengendali. Orang-orang keji itu ingin melihatku melenyapkan kekuatan pengendalian, sehingga mereka punya bukti bahwa akulah pelaku serangan-serangan misterius itu.
"Tidak. Tolong, jangan paksa saya...."
"Aku tidak keberatan!" Santoso berhenti di dekat kakiku. "Aku sudah mencabut terlalu banyak nyawa dengan kekuatan ini. Aku siap menjadi non-pengendali!"
Susah payah, kuangkat tanganku. "Tidak!"
Kedua kapak Santoso melayang jatuh dan berubah menjadi tembaga cair. Santoso menggeram, dia mengubah cairan tembaga itu menjadi sepasang trisula dari emas. Kemudian dia menarikku kerah pakaianku dan memaksaku untuk berdiri. Luka-luka di tubuhku koyak semakin parah, aku berteriak lebih keras. Kakiku gemetar hebat, tidak cukup kuat untuk menopangku.
"Gadis dungu! Kenapa kau begitu keras kepala? Aku pembunuh! Aku tidak pantas menjadi pengendali! Lenyapkan saja kekuatanku!"
Kuberanikan diri menatap mata Santoso. Dia sudah cukup tersiksa oleh dosa-dosanya. Orang ini hanya mau bebas. Dia terpaksa menyerangku membabi buta begini karena Dewan Pengendali tidak memberinya pilihan lain.
Tapi takdirku tidak ditentukan oleh pria ini, atau pun Dewan Pengendali. Mereka bisa-bisa saja mengambil semua pilihan yang kupunya, tetapi akulah penentu nasibku sendiri. Aku menolak diperbudak, apalagi oleh orang-orang tak punya hati seperti anggota Dewan Pengendali ini!
KRANG!
Santoso tertegun dan mendongak. Kedua trisula ciptaannya telah hilang, aku mengambil alih pengendalian logamnya dan mengubah senjata-senjata itu menjadi sepasang bola boling. BRAK! Bola-bola itu jatuh di dahi dan pelipis Santoso. Cengkeramannya di kerahku terlepas, dia terpelanting ke lantai dan diam tak bergerak.
"Menyerah!" teriakku.
Portal dimensi membuka di atas kepala kami. Aku tersedot kembali ke ruang Ujian sementara Santoso dibawa pergi entah ke mana. Dua orang berseragam perawat menangkapku dan mulai merawat luka-lukaku. Sepertinya mereka pengendali tubuh.
Kelima penguji itu menatapku lekat-lekat. Tidak ada yang mencatat.
"Anda tidak melenyapkan kekuatan Santoso," kata Hendro si pengendali pikiran. "Tetapi malah membuatnya jatuh pingsan."
"Anda sudah tahu alasan saya berbuat begitu." Kuserukan serangkaian sumpah serapah dalam pikiranku. "Anda membaca pikiran saya sepanjang waktu."
Hendro mengernyit dan mulai mencatat dengan cepat.
"Duel itu adalah soal terakhir dalam Ujian Anda," kata si wanita tikus. "Dan Anda gagal melakukannya. Anda mengaku menyerah, padahal bisa melawan."
Aku mengangguk, tidak sudi berbicara dengan wanita yang tega menyiksa anak-anak.
"Hendro memberitahu kami bahwa Anda sengaja melakukannya." kata Kolonel Sanders Keempat penguji yang lain menatapku dengan ekspresi heran, dan hanya dia yang masih tetap tersenyum. "Apa Anda sadar bahwa tindakan itu bisa membuat Anda gagal lulus Ujian?"
"Saya tidak peduli lagi pada Ujian ini," bentakku. Para perawat itu sudah selesai bekerja. Luka-lukaku belum sepenuhnya menutup, tetapi sudah berhenti berdarah. "Tolong kembalikan saya ke ruang tahanan sekarang juga."
Kolonel Sanders menekan pulpennya. "Tentu. Lagipula Anda tidak akan ke mana-mana, Jennifer." Dia mengeluarkan gelang antipengendalianku dan tersenyum semakin lebar, seolah sedang menawarkan permen.
...
Aku tidak sempat mengobrol dengan teman-temanku karena langsung dipulangkan ke ruang tahanan. Di dalam sel kami, Anne-Marie sudah menunggu.
"Nah?" Dia meringis. "Gimana?"
Kuceritakan semua yang terjadi. Sebetulnya aku sedang tidak ingin mengobrol – bercerita ulang hanya membuatku tambah trauma – tetapi Anne-Marie adalah satu-satunya orang yang mau mendengarku saat ini. Di akhir cerita, Anne-Marie hanya terkekeh getir. Dia naik ke tempat tidurnya dan tidur terlentang.
"Lo harus melakukan itu, Darmawan," katanya.
"Apa?"
"Meledakkan kembang apinya."
"Pasti."
Kami tidak mengatakan apa-apa lagi. Aku mencoba tidur untuk melupakan Ujian tadi. Tidak berhasil, padahal fisikku juga sangat kelelahan. Setiap kali aku hampir terlelap, sorot mata ketakutan Tommy muncul, membuatku kembali terjaga. Saat makan siang, aku menolak pergi ke ruang makan dan hanya berbaring di tempat tidur, tidak sabar menunggu jam lima sore.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top