26. Orang Dalam


Malam itu aku hanya tidur-tidur ayam.

Alasan pertamanya adalah karena kalau sampai aku tertidur pulas, kemungkinan besar aku nggak akan bangun lagi besok paginya. Alasan kedua, karena aku memikirkan kata-kata Bu Olena. Aku mengerti bahwa beliau tidak ingin Dewan makin ketakutan padaku. Tapi bagaimana caranya aku bisa lulus Ujian tanpa menunjukkan kemampuanku? Bukankah itu tujuan dari Ujian itu sendiri: mengukur kekuatan pengendalian?

Petunjuk dari Tara, Meredith dan Carl bisa kupahami dengan jelas. Aku adalah si kembang api yang mereka maksud. Mereka bertiga berniat mengeluarkanku dari tempat ini saat Ujian. Artinya dua hari lagi, mereka akan menerobos markas besar Dewan Pengendali. Tidak perlu diragukan lagi, ini bisa jadi misi bunuh diri. Tempat ini dikawal dengan sangat ketat, para sipir pengendali pikiran berjaga di mana-mana. Bahkan sekedar memikirkan untuk menerobos masuk saja sudah pasti akan ketahuan. Entah bagaimana mereka akan melakukannya. Aku tidak berharap banyak, tapi aku juga tidak mau mengecewakan mereka.

Dan aku masih perlu orang dalam.

Sepanjang waktu kuhabiskan berdiam diri di dalam sel ini. Di pagi hari, kami diberi waktu satu jam untuk berolahraga bersama di ruang terbuka, tetapi aku tetap tidak bisa bergaul dengan siapa-siapa. Meski sudah dipakaikan gelang antikekuatan ini, para sipir selalu menjauhkanku dari para tahanan pengendali lain karena khawatir aku akan menyerang mereka.

Salah. Aku kenal satu orang. Tapi dia ingin membunuhku.

"Heh, Darmawan!"

Seakan bisa membaca pikiranku, Anne-Marie nyeletuk dari seberang ruangan. Aku diam saja. Sekarang sudah lewat tengah malam, dan sel tahanan kami gelap gulita karena lampunya sudah dimatikan. Tidak mungkin dia bisa melihatku.

"Heh! Lo belum tidur, kan?"

Hmm. Ini... sungguh bikin galau. "Belum."

Anne-Marie terkikik keji. "Mau main bunuh-bunuhan? Yang menang boleh mencekik yang kalah sampai mati. Nggak harus langsung mati, sih. Pelan-pelan juga boleh."

"Lo tahu kan kalau kita diawasi dua puluh empat jam? Kata-kata lo bisa didengar oleh para sipir itu, Anne-Marie. Mereka mendengar semuanya."

Kikik Anne-Marie berubah menjadi tawa membahana. "Lo pikir mereka bakal repot-repot mengawasi seorang non-pengendali di sel ini? Para pengendali lah yang justru mereka cemaskan. Bagi mereka, gue udah nggak bisa apa-apa. Dan kehadiran elo nggak mengubah keadaan. Kekuatan elo nggak berpengaruh sedikit pun sama gue."

"Maksud lo?"

"Mereka mau lo berpikir bahwa lo diawasi dengan sangat ketat, anak tolol."

Tapi para sipir itu selalu mengingatkanku untuk tidak macam-macam. Mereka bilang mereka pengendali pikiran, dan bisa mendeteksi segala macam niat jahat. Aku tahu aku memang diawasi. Apa Anne-Marie sengaja mengatakan itu untuk membuatku lengah? Kelicikan gadis ini memang tak perlu dipertanyakan lagi.

"Gue mau istirahat, Anne-Marie. Tolong jangan ganggu gue."

"Lo nggak percaya?" tantang Anne-Marie. Ada bunyi grasak-grusuk dari tempat tidurnya, dan kutebak gadis itu sedang berdiri. "JENNIFER DARMAWAN MAU MELARIKAN DIRI DARI SINI BESOK!"

"Hei!" Aku menghambur ke arahnya. "Apa-apaan lo?"

"GUE JUGA MAU KABUR DARI SINI BESOK PAGI!"

"Anne-Marie! Lo apa-apaan, sih? Nggak ada yang mau kabur!"

"HALO? HALOOO? ADA TAWANAN BERNIAT KABUR!"

"Stop! STOOOP!"

Aku terpaksa menerjang Anne-Marie dan memitingnya di lantai. Gadis itu terbahak-bahak. Keringat dingin membasahi bajuku. "Lo gila, ya? Lo mau kita berdua dihukum?"

Anne-Marie tidak membalas dan terus tertawa. Aku menunggu dengan tegang dalam gelap. Teriakan Anne-Marie tadi keras sekali, mustahil para sipir itu tidak mendengarnya. Mereka pasti sedang dalam perjalanan ke sini, dan mereka akan menghukum kami berdua gara-gara si sinting ini.

Lima menit berlalu. Tidak ada seorang pun yang datang.

"See?" bisik Anne-Marie puas. Dengan lincah dia menyikut rusukku keras-keras dan menarik bahuku sehingga posisinya berbalik, dia yang di atas dan aku yang tersandar di lantai. "Mereka pikir gue gila, Darmawan. Dan nggak ada yang repot-repot menggubris ocehan orang gila di tengah malam buta begini."

Aku bergidik. "Elo... nggak gila."

"Benar. Gue sama warasnya dengan elo. Mereka pikir mereka bisa bikin gue gila dengan menahan gue di tempat ini, tapi hei...." Gadis itu mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan pongah. "Siapa pengendali pikiran terkuat?"

"Lo bukan lagi pengendali pikiran, Anne-Marie."

"Ternyata lo benar-benar sombong, Darmawan! Apa lo pikir karena gue udah nggak bisa mengendalikan pikiran orang lain, gue bukan lagi pengendali pikiran, hah? Gue bisa mengendalikan pikiran gue sendiri!"

Sulit dipercaya, tetapi Anne-Marie benar. Dia memang psikopat, tapi bukan berarti dia tidak bisa berpikir lurus. "Jadi selama ini, lo berpura-pura gila?"

"Tipuan psikologis," desisnya. "Ini semua cuma permainan, Darmawan. Mereka menipu gue, dan gue balik menipu mereka. Lo pikir tujuh belas tahun mengubek-ubek pikiran orang-orang nggak mengajarkan gue sesuatu, hah? Apa yang orang-orang pikirkan, itulah yang jadi kenyataan. Gue hanya memberikan apa yang mereka pikirkan."

Tempat yang kosong dan sunyi ini sepertinya memang dirancang untuk membuat para tahanan merasa depresi secepat mungkin. Dan aku sudah merasakannya. Aku gembira saat sesi kunjungan teman-temanku, tetapi setelah kembali ke sel ini rasa putus asa kembali melandaku, perlahan tapi pasti seperti tanaman rambat liar. Aku jadi meragukan rencana Tara. Aku yakin aku akan selamanya disekap di tempat ini dan menjalani sisa hidupku dalam keputusasaan.

Kalau aku putus asa, aku akan kalah.

Kuncian Anne-Marie di pundakku mengendur, tetapi aku tidak berniat melawannya. Sebuah perasaan yang tak disangka-sangka muncul terhadap gadis ini. Anne-Marie ditahan seorang diri di sini selama enam bulan, tetapi dia tidak jadi gila seperti yang diharapkan Dewan. Aku baru sehari di sini, dan rasanya nyaris gila. Anne-Marie malah mempermainkan Dewan dengan berpura-pura gila. Dia tahu persis dia ditahan di sini seumur hidup. Permainan melawan Dewan ini jelas-jelas tidak mungkin dia menangkan. Namun dia tetap bermain.

"Lo... hebat, Anne-Marie," kataku dengan tulus.

Terjangan tangannya semakin kendur. Gadis itu terdiam sesaat, lalu melepaskanku. "Coba lo mengakui hal itu dari semester lalu. Kita berdua pasti nggak akan berakhir di sini."

Aku terkesiap. Anne-Marie yang berambisi membunuhku baru saja melepaskanku ketika aku tulus memujinya. Apa selama ini aku sudah keliru menilai Anne-Marie?

"Lo ngelakuin semua perbuatan lo semester lalu karena... gue melawan elo?"

Anne-Marie diam saja. Dia beringsut ke arah tempat tidurnya dan duduk di samping kaki-kakinya. Hanya deru napasnya yang terdengar, perlahan-lahan menjadi tenang.

"Lo sekarang pacaran sama Carl?" tanya Anne-Marie setelah hening cukup lama.

"Iya," sahutku. "Kok lo tahu?"

"Gue pengendali pikiran, Darmawan. Gue tahu isi kepala kalian berdua."

Ah. Sebelum Carl menyatakan perasaannya padaku dan aku mengiyakan, rupanya Anne-Marie sudah tahu bahwa kami saling suka.

"Lucky girl," kata Anne-Marie.

"Maksud lo?"

Anne-Marie mendengus. "Masa lo belum menyadarinya juga? Carl itu seperti anak anjing, Darmawan. Tujuan hidupnya adalah membahagiakan orang yang dia sayangi. Dia bahkan siap mengorbankan dirinya sendiri untuk itu. Seharusnya gue memahami ini sejak gue mengenal Carl. Tapi gue terlalu takut ditinggalkan dan malah memodifikasi pikiran Carl supaya dia terus nempel sama gue. Padahal kalau gue menyayangi dia dengan tulus, gue nggak harus melakukan itu."

Tunggu dulu. Apa ini artinya Anne-Marie... menyesal?

Aku mengingat-ingat semua yang sudah dilakukan Carl semester ini. Dia terus memintaku untuk mencurahkan isi hatiku padanya, tetapi aku menolaknya. Dia memberiku waktu untuk sendiri, tetapi aku malah menganggapnya mengacuhkanku. Dia mencoba menghiburku dengan mengajakku ikut klub renang, tapi aku malam berpikiran yang macam-macam. Dia mengajukan diri sebagai calon pemimpin OSIS untuk menggantikanku, untuk mengurangi beban pikiranku, tetapi aku malah menuduhnya suka sama Antoinette. Dia ingin bercerita padaku tentang pemilihan OSIS itu, tetapi aku selalu membungkamnya gara-gara Toni. Dan Carl memang sudah mengorbankan dirinya supaya aku bisa kabur di loteng itu.

Aku sudah salah memahaminya, dan aku terburu-buru meminta maaf padanya saat kami akan berpisah. Hatiku terasa pedih. Carl memang jarang bilang 'I love you' dan kata-kata manis sepertiku, tetapi dia menunjukkannya lewat tindakannya.

"I miss you, Carl...." ucapku tanpa sadar.

Tawa Anne-Marie meledak. Dia terbahak geli sekali sampai memukul-mukul lantai. "Terlambat, Darmawan. Kita berdua bakal mati di tempat ini. Gue bahkan nggak perlu membunuh lo untuk mewujudkannya. Gue hanya perlu... menunggu."

Rasa sakit dalam dadaku menguat. Rasa kangen dan sayangku pada Carl dan teman-temanku yang lain; rasa sedih, kecewa, dan marah karena diperlakukan tidak adil; semuanya bercampur aduk menjadi sebuah perasaan lain yang kuat dan tak tergoyahkan. Sebuah tekad. Aku tidak boleh membiarkan Dewan menang. Aku memang akan disidang, tetapi dari gelagat Bu Olena, aku yakin sidang itu akan berjalan tidak adil. Faktanya Dewan sudah bersikap tidak adil dengan menahanku di sini. Aku tidak tahu siapa pelaku serangan-serangan itu, tetapi aku tidak sudi dikambing hitam lebih jauh oleh Dewan Pengendali. Kalau Anne-Marie saja yang sudah kehilangan kekuatannya masih sanggup melawan dengan caranya sendiri, kenapa aku yang masih pengendali ini harus berputus asa?

Aku harus keluar dari tempat ini!

"Anne-Marie...." Dia adalah satu-satunya kesempatan yang aku punya. "Kalau gue bilang kita bisa keluar dari sini dua hari lagi, apa lo mau membantu?"

Anne-Marie bergidik karena kakinya tanpa sengaja menyentuh kakiku. "Lo serius?"

"Sangat. Teman-teman gue punya rencana. Nggak ada jaminan berhasil, tapi—"

"Sebentar, sebentar. Jadi lo betulan mau kabur?"

Adrenalin berdenyut di setiap pembuluh darahku, membakar semangatku. "Iya."

Tiba-tiba Anne-Marie menyambarku dan menarikku. Aku tidak bisa melihat karena gelap, tetapi tampaknya Anne-Marie sudah hafal arah dalam sel ini. Dia membawaku ke dalam bilik toilet, menghempaskanku ke dinding dan mengunci pintunya.

"Kenapa?" bisiknya dingin. "Kenapa lo mau melakukan itu?"

"Karena gue nggak bersalah dan Dewan Pengendali harus diberi pelajaran."

Anne-Marie mengguncangku dengan keras. "Gue udah tahu kenapa lo ditahan, Darmawan. Para sipir itu sibuk membicarakan tentang 'serangan-serangan' yang menghilangkan kekuatan pengendalian, sebelum lo dibawa masuk ke sini kemarin. Gue yakin elo bersalah karena lo satu-satunya pengendali yang bisa melakukan itu."

"Pelakunya bukan gue." Kuberanikan diri untuk balas mencengkeram pundak Anne-Marie. "Ada seseorang di luar sana yang mencoba memfitnah gue lewat serangan-serangan itu. Satu-satunya pengendali yang kekuatannya gue lenyapkan adalah elo, Anne-Marie."

Anne-Marie bernapas dengan cepat. Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi kurasa dia mulai goyah. Aku harus berhasil membujuknya.

"Rencana ini baru bisa berhasil kalau lo mau membantu gue," lanjutku. "Tara dan teman-teman yang lain akan menjemput kita di teras depan tempat ini. Elo yang tahu tentang tempat ini, Anne-Marie. Please. Gue butuh bantuan elo."

Anne-Marie menggeram dan mengibaskan rambutnya. Dia membantingku lagi ke dinding. "Kenapa gue harus membantu elo, Darmawan? Elo musuh gue!"

"Musuh kita berdua adalah Dewan Pengendali. Mereka yang menahan kita berdua," kataku hati-hati. "Sebelumnya gue merasa lo pantas dikurung di sini, tetapi setelah melihat tempat ini dan kondisi lo, gue yakin lo udah diperlakukan tidak adil. Gue memang mengambil kekuatan pengendalian elo, Anne-Marie, tapi waktu itu gue sendiri belum sadar gue bisa melakukan itu. Gue nggak bermaksud membuat lo jadi seperti ini, Anne-Marie. Dan lo sendiri bilang tadi bahwa lo masih bisa mengendalikan pikiran elo. Lo nggak harus berakhir di tempat ini. Lo masih punya masa depan. Dewan Pengendali yang merenggut masa depan elo dengan menahan elo di sini...."

Anne-Marie semakin galau. Napasnya sudah sangat tidak beraturan sehingga dia harus bernapas lewat mulut. Ayo, bantu gue! Lo harus membantu gue, Anne-Marie!

"Gue nggak bisa membaca pikiran lo lagi, Darmawan. Tapi kalau sampai lo bohong...."

"Gue nggak bohong, Anne-Marie. Sumpah! Buat apa gue membohongi elo?"

"Kalau begitu, apa imbalannya?" desis Anne-Marie sambil memelototiku. "Lo nggak berpikir gue akan membantu elo dengan sukarela kan, Darmawan?"

"Kebebasan. Lo akan bebas."

"Itu nggak ada artinya!" Anne-Marie mencekikku. "Gue akan jadi buronan, Darmawan. Gue baru akan bebas sepenuhnya kalau gue bisa mengendalikan pikiran lagi. Gue mau elo mengembalikan kekuatan pengendalian gue!"

Aku tersedak. Aku sedang tawar-menawar dengan iblis. "Tapi gue—"

"Kekuatan pengendalian pikiran, atau gue akan membocorkan niat lo itu ke para sipir!"

Aliran udaraku mulai terhambat, mataku perih, leherku kebas karena dicekik. Aku tidak bisa mengembalikan kekuatan pengendalian yang hilang. Tapi sekarang bukan saatnya untuk ragu. Anne-Marie pasti membantuku kalau aku menyetujui syarat yang diajukannya. Akulah yang tidak berdaya dalam tawar-menawar ini. Aku mungkin bisa belajar cara mengembalikan kekuatan nanti. Entah bisa atau tidak, saat ini aku harus mengiyakan dulu.

"Setuju."

Anne-Marie menyentakkan tangannya dan melepaskan leherku. Aku terbatuk-batuk dan oh, sungguh melegakan bisa bernapas lagi. Anne-Marie mengamatiku dalam diam.

"Terima kasih." Sebelumnya nggak pernah kubayangkan akan berterima kasih pada Anne-Marie. "Apa yang harus kita lakukan sekarang?"

Anne-Marie menyambar lenganku. "Pertama-tama kita harus melepas gelang keparat ini."



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top