25. Rencana
"Hanya tiga pengunjung yang boleh masuk ke sini," kata petugas wanita itu. "Ada sembilan orang yang mau bertemu denganmu. Waktu kunjungan maksimal adalah sepuluh menit."
"Saya mengerti." Aku duduk di kursi. "Kalau bisa, saya ingin bertemu mereka semua."
Si petugas mendengus kesal dan menekan tombol pintu. "Para sipir di sini pengendali pikiran, tetapi hukum melarang kami untuk membaca atau memodifikasi pikiran para tahanan dan tamu dalam sesi kunjungan. Apa pun yang dibicarakan dan dilakukan di ruangan ini tetap akan dipantau. Kalau saya jadi kamu, saya sarankan kamu memanfaatkan waktu sepuluh menit itu sebaik-baiknya."
Pintu di hadapanku mengayun terbuka. Tara, Meredith dan Carl menghambur ke dalam, sepertinya dari tadi mereka bersandar di pintu untuk menguping. Petugas itu mengedik padaku lalu kembali ke mejanya di belakang.
"Jen!" Mereka bertiga ingin memelukku tapi tak bisa karena ada kaca tebal yang menyekat bagian tengah ruang kunjungan ini. Carl menempelkan tangannya. "Kamu nggak apa-apa?"
Aku ikut menempelkan tanganku. Tanpa kusadari, air mataku tumpah. "Aku baru sehari di sini tapi rasanya udah terpisah dari kalian lama sekali. Kalian bersembilan?"
"Iya," jawab Carl. "Reo, Billy, Toni, Lucien, Pak Leon dan Bu Olena juga ikut."
Kedua kakak beradik itu juga ikut? "Toni... bagaimana keadaannya?"
"Dia baik-baik aja," kata Carl. "Masih syok karena kekuatannya hilang, tapi dia nggak menyalahkan kamu. Lucien juga. Nanti kamu bisa ketemu langsung sama mereka, Jen."
"Sebentar." Meredith melirik gelang yang melingkari pergelangan kananku. "Obrolan kita ini disadap, ya? Orang yang mau masuk ke ruangan ini juga dikasih gelang itu soalnya."
"Iya, Dith. Tapi gelang-gelang ini fungsinya untuk menggagalkan kekuatan pengendalian, buat alat penyadap," jawabku. "Anne-Marie yang kasih tahu gue."
Ketiga sahabatku itu terbelalak. "Anne-Marie?"
"Iya. Gue ditempatkan di sel yang sama dengan dia. Gue nggak ngerti kenapa Dewan memutuskan begitu. Gue udah bilang ke sipir untuk minta pindah ruangan, tapi katanya ruangan yang lain diisi oleh pengendali. Gue nggak boleh ditempatkan satu ruangan dengan pengendali."
Meredith berdecak.
"Rupanya Dewan betul-betul menganggap lo itu berbahaya, Jen," kata Tara.
"Terus si Anne-Marie gimana, Jen?" tanya Carl. "Gimana keadaannya?"
Kuceritakan pertemuanku dengan Anne-Marie yang tidak berjalan mulus, dan penampilan gadis itu yang sudah berubah total. "Dia tambah dendam. Tadi malam dia mencoba menutup muka gue pakai bantal pas tidur. Gue nggak bisa tidur dengan tenang."
"Tapi sel kalian diawasi, kan?" tanya Tara. "Dia nggak mungkin membunuh elo, Jen."
"Anne-Marie nggak perlu buru-buru menghabisi Jennifer," kata Carl yang memang paham cara berpikir Anne-Marie. "Dia bakal menyiksa Jen lebih dulu. Kamu harus waspada, Jen!"
Aku mengangguk, setuju dengan Carl. "Gue nggak bisa mengingat dengan jelas kenapa gue bisa ditahan di sini, teman-teman. Gue ingat si Sakti itu menangkap gue, tetapi ingatan akan kejadian setelahnya samar-samar...."
"Kita juga kurang tahu, Jen," kata Meredith. "Kita melawan para petugas dari Dewan dengan gigih. Tara sama boneka duplikat lo berhasil masuk ke limusin dan keluar dari parkiran sekolah. Awalnya para petugas itu mengejar limusinnya karena mengira lo ada di dalam. Gue bergabung sama Reo untuk mencari Carl. Waktu itu para petugas udah ada di mana-mana, anak-anak yang lain sampai ketakutan. Reo mengusulkan untuk pergi ke loteng karena dia tahu elo sama Carl suka nongkrong di sana. Saat kami ke sana, kami melihat Carl terluka dan dikepung oleh selusin petugas Dewan. Gue sama Reo bersiap menyerang, tetapi para petugas itu mundur. Mereka menghilang pakai portal dimensi."
"Mereka udah tahu kalau Sakti berhasil menangkap kamu," sambung Carl. "Beberapa detik sebelum Meredith dan Reo datang menolongku, para petugas itu dikabari tentang penangkapan kamu, Jen. Waktu itu mereka ragu untuk ikut membawa aku juga, tetapi mereka diinstruksikan untuk segera mundur. Satu jam kemudian, Bu Olena memberitahu kami bahwa kamu ditahan di markas Dewan Pengendali."
Ada memar kebiruan di pelipis Carl. Aku ingin mengusapnya – dia terluka begitu karena aku – tetapi kaca sialan ini menghalangi kami. "Tapi kalian semua nggak apa-apa, kan?"
Tara dan Meredith menggeleng bersamaan. "Kata Pak Leon, kemungkinan Dewan akan memberi kami sanksi ringan karena telah mengganggu tugas mereka," kata Tara.
"Bukan sanksi berat," lanjut Meredith yang cepat menangkap kecemasan di wajahku. "Paling kita cuma dilarang pakai kekuatan selama seminggu dan akan diawasi petugas Dewan."
"Gue minta maaf, teman-teman." Hatiku perih sekali. Aku begitu marah pada Dewan Pengendali sampai rasanya ingin membakar tempat ini. "Kalian semua sampai repot begini."
"Ah, bercanda lo Jen!" Tara menggebrak kaca sekat itu. "Lo pikir kita ini siapa?"
Mau tak mau aku tertawa. Kupeluk diriku sendiri sambil membayangkan sedang memeluk ketiga temanku ini. "Terima kasih, teman-teman."
"Oke, cukup menye-menye nya," potong Tara galak. "Waktu kita nggak banyak. Jen, kita harus membahas rencana untuk festival sekolah."
Aku sadar Tara menekan kata 'rencana'. Penekanan itu halus sekali, nyaris terlewat, tetapi aku tahu Tara yang ceplas-ceplos nggak pernah berbicara dengan penekanan seperti itu. Meredith dan Carl berkedip-kedip sebentar, kemudian mereka menatapku dengan alis terangkat. Festival sekolah diadakan dua hari lagi, dan kami berempat tahu persis segala persiapan untuk festival itu sudah rampung.
Rencana. Tara memang dikenal sebagai ahli strategi di kelas kami. Strateginya yang membuat kami memenangkan Casa Poca semester lalu. Aku yakin Tara sedang mencoba memberitahu sesuatu padaku. Dia tak bisa mengatakannya terus terang karena saat ini kami sedang diawasi.
"Oh, iya. Soal rencana itu, ya," kataku, memutuskan untuk ikut dalam permainan ini. "Pembukaan festivalnya dua hari lagi, kan?"
"Persis," kata Tara. "Festival itu bertepatan dengan pelaksanaan Ujian Pengendali. Itu artinya kami akan ada di sini, di markas Dewan Pengendali, pada pagi harinya. Setelah selesai, kami harus pergi ke sekolah, karena festival itu yang baru akan dilaksanakan pas sorenya."
Aku mulai memahami petunjuk Tara. Dia ingin bilang bahwa dia dan teman-temanku yang lain akan ada di sini dua hari lagi.
"Selain untuk Ujian, pagi itu kita juga harus mengambil kembang api untuk festival," lanjut Meredith. Jari telunjuknya yang sedang mengusap-usap bibir mengarah padaku. "Masalahnya, kembang api itu masih ada di pabrik. Karena kita perlu kembang api dalam jumlah besar, susah sekali mengeluarkannya. Kita perlu surat izin dan sejenisnya. Tetapi kembang apinya tetap akan keluar, karena tanpa kembang api, acaranya nggak akan seru."
Kata-kata yang ditekan Meredith adalah 'mengambil' dan 'susah sekali mengeluarkan'. Dia juga berkali-kali mengulang kata kembang api sambil menunjukku sembunyi-sembunyi.
Apa ini artinya....
Bulu kudukku meremang. Kalau tebakanku benar, ini sungguh kelewatan. "Apa kalian serius mau mengeluarkan kembang api itu? Kan, umm, merepotkan banget. Memangnya bisa?"
"Makanya kita perlu rencana, Jen," jawab Carl. "Akan lebih mudah kalau kita punya orang dalam yang bisa membantu mengurus kembang api itu. Khas Indonesia banget, sih...."
"Hanya itu satu-satunya cara," kata Tara serius. "Helix kan berhubungan dengan banyak perusahaan. Apa lo kenal orang dalam di pabrik kembang api itu?"
Aku menelan ludah. Helix adalah perusahaan otomotif yang sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan pabrik kembang api, tapi bukan kembang api yang sedang kami bicarakan. Kuamati ketiga temanku itu. Tara, Meredith dan Carl menatapku tanpa berkedip. Sorot mata mereka memancarkan tekad. Mereka serius mau melakukan ini.
"Akan gue usahakan," jawabku. "Gue harus... umm... mengingat-ingat dulu. Rasanya ada, tapi gue... lupa namanya."
"Bagus!" Tara kembali ke sikapnya yang riang. "Kalau lo udah ingat, lo bisa kasih tahu kita dua hari dari sekarang. Kalau kembang api itu sudah siap, kita tinggal menjemputnya di teras depan pabrik."
"Gue mengerti," sahutku.
"Waktu kunjungan tersisa lima menit," kata si sipir lewat pengeras suara.
"Jen, kita harus gantian sama yang lain," Carl bangkit berdiri, diikuti Tara dan Meredith. Dia menempelkan wajahnya di kaca, dan aku ikut melakukannya. "I'll see you soon."
Saat mengamati ketiga sahabatku keluar ruangan, denyut jantungku meningkat. Apa si sipir yang mengawasi kami menyadari maksud sebenarnya dari percakapan kami barusan? Rencana kembang api ini bukan hanya sekedar nekat, tapi mustahil. Bagaimana kalau orang-orang Dewan ini tahu, lalu menggagalkannya?
Meski begitu, aku tidak meragukan strategi Tara sedikit pun. Inilah satu-satunya rencana yang aku punya, dan jika rencana ini berhasil, maka aku akan keluar dari tempat mengerikan ini dua hari dari sekarang.
Yang masuk berikutnya adalah Bu Olena. Dia tersenyum muram. "Halo, Jen."
"Bu Olena," sapaku. "Saya pikir ibu akan masuk dengan yang lain."
"Kami diberitahu kalau waktunya tinggal lima menit," kata Bu Olena sambil duduk di kursi. "Bagaimana keadaan kamu?"
"Saya baik-baik saja, bu."
Bu Olena mendesah. "Saat ini kamu ditahan di markas besar Dewan Pengendali," katanya sambil tertunduk. "Sebetulnya dua hari lagi, saya, Bu Nanda dan Pak Leon akan mengantar kamu bersama anak-anak kelas sebelas lainnya kemari untuk Ujian. Saya tidak menyangka kamu akan tiba di sini... lebih dulu."
Bu Olena kelihatannya seperti ingin menangis. "Bu, ini bukan salah siapa-siapa," hiburku.
"Tentu saja ada yang bersalah," seru Bu Olena keras. Dia mengangkat wajahnya dan aku melihat kesedihan guruku itu telah berubah menjadi rasa muak. "Dewan Pengendali seharusnya tidak boleh main hakim sendiri seperti ini. Kalian bilang kalian masih menyelidiki!"
Bu Olena baru saja berteriak sambil menumbuk sekat kaca itu. Dia meneriaki para petugas Dewan yang duduk mengawasi di belakangku.
"Dengarkan ini baik-baik, Jen." Bu Olena menarik napas panjang lewat mulutnya. "Kami para guru akan berusaha mengeluarkan kamu dari tempat ini. Kepala Sekolah sudah setuju untuk bersaksi saat persidangan kamu nanti...."
"Persidangan, bu?"
"Ya. Kamu akan diadili," kata Bu Olena. Napasnya mulai menderu lagi. "Saya dan teman-teman kamu di luar sana juga akan ikut bersaksi. Dalam persidangan itu, Dewan akan memutuskan apakah kamu bersalah atas serangan-serangan yang terjadi belakangan ini atau tidak."
Setelah puluhan interogasi yang sudah kujalani bersama polisi gara-gara kecelakaan pesawat itu, sekarang aku harus diinterogasi lagi? "Apa saya perlu, umm... pengacara, bu? Saya bisa minta tolong Arini."
"Tidak, tidak perlu, Jen. Lagipula Arini tidak akan bisa masuk ke sini. Omong-omong dia sudah paham tentang apa yang terjadi. Arini terpaksa membohongi ibu kamu dengan memberitahunya bahwa saat ini kamu sedang ikut field trip."
Aku menyesal karena Arini ikut terbawa-bawa dalam urusan ini. Arini pasti cemas setengah mati sekarang. Sedangkan Mom... aku tak yakin apakah Mom peduli. Sewaktu aku nyaris tewas dalam kecelakaan pesawat itu saja, Mom lebih memilih mengurus bisnis Helix daripada menengok putri semata wayangnya.
"Bu, Tara berencana untuk membeli umm... kembang api untuk festival sekolah," kataku hati-hati. Apa Bu Olena sudah tahu rencana gila itu? "Saya rasa pihak sekolah harus diberitahu."
Bu Olena menyipitkan matanya padaku lalu tersenyum samar. "Ya, saya sudah tahu," katanya. "Pagi harinya, mereka akan ikut Ujian di sini. Nah, kamu juga akan mengikuti Ujian itu, Jen. Persidangan kamu sendiri akan dilaksanakan akhir minggu depan, setelah Ujian itu selesai."
Gerak-gerik Bu Olena menyiratkan bahwa dia juga ingin memberitahuku hal penting tanpa diketahui para petugas Dewan.
"Saya...." Aku tidak tahu harus membalas apa. "Belum berlatih."
"Oh, kamu nggak usah berlatih," kata Bu Olena.
Saat mendengarnya, aku tambah yakin Bu Olena punya maksud tersembunyi. "Tapi, bu... bagaimana kalau saya nggak lulus?"
"Kamu bisa mencoba lagi lima tahun berikutnya, kan? Tidak perlu terburu-buru. Kamu tidak harus jadi pengendali level lima saat ini juga."
Ini kedengarannya bukan Bu Olena banget. Sebagai guru, Bu Olena selalu memaksa kami para muridnya untuk memberikan yang terbaik. Dalam sesi les privat kami, beliau beberapa kali bilang sebagai Pengendali Utama seharusnya aku bisa masuk kategori level lima kalau aku berlatih dengan keras.
"Kekuatan level dua atau tiga saja sudah cukup untuk lulus Ujian itu," sambung Bu Olena. "Sebaiknya kamu banyak beristirahat, Jen. Simpan kekuatan kamu untuk sidang nanti."
Tidak ada kata-kata yang diberi penekanan khusus. Apa yang coba disampaikan Bu Olena? Kenapa beliau malah memintaku beristirahat?
"Arini menitipkan bekal makanan dan beberapa perlengkapan pribadi untuk kamu," kata Bu Olena. Dia mengangkat sebuah kantong kain, meletakkannya di laci di tepi dinding kaca itu, dan menyorongkannya ke sisiku karena kami tak boleh kontak fisik. "Isinya agak berantakan karena diperiksa dengan ketat tadi, tapi tidak ada yang disita."
"Waktu kunjungan sudah selesai." Suara sirene bergema di ruangan itu, bersama suara sang sipir. "Para tamu diminta untuk segera meninggalkan ruang kunjungan."
"Pokoknya jangan berlatih, Jen. Jangan pakai kekuatan kamu!" Bu Olena bangkit berdiri. Sang sipir keluar dari tempat persembunyiannya dan membuka pintu keluar. "Ingat itu baik-baik!"
"Tapi, Bu Olena...."
"Waktu kunjungan sudah selesai," kata si sipir tegas. "Mohon keluar sekarang."
Bu Olena tidak sempat berkata-kata lebih banyak, karena si sipir sudah mendorongnya keluar. Di balik pintu aku bisa melihat wajah teman-temanku yang lain, termasuk Lucien dan Toni. Ketua OSIS baru itu melongok ingin tahu, tatapan kami bertemu. Dia tersenyum samar, dan sebelum bisa mengatakan apa-apa, pintu itu sudah ditutup.
Aku duduk tepekur di kursi. Berbeda dengan kode dari Tara, Meredith dan Carl, aku sama sekali nggak mengerti apa yang ingin dikatakan Bu Olena. Kenapa beliau memintaku untuk nggak berlatih?
Sang sipir mendekatiku. "Waktunya kembali ke sel kamu."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top