24. Seseorang Dari Masa Lalu


Bunyi apa ini?

Tolong hentikan! Aku nggak kuat lagi!

Kuangkat tanganku untuk menutup telinga, berharap dering mengusik itu berhenti. Tidak berhasil. Tanganku sulit digerakan, rasanya berat sekali seperti terbuat dari marmer alih-alih daging dan tulang.

Aku mencoba membuka mata. Kelopak mataku juga terasa sama beratnya. Sinar putih temaram menyelinap masuk melalui celah di mataku. Sesuatu yang putih dan kecil bersinar tepat di atas kepalaku, seperti matahari mini buatan Iswara.

Lampu?

Kubelalakan mataku lebar-lebar. Pemandangan serba putih menyambutku. Aku bisa melihat lampu putih yang menyala di langit-langit yang tinggi. Aku mencoba bergerak, tetapi tidak bisa.

Denging mengganggu itu masih terus berbunyi, bertalu-talu di telingaku, membuatku nyaris gila. Aku berusaha lebih keras untuk mengangkat tangan dan menutup telinga, tetapi denging itu terus menggema, seakan tidak rela dihentikan. Barulah kusadari bahwa suara itu bukan berasal dari sekitarku, tapi dari dalam kepalaku sendiri.

Aku di mana?

Kucoba untuk duduk. Lagi-lagi aku tidak bisa bergerak. Tubuhku kaku dan tidak merespon perintah dari otakku. Ugh, ada apa ini? Ayo, Jen, kamu harus bangkit!

BRUK!

Tubuhku meluncur turun dari tempat pembaringannya, dan terbanting menelungkup di atas lantai beton yang keras. Ada darah yang mengucur dari keningku. Tampaknya terluka gara-gara bergesekan dengan lantai, tetapi aku tidak bisa merasakan sakit. Ketiadaan sensasi ini membuatku panik. Tubuhku mati rasa.

Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?

Seseorang tertawa dengan geli. Suara tawanya melengking dan keji. Apa derai tawa itu hanya ada di kepalaku lagi? Tidak, kali ini betul-betul ada yang tertawa. Suara itu menggema di ruangan yang kosong ini, terpantul di lantai dan dinding-dindingnya yang polos.

"Siapa...." Bibirku bergetar dan lidahku juga kaku. "Itu?"

Tawa itu bergema semakin keras. Pikiran-pikiran konyol mulai menghantuiku. Jangan-jangan yang sedang tertawa itu makhluk halus.

"Lama-lama juga jadi biasa lagi...."

Sosok yang tadi tertawa itu berbicara. Aku menggeliat untuk membalik tubuhku yang menelungkup seperti kura-kura di lantai. Aku harus melihat siapa yang berbicara denganku itu. Rasa sakit karena terjatuh sudah mulai bisa kurasakan, membanjiri saraf-sarafku seperti tusukan jarum-jarum kecil. Kemunculan rasa sakit itu bagaikan kunci yang membuka sumbat ingatanku. Seketika aku ingat apa yang telah terjadi. Peristwa kejar-kejaran di sekolah dengan Dewan Pengendali. Para guru dan sahabatku yang mengorbankan diri mereka untuk menyelamatkanku. Carl yang dipukul sampai jatuh di loteng oleh petugas dari Dewan. Portal dimensi yang membuka di titik pendaratanku, dan Sakti yang menangkapku....

Aku tidak tahu di mana aku saat ini, tapi aku harus segera bangkit dan bergabung kembali dengan teman-temanku. Mereka pasti sedang menungguku. 

Come on, Jennifer! Bangkit!

Setelah mengerahkan seluruh tenaga dalam tubuhku, akhirnya aku bisa berbalik terlentang. Tubuhku banjir keringat, napasku tersengal-sengal. Namun ada sesuatu – atau seseorang, yang bergerak cepat dari sebelah kiriku dan menindih tubuhku sebelum aku sempat menghindar.

Ugh!

"Halo, Darmawan...."

Wajah sosok itu yang membelakangi cahaya lampu sehingga membentuk siluet. Mataku panas karena silau, dan aku harus mengerjap beberapa kali supaya penglihatanku menjadi lebih jelas. Namun dari suaranya, dia seorang wanita. Rasanya aku mengenalnya, tetapi suaranya jauh lebih kasar dari orang yang kukenal.

"Miss me?"

Luka robek di keningku mulai berdenyut-denyut kesakitan. Melihatku berusaha mati-matian untuk bisa bergerak lagi, sosok asing itu kembali tertawa geli, sepertinya amat menikmati peristiwa di depan matanya.

"Aku... harus... pergi...."

"Buat apa, Darmawan?"  Sosok itu tertawa meremehkan. "Lo baru masuk ke sini, dan akan tetap di sini sampai selamanya. Lebih baik lo mulai membiasakan diri."

"Kamu... siapa?"

Wanita asing itu pura-pura terisak. "Tega banget. Masa lo lupa?" Dia menurunkan bagian atas tubuhnya tepat di atas dadaku, meniduriku. "Mungkin lo perlu diingatkan...."

Wanita itu menekankan telunjuknya di atas luka di keningku. Rasa perih yang membakar meledak dari kulitku, membuatku meraung kesakitan. Wanita itu malah tertawa semakin girang dan dia bukan hanya menekankan telunjuknya, tetapi mengorek luka terbuka itu, kukunya yang runcing menghujam lapisan kulitku, sakitnya sungguh luar biasa.

"Tolong... berhenti... sakit... sekali...."

Penyiksaku itu tidak menghiraukanku. Dia tertawa kesetanan sampai berkelojotan. Kukerahkan kekuatan yang belum sepenuhnya kembali untuk melawannya, tetapi wanita itu mengunci tubuhku dengan kedua tungkai dan tangan kirinya.

"HEI! BERHENTI!"

Itu teriakan seorang laki-laki. Wanita itu menggeram dan menghentikan perbuatannya. Dia melepaskan tubuhku dan pergi. Segera kumanfaatkan kesempatan itu untuk kabur. Aku bangkit berdiri, kedua kakiku gemetar tanpa tenaga, dan aku berlari mengikuti arah instingku. BRAK! Aku malah menabrak sesuatu yang keras dan transparan. Rupanya itu sebuah dinding kaca.

Seorang laki-laki berdiri di balik lapisan kaca itu. Dia memakai seragam serba biru seperti dokter bedah, dan dia mendelik padaku.

"Jangan ganggu dia!" bentak laki-laki itu. "Atau kamu terpaksa kami hukum!"

Wanita di belakangku terkikik nakal.

"Kamu!" Laki-laki itu gantian menunjukku. "Bersihkan darah itu dengan handuk. Dokter akan datang mengecek luka itu sebentar lagi."

Kemudian semisterius kemunculannya, laki-laki itu pergi. Kutempelkan wajahku ke arah lapisan kaca itu. Di depannya terbentang sebuah koridor kosong dan gelap. Isi ruangan yang sedang kudiami terpantul di kaca. Bentuknya kubus, ukurannya sekitar lima kali lima meter, dan dinding-dindingnya polos tanpa hiasan apa-apa. Ada dua buah tempat tidur di kedua sisi dinding yang berhadapan, dan sebuah bilik kecil di sudut belakang.

Ini seperti....

Aku bergidik. 

Ruang tahanan.

Tidak ada siapa pun atau apa pun di luar sana. Hanya ada aku dan si wanita asing. Aku bisa merasakan dia sedang mengamatiku dari belakang, seperti binatang buas yang sedang mengintai buruannya. Dan kami berdua terkurung di kotak kaca raksasa ini, tanpa bisa ke mana-mana.

Aku menarik napas dalam-dalam lalu berbalik. Hanya dia yang bisa kutanyai saat ini. Hanya dia yang tahu apa yang telah terjadi padaku.

Wanita itu sedang meringkuk sambil memeluk lututnya di atas tempat tidur. Dia kurus dan ringkih, aku terkejut menyadari betapa kuatnya dia saat menyergapku tadi. Rambut panjang kusut masai menutupi wajahnya, tapi dari baliknya aku bisa melihat sepasang mata besar mendelik tajam padaku, seperti sinar laser. Tatapan kami bertemu dan wanita itu menyeringai.

Seringai itu.

Aku memang mengenalinya.

"Anne-Marie...."


...


Tidak, tidak.

Ini tidak mungkin.

Aku pernah tertidur pulas sekali sehingga saat terbangun, aku masih belum menyadari bahwa aku sudah terjaga. Saat ini aku merasa seperti itu. Apa yang terjadi di sekelilingku terasa seperti sungguhan – rasa sakit dan suara-suara itu semuanya begitu nyata – tetapi ada sebagian kecil dari otakku yang menolak percaya bahwa ini adalah kenyataan.

Sampai aku melihat dengan jelas sosok itu.

Mustahil saat ini aku berada di ruangan ini, bersama gadis ini, yang semester lalu mau membunuhku dan beberapa saat lalu baru saja mencoba melakukannya lagi.

Gadis yang ditahan di tempat ini karena aku.

Selain seringai kejinya yang selalu membuatku mimpi buruk semester lalu, penampilan Anne-Marie telah berubah seratus delapan puluh derajat. Dia bukan lagi gadis tinggi cantik berambut panjang yang mengendarai Lamborghini merah. Tubuhnya yang dulu seksi dan selalu sukses membuat cowok mana pun menoleh saat lewat, kini telah susut. Rambutnya yang dulu lurus dan berkilau karena dirawat dengan produk perawatan mahal, kini lusuh dan berantakan. Kulitnya yang dulu putih dan mulus kini kusam dan pucat. Enam bulan dikurung di tempat ini telah mengubah Anne-Marie, gadis pemimpin The Queens, geng paling ditakuti di SMA Cahaya Bangsa, menjadi sosok menyedihkan seperti gelandangan di hadapanku ini.

Anne-Marie bangkit dan mendekatiku, seakan ingin memastikan padaku bahwa dia memang Anne-Marie yang kukenal. Begitu jaraknya tinggal sepuluh senti dariku, dia berhenti. Aku melirik kiri dan kananku, mencari tempat untuk berlindung, tapi kusadari tidak ada jalan lain. Saat aku mengira dia akan menyerangku lagi, gadis itu hanya mengangkat kedua tangannya dan memekik riang,"Surprise!"

"Apa yang terjadi, Anne-Marie? Kenapa kamu... kenapa aku...."

"Uh, uh, uh! Sssst!" Anne-Marie menjepit daguku dan menempelkan telunjuknya yang kurus di bibirku. "Di mana sopan santun elo, Darmawan? Saat ketemu senior, harusnya lo mengucapkan salam, bukannya banyak tanya seperti itu!"

"Ini di ruang tahanan Dewan Pengendali, kan? Kita berdua... ditahan?"

"Sst! Diam! Jangan banyak tanya!" Anne-Marie meremas pipiku, kuku telunjuknya yang runcing menusuk ujung hidungku. Dia menyelipkan kepalanya ke tengkukku seperti ingin mencumbuku, lalu berbisik. "Pembunuhan dilarang di sini, Darmawan. Seperti yang lo lihat, sipir pengendali pikiran itu bakal menghukum siapa pun yang macam-macam di tempat ini. Dia pikir dia bisa menghentikan gue, pengendali pikiran terhebat...."

"Lo bukan lagi pengendali pikiran!"

"GUE BILANG DIAM!" Anne-Marie menghujamkan giginya ke leherku - dia betul-betul menggigitku seperti drakula. Aku berteriak kesakitan. Kudorong dia kuat-kuat sampai terlepas. Gadis itu malah terbahak-bahak.

"Lo pikir gue lupa soal itu?" Dia menyapu setitik darahku di bibirnya. "Gue ingat betul apa yang terjadi, Darmawan. Mana mungkin gue melupakan bocah brengsek yang merenggut kekuatan gue, sehingga gue terpaksa jadi seperti sampah-sampah non-pengendali itu, dan harus menghabiskan hari-hari gue di tempat terkutuk ini!"

Aura kebencian, dendam dan amarah menguar begitu pekat dari sekujur tubuh Anne-Marie, sampai aku nyaris bisa melihatnya; mengungkungi gadis itu seperti medan merah membara. Seluruh perasaaan negatif ini berbeda dari diri Anne-Marie dulu. Kebencian, dendam dan amarah ini sudah melipatganda, jauh lebih hebat dan lebih mengerikan dari sebelumnya, akibat terus ditumpuk dan disimpan selama enam bulan dia ditahan. Dan semuanya itu dipusatkan pada satu orang, hanya satu orang saja: diriku.

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku terkurung di sini, tetapi hanya dalam lima belas menit saja sejak kesadaranku kembali, Anne-Marie sudah membuatku berdarah. Dengan level kebencian dan amarah sedahsyat ini, sudah pasti aku tidak akan bertahan sampai besok. Tidak diragukan lagi, gadis ini akan membunuhku. Anne-Marie terkenal nekat. Meski kami diawasi oleh sipir, dia pasti akan menemukan cara untuk menghabisiku. Kebencian, dendam dan amarah dalam dirinya yang sudah menunggu sekian lama untuk keluar itu, kini telah menemukan saat yang tepat. Dan gadis ini tak akan ragu sedikit pun untuk melepaskannya.

"Anne-Marie, dengar. Gue minta maaf. Waktu di museum itu—"

"Minta maaf?" potong Anne-Marie kasar. "Lo pikir lo bisa semudah itu meminta maaf setelah lo menghancurkan kehidupan seseorang, Darmawan?"

Aku mencelus. Di hadapanku ini bukanlah Anne-Marie, tetapi ratu iblis.

"Untungnya lo punya banyak waktu untuk menyesali perbuatan lo," desis gadis itu. Dia menatapku lagi, api menggelora hebat di matanya. "Dan gue akan memastikan lo menyesali semua yang udah lo lakuin ke gue, sampai lo berharap lo lebih baik nggak pernah dilahirkan...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top