23. Tersudut
Waktu terasa berhenti.
Orang-orang membeku, tapi aku tahu ini bukan perbuatan Tara. Dia dan Meredith hanya termangu menatapku. Di dekat panggung, Carl memandangiku dengan nanar. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah isak tangis Toni yang semakin pilu.
"Aku enggak...." Suaraku menggema lantang di lapangan yang sunyi ini. "Ini semua salah paham. Aku sama sekali...."
Dan seakan ingin mempertegas apa yang terjadi, Antoinette berbisik lirih, "Kekuatanku... hilang. Begitu saja...."
Anak-anak serentak mengambil jarak dariku, bagaikan para serdadu yang ditarik mundur oleh jenderalnya, menyisakan ruang kosong berbentuk lingkaran. Hanya Tara dan Meredith yang masih tetap di tempatnya. Mereka kelihatan bingung harus berbuat apa.
"Jen...." Meredith menarik napas dalam-dalam. "Gue cuma mau memastikan...."
"Gue nggak melakukan apa-apa!" jawabku. Orang-orang mundur semakin jauh. Rupanya aku menjawab terlalu cepat, dan itu membuatku semakin kelihatan bersalah. "Meredith, elo sama Tara melihat dengan mata kepala kalian sendiri bahwa tadi gue di sini, nggak ngapa-ngapain."
"Dia yang melakukannya!"
Seseorang berseru dari tengah-tengah penonton. Leher-leher yang kaku menoleh mencari siapa si pemilik suara, tubuh-tubuh menepi untuk membuka jalan.
Irene Gouw, teman sekelasku yang rambutnya ikal seperti mi, sedang menunjukku dengan tangan yang gemetaran. "Jen yang melakukannya! Jen membenci Toni!"
"Ren!" Darahku mendidih. "Maksud lo apa?"
"Gue nggak sengaja nguping pas elo sama Carl berantem di depan lift beberapa hari lalu!" Tubuh Irene ikutan gemetar, cewek itu kelihatan ingin menangis saking tegangnya. "Lo nggak suka sama Toni karena menganggap dia sebagai perusak hubungan antara elo sama Carl."
Lututku langsung lemas. Jadi Irene memang mendengar debat antara aku dan Carl itu.
"Jennifer nggak mungkin mencelakai siapa-siapa!" bentak Tara dengan sengit.
"Waktu Toni memilih Carl jadi pasangannya untuk pemilihan OSIS...." Vishnu, teman sekelasku, ikut-ikutan angkat bicara. "Jen kabur diam-diam dari kelas tanpa kasih selamat ke Carl sama Toni. Tampangnya nggak suka."
"Oi, Vishnu!" hardik Reo keras. "Bacot lo!"
"Gue mengatakan yang sebenarnya, oke?" Vishnu maju ke arah Reo, dadanya membusung. "Jen ada di kolam sewaktu Fanny diserang, dan Fanny juga pernah cekcok sama Jen sehari sebelumnya. Dan kita semua nggak perlu pura-pura lagi percaya bahwa Pak Gino kena begal. Semua orang tahu kalau Pak Gino sentimen sama Jen karena komputernya dirusak semester lalu, dan selalu menghukum Jen sejak saat itu. Jen balas dendam ke Pak Gino!"
Reo menyeruak dari tengah-tengah kerumunan untuk menghadapi Vishnu. "Lo nggak usah bikin hoax begitu. Nggak ada bukti bahwa semua penyerangan itu berhubungan sama Jennifer!"
Vishnu maju semakin dekat. Dia dan Reo berdiri berhadap-hadapan. "Maksud lo, gue mengada-ada, Re? Jennifer satu-satunya pengendali yang sanggup menghilangkan kekuatan pengendalian! Kalau bukan dia, siapa lagi?"
"Lo jangan nuduh teman gue yang macam-macam!" Reo mendorong Vishnu dengan keras sehingga cowok itu terjatuh. Aku kaget sekali melihat reaksinya – selama kenal dengan Reo, aku belum pernah melihat cowok itu marah, dan kalau marah, ternyata cowok yang biasanya kalem itu jadi mengerikan.
Vishnu melompat bangkit dan melesat ke arah Reo dengan tinju teracung, tetapi Reo yang sudah memasang kuda-kuda karate menangkap tinjunya dan memelintir tangannya. Vishnu berbalik dengan gaya pemain basket yang mencuri bola – dia memang wakil kapten tim basket – lalu menendang lutut Reo. Billy dan para cowok yang lain menghambur untuk melerai, sementara para cewek menghindar sambil menjerit-jerit. Reo bersiul dan angin puting beliung mini melipat tubuh Vishnu ke udara dan membantingnya ke tanah. Vishnu yang pengendali batu membalas, dia meninju dengan kuat dan selusin batu seukuran kepalan tangan meluncur menumbuk perut Reo. Pak Leon dan Bu Olena ikutan bergabung untuk melerai pertarungan itu, Carl menyusul di belakang mereka. Bu Nanda berteriak-teriak panik, "Reo! Vishnu! Jangan pakai kekuatan! Ini bukan kelas Pengendalian!"
Meredith maju dan merentangkan kedua tangannya. Sulur-sulur tanaman yang tebal dan kuat seperti selang-selang air raksasa menyeruak dari tanah dan membelit tubuh Reo dan Vishnu sehingga kedua cowok itu tidak bisa bergerak. Bu Nanda memarahi kedua cowok itu dengan galak. Untuk sesaat, perhatian anak-anak teralih pada mereka.
"Jennifer Darmawan?"
Seseorang memanggilku dari belakang. Sebelum berbalik, tiba-tiba saja ada sepasang tangan yang menarik lenganku. Aku begitu kaget disergap seperti itu. Ternyata itu adalah Pak Sakti, petugas dari Dewan Pengendali yang ditugaskan untuk mengawasiku.
"Saya diminta untuk mengamankan kamu," katanya.
"Mengaman—eh, apa-apaan ini? Lepaskan saya!"
Sakti dan salah satu temannya yang muncul entah dari mana mulai menyeretku. Tara, Meredith dan Carl menyadari apa yang terjadi. Mereka menahan kedua tanganku dan berusaha melepaskanku dari kedua penculikku itu. Bu Olena dan Pak Leon bergegas mendekatiku dengan panik.
"Pak Sakti...." Bu Olena kelihatan syok. "Apa yang bapak lakukan?"
"Saya hanya menjalankan tugas, Bu Olena."
"Tugas apa? Jennifer mau dibawa ke mana?"
"Dewan Pengendali menginstruksikan saya untuk mengamankan Pengendali Utama jika terjadi penyerangan lagi."
Suasana bertambah semrawut. Perutku begitu sakit ditarik-tarik dengan kurang ajar oleh kedua satgas Dewan ini, pikiranku kacau balau tidak bisa memahami apa yang terjadi, tatapan menuduh dari orang-orang di sekitarku membuat hatiku pedih seperti ditusuk-tusuk. Tara dan Meredith bergandengan tangan membentuk rantai manusia untuk menahanku, sementara Carl meremas tanganku dan berusaha memisahkan kuncian Sakti dari perutku sambil membentak, "Lepasin Jennifer!"
"Bapak-bapak sekalian mau menculik murid kami dari sekolah!" tegur Pak Leon.
"Pengendali Utama tidak boleh dibiarkan berkeliaran lagi," sahut Sakti ngotot. "Sekarang saya sudah menyaksikannya sendiri. Pengendali Utama harus kami tahan sebelum membahayakan pengendali lainnya. Tidak boleh ada serangan keempat!"
Apa katanya barusan? DITAHAN?
Mendengar itu, Carl, Tara dan Meredith bertambah panik. Sekarang mereka mengguncang-guncangkan tubuhku dalam upaya membebaskanku, dan aku mulai menangis karena kesakitan. Di tengkukku, Carl berbisik, "Don't let go, Jen. Aku bakal menolong kamu."
Pak Leon, Bu Olena dan Bu Nanda mendekat untuk menolongku, tetapi Sakti mengangkat telapak tangannya. "Bapak ibu guru sekalian, saya peringatkan, jangan coba-coba mengintervensi penindakan hukum oleh Satgas Dewan Pengendali! Tim dari Dewan akan tiba beberapa saat lagi, jadi saya sarankan lebih baik bapak dan ibu menyerahkan Pengendali Utama ini pada kami tanpa perlawanan!"
"Bapak-bapak Dewan yang terhormat," kata Bu Nanda ramah. "Memangnya masalah ini nggak bisa dibicarakan baik-baik?"
"Tidak bisa, Bu. Anak ini sudah dibiarkan mengacau terlalu lama."
Tiba-tiba Tara berteriak. Sensasi aneh yang sudah beberapa kali kurasakan melandaku. Kuncian Sakti di perutku terlepas; Tara, Meredith dan Carl kembali ke posisi mereka sebelumnya; sulur-sulur tanaman yang membebat Reo dan Vishnu masuk kembali ke tanah; dan Pak Leon, Bu Olena serta Bu Nanda berjalan mundur ke panggung.
"Dua menit," kata Tara sambil tersengal. "Orang-orang satgas itu pengendali pikiran dan sebetulnya mereka nggak bersedia dibawa mundur seperti ini, jadi gue terpaksa melakukannya."
Bu Olena menggeliat – mengarungi waktu memang memunculkan perasaan nggak nyaman yang sulit dideskripsikan – tetapi dia menatap suatu titik di belakang bahuku. Aku menoleh dan melihat Sakti dan rekannya berdiri beberapa meter di belakangku, mereka bertukar pandang dengan bingung, sepertinya belum menyadari perbuatan Tara.
Aku mengangkat tangan. Kalau begini, aku harus bertindak. Aku harus mengalihkan kekuatan para petugas ini sebelum ada yang terluka.
"JANGAN JEN!" Bu Olena menarik tanganku dan menepisnya. "Jangan pakai kekuatan kamu! Orang-orang dari Dewan malah akan semakin yakin kalau kamu berbahaya!"
"Bu Olena benar, Jen," kata Tara. "Kita harus kabur!"
"Kalian bertiga...." Bu Olena menunjuk Tara, Meredith, Carl, dan Reo. "Segera bawa pergi Jennifer. Saya, Pak Leon dan Bu Nanda yang akan menghadapi orang-orang Dewan ini."
Keempat temanku itu mengangguk paham. Pak Leon dan Bu Nanda kelihatan ragu-ragu, tetapi mereka langsung bersiaga begitu sebuah portal dimensi raksasa terbuka di antara pepohonan di dekat kami dengan bunyi petir yang menggelegar. Dari portal itu, puluhan satgas berseragam dari Dewan Pengendali melompat keluar, tangan mereka terangkat, siap menyerang.
"Ayo, Jen!" Carl menarikku. "Kita pergi sekarang!"
Kami berlima segera kabur. Sakti berlari ke arahku, tetapi Bu Olena menghentakkan tangan dan laki-laki itu langsung jatuh berlutut sambil mencengkeram dadanya. Pak Leon mengibaskan tangannya di atas kepala seperti mengayak udara, dan tembok-tembok es setinggi tiga meter membentang di sekeliling lapangan, melindungi anak-anak yang lain dari serangan satgas Dewan. Sepuluh orang satgas mengepung kami sebelum kami berbelok di koridor, tetapi Bu Nanda menjerit, "TIDAK BOLEH!" dan meninju tanah. Rumput-rumput di kaki kami meliuk naik menjadi tanaman raksasa dengan kelopak berbentuk mulut-mulut, lalu melahap orang-orang itu seperti monster hijau berlendir.
"Itu Venus flytrap!" Meredith terpana takjub. "Tanaman karnivora pemakan serangga! Bu Nanda, GOKIL BU!"
"Nanti aja kagumnya," bentak Tara. "Kita harus ke mana?"
"Aku punya ide," Carl membelok menuju lapangan parkir. "Ke sini!"
Kami tergesa-gesa mengikutinya. Portal-portal dimensi lain bermunculkan di mana-mana, memuntahkan lebih banyak lagi petugas Dewan Pengendali. Kami berlari meliuk-liuk di antara pilar-pilar di koridor untuk menghindar, tetapi para petugas itu memblokir kedua ujungnya.
Aku bersiap mengambil alih. Para satgas ini terlalu banyak, dan aku tak bisa membiarkan teman-temanku bertempur demi diriku. Namun Reo menghalangiku.
"Aku bisa mengatasi mereka," katanya sambil memelankan larinya. "Kalian lari aja! Cepat!"
"Tapi Reo," Meredith memeluk Reo. "Mereka terlalu banyak!"
Reo tersenyum gagah. "Setidaknya aku harus mencoba, kan?"
Aku menepuk bahu Reo sebagai ucapan terima kasih. Cowok itu membuka kedua tangannya lebar-lebar lalu menepuknya. Angin tornado dahsyat berhembus ke kedua penjuru koridor, meretakkan dinding-dinding sampai mengangkat keramik-keramik di lantai. Para petugas Dewan yang terkena hantaman angin itu mental ke udara seperti pin-pin yang ditabrak bola boling. Aku tidak bisa menyaksikan kelanjutannya karena Carl menarikku ke arah lobi. Dia mencabut salah satu tiang panji sekolah, dan membawanya ke pintu depan seperti ksatria berpedang.
"Carl, apa yang akan kamu lakukan sama tiang itu?" tanya Tara.
"Aku akan mengubah wujudnya." Carl meletakkan tiang itu di lantai dan berkonsentrasi. Tiang tembaga itu bergetar seperti sedang beresonansi, panjinya yang terbuat dari kain tebal berkibar, meliuk dan mengerut. Benda itu berkedut-kedut dan melebar, seperti meleleh, lalu membentuk sesuatu yang lain, yang sepenuhnya berbeda.
Aku langsung mengenalinya. "Ini... aku?"
Carl mengangguk. Dia mengangkat tiang panji yang sekarang sudah berubah menjadi diriku, dan menyeretnya ke teras. Karena aslinya hanya sebuah tiang yang ringan, boneka itu terpantul-pantul dengan lucu seperti balon. "Aku tahu ini nggak seratus persen mirip kamu, Jen, tapi...."
"Carl, ini brilian!"
Boneka duplikat diriku itu hanya bisa berdiri diam dan tidak bisa bergerak. "Butuh telekinesis untuk menggerakkannya," kata Carl menjelaskan. Dia memutar lutut bonekaku itu sehingga kelihatan seolah kakiku sedang terkilir. "Kalau melihat boneka ini, para petugas itu akan mengira Jen mencoba kabur naik mobil. Tapi harus ada yang menggotongnya. Tara, bawa boneka ini ke limusin Jen, lalu segera kabur dari sini!"
Kami semua mengangguk paham dan segera pergi ke portal parkiran. Namun di antara mobil-mobil yang sedang diparkir, sudah ada enam portal dimensi yang mengapung-apung di udara seperti lubang hitam, dan dari dalamnya muncul lebih banyak lagi petugas dari Dewan.
"Limusin Jen dikepung!" pekik Tara. "Gimana nih?"
Meredith berdeham dan mengkretekan jari-jari tangannya. "Mereka urusan gue. Ayo!"
Carl menyerahkan bonekaku pada Tara dan mengatur posisi tangannya seolah sedang merangkul sahabatku itu. Tara mulai berlari ke arah gerombolan para petugas Dewan Pengendali bak prajurit yang menerobos medan perang. Meredith meninju tanah dengan kedua tangannya, dan pohon-pohon beringin seukuran bus menyeruak dari dalam tanah, melentingkan mobil-mobil ke udara seperti bola-bola tenis, sekaligus menghadang portal-portal dimensi itu. Portal-portal yang lain merekah di tempat-tempat lain, tetapi Tara meraung ke arah mereka seperti singa betina yang marah, dan portal-portal itu menutup kembali, tersedot dalam arus mundur waktu.
Aku baru saja menyadari bahwa aku berutang nyawa pada teman-teman dan guru-guruku.
Carl menarik tanganku dan kami masuk kembali ke lobi, menuju lift yang sedang terbuka. Carl memencet lantai paling atas, dan kami segera melesat menuju loteng. Di atas, suasana sepi sekali. Carl membuka pintu kaca menuju loteng, dan mendorongku ke arah obsevatorium. Dia menarik bangku yang biasa kami duduki kalau sedang istirahat di sini, dan menggotongnya ke arah tepian pagar loteng. Carl berkonsentrasi pada bangku itu. Dia mengubahnya menjadi parasut. "Kalau kamu terjun dari sebelah sini, kamu akan mendarat di luar tembok sekolah, di bagian belakang. Kamu pernah terjun payung, kan?"
Seketika aku paham apa yang akan dilakukan Carl. Aku memakai jaket parasut itu dengan cepat, sambil mengenyahkan rasa takut karena akan meloncat dari lantai dua puluh dua gedung sekolah. Carl menjentik-jentik layar ponselnya lalu menyelipkannya ke dalam saku blazerku. "Ponsel itu udah aku unlock. Di dalamnya ada nomor supir kedutaan. Kamu telepon dia dan minta dijemput. Untuk sementara kamu bisa bersembunyi di kedutaan. Kamu akan aman di sana."
"Bagaimana dengan kamu, Carl? Dan teman-teman yang lain?"
"Kami akan baik-baik aja. Orang-orang Dewan itu mengincar kamu, Jen."
Carl membimbingku ke tepi pagar dan menuntunku untuk memanjatnya. Kami berdiri berhadapan, terpisah oleh pagar pembatas. Angin bertiup di bagian bawah rokku, mengingatkanku akan jarak ratusan meter yang memisahkanku dengan tanah. Aku mulai menggigil.
"Jen, aku akan membalik badan kamu supaya kamu menghadap ke depan," kata Carl. Dengan hati-hati dia memutar tubuhku sehingga mengarah ke langit. Kucengkeram pagar pembatas itu erat-erat. Kakiku lemas sekali seperti terbuat dari jeli, tetapi aku tahu kalau aku bergoyang sedikit saja, aku akan terjun bebas dari puncak lantai dua puluh dua.
"Lepasin pegangan kamu dari pagar," bisik Carl di tengkukku. Aku menuruti dengan patuh. Saat ini hanya ada tangan Carl yang menahan pinggangku dari tarikan gravitasi. "Lima detik setelah melompat, kamu harus menarik parasutnya supaya terbuka. Jangan sampai terlambat satu detik pun. Di hitungan ketika aku akan melepaskan pegangan aku...."
Ini tidak bisa diterima. Aku tidak bersalah! Kenapa aku harus melarikan diri begini, seolah akulah penjahatnya? "Carl, aku bisa melawan mereka."
"Jen, kamu dengar sendiri apa yang dikatakan Bu Olena. Kalau kamu melawan, situasinya justru akan semakin gawat."
Air merebak di pelupuk mataku. "Baiklah."
"Oke. Satu... dua...."
"Carl, sebentar! Aku minta maaf. Untuk... untuk...." Terlalu banyak hal yang kusesali saat ini dan aku tidak punya waktu untuk mengungkapkan segalanya. Kalau parasutku gagal terbuka, aku akan mati. Aku tidak pernah membayangkan akan mati seperti ini sebelumnya, dikejar oleh orang-orang yang membenciku, sambil menjadikan para sahabat sekaligus guruku sebagai tumbalnya. Ini terlalu tragis. "Untuk semuanya. Aku menyesal."
"I know. Aku juga salah, Jen." Carl menciumku dari belakang. "Kita ketemu nanti."
Ada bunyi petir yang meledak di belakang Carl dan bulu kudukku meremang. Portal dimensi Dewan Pengendali merebak bagaikan pusaran air. Carl melepaskan pegangan tangannya dan mendorongku.
"I love you," katanya.
Para petugas Dewan itu memukul punggung Carl sehingga pacarku itu terjerembab, tepat ketika tebasan udara menghantam wajahku seperti papan. Aku mulai meluncur turun dengan cepat, rokku berkibar dengan liar, dan aku setengah mati berkonsentrasi menghitung satu sampai lima. Di hitungan kelima, kutarik sabuk parasut di kedua pundakku, terdengar bunyi SYUT yang keras dan seluruh tubuhku terentak ke atas seperti tersambar petir. Parasut itu berhasil membuka dengan sempurna dan aku mulai melayang turun.
Sambil berdoa supaya semua orang yang sudah menolongku tidak terluka, aku meluruskan kaki ke arah pagar belakang sekolah yang semakin lama semakin dekat. Apa yang baru saja kami lakukan betul-betul gila dan nekat, dan aku hanya bisa berharap semuanya ini sepadan. Dewan Pengendali resmi menjadikanku sebagai musuh, dan aku bertekad akan melawan mereka.
Beberapa meter menuju tanah, aku mengambil ancang-ancang untuk pendaratan. Namun tiba-tiba muncul bunyi petir menggelegar tepat di titik perhentianku, dan sebuah portal dimensi terbuka lebar-lebar, bagaikan mulut raksasa lapar. Sosok Sakti si petugas Dewan Pengendali muncul dari dalamnya. Matanya berkilat-kilat menatapku, dan sambil mengangkat tangannya ke arahku, dia tersenyum puas.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top