20. Di Luar Dugaan


Aku mengangkat tangan kananku ke dahi untuk menghalangi wajah dan menatap matahari yang bersinar terik di langit.

Terlalu panas.

Di saat-saat seperti ini, aku merindukan New York. Saat ini di Amerika sedang musim gugur, musim favoritku. Aku tahu banyak orang lebih suka musim semi, karena cuacanya hangat, bunga-bunga bermekaran dan dunia menjadi hidup kembali setelah tertidur lelap sepanjang musim dingin. Tapi bagiku musim gugur tetap yang terbaik. Aku suka mengamati daun-daun yang semula hijau berubah kecokelatan sebelum mengering dan terlepas jatuh dari tangkainya. Dibandingkan musim semi yang hangat, cuaca musim gugur lebih pas karena sejuk; tidak hangat karena sudah lewat waktunya, dan belum terlalu dingin menusuk karena memang belum masuk musim dingin. Kalau di musim semi orang-orang cenderung memakai pakaian yang pendek karena udaranya, di musim dingin, aku bisa memadu padankan blus dengan jaket, sepatu bot, atau topi.

Aaah, aku tambah kangen New York.

Jakarta hanya punya dua musim: panas dan panas banget. Bahkan di musim hujan, udara tetap terasa panas dan lembab. Dan mengikuti apel pagi di lapangan terbuka adalah siksaan bagi orang yang nggak tahan panas sepertiku.

Pak Prasetyo masih berpidato, tetapi perhatianku tidak terpusat padanya. Sedari tadi aku mengamati barisan para guru di belakang podium, mencari-cari sang guru Kimia, Gino Sudrajat. Seingatku Pak Gino selalu hadir di sekolah. Tapi hari ini sosoknya yang seperti burung pemakan bangkai raksasa itu tidak terlihat.

Carl, Tara dan Meredith juga menyadari hal ini. Aku sudah menceritakan kecurigaanku pada dua sahabat cewek itu. Penjelasan soal masa lalu Antoinette dan Lucien terpaksa harus kutunda sampai pemilihan pengurus OSIS tuntas. Setelah mendengar penjelasanku tentang Pak Gino, Tara dan Meredith gempar. Mereka syok karena nggak kepikiran untuk mencurigai si monster.

Tapi sekarang si monster menghilang. Ke mana dia pergi?

Apel pagi yang membosankan dan bikin gerah itu akhirnya selesai. Kami membubarkan diri dan menuju ke kelas masing-masing. Aku memberi isyarat pada Carl bahwa aku akan lewat sebentar di kantor Pak Gino untuk mengeceknya.

"Jennifer?"

Di depan lobi, Bu Olena mencegatku. Dia ditemani Pak Prasetyo dan Pak Yu-Tsin.

"Ya, bu?"

"Sebelum kamu ke kelas, bisa minta waktu sebentar?"

Carl, Tara dan Meredith bertukar pandangan cemas, tetapi tiba-tiba Pak Leon muncul dan menyuruh mereka untuk bergegas naik ke kelas. Beberapa anak yang melihatku dicegat tiga orang guru sekaligus sengaja memelankan langkah mereka untuk menguping, tapi Pak Yu-Tsin segera membubarkan mereka.

Aku tidak punya firasat apa-apa soal ini. "Boleh, bu. Ada apa, ya?"

"Saya nggak akan menahan kamu lama-lama," kata Bu Olena sambil tersenyum gugup. "Apa kamu keluar rumah kemarin malam?"

"Iya. Saya dan teman-teman belajar kelompok di rumah Toni – maksud saya, Antoinette."

Pak Prasetyo bergumam pelan. Bu Olena kelihatan lega. "Jadi kamu bersama teman-teman sekelas kamu sepanjang waktu pas kemarin malam, benar?"

"Iya, bu. Selesai belajar kelompok, kami makan bersama dan bermain-main dulu. Kami pulang dari rumah Antoinette sekitar pukul setengah sepuluh."

"Semua anak kelas sebelas Tesla ikut acara belajar kelompok itu?" timpal Pak Yu-Tsin.

"Iya, pak."

Pak Prasetyo mengangguk. Kepala sekolah kami itu tidak mengatakan apa-apa, tapi malah memandangi langit-langit lobi yang tinggi, seperti yang dia lakukan di kantor Pak Gino.

"Baiklah, kalau begitu," Pak Yu-Tsin mendesah. "Silakan kembali ke kelas, Jen."

"Kalau saya boleh tahu," aku mendesak. "Ada apa, ya?"

Pak Prasetyo menurunkan tatapannya dari langit-langit dan lurus-lurus menatapku. Selama sepersekian detik, sensasi menegangkan seperti masuk ke dalam mesin fotokopi itu melandaku, lalu hilang secepat kedatangannya.

"Pak Gino diserang, Jennifer. Tadi malam, di daerah Tangerang. Beliau kehilangan kekuatan pengendaliannya dan kondisinya sekarat. Sekarang beliau dirawat di rumah sakit milik Dewan Pengendali."


...


Aku sudah was-was bahwa berita tentang penyerangan Pak Gino itu akan tersebar luas, dan lagi-lagi aku dituduh sebagai pelakunya, tetapi ajaibnya itu tidak terjadi. Dari pengamatanku, level ketakutan anak-anak tidak meningkat saat bertemu denganku.

"Percaya, nggak..." celetuk Tara yang hari ini istirahat denganku. Carl dan Toni dapat giliran untuk berkampanye dan aku sadar diri tidak mau dekat-dekat Carl karena takut membahayakan kemungkinannya untuk terpilih. Meredith sibuk mengurus festival sekolah yang tinggal dua minggu lagi, sementara Reo sedang ikut kompetisi karate bersama klubnya. "Gue yakin banyak anak-anak yang bersyukur Pak Gino nggak mengajar."

"Kayaknya mereka belum tahu apa yang terjadi sama Pak Gino, Ra."

"Udah, tapi versi bohongnya. Gue nanya ke Azka, hari ini kelas dia ada mapel Kimia. Pak Gino digantikan sama Pak Leon. Pak Leon beralasan si monster nggak bisa mengajar untuk sementara waktu karena jadi korban begal."

"Alasan yang bagus meski tragis. Pak Prasetyo bilang kondisi Pak Gino sekarat."

"Itu serius?" Tara terbelalak. "Gue pikir Pak Leon bercanda, Jen. Maksud lo, si monster betul-betul... nyaris semaput, gitu?"

"Ya, memang itu definisi sekarat kan, Ra?"

"Ini berarti...." Mata Tara membuka semakin lebar. "Tuduhan kita salah dong, Jen? Bukan Pak Gino pelaku di balik semua penyerangan ini? Ada orang lain yang terlibat!"

"Bukan, Ra. Ini justru membuktikan kecurigaan gue yang sebelumnya." Aku merinding saat mengatakan ini. Bukannya aku senang Pak Gino dicelakai seperti itu. Oke, sedikit sih, gara-gara sikap sentimennya pada semua anak kecuali Toni. Tapi aku menyadari sesuatu yang tidak disadari siapa pun. "Yang melakukan semua ini adalah Lucien Darmawangsa."

"Lucien?"

"Ssst!"

Kami sedang memasuki kantin. Lagi-lagi ada peristiwa "laut terbelah" yang menyambutku, tapi Tara tidak memedulikannya. Dia berhenti di meja dekat teras – anak kelas sepuluh yang melihatku memekik ketakutan dan cepat-cepat minggat. Beberapa di meja dari meja kami, Karina sedang bersin-bersin heboh, sepertinya sedang flu berat.

Aku mengecek keadaan sekeliling untuk memastikan Lucien tidak ada. Cowok itu memang tidak kelihatan, sepertinya dia belum turun dari kelasnya. Toni bersama Carl sedang menjelaskan program kerja mereka pada sekelompok senior kelas dua belas di sudut terjauh kantin.

"Lucien?" ulang Tara, kali ini sambil berbisik. "Gue pikir lo curiga sama Toni!"

"Enggak, Ra. Kekuatan Toni udah jelas. Dia pengendali kaca. Sedangkan Lucien masih belum jelas. Dia nggak kelihatan sewaktu kita belajar kelompok di rumahnya, lho. Lo nyadar, nggak?"

"Aih, iya juga, ya. Dia cuma menyambut kita di teras depan pas kita datang aja. Setelah itu nggak kelihatan lagi sampai kita pulang!"

"Toni bilang dia ada di lantai dua sama Demian dan Denise. Tapi gue curiga Lucien nggak ada di rumah malam itu. Dia pergi ke tempat lain. Pak Gino diserang di daerah BSD. Rumah Toni ada di Tangerang, masih satu kawasan dengan lokasi penyerangan Pak Gino. Helix punya kantor cabang di sekitar situ, jadi gue lumayan familier dengan daerahnya. Hanya butuh lima belas menit dari rumah Toni ke TKP Pak Gino."

Tara termangu selama beberapa saat.

"Maksud lo...." Tara menggerak-gerakan tangannya seperti sedang membelai kucing kasat mata. "Pas kita belajar kelompok, Lucien menyelinap ke luar rumah dan menyerang Pak Gino?"

Aku mengangguk dalam-dalam. "Persis."

"Tapi kenapa, Jen? Apa alasan Lucien menyerang Pak Gino?"

"Murid mana di sekolah ini yang nggak sakit hati sama si monster, coba?"

Tara memutar bola matanya seakan mengatakan 'semua anak'. Dia berhenti membelai kucing imajiner itu, menopang dagunya dan berpikir selama beberapa detik. "Tapi apa alasan Lucien menyerang Bu Dorothea sama Fanny, coba? Kalau dia baper gara-gara Pak Gino, gue masih bisa paham, tapi sama Bu Dorothea dan Fanny? Gue bahkan ragu Lucien pernah ketemu langsung dengan si orang Dewan itu."

"Carl curiga Lucien mungkin belum menemukan kekuatannya," jawabku. "Beberapa waktu lalu, gue pernah nggak sengaja pakai kekuatan telekinesis Billy, Ra. Lo ingat pensil yang terbang ke arah Toni pas pemilihan perwakilan kelas untuk OSIS?"

Tara mengernyit. "Yang pas lo kabur diam-diam itu, ya?"

"Iya. Sebenarnya itu bukan Billy yang lepas kendali. Tapi gue yang gedhek sama Toni," kataku. "Mungkin hal yang sama terjadi sama Lucien. Dia punya kekuatan pengendalian, tetapi kekuatannya itu masih belum stabil sehingga suka meledak-ledak. Mungkin dia lagi merasa marah atau galau pas insiden-insiden itu terjadi. Bu Dorothea, Fanny dan Pak Gino kemungkinan hanya berada di tempat yang salah di saat yang salah."

"Masuk akal, sih."

"Atau bisa jadi dia pengendali ilusi! Pak Prasetyo bilang semua insiden ini disebabkan oleh seseorang yang sedang bermain-main dengan ilusi. Gue nggak tahu apa ini artinya Lucien pengendali pikiran, tapi bisa aja semua ini nggak nyata, Ra."

"Kenapa nggak lo ceritain kecurigaan lo ini sama guru, Jen?" tanya Tara heran. "Kan kalau begitu lo nggak harus dituduh macam-macam. Gue yakin minimal Bu Olenalah, yang percaya sama elo. Kalian kan...."

Kata-kata Tara terputus. Dia mendelik dan cepat-cepat bangkit berdiri. "Suka nasi kuning. Gue ngantre makanan dulu, ya."

"Eh, Ra! Lo mau ke mana?"

Tara cengengesan pada seseorang di belakangku. Aku berbalik dan nyaris melompat kaget. "Lucien."

"Halo." Cowok itu lagi-lagi sedang mengisap lolipop. Dia melambai ramah pada Tara yang masih terus-terusan menoleh cemas padaku, lalu duduk di sebelahku. Aku memberi isyarat pada Tara supaya cepat kembali sambil pura-pura mengoper tisu pada Karina yang masih bersin-bersin.

"Haaaah!" Lucien mendesah dan meluruskan kakinya. Tungkai kakinya panjang sekali. "Beberapa minggu lagi semester ini selesai. Padahal aku masih menikmati jadi anak baru."

Aku berusaha menahan diri dan hanya tertawa dengan sopan. Ini dia yang disebut jackpot! Tanpa diminta, calon tersangkaku muncul begitu saja seperti ini! Kalau aku bisa menahan Lucien cukup lama di sini, aku bisa meneliti kekuatannya.

Aku harus mengajaknya ngobrol!

"Kamu nggak pesan makanan, Luc?"

Dengan lolipop-nya, Lucien menunjuk ke antrean kios-kios yang mengular.

"Karena terbiasa makan masakan ala chef bintang lima, pasti kamu risih makan makanan di kantin ini."

Lucien menyipit dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. "Tumben," katanya sambil mencabut lolipop-nya dan menyodorkannya padaku.

"Tumben kenapa?" Wow, ini terlalu dekat!

"Kemarin-kemarin kamu selalu ketus kalau ketemu aku."

Konsentrasiku malah jadi buyar. Mata Lucien warnanya cokelat terang, seperti pasir. "Soal itu, aku lagi bad mood. Maaf, ya. Bukannya aku kasar. Aku nggak menjauhi kamu, kok."

Lucien tersenyum. Matanya jadi sedikit sipit karena dia tersenyum, tapi justru kelihatan makin cokelat. Aku... eh, jangan terkecoh, Jen! Kamu harus fokus! Rasakan kekuatannya....

Tiba-tiba Lucien menjulurkan tangannya untuk meraih wajahku. Eh, eh, apa-apaan ini? Dia mau menciumku? Aku sontak mundur, tetapi menabrak tembok karena posisi tempat dudukku yang ada di sudut. Mau apa dia?

Lucien memiringkan kepalanya dan matanya jadi semakin sipit. Konsentrasiku betul-betul hancur sekarang. Aku tidak bisa merasakan apa-apa selain jantungku yang berdebar-debar. Maksudku, dia... tampan sekali.

"Ini...."

Dia mengambil sesuatu dari pipiku.

"Ada bulu mata di pipi kamu..." Cowok itu menyodorkan sehelai bulu mata di depan hidungku. "Kata Papaku, harus dimasukin ke saku. Biar membawa keberuntungan."

Rambut-rambut halus di tengkukku berdiri semua.

Waaah! Aku nyaris sesak napas karena tegang! "Terima kasih." Cepat-cepat kuambil bulu mata itu. Lucien malah meraih tanganku, membukanya dan meletakkan bulu mata itu di atas telapaknya, dan menutupnya lagi. Lalu dia tersenyum lebar seperti bangga karena telah melakukan tugas penting, dan melanjutkan mengisap lolipop dengan tenang.

Aku sampai harus mencubit pahaku sendiri di bawah meja supaya tetap fokus. Jen! Kenapa kamu malah nge-halu kayak begini? Pasti karena tadi malam aku maraton serial Bridgerton!

"Aku... ehm...." Jangan lihat matanya, Jen! "Mau tanya sesuatu."

Lucien bersedekap. Lidahnya bermain-main di dalam mulutnya. "Boleh. Kalau jawabanku benar semua, aku dapat hadiah, kan?"

"Ini bukan kuis."

"Yaaaaah! Nggak seru!"

Kuputuskan untuk tersenyum simpul. Cowok ini lihai memanfaatkan pesonanya, dan aku nggak boleh terhanyut seperti tadi lagi! "Kemarin malam pas kita belajar kelompok di rumah kamu, kok kamu nggak kelihatan? Padahal setelah makan kita main UNO, lho. Seru banget."

"Oh, soal itu." Lucien menggoyang-goyangkan kepala, rambutnya yang tebal ikutan bergoyang. "Aku nggak mau mengganggu Toni. Aku di atas, main game di hape."

Ayo, Jen. Saat Lucien diam, kekuatannya itu ikut diam, dan saat dia bergerak, ikut bergerak juga. Apa kekuatan yang tidak jelas ini? "Kamu nggak suka nongkrong bareng teman-teman sekelas, ya? Biasanya cowok-cowok kan suka begitu."

Di belakangku, Karina bersin entah untuk kesekian kalinya. Piring dan mangkuk di sekitarnya mengambang karena kekuatan pengendalian gravitasi cewek itu. Si kembar mendatangi Karina sambil tertawa-tawa, sepertinya girang sekali melihat teman kami itu bersin-bersin.

"Nggak boleh sama Mama," jawab Lucien. Wajahnya berubah polos, dan sesaat dia terlihat seperti cowok enam belas tahun pada umumnya. "Kenapa, Jen? Kamu mau ngajak aku jalan?"

"Bu-bukan begitu."

"Boleh kok. Atau kamu mau aku yang ngajak kamu jalan?"

"Tapi aku ajak Tara sama Meredith boleh, ya?"

"Semacam double date?" Lucien duduk tegak seperti kucing yang disodori ikan. "Asyik!"

"Eh, Tara sama Meredith nggak pacaran." Tolol banget, Jen! Harusnya kamu bilang Carl! "Maksud aku, gimana kalau aku ngajak Carl, pacar aku?"

Lucien mengangkat bahu dengan cool dan menggigit lolipopnya. "Pas probleme. Asal kamu ikut, aku nggak keberatan."

Dari sudut mataku, aku melihat Tara sudah kembali, tapi sengaja berlama-lama di meja Karina. Si kembar sedang menggelitik hidung Karina dengan serbuk merica yang sepertinya mereka colong dari kios kentang balado. Sekarang meja-meja  ikut terangkat setiap kali Karina bersin, dan si kembar tertawa semakin keras, sepertinya menikmati kejadian ini.

"Jen," panggil Lucien. "Menurut kamu, Toni dan Carl akan menang di pemilihan OSIS?"

Semoga tidak. "Aku harap iya."

Cowok itu malah tertawa. "Ternyata kamu nggak pintar berbohong, ya. Kamu nggak mau kan, mereka berdua terpilih?"

"Wah, jangan-jangan kamu pengendali pikiran?"

Bersin Karina menggelegar, dan tawa si kembar membahana. Setengah lusin mangkuk bakso melesat ke udara, menumpahkan kuah panas gratis pada anak-anak di bawahnya.

"Aku bukan pengendali pikiran." Lucien menarik kursinya ke arahku sampai lututnya bertemu dengan lututku. "Tapi aku bisa membaca pikiran kamu, Jennifer."

"Kamu... tu-tunggu sebentar..."

"Iya. Aku tahu, kok. Aku nggak sopan. Harusnya Kak Jennifer, kan? Lucien nakal."

Sepasang mata cokelat pasir itu. "Aku... sepenuh hati berharap Carl dan Toni terpilih."

"Kak Jennifer tukang bohong. Sekarang Kak Jennifer yang nakal."

"Sungguh, Lucien. Aku serius. Omong-omong... kamu... terlalu dekat."

"Nggak apa-apa, kan? Tadi kamu sendiri bilang kamu nggak menjauhi aku, kak...."

HATCHI!

Kursiku terangkat sepuluh senti. Aku nyaris terjungkal dan otomatis menarik kemeja Lucien. Kursi cowok itu juga terangkat dan dia limbung ke arahku. BRUK! Kami berdua terjatuh bertubrukan di lantai, posisi Lucien di atasku. Wajahnya mendarat di wajahku, tapi aku segera menoleh sehingga bibirnya jatuh di sisi samping leherku.

O-MY-GOD!

Aku menggeliat membebaskan diri sebelum mata cokelat itu menghipnotisku lagi. Untung saja nggak ada yang melihat kami, karena perhatian anak-anak sudah terpusat pada Karina dan delapan orang anak-anak lain yang melayang-layang di langit-langit kantin yang tinggi seperti balon helium, dikelilingi meja-meja, kursi-kursi, dan peralatan makan yang saling berdenting.

"ALDO! BASTIAN!" Karina menjerit marah. Hidungnya sudah merah sekali seperti wortel. "Lo berdua berhenti sekarang, ya! Simpan-bubuk-merica-brengsek-itu!"

Si kembar malah semakin girang. Mereka menebarkan bubuk merica itu ke arah Karina seperti memberi sesajen pada dewa. Banyak yang tertawa menikmati pemandangan lucu ini, beberapa cowok yang berakhlak busuk menunjuk-nunjuk rok para cewek yang tersingkap. Tara dan beberapa anak yang lain mencoba menghentikan si kembar. Namun Karina bersin makin tak keruan. Aku merasakan aliran chi Karina yang kacau balau karena dia terus-terusan bersin. Anak-anak yang ikut mengambang bersamanya memekik ketakutan. Mereka mulai jumpalitan di udara, seperti pemain akrobat di sirkus, saling tabrak, membentur pilar-pilar, sampai ada yang tersangkut di kabel lampu gantung.

"Aldo! Bastian!" Billy berdiri dan mengejar si kembar untuk menghentikan mereka. Anak-anak yang mengambang mulai menjerit-jerit panik. Seorang cowok kelas sepuluh muntah karena pusing. Karina melolong minta tolong.

"Mereka akan jatuh," teriak Iswara.

Situasi berubah gawat dengan cepat. Karina sudah sepenuhnya kehilangan kendali. Dia dan para anak yang lain melayang berputar-putar seperti asteroid di ruang hampa. Si kembar yang menyadari akibat fatal perbuatan mereka mencoba mengait turun kaki Karina dengan memakai pengki, tetapi langit-langit kantin ini terlalu tinggi – mungkin sekitar enam meter mengingat tempat ini perlu sirkulasi udara yang baik karena selalu penuh anak-anak – sehingga sulit dijangkau.

Karina bersin lagi. Sebuah kursi mental menabrak pilar dan hancur berkeping-keping. Anak-anak yang menonton di bawah lari menyelamatkan diri. Piring-piring mulai berjatuhan dan pecah begitu menghantam lantai seperti hujan meteor. Salah satu cewek meluncur turun dengan cepat seperti roket yang kehabisan bahan bakar, rambutnya berkibar liar, lalu diikuti anak-anak yang lain. Meja-meja stainless steel dan lantai kantin yang keras siap menyambut mereka.

SSSHHH....

Ada yang berdesir lembut dari belakangku. Lucien berlari ke arah anak-anak yang sedang terjun bebas itu sambil menjentikkan. Sesuatu yang halus dan berwarna cokelat terang seperti mata Lucien menyelimuti kantin. Perlu beberapa saat bagiku untuk menyadari benda apa itu sampai benda itu menyapu kedua kakiku dan menimbunnya, halus dan hangat, lalu mengalir turun mengisi rongga-rongga sepatuku.

Kantin berubah menjadi padang pasir. Karina dan anak-anak malang yang dibuatnya melayang terjatuh ke atas tumpukan pasir tebal itu. Anak-anak yang menonton perubahan dadakan ini hanya bisa terbengong-bengong. Tara menatapku sambil mengangkat bahu, dia terbenam sampai pinggang oleh lautan pasir.

Orang-orang bertepuk tangan sambil bersuit-suit. Lucien berdiri di atas pasir itu sambil membungkuk memberi hormat. Dia satu-satunya anak yang tidak terbenam pasir.

Saat itu barulah aku memahami kekuatan Lucien. Sesuatu yang diam tapi juga bergerak. Kasar tapi lembut. Banyak tapi sedikit. Menyadari hal ini membuatku takjub sekaligus geram. Lucien bukan pengendali tidak diketahui, pengendali pikiran atau bahkan pengendali ilusi seperti yang aku curigai.

Dia pengendali pasir.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top