19. Rahasia Antoinette
Perubahan sikap mendadak Toni ini membuatku kaget.
"Toni...." Aku berkutat melepaskan tanganku, tetapi pegangan Toni kuat sekali. "Kamu nyakitin aku. Tolong lepasin tanganku."
Napas Toni menderu dengan cepat. Dia menggapai pisau yang tadi dipakainya untuk mengiris ketimun. "Jadi ini alasan kamu datang ke rumahku hari ini kan, Jen?"
Perasaanku berubah tidak enak. Pisau itu terlalu dekat. "Tunggu, Toni. Aku cuma—"
"Ide belajar kelompok hari ini datang dari kamu kan, Jen?"
Aku menyentakkan tanganku sekuat tenaga. Cengkeraman Toni melonggar dan aku segera memanfaatkan kesempatan itu untuk membebaskan diri. Toni mengejarku, dia terhalang oleh meja marmer besar itu. Seperti orang kesetanan, dia menyingkirkan makanan-makanan di atas meja itu. Piring-piring terjatuh dan pecah dengan bunyi berkerompyang yang memekakan telinga.
Sebelum aku sempat kabur ke koridor, Toni menarik ujung blusku. Dia merenggut bahuku dan membantingku ke pintu kulkas.
"Kamu nggak akan cerita apa-apa...." Pisau itu berkilat di mata Toni. "Soal ini, Jen."
"Aku nggak tahu apa-apa! Sungguh!"
"Bohong! Kamu udah merencanakan semua ini kan, Jen?"
Toni tahu. Dialah sang pengendali pikiran. Dia membaca isi kepalaku. Aku meronta-ronta tapi kuncian lengan Toni di dadaku begitu erat. Astaga, apa cewek ini sebetulnya binaragawan? Dari mana dia mendapat kekuatan sebesar ini?
"Jen? Toni?"
Kuncian Toni terlepas. Dia berbalik dan melihat Carl muncul di ambang pintu dapur. Dia melongo melihat makanan-makanan yang berserakan di lantai.
"Aku dengar bunyi piring pecah." Carl mendekati kami. "Toni, kamu berdarah."
Toni menjatuhkan pisau itu ke lantai dan mulai terisak. "Maaf, Carl. Ada kecelakaan."
Aku berusaha memberitahu Carl bahwa Toni berusaha menyerangku tanpa ketahuan cewek itu. Tapi Carl sedang mengambil setumpuk tisu untuk mengelap luka di tangan Toni akibat terkena pecahan piring.
"Maaf, Jen," Toni menatapku. Cewek itu telah berubah tenang dan lembut seperti semula, hanya saja kali ini wajahnya bersimbah air mata. "Aku gelap mata. Aku nggak bermaksud bikin kamu takut atau mencelakai kamu. Aku... aku permisi dulu."
"Sebentar." Carl menatapku meminta penjelasan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
"Jen, karena sekarang kamu udah tahu, aku mohon jangan beritahu siapa pun," kata Toni dengan memelas. "Aku sama Lucien akan malu banget."
Tiba-tiba Carl mengangguk dalam-dalam. Tampaknya dia paham apa yang dimaksud Toni. Justru aku yang jadi bingung. Mereka berdua tahu tentang sesuatu yang aku nggak tahu.
Toni menepis tangan Carl dan kabur dari dapur. Aku mendengar langkahnya yang tergesa-gesa menaiki tangga. Para pelayan kembali muncul di dapur seperti sihir. Mereka hanya menatap makanan yang porak-poranda dan mulai beres-beres seperti robot sambil mengacuhkan aku dan Carl. Billy muncul diikuti si kembar, tampang mereka berdua kelaparan. Aku langsung menarik Carl ke halaman depan, dan masuk ke dalam limusin. Cowok ini berutang penjelasan padaku.
"Toni menyerang aku, Carl," kataku segera. "Dia mau menusuk aku pakai pisau seandainya kamu nggak muncul tadi."
"Toni nggak akan ngelakuin itu, Jen—"
"Jadi kamu nggak percaya sama aku?"
"Aku belum selesai. Aku mau bilang bahwa Toni nggak akan ngelakuin itu kalau dia nggak diprovokasi, Jen. Kenapa kamu tiba-tiba keluar dari ruang belajar tadi?"
Aku menceritakan pada Carl soal hasil Googling yang kulakukan. Tentang penemuan mengejutkan bahwa Demian dan Denise Darmawangsa tidak punya anak. Tentang maksudku mengusulkan belajar kelompok hari ini diadakan di rumah Toni.
"Dan kamu udah cerita soal semua ini sama Tara dan Meredith?" tanya Carl di akhir cerita. "Tapi merahasiakannya dari aku?"
"Aku tetap akan kasih tahu kamu, Carl. Kalau aku sudah bisa membuktikan kecurigaanku."
"Kamu nggak percaya sama aku."
"Bukan begitu. Aku cuma nggak mau kamu berpikir aku asal tuduh."
Carl mendesah. Dia meneguk air mineral yang kutawarkan dan membuang muka. "Kamu memang asal tuduh. Padahal Toni udah berusaha keras menjaga rahasia itu."
"Rahasia apa, Carl?"
"Toni dan Lucien anak angkat," kata Carl tanpa tedeng aling-aling. "Demian dan Denise Darmawangsa memang nggak punya anak kandung, tapi mereka mengadopsi Lucien dan Toni dari panti asuhan kira-kira lima tahun yang lalu."
Anak angkat? Jadi ini rahasianya? "Tapi kenapa...." Aku masih belum memahami ini. "Kenapa Toni begitu marah pas curiga aku udah tahu tentang ini?"
"Karena dia nggak mau orang tahu, Jen. Sesederhana itu."
Aku merasa sangat kesal dan tersinggung. Carl seharusnya memberitahuku dari awal tentang informasi sehebat ini. "Tapi dia kasih tahu kamu?"
"Karena dia percaya sama aku," jawab Carl sinis. "Toni membuatku bersumpah untuk merahasiakan ini dari siapa pun, termasuk kamu. Dia dan Lucien sesungguhnya anak yatim piatu. Mereka kehilangan orangtua kandung mereka sewaktu masih anak-anak dalam kebakaran besar. Mereka sempat diadopsi orangtua asuh yang membawa mereka ke Paris, tapi orangtua asuh ini meninggal karena sakit keras sehingga Toni sama Lucien terpaksa luntang-lantung di Paris. Selama tiga tahun mereka hidup di jalanan dan terpaksa sering mencuri untuk bertahan hidup. Suatu hari, karena kelaparan Toni mencuri buah yang ternyata untuk dapur restoran Denise. Mereka tertangkap, tetapi Denise malah merasa kasihan dan akhirnya mengadopsi mereka berdua."
Cerita ini begitu luar biasa sampai sulit untuk kupercaya. "Tapi kalau begitu... kenapa Toni dan Lucien harus merahasiakan ini?"
"Karena mereka malu, Jen," kata Carl sabar. "Terutama Toni. Meski sekarang mereka adalah anak Demian dan Denise Darmawangsa, tetapi sebelumnya mereka berdua adalah pencuri jalanan. Aku juga yakin Toni merahasiakan masa lalunya ini supaya nggak membuat malu orangtua angkat mereka. Toni berusaha mengubur kisah hidupnya yang kelam ini. Dia berharap dia dan Lucien memang dilahirkan dari orangtua seperti Demian dan Denise Darmawangsa. Toni ingin mengubah fakta ini, tapi nggak bisa...."
"Toni berusaha menusukku hanya gara-gara ini, Carl."
"Aku rasa dia syok, Jen. Dia nggak menyangka bakal ada orang yang menelisik kehidupan masa lalunya. Toni nggak mau ada anak-anak di sekolah yang tahu."
"Tapi berita tentang Demian dan Denise yang nggak punya anak sudah tersebar di internet, Carl. Semua orang tahu soal ini. Kalau ada anak di sekolah kita yang Googling soal Demian dan Denise, mereka juga pasti akan curiga."
"Toni berencana akan mengakui soal itu sesudah pemilihan OSIS, Jen. Soal berita-berita di internet, itu semua memang di luar kendalinya."
Perasaanku masih belum tenang.
Semua ini terdengar terlalu pas. Ada saat-saat ketika kita sudah mengantisipasi yang terburuk, tapi yang terjadi malah yang sebaliknya. Hasil akhir itu terasa terlalu sempurna untuk jadi kenyataan. Too good to be true. Salah satunya adalah ini.
Aku masih belum bisa menerima penjelasan ini begitu saja. "Menurut aku, Toni berlebihan."
"Maaf, Jen." Carl kedengaran jengah. "Justru menurut aku kamu yang berlebihan. Kamu menuduh Toni dan Lucien yang enggak-enggak. Terutama Lucien. Cuma karena dia nggak mau bilang kekuatan pengendaliannya ke kamu."
"Buat apa Lucien menutup-nutupi kekuatannya, coba?"
"Bagaimana kalau dia non-pengendali?" Carl mendelik. "Bagaimana kalau Lucien ternyata kayak kita pas semester lalu, pengendali yang kekuatannya belum bangkit? Apa kamu pernah berpikir bahwa Lucien nggak kasih tahu kekuatannya karena dia sendiri belum mengetahuinya?"
Kata-kata Carl terasa seperti tamparan di pipiku. Aku nggak berpikir sampai ke sana. Carl bisa jadi benar, dan ini sesuai tentang kekuatan Lucien yang terasa abstrak bagiku. Kalau memang seperti ini, aku bisa mengerti kenapa Lucien mengajakku main tebak-tebakan. Bisa jadi dia malu mengakui bahwa dia belum tahu apa kekuatannya.
"Lucien bisa bilang terus terang seandainya dia belum menemukan kekuatannya," kataku akhirnya. "Lagipula, Lucien ada di kolam saat kekuatan Fanny hilang."
"Tapi bagaimana dengan Bu Dorothea, Jen? Dia kehilangan kekuatannya sewaktu ngantor di Dewan, kan? Apa kamu mau menuduh Lucien membuntuti Bu Dorothea?"
"Itu bisa terjadi, Carl. Pak Prasetyo bilang ada yang bermain-main dengan ilusi. Bisa jadi Lucien adalah pengendali pikiran atau yang sejenis itu."
Carl meremas tanganku, bukan dengan sayang seperti biasanya, tapi dengan gemas. "Tapi apa alasannya, Jen? Kenapa Lucien harus melakukan semua ini, menyerang para pengendali?"
"Mungkin dia mau menarik perhatianku. Atau sekedar ingin merusak reputasiku."
"Lucien bukan Anne-Marie, Jen!" Carl memukul pahanya sendiri saking geramnya. "Toni juga. Nggak ada lagi orang yang ingin menjahati kamu. Anne-Marie udah dikurung di rumah sakit jiwa! Serangan-serangan itu nggak ada hubungannya sama sekali dengan kamu."
"Tapi Carl—"
"Jen." Carl meraih bahuku dan mengguncangkannya. Mata birunya melebar. "Kamu harus berhenti, oke? Kamu sendiri yang ngotot bahwa kamu bukan pelaku serangan-serangan itu. Tapi sikap kamu yang menuduh sembarangan saat ini kelihatan seperti mencari kambing hitam."
Emosiku tersulut. "Aku nggak mencari-cari kambing hitam! Aku ingin mencari pelaku yang sebenarnya dari semua serangan ini, Carl! Aku cuma nggak mau kecolongan lagi seperti waktu di Casa Poca kemarin!"
Carl menatapku selama beberapa detik. Dia juga kesal. Aku belum pernah adu mulut dengan Carl sebelumnya, dan ini membuatku nggak nyaman. Tapi aku percaya pada firasatku dan nggak mau diremehkan. Aku nggak peduli seandainya Carl nggak percaya padaku, setidaknya Tara dan Meredith percaya.
Kami berdua terdiam. Carl menghabiskan air mineralnya, dan melempar botolnya ke tempat sampah. Sepertinya dia sedang berusaha menenangkan diri. Aku membelalakan mata lebar-lebar dan menarik napas panjang. Aku tidak mau bertengkar dengan pacarku sendiri. Apalagi gara-gara Antoinette Darmawangsa.
"Apa kamu pernah berpikir bahwa pelaku semua serangan ini..." kata Carl lambat-lambat. "Bukan murid, melainkan guru, Jen?"
Rasanya seperti ada bola boling yang menumbuk punggungku. Aku langsung duduk tegak. Carl juga. Matanya yang tadi memancarkan kekesalan, kini dipenuhi antusiasme. Kami berdua saling tatap tanpa berkata-kata, tetapi aku tahu persis kami memikirkan hal yang sama.
Atau lebih tepatnya orang yang sama.
Guru yang punya reputasi buruk karena sikapnya yang kasar dan kejam pada semua orang. Guru yang dikenal membenci murid-muridnya sendiri dan selalu mengupayakan segala cara untuk menyiksa kami. Guru yang selama ini belum kami ketahui kekuatan pengendaliannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top