18. Belajar Kelompok
"Jen?" Arini muncul di pintuku. "Kamu belum tidur?"
Aku mengecek jam di sudut kanan atas laptop. Jam sebelas malam.
"Sebentar lagi, Arini. Aku tinggal kirim PR ini."
Arini masuk dan duduk di tempat tidurku. Asisten Mom itu sudah memakai jubah tidur. "Kamu belajar terlalu keras belakangan ini, Jen."
Carl juga bilang begitu waktu aku lagi-lagi menolak ajakan nge-date minggu lalu. Aku memaksa diriku belajar terus untuk mengalihkan pikiranku dari apa yang terjadi di sekolah. Di tengah timbunan PR menjelang akhir semester ini, aku nggak punya tenaga lagi untuk meladeni segala omong kosong yang beredar. Sebut saja ini pelarian.
"Mom memang mau aku rajin belajar, kan?" kataku beralasan.
"Tapi belajar terus-terusan itu juga nggak baik," kata Arini sambil mengusap punggungku. "Kamu butuh istirahat, Jen. Kelihatan banget kamu lagi stress."
"PR-ku banyak banget, Arini."
"Kenapa kamu nggak ajak teman-teman belajar kelompok lagi kayak waktu itu?"
"Soalnya..." Itu ide brilian, tetapi gara-gara insiden di kolam, jadi sulit dilakukan. "Anak-anak yang lain jadi takut sama aku, kan. Aku rasa mereka ogah belajar kelompok di sini lagi."
Arini mendesah, ikut kecewa. "Apa kamu sudah dapat petunjuk soal penyerang Fanny?"
"Lucien Darmawangsa."
"Lucien?" Arini terperangah. "Adiknya Antoinette? Kamu punya bukti, Jen?"
Arini tahu segala yang terjadi padaku di sekolah karena aku selalu cerita padanya. Soal Lucien, aku otomatis melontarkan nama yang belakangan mengusik pikiranku.
"Aku nggak punya bukti. Tapi aku yakin ini ulah dia, Arini."
Arini menggigit bibirnya. Usapan tangannya di punggungku terhenti. "Ini tuduhan yang sangat serius lho, Jen. Apa yang membuat kamu berpikir Lucien pelakunya?"
"Feeling-ku aja. Aku punya firasat buruk setiap kali bertemu Lucien, sama kayak saat-saat sebelum aku dipanggil ke kantor Pak Gino. Lucien belum kasih aku kekuatannya, dan aku kesulitan merasakannya. Kekuatannya aneh. Kadang kuat, kadang lembut. Kadang banyak, kadang sedikit. Kadang diam, kadang bergerak. Aku sama sekali nggak tahu kekuatan apa itu."
"Kalian masih main tebak-tebakan, ya?"
"Aku ragu Lucien bakal kasih tahu aku dengan sukarela."
"Gimana pendapat Tara, Meredith sama Reo?"
"Aku belum cerita ke mereka."
"Kalau Carl?"
Carl. Ini dia. Satu lagi tantangan. "Carl lumayan akrab sama Toni, Arini. Kurasa sebaiknya aku nggak cerita ke Carl. Aku nggak mau Carl menganggapku cemburu sama Toni, lalu menuduh Lucien macam-macam."
"Tapi kamu memang cemburu sama Toni kan, Jen?"
"Aku..." Ugh. "Iya, sih. Sedikit. Tapi aku menuduh Lucien bukan karena Toni, kok."
Arini menurunkan tangannya dari punggungku dan meregangkan jari-jarinya, seperti sedang kebas. "Jen, kamu tahu kalau saya selalu percaya sama kamu. Tapi menurut saya, kamu perlu bukti yang lebih kuat kalau mau menuduh seseorang seperti ini. Coba lihat kejadian kecelakaan pesawat itu. Meski kamu ngotot penyebabnya adalah badai, tapi tanpa bukti, semuanya sulit untuk percaya."
"Buktinya ada, tapi dihilangkan Dewan." Hatiku mulai panas. Tanpa sadar aku membuka laman pencarian Google. "Aku lagi berusaha membuktikan tuduhanku kok, Arini. Aku cuma... kekurangan informasi. Kalau ada satu aja info yang bisa aku jadikan dasar...."
Sebagai gambaran betapa putus asanya aku, saat ini aku sedang mengetikkan 'Lucien Darmawangsa' di Google. Arini mengamati perbuatanku tanpa berkomentar apa-apa. Kutekan tombol Enter di keyboard sambil berharap dengan naifnya akan mendapatkan sesuatu yang bermanfaat dari hasil Googling ini.
Hasil pencarian itu malah banyak memunculkan nama Demian dan Denise Darmawangsa, kedua orangtua Lucien. Demian sang koki terkenal. Denise si pakar cokelat yang mendunia. Sama sekali nggak ada informasi tentang Lucien.
Ini... aneh.
Aku mengeklik laman kedua, ketiga, sampai keempat. Semuanya merujuk pada Demian dan Denise, tanpa ada tanda-tanda kemunculan nama Lucien.
"Seharusnya ada sesuatu, kan?" Arini ikutan nimbrung. "Misalnya info sekolah Lucien di Paris."
"Mungkin agak susah meneliti tentang pendidikan Lucien sebelumnya, Arini. Dia tumbuh besar di Prancis, dan informasi yang bersifat privasi seperti itu dijaga ketat di Eropa."
"Tapi masa akun media sosialnya juga nggak ada?"
"Benar juga. Cowok cakep dan populer macam Lucien pasti minimal punya Instagram, lah."
Aku membuka Instagram di ponselku dan mencari akun Lucien Darmawangsa dan variasi-variasi yang mungkin. Hasilnya nihil. Bahkan teman-teman sekelas sepertinya nggak ada yang mem-follow akun dengan nama seperti itu.
Kecurigaanku semakin tersulut. Lucien bukan jenis cowok yang antigaul – dia malah kelihatan sangat gaul. Kecuali dia pakai nama lain, aku cukup yakin bahwa cowok itu nggak punya medsos sama sekali.
Aku kembali ke Google, lalu mengganti nama Lucien dengan kakaknya.
"Toni juga nggak ada." Arini melongo. "Kok bisa kedua kakak beradik itu sama sekali nggak eksis di dunia maya? Kamu nggak salah mengeja nama mereka kan?"
"Enggak kok, Arini. Aku yakin." Rasa putus asaku telah berubah sepenuhnya jadi curiga. "Ada apa, ya? Yang ada malah informasi tentang orangtua mereka."
"Itu ada laman Wikipedia untuk Demian sama Denise, Jen. Coba kamu cek!"
Aku mengeklik tautan menuju kedua laman Demian dan Denise Darmawangsa, lalu menempatkannya dalam split screen. Informasi tentang mereka tidak banyak, sebagian besar didominasi tentang karier mereka yang gemilang di dunia kuliner. Aku meneliti kalimat-kalimat di layar dengan cepat. Biasanya laman Wikipedia orang terkenal memuat cuplikan tentang kehidupan pribadi mereka. Nama anak salah satunya.
'Demian bertemu Denise saat melanjutkan studi gastronomi di Paris. Denise adalah wanita keturunan Indonesia yang tinggal dan besar di London. Setelah bekerja sebagai pastry chef di Belgia, pada tahun 1997, dia pergi ke Paris untuk belajar mengenai cokelat....'
Bagian kehidupan pribadi Denise juga mirip, seakan penulis kedua laman ini adalah orang yang sama. Jadi Demian dan Denise memang bertemu di Paris.
"Mereka berdua menikah pada tahun dua ribu," kata Arini yang ikutan membaca. Mataku mengikuti kalimat-kalimat itu sampai ke ujungnya.
'Demian dan Denise Darmawangsa belum dikaruniai anak.'
Aku memekik. Arini menahan napas.
Tidak punya anak?
Kami berdua saling tatap selama beberapa detik. Informasi dalam laman Wikipedia memang tidak begitu akurat. Tapi... apa artinya ini?
Aku segera membuka tab baru dan mengetik di kolom pencarian Google: 'anak Demian dan Denise Darmawangsa.'
'Sejak menikah di tahun 2000, pasangan chef ini belum dikaruniai momongan....'
'Lama menunggu, Denise Darmawangsa tidak sabar ingin punya anak....'
'Demian Darmawangsa: Pernikahan saya dan Denise terasa seperti pacaran. Kami masih menunggu kehadiran anggota baru dalam keluarga....'
Semua hasil pencarian, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris menyatakan hal yang sama: Demian dan Denise Darmawangsa tidak punya anak.
"Kalau begitu, Toni dan Lucien itu siapa?" tanya Arini kebingungan.
Firasatku mengatakan aku sudah semakin dekat dengan pangkal dari permasalahan ini. Aku hanya perlu satu bukti lagi. Bukti tak terbantahkan.
Dan ide pun muncul.
Kusambar ponselku dan kucari nomor Billy, si ketua kelas. "Halo, Bill? PR lo udah selesai semua? Belum? Bagus. Gimana kalau besok kita belajar kelompok di rumahnya Toni? Rumah gue lagi mau direnovasi soalnya."
...
Tok, tok, tok.
Jendela limusinku diketuk. Aku melihat Tara dan Meredith sudah berdiri di luar. Aku keluar dari mobil dan bergabung bersama mereka.
"Carl sama Reo udah duluan," kata Meredith. "Lo siap, Jen?"
Aku menelan ludah dan mengangguk. "Siap."
Kami bertiga melangkah mantap menuju rumah itu. Rasanya seperti semester lalu, saat kami nekat menyerbu klub malam Bellagio demi menyelamatkan Carl.
"Lo yakin orangtua si Toni bakal muncul, Jen?" tanya Tara.
"Dia bilang sih begitu," sahutku. "Gue nggak nyangka dia bakal mengiyakan tawaran gue untuk belajar kelompok di rumahnya. Toni cerita ke Carl kalau kedua orangtuanya udah nyiapin hidangan spesial buat kita semua."
"Yang dia maksud 'orangtua' itu Demian sama Denise, kan?" selidik Meredith.
"Harusnya begitu," kataku. "Yuk!"
Rumah keluarga Darmawangsa adalah sebuah istana megah bertingkat tiga yang berada di kompleks perumahan elit di Tangerang. Halaman depannya cukup untuk menampung mobil anak-anak sekelas.
Begitu kami menaiki undakan menuju teras depan, Toni dan Lucien sedang berdiri di depan pintu utama sambil tersenyum layaknya tuan rumah yang baik.
"Jennifer Darmawan."
Lucien langsung menarikku dan mengajak cipika-cipiki. Aku kaget dan hampir mendorongnya, tetapi teringat bahwa itu adalah la bise, cara bersalaman ala Prancis dengan saling menempelkan pipi.
"Langsung ke dalam aja, Jen." Toni juga melakukan hal yang sama. "Anak-anak yang lain udah nunggu. Meredith, langsung mulai aja."
Kami masuk menuju ruang keluarga yang bergaya minimalis tapi nyaman. Carl, Reo dan anak-anak yang lain sudah berkumpul. Rupanya kami bertiga adalah tamu terakhir, karena di belakang kami, Toni menyusul. Meredith sang tutor langsung memimpin belajar kelompok.
"Gimana, Jen?" bisik Tara sambil pura-pura menulis. "Apa lo udah merasakan sesuatu?"
"Belum, Ra. Cipika-cipiki sama Lucien yang tadi itu terlalu cepat."
"Kalau begitu, coba lagi sekarang, Jen!"
Dari sebelah Reo, Carl melirikku dan tersenyum. Dia melakukan isyarat menanyakan kabarku, yang kubalas dengan senyuman dan anggukan yakin. Malam ini aku punya dua misi: menemukan Demian dan Denise Darmawangsa, serta mencari tahu kekuatan Lucien.
Selagi Meredith menjelaskan dan yang lain menyimak, kutajamkan indraku untuk merasakan kekuatan pengendalian asing di rumah ini. Tapi rumah ini luas dan aku masih belum sanggup melipatgandakan pendeteksianku untuk mencakup area seluas ini. Lucien pasti masih ada di sini. Aku merasakan kehadiran beberapa non-pengendali, tebakanku mereka adalah para asisten rumah tangga yang mondar-mandir di dapur. Atau itu mungkin Demian dan Denise Darmawangsa?
Kami mulai mengerjakan PR dan berdiskusi. Acaranya sama seperti belajar kelompok di rumahku, hanya saja konsentrasiku tidak pada pelajaran. Aku dan Tara duduk di sudut ruang keluarga agak dekat pintu menuju koridor, karena aku tahu anak-anak yang lain risih denganku. Carl melirikku lagi, kali ini alisnya terangkat. Dia tahu aku sedang tidak menyimak penjelasan Meredith.
Ayo, dong! Lucien, di mana kau? Demian, Denise, apa kalian ada di rumah ini?
Acara belajar kelompok ini adalah ideku. Aku nggak boleh gagal. Aku harus mengeceknya sendiri.
Setelah satu jam belajar, Toni bangkit berdiri dan menyelinap keluar. Meredith menyadari gerakan Toni lalu mengedik kepadaku. Tara juga menyikutku. Aku langsung memasang tampang kebelet dan ikut berdiri.
"Maaf. Mau ke toilet."
Meredith mengeraskan suaranya, berusaha menarik kembali perhatian anak-anak sehingga tidak sadar akan kepergianku. Tapi Carl menyadarinya. Dia memicingkan matanya padaku untuk meminta penjelasan, tapi aku mengabaikannya.
Koridor itu hanya menuju ke satu arah, yaitu ke belakang, jadi aku menyusurinya. Ada ruangan-ruangan lain di kedua sisi koridor itu, semuanya tak berpintu. Ada satu lagi ruang keluarga yang kelihatan lebih privat, dan ruang baca luas mirip perpustakaan.
Aku melanjutkan perjalananku. Rumah ini besar sekali, dan baru sekarang aku paham kenapa Carl selalu mengeluh capek saat mampir ke rumahku yang juga sama-sama besar. Tidak ada tanda-tanda kemunculan orang lain. Sebuah tangga spiral menjulang ke atas. Mom pasti akan malu setengah mati kalau melihatku berkeliaran seperti maling di rumah orang seperti ini. Apa Lucien ada di atas?
Aku merapat ke tembok dan mulai berjingkat-jingkat menaiki anak tangga itu.
"Jen?"
Uwoooh!
Nyaris saja aku jatuh seandainya tidak berpegangan di birai tangga!
"Toni!" Si pemilik rumah muncul dari balik pintu di ujung koridor. Sial! "Hai! Aku... nyari toilet."
Toni tersenyum ramah. Dia nggak kelihatan kaget atau bingung melihatku mengendap-endap. "Di depan di samping ruang belajar kita ada kok, Jen."
"Oh, ya?" Sial, sial, sial! "Wah, maaf. Aku nggak lihat."
"Nggak apa-apa. Di sini ada yang lebih dekat. Yuk, ikut aku!"
Aku mengekor Toni, menuju ruangan besar yang mengisi seluruh bagian belakang rumah. Ternyata itu dapur. Aku belum pernah melihat dapur seluas ini. Sepertinya ini adalah ruangan terbesar di rumah ini.
Apa ini artinya Demian dan Denise Darmawangsa betul-betul tinggal di sini? Setahuku para chef suka mengistimewakan dapur di rumah, dan menjadikannya ruangan yang paling besar.
Toni menunjuk toilet di dekat pintu yang menuju teras belakang. Aku yang nggak kebelet masuk ke toilet, mengguyur kloset berkali-kali supaya kedengaran "sungguhan", lalu bergegas kembali ke dapur. Ada tumpukan makanan di atas meja marmer. Toni sedang menata makanan-makanan itu, dibantu enam orang pelayan berseragam serba hitam. Melihat jumlah makanan ini, si kembar pasti akan puas.
Aku sengaja berlama-lama dan mendekati Toni. "Kamu yang menyiapkan semua ini?"
"Bukan, Jen. Aku nggak bisa masak." Cewek itu merona. "Papaku yang masak. Mama juga bantu, dia bikin itu...."
Ada enam loyang kue cokelat raksasa dengan hias-hiasan cantik di balik kaca freezer. Dari caranya diperlakukan, sepertinya kue-kue itu amat berharga. Semua orang tahu kalau kue cokelat buatan Denise Darmawangsa harganya bisa sampai ratusan juta rupiah. Apa Toni sedang mengatakan yang sebenarnya?
"Wah, beruntung banget hari ini kita sekelas bisa mencicipi masakan chef terkenal." Aku sebetulnya nggak mahir berpura-pura – tapi penyelidikan harus berlanjut. "Papa sama Mama kamu ke mana? Kok nggak kelihatan?"
"Oh, mereka ada di atas. Bareng Lucien."
Kedengarannya seperti kebohongan. "Kakaknya lagi sibuk begini, malah nggak dibantuin."
Toni tertawa. "Iya, ya. Adik nggak ada akhlak."
Kalau Toni terus-terusan berbohong begini, aku harus mencari cara lain untuk bertemu langsung "keluarga" Darmawangsa yang lain. "Aku nggak percaya kamu nggak bisa masak, Toni. Biasanya bakat itu kan diturunkan dari orangtua ke anak, lho."
"Begitu, ya?" Toni merona semakin parah. Dia sampai salah memasukkan sendok nasi ke dalam mangkuk sup. "Aku memang nggak mewarisi bakat kedua orangtua aku, Jen. Aku sering mencoba masak, tapi semuanya gagal."
"Kalau begitu pasti Lucien yang jago masak."
"Dia juga sama-sama nggak bisa masak. Dia malah lebih parah dari aku."
Kami berdua tertawa keras.
"Aku pikir orangtua kamu lagi di Paris." Aku mencoba lagi. "Soalnya restoran mereka berdua kan selalu ramai."
"Enggak, kok. Mereka lagi libur dan mau menghabiskan waktu bersama anak-anaknya. Orangtua kamu sendiri gimana, Jen? Masih di New York?"
Cewek licik. Dia menyerang balik. "Orangtuaku sering mampir, kok."
Toni bergerak-gerak cekatan, memindahkan peralatan makan dan menambahkan hias-hiasan kecil seperti ketimun di makanan-makanan itu. Terdengar suara tawa dari ruang belajar. Sepertinya anak-anak sudah hampir selesai. Tak lama lagi acara makan-makan bakal dimulai.
Waktuku tidak banyak.
"Sayang sekali aku nggak bisa ketemu orangtua kamu ya, Toni. Padahal aku nge-fans, lho."
"Bukan begitu, Jen. Mereka kecapekan. Baru mendarat tadi siang dari Paris, dan langsung masak sebanyak ini."
"Wah, jadi ngerepotin. Sebetulnya aku cuma penasaran mau ketemu mereka. Tara bilang wajah kamu mirip banget Mama kamu, tapi aku nggak setuju. Menurut aku, Lucien yang lebih mirip Mama kamu—"
KLAANG!
Tumpukan sendok yang sedang dipegang Toni jatuh berceceran di lantai. Tapi dia nggak memungutnya. Cewek itu membeku, sikap ramah dan tenang yang ditunjukkannya padaku lenyap. Raut wajahnya menunjukkan kekagetan yang luar biasa.
Para pelayan melihat reaksi Toni yang tidak biasa itu, lalu cepat-cepat kabur dari dapur.
GOTCHA!
Aku pura-pura merapikan tisu dan menunggu apa yang akan dilakukan Toni. "Aduh, makanan-makanan ini bikin aku lapar! Aku nggak sabar kepingin mencicipi—"
Tiba-tiba Toni memegang tanganku. Dia bukan hanya memegangnya, tapi mencengkeram dengan kuat seakan ingin mematahkannya. Lho, ada apa ini? Aku meringis kesakitan dan mencoba menarik lepas tanganku, tapi Toni menahannya. Cewek itu berbalik menghadapku, matanya melotot.
Dia menyeringai. "Jadi kamu udah tahu...."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top