17. Istirahat
Kata-kata Pak Prasetyo saat dia membebaskan kami dari kantor Pak Gino adalah ramalan tentang hidupku. Beberapa hari berikutnya, ramalan itu menjadi kenyataan.
Berita tentang insiden di kolam menyebar ke seluruh sekolah bak virus mematikan. Kini semua murid dan guru sudah tahu tentang kejadian itu. Sebagian besar terang-terangan menuduhku pelakunya, sementara yang nggak punya nyali hanya bisa berbisik-bisik di belakang. Pak Gino termasuk salah satu guru yang terang-terangan menganggapku bersalah. Aku sudah beberapa kali memergokinya bicara keras-keras entah dengan siapa di koridor dan menyebut-nyebut, "Saya yakin, Jennifer Darmawan terlibat."
Entah karena suka bergosip atau sekedar ingin update dengan isu panas terkini, tampaknya otak orang-orang jadi macet dan menganggapku psikopat berhati keji yang berkeliaran di sekolah untuk membalas dendam pada siapa pun yang tanpa sengaja menabrakku di koridor. Sekarang mustahil membendung kasak-kusuk ini, apalagi sang korban sendiri – Fanny – dengan senang hati menceritakan ulang apa yang menimpa dirinya, ditambahi dengan bumbu-bumbu action (agaknya biar makin seru).
Carl, Reo, Toni, dan si kembar nggak sanggup mengklarifikasi semua gunjingan itu saking banyaknya. Tara dan Meredith juga ikut turun tangan meski mereka nggak ada di TKP saat itu. Kalau sebelumnya aku merasa jadi populer gara-gara harta kekayaan itu menyebalkan, jadi terkenal gara-gara dituduh penjahat lebih mengenaskan lagi.
"Coba lihat mereka," Tara melirik Fanny dan segerombol anak kelas sepuluh yang sedang nongkrong di koridor. "Si Fanny berlagak jadi superhero setelah diserang."
"Padahal kemarin-kemarin dia depresi kan karena kekuatannya hilang," timpal Meredith sinis. "Sekarang dia bertingkah kayak baru selamat dari upaya pembunuhan. Masa dia bilang dia lagi latihan buat PON pas diserang?"
Aku lebih risih pada kata-kata Meredith yang menyamakan kecelakaan Fanny dengan pembunuhan dibandingkan kebohongan Fanny. "Itu kecelakaan."
Meredith terkesiap. "Sori, Jen!" Dia cepat-cepat memasang senyum. "Maksud gue begitu."
"Bukannya dia udah dilarang Pak Prasetyo menuduh siapa-siapa?" bisik Tara, kedengaran makin sebal dengan tingkah Fanny. "Kalian nggak dengar? Dari tadi dia terus-terusan bilang 'Siapa lagi yang ngelakuin ini ke gue selain pengendali yang punya kekuatan itu?'"
"Maksudnya elo, Jen," Meredith berbaik hati memperjelas hal yang sudah jelas ini.
"Kita labrak aja, gimana?" Tara menggulung lengan kemejanya. "Gimana gosip ini bisa berhenti kalau si korbannya sendiri demen nyerocos kayak gitu?"
"Nggak perlu, Ra...." Langsung kucegah Tara. "Kalau digituin, nanti Fanny tambah takut."
"Tapi dia nggak punya alasan untuk takut sama elo, Jen."
"Dia punya alasan. Gue memang bisa melenyapkan kekuatan pengendalian."
Tara membuka mulut untuk membantah lalu menutupnya lagi. Dia tahu yang kukatakan tadi adalah fakta. Kami melewati Fanny dan teman-temannya yang mengerut ketakutan. Tara dan Meredith melempar tatapan dingin pada cewek-cewek itu, sementara aku mencoba tersenyum ramah. Sayangnya nggak berhasil dan malah kelihatan seperti seringai kejam.
Anak-anak kelas sebelas Tesla juga menunjukkan reaksi mereka dengan cara masing-masing. Magda yang selalu ketakutan kini memunculkan perisai api biru di sekelilingnya setiap kali melintas di dekatku, rupanya takut aku akan mencekiknya tiba-tiba. Ramon memungut pensilku saat jatuh di kelas Pengendalian dan memilih mengopernya lewat Reo ketimbang langsung memberikannya padaku, padahal Reo berdiri di belakang kelas. Wali kelasku, Pak Leon, masih bersikap normal, hanya saja dia jadi lebih gugup kalau bertemu denganku dan cenderung menjatuhkan apa pun yang sedang dipegangnya.
Satu-satunya yang nggak terpengaruh adalah anak-anak mantan sepuluh Nobel. Mereka ada di pesawat saat kecelakaan. Mereka tahu aku memakai kekuatanku untuk menyelamatkan kami semua. Hanna dan Emma yang biasanya mampir ke kelas kami sekedar untuk mengagumi Reo kini menyempatkan diri untuk singgah di mejaku dan dengan sukarela memberikan kabar terbaru tentang dunia K-Pop. Karina sudah tiga kali mengirimiku nasi bento bikinannya sendiri, wortelnya dipotong berbentuk hati, rumput lautnya digunting sehingga menyerupai wajah tersenyum, dan saus tomatnya membentuk kata-kata "Semangat!" Azka dan Wynona berkali-kali main sebentar di limusinku saat pulang sekolah, sepertinya ingin membuktikan bahwa mereka masih bisa keluar hidup-hidup dari mobilku dan masih sebagai pengendali.
Hari ini saat istirahat, Carl nggak bisa bareng denganku karena dia dan Toni harus mengikuti rapat para calon pemimpin OSIS. Meredith juga harus mengikuti rapat panitia pengurus festival sekolah yang akan diadakan akhir semester ini sebagai pengganti Casa Poca. Tara nggak masuk karena flu. Yang tersisa hanyalah aku dan Reo.
"Ayo, Jen..." ajak Reo ramah. "Sama aku aja. Nggak apa-apa, kan?"
Cewek waras mana pun nggak akan menolak kalau yang mengajak mereka Reo Sahara.
"Yuk!" Aku mengikuti Reo ke koridor.
Kami mulai berjalan berdua menuju kantin. Reo kelihatan santai dan tidak terganggu dengan tatapan dan bisik-bisik yang mulai berdengung begitu kami ke luar kelas. Saat kami sedang menunggu lift, salah satu cewek berbisik agak keras, "Ngapain si Reo jalan bareng dia?" Reo pura-pura mengabaikan dengan mengecek ponsel. Akulah yang justru terganggu. Reo cowok populer di sekolah. Tidak sepertiku, dia populer dengan cara "baik-baik", dan aku nggak mau citranya sebagai idol terganggu.
Saat lift terbuka, anak-anak yang lain refleks menyingkir, hanya menyisakan aku dan Reo.
"Reo, kamu sebetulnya nggak harus istirahat bareng aku, kok. Aku bisa sendiri."
Reo memasukkan tangannya ke saku celana lalu mengedik. "Aku nggak keberatan sama sekali kok, Jen. Aku kenal siapa kamu. Gosip-gosip itu nggak mempengaruhi aku."
"Tapi kamu bisa kehilangan fans kamu kalau mereka lihat kamu jalan bareng aku."
"Aku lagi jalan bareng teman," kata Reo kalem. "Aku nggak perlu izin dari para fans-ku untuk berteman dengan siapa."
Aku ingin memeluk Reo saat ini. Dia begitu tampan dan baik.
"Omongin yang lain aja ya, Jen," kata Reo. "Ada sesuatu yang mau aku tanyain ke kamu. Ini tentang Meredith."
"Silakan."
Reo tertunduk dan membolak-balik ponselnya di telapak tangan. "Jen, apa kamu tahu kalau Meredith lagi dekat dengan seseorang?"
Ah.
Salah. Harusnya ditulis dengan huruf kapital dan tanda seru. AAAH!
Jelas sudah, kedua sahabatku saling suka. Aku dan Tara sudah curiga tentang Reo dan Meredith. Mereka berdua tahu mereka saling suka, tapi sepertinya masih main kucing-kucingan untuk mengungkapkan perasaan duluan.
Segala gosip-gosip jahat itu tergusur dari kepalaku. "Enggak kok, Reo. Meredih masih single. Dia single banget! Udah gitu anaknya pintar, cantik, rajin, baik hati...."
Reo tertawa. "Aku kenal Meredith kok, Jen. Aku bahkan udah kenal dia lebih dulu dari kamu. Kamu kan baru gabung di semester dua."
"Oh, iya." Aku jadi malu. "Menurut aku, Meredith cocok dengan cowok yang sama-sama good looking, pintar, rajin, dan baik juga."
"Begitu, ya..." Reo memain-mainkan ponselnya semakin cepat. "Salah satu dari si kembar sepertinya sesuai dengan kriteria itu."
Si kembar? Dua setan jahil itu? "Bukan, Reo. Maksud aku, kamu! Kamu cocok sama Meredith!"
Reo merona. Tepat sebelum dia mengatakan sesuatu, pintu lift terbuka. Dua orang cowok berdiri di depan lift. Salah satunya adalah Keanu, senior kelas dua belas, dan satunya lagi junior kelas sepuluh. Mereka tersentak kaget begitu melihatku, dan cepat-cepat menarik Reo keluar.
"Kok LINE gue nggak lo balas, Re?" tuntut Keanu. "Harus sekarang, nih."
"Maaf, Kak!" kata Reo. "Tadi di lift."
"Kak Reo nggak apa-apa?" selidik si cowok junior sambil melirikku takut-takut. "Kak Reo, baik-baik aja, kan?"
"Aku sehat walafiat." Reo menarik tangan si junior itu sebelum dia menghindar dan memaksanya untuk menyalamiku. "Kenalan dulu, deh. Henry, ini Jennifer Darmawan. Jen, ini Henry, bendahara klub karate. Kak Keanu udah kenal sama Jen, kan?"
Henry hanya menyentuhkan ujung jarinya ke telapak tanganku sebelum menariknya kembali. Keanu tersenyum sekilas dan menarik siku Reo.
"Kita harus atur formasi," katanya serius. "Soalnya lombanya udah minggu depan."
"Tapi Kak, aku udah janji mau istirahat bareng Jennifer."
Tatapan syok Henry seakan mengatakan, 'Kak Reo, lo serius mau istirahat bareng dia?'
"Sori banget nih, Jen," Keanu nyerobot. "Klub kita bakal ikut pertandingan karate minggu depan. Salah satu pesertanya cidera, dan kita harus cari penggantinya."
"Oh, no problem." Reo memang ketua klub karate. "Kalau begitu, sampai ketemu di kelas, Reo."
Reo ngotot ingin menemaniku, tapi aku tahu nggak ada gunanya. Kedua anggota klubnya lebih memerlukan dia daripada aku saat ini. Kutarik napas dalam-dalam untuk menyemangati diri sendiri. Ayo, Jen. Kamu tahu apa yang ada di kantin sana. Kamu harus menghadapinya.
Begitu aku masuk ke dalam kantin, gerombolan murid yang ada di sana memisahkan diri seperti laut terbelah, menyisakan sebuah jalur kosong tepat di tengah.
Uh. Rupanya kenyataan memang nggak selalu seindah angan-angan.
Kantin berubah jadi sangat hening. Bahkan para petugas kantin hanya menatapku sambil melongo. Rasanya seperti ada yang menghentikan waktu. Tak disangka reaksi mereka akan separah ini. Aku melewati jalur yang sudah "disediakan" itu, dan dengan panik mencari-cari meja kosong yang bisa kutempati. Hanna dan Emma ada di meja paling dekat, tapi mereka duduk dengan teman-teman sekelas mereka. Wajah anak-anak yang lain itu sepertinya menyiratkan mereka lebih rela membakar diri ketimbang berbagi meja denganku. Anak-anak mantan sepuluh Nobel yang lain sudah duduk dengan kelompok masing-masing, dan sudah pasti nggak suka denganku.
Di meja dekat kios minuman, Fanny Subekti membisikkan sesuatu pada temannya.
"Hei!"
Ada yang mencolek pundakku. Aku berbalik dan melihat satu sosok jangkung dan menawan sedang mengisap lolipop.
"Kamu mau duduk di mejaku?" Dia menunjuk meja di tengah-tengah kantin. "Aku spesial mengundang kamu untuk gabung. Yang lain silakan pindah kalau keberatan."
Telingaku panas, seperti sedang dibakar.
"Nggak perlu, Lucien. Terima kasih."
Seperti pecundang, aku segera kabur dari kantin. Aku nggak perlu dikasihani seperti itu, apalagi oleh Lucien Darmawangsa! Cowok itu mengejarku keluar kantin, tapi aku menyelinap ke dalam sebuah lift yang kebetulan sedang terbuka dan langsung naik ke loteng.
Ya Tuhan.
Sambil memandangi nomor lantai yang terus bertambah, aku bersandar di dinding lift dan mengusap wajahku dengan tangan. Ini sudah kelewatan. Ngapain Lucien sampai harus berbuat begitu? Waktu itu kakaknya si Toni yang menerobos ke ruangan Pak Gino untuk membelaku, sekarang adiknya! Kedua kakak beradik ini seperti lalat yang terus-menerus mengusikku. Apa sih maunya mereka?
Saat lift berdenting terbuka, barulah aku sadar aku betul-betul butuh sendirian.
Aku membuka pintu ke arah loteng. Matahari bersinar terik, cahayanya menimbulkan bayang-bayang pekat di belakang bangunan kubah obsevatorium dan planetarium. Kulepas blazerku dan duduk di bangku panjang yang ada di bayang-bayang itu. Di sini panas, tapi setidaknya aku bisa sendirian.
Aku nggak bisa terus-terusan kabur ke loteng seperti ini. Para sahabatku memang bisa diandalkan, tapi mereka juga punya kesibukan masing-masing. Aku nggak bisa bergantung pada belas kasihan seseorang yang bersedia mejanya kutumpangi saat istirahat. Masalah ini harus dipecahkan. Satu-satunya cara menumpas tuduhan-tuduhan jahat itu adalah dengan menemukan pelaku sebenarnya. Oknum yang telah melenyapkan kekuatan pengendalian Fanny dan kemungkinan juga Dorothea Latuharhary.
Tapi siapa?
Aku sudah memikirkan ini berhari-hari. Tara, Meredith dan Carl juga sudah ikut mencari-cari petunjuk, tapi mereka sama bingungnya denganku. Satu-satunya petunjuk yang kami punya adalah kata-kata Pak Prasetyo: ada yang sedang bermain-main dengan ilusi. Kepala Sekolah tidak mau menjelaskan lebih lanjut, dan aku belum bisa minta bantuan Bu Olena sampai sesi les privatku hari Rabu nanti.
Ilusi.
Itu dia kata kuncinya. Semester lalu memang ada seseorang yang bermain-main dengan ilusi dengan mengacaukan pikiran kami, tapi orang itu sekarang ditahan di rumah sakit jiwa. Dia tidak mungkin melarikan diri karena dalam pengawasan ketat Dewan. Kecuali ada pengendali pikiran lain yang berkeliaran di sekolah. Tapi keberadaan pengendali pikiran selalu jadi gosip terhangat – aku belum mendengar ada anak kelas sepuluh yang punya kekuatan itu, dan setahuku tidak ada senior kelas dua belas yang pengendali pikiran.
Tunggu.
Tunggu dulu.
Masih ada satu orang yang sama sekali belum kuketahui kekuatannya. Dia memberiku kesempatan tapi aku gagal menebaknya tiga kali!
Aku bangkit berdiri dan bergegas lari ke lift. Pasti dia masih ada di sana. Aku hanya perlu mendekatinya untuk merasakan kekuatannya. Kalau dia betul-betul pengendali pikiran, bisa jadi dialah biang keladi semua masalah ini!
Seseorang keluar dari lift dan aku menabraknya karena terburu-buru. Sesuatu yang basah dan dingin tumpah ke bagian depan kemejaku.
"Astaga! Sori, Jen!"
Oh, God. Please. Lelucon macam apa lagi ini?
"Toni!" Kami sama-sama membungkuk untuk memungut gelas jus yang terbalik, kepala kami malah saling berbenturan. "Maaf banget! Seharusnya aku menunggu sampai yang di dalam lift keluar!"
"Padahal aku bawain jus itu untuk kamu," Toni mendesah kecewa dan membuang gelas jus itu ke tempat sampah. "Lucien bilang kamu lari dari kantin. Kata Carl, pasti kamu ada di loteng."
"Carl?"
"Ya. Kita sudah selesai rapat. Carl minta tolong aku untuk mengantar jus itu buat kamu." Toni menawariku beberapa lembar tisu untuk mengelap kemejaku. "Meredith masih sibuk mengurus festival, dan Carl merasa kamu lagi butuh umm... teman cewek. Carl cemas banget, lho."
Aku nggak tahu harus berterima kasih atau bersyukur. Niat Carl mulia sekali, tapi aku lebih memilih ditemani Fanny Subekti ketimbang Antoinette Darmawangsa.
"Aku baik-baik aja, thanks," jawabku tergesa. "Aku justru mau turun ke bawah."
Mata Toni berbinar-binar. "Kalau begitu aku temani, ya?"
"Nggak perlu, Toni. Aku bisa sendiri. Aku—"
"Kenapa, Jen?"
"Toni." Tiba-tiba aku dapat ide. "Adik kamu, Lucien. Dia pengendali apa?"
Toni mengamati wajahku dan meledak tertawa. "Ah, maaf banget, Jen." Dia mengibas-ngibaskan tangan ke wajahku. "Aku nggak bisa bilang. Luc udah mewanti-wantiku supaya tutup mulut. Katanya kalian sedang main tebak-tebakan, dan Luc curiga kamu bakal curang."
Huh. Jadi begitu, ya?
"Nah, Jen. Mumpung saat ini kita lagi berdua, aku mau kasih tahu kamu sesuatu." Toni tiba-tiba menarik tanganku dan meremasnya. "Kalau aku sama Carl terpilih jadi pemimpin OSIS, kemungkinan besar kami bakal sibuk. Aku nggak ada maksud merebut Carl dari kamu atau apa, Jen. Carl udah cerita ke aku alasan dia menyetujui tawaranku – dia melakukannya demi kamu. Mungkin kamu nggak berpikiran seperti ini, tapi aku rasa lebih baik aku bilang aja dari sekarang. Aku harap kamu bisa paham, ya. Aku nggak mau kamu jadi salah sangka."
Aku terkejut sekali Toni bilang begitu sampai bingung harus menjawab apa. Aku sedang memikirkan Lucien dan nggak seharusnya teralih seperti ini. "Nggak masalah, Toni." Aku hanya mengangguk, nggak sepenuhnya ikhlas. "Soal Lucien... apa kamu nggak bisa kasih petunjuk?"
Toni menarikku ke dalam lift dengan riang. "Yang pasti bukan pengendali pikiran!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top