11. Janji Lucien
"Luc!" Kutambah kecepatan lariku. "LUCIEN! TUNGGU!"
"Jen? Ada apa?" Carl mengejarku dari belakang. "Kenapa kamu mengejar Lucien?"
"Nanti aku jelasin, Carl. Aku harus ngomong empat mata sama dia!"
Tiba-tiba Carl melambungku. Dia mengejar Lucien yang sedang berjalan santai menuju kios cokelat, dan menarik kemejanya. Lucien kaget karena ditarik orang asing, tapi Carl menunjukku. Lucien menatapku, lalu mengangkat bahu dengan enteng. Aku berlari menyusul mereka, dadaku seperti mau meledak karena, ya ampun, kenapa-sekolah-ini-luas-sekali-sih?
"Jennifer Darmawan," kata Lucien begitu aku berhenti di depannya.
"Lucien...." Aku membungkuk dan bertumpu di kedua lututku. Kenapa cowok ini cepat sekali menghilang? Apa dia pengendali portal?
"Jennifer ingin ngomong sesuatu sama kamu," kata Carl datar. Dia menarik napas dalam-dalam, dan menepuk pundakku. "Aku akan tunggu kamu di koridor, Jen."
"Carl, nggak usah pergi," cegahku. "Kamu bisa ikut, kok."
"Nggak apa-apa, Jen," Carl tersenyum dan berbalik pergi. "Kamu bisa cerita ke aku nanti."
"Bye," Lucien melambai ramah pada Carl. "Eh, Jen, siapa sih cowok itu?"
"Carl Johnson," jawabku. "Pacar aku."
"Carl?" Lucien mencabut lolipopnya dari mulut. "Pacar?"
"Iya." Kupikir Lucien sudah tahu. "Bisa nggak kita ke tempat yang lebih sepi? Aku nggak mau pembicaraan kita didengar orang lain."
"Ohohoho!" Lucien mengusap-usapkan kedua tangannya. "Obrolan rahasia!"
Aku mengajaknya untuk bersembunyi di sebuah pilar besar di koridor menuju lapangan parkir. Di jam istirahat begini, nyaris tak ada anak-anak yang pergi ke tempat ini. Lucien menungguku mengatur napas sambil menghisap lolipopnya dengan tenang.
Begitu napasku sudah lancar kembali, aku langsung menanyainya. "Kamu dengar kan apa yang dibicarakan Pak Prasetyo dengan orang-orang dari Dewan di lobi tadi?"
Lucien memindahkan lolipop itu bolak-balik ke sisi kanan dan kiri mulutnya dengan cepat. "Iya," katanya. Dia melepas lolipopnya dan mengacungkannya padaku. "Mau permen? Aku punya satu lagi di kantong. Rasa anggur."
"No, thank you," tolakku sopan. "Apa kamu tahu mereka membicarakan apa? Atau siapa?"
Lucien menyipit. Tatapannya serius tapi tingkahnya yang menghisap permen itu masih tengil. "Kurang lebih. Orang-orang dari Dewan itu mengatakan salah satu kerabat mereka kehilangan kekuatan pengendaliannya secara mendadak. Kalau nggak salah namanya Dorothy...."
"Dorothea. Dorothea Latuharhary. Apa lagi yang kamu dengar?"
"Umm..." Lucien menggaruk pelipisnya. Aku jadi bingung apa cowok ini sedang serius atau bermain-main. Sulit menebak pikirannya kalau hanya melihat tingkahnya. "Mereka juga menyebut-nyebut soal kamu. Soal kekuatan pengendalian kamu. Sepertinya itu ada hubungannya dengan apa yang dialami si Dorothea ini."
Ah. Tebakanku benar. Lucien memang menyimak semua isi obrolan itu. Meski cowok ini berlagak cuek, tapi aku tak boleh mengambil risiko. Aku harus memastikan dia mengunci mulutnya. Dan kuharap ini jadi pekerjaan yang mudah, karena kami sudah saling kenal.
"Luc, apa kamu tahu kekuatan pengendalianku?"
Cowok itu tersenyum menggoda. "Aku harus tebak, ya?"
Jam istirahat sebentar lagi selesai. Aku tidak punya waktu untuk main tebak-tebakan, tetapi demi membungkam cowok ini, aku tidak punya pilihan. "Silakan. Tiga kesempatan."
"Pengendali pengendali."
"Jadi kamu udah tahu..." oke, ini gawat. "Kalau aku pengendali pengendali."
"Teman-teman sekelasku yang bilang. Mereka bilang ada pengendali super langka di sekolah ini," kata Lucien, senyumannya berubah jadi cengiran lebar. "Kita juga udah tahu tentang apa yang terjadi di Casa Poca, kok. Wali kelasku, Pak Gino, yang kasih tahu."
"Wali kelas kamu Pak Gino?"
Lucien mengangguk-angguk cepat, melihatnya aku teringat boneka bobble head yang kepalanya bisa bergoyang-goyang yang sering dipasang di dasbor mobil. "Aku kelas sepuluh Galileo. Katanya kamu bisa mengendalikan pengendali lain dan memunahkan kekuatan pengendalian. Pak Gino juga bilang kamu sedang diawasi Dewan karena kekuatan kamu itu bisa membahayakan pengendali lain. Dia meminta kami berhati-hati sama kamu."
Sekonyong-konyong aku paham. Tingkah anak-anak kelas sepuluh yang selalu kaget dan berbisik-bisik saat berpapasan denganku di koridor, di toilet atau di kantin. Mereka membicarakanku bukan karena aku populer, tapi karena takut padaku. Di benakku muncul bayangan seorang nenek sihir jahat yang berkeliaran untuk menculik anak-anak.
Brengsek! Si monster berhati bengis itu ternyata bermulut ember!
"Tapi aku nggak percaya, Jennifer," kata Lucien. "Aku nggak percaya kamu akan melakukan hal sekejam itu. Makanya aku membuktikan diri sama teman-teman sekelasku dengan mengajak kamu berteman."
Aku merasa sedikit tersanjung mendengar ini. Jadi dia memang sengaja menyapaku waktu kami pertama kali bertemu di depan lift. "Terima kasih banyak."
"Toni juga sering cerita ke aku," sambung Lucien. Dia bertambah dekat, napasnya bisa terasa mengembusi poniku. "Carl banyak cerita tentang kamu ke dia. Katanya kamu nggak seperti yang dibayangkan orang-orang, kok."
Lalu Lucien tertawa lepas.
"Toni?" Kecurigaanku langsung tersentil. "Carl cerita apa lagi ke Toni?"
"Yah, macam-macam," jawab Lucien sambil menggigit lolipopnya. Klutuk, klutuk, klutuk. Permen itu pecah di mulutnya. "Soal kegiatan klub, pelajaran, teman-teman sekelas, kamu. Carl juga meluruskan rumor-rumor nggak jelas setelah Casa Poca selesai dari semester lalu."
Carl belum memberitahuku soal ini. Dia mengakui bahwa dia dan Toni sering mengobrol, tapi dia tidak pernah bilang apa topik obrolan mereka. Dan aku juga nggak pernah menanyakan, karena perasaan aneh itu menderaku dengan hebat setiap kali aku mendengar Carl bercerita tentang Toni. Tapi sepertinya obrolan itu bisa berfaedah.
"Kamu nggak perlu khawatir, Jennifer," kata Lucien sambil merogoh sakunya. "Aku bukan tukang gosip. Dan aku nggak percaya kamu terlibat dengan apa yang menimpa si orang Dewan itu. Aku nggak peduli kamu ini pengendali pengendali atau apa. Di mata aku, kamu cewek yang baik, kok."
Lucien menyodorkan setangkai lolipop baru padaku. Dari labelnya aku bisa membaca tulisan 'Rasa Anggur'. Apa sebaiknya kutolak lagi? Tapi Lucien sudah menawariku dua kali, dan Mom selalu bilang tidak sopan menolak pemberian orang sampai dua kali.
Tiba-tiba Lucien meraih tangan kiriku, menyelipkan permen itu ke dalam telapak tanganku, meremasnya, lalu menyorongkannya ke arahku. Gerakannya begitu lembut sekaligus tegas, tanpa ada paksaan sedikit pun, sehingga aku hanya bisa melongo.
"Tenang aja. Aku janji..." dia berdecak puas, mengusap poninya dengan cool, lalu berbalik pergi. "Rahasia kamu bakal aman sama aku, Kak Jennifer Darmawan."
...
Saat jam pulang sekolah, aku melihat limusinku muncul di halaman. Arini menungguku di samping pintu yang terbuka. Beberapa anak berdiri di dekat mobil sepanjang sepuluh meter itu sambil memandanginya dengan kagum. Wah, padahal aku sudah berhasil meyakinkan Mom supaya mengizinkanku menyetir mobil sendiri! Tara dan Meredith yang berjalan bersamaku mendelik, lalu cepat-cepat memisahkan diri menuju mobil masing-masing karena malu. Reo berbalik dan berpura-pura kotak pensilnya tertinggal di kelas. Carl memberi kode bahwa dia akan meneleponku, dan aku mengiyakan sebelum cepat-cepat masuk ke dalam limusin.
Kalau kalian pikir ke mana-mana naik limusin itu keren, kalian salah. Yang ada adalah memalukan. Sangat memalukan. Apalagi kalau kalian sama-sama murid SMA sepertiku.
"Mobil kamu akan diantar supir," kata Arini sambil meminta kunci BMW yang kusetir. Kuserahkan kunci itu. "Maaf saya muncul mendadak begini, Jen. Nyonya Darmawan minta kamu diantar jemput seperti dulu mulai hari ini."
Pintu ditutup, dan limusin kami melaju meninggalkan sekolah.
"Kenapa, Arini? Mom kan udah ngebolehin aku nyetir sendiri."
"Masalah keamanan," jawab Arini singkat. "Penyelidikan kecelakaan pesawat itu semakin berlarut-larut, karena penyebab kecelakaannya masih belum bisa dipastikan. Tidak ada bukti soal badai. Polisi mau memeriksa kamu lagi, tapi Nyonya Darmawan tidak setuju. Beliau khawatir kamu dibuntuti polisi, makanya mulai sekarang saya ditugaskan mengantar kamu ke mana-mana."
Aku berbalik dan menatap lewat jendela belakang limusin. Sebuah motor hitam besar sedang mengikutiku, dikemudikan Sakti si pengawas dari Dewan Pengendali.
"Orang Dewan itu masih mengikuti kamu, ya?" tanya Arini. Dia sudah tahu soal Sakti.
Aku mengangguk. Kuceritakan pada Arini tentang kabar mengejutkan yang kucuri dengar dari obrolan Pak Prasetyo soal insiden yang menimpa Dorothea Latuharhary. Arini kelihatan bingung. Sebagai seorang non-pengendali, kejadian-kejadian menyangkut kekuatan pengendalian ini pasti terdengar seperti isi novel fantasi untuknya, tapi sejauh ini Arini berhasil memaklumi. Saat bercerita, aku jadi sadar betapa gawatnya keadaanku saat ini. Aku terdesak. Orang-orang Dewan mengincarku, polisi ingin menginterogasiku, anak-anak di sekolah takut padaku, dan para guru khawatir soal kekuatanku.
Di akhir cerita, Arini juga kelihatan khawatir. Dia termenung beberapa saat.
"Saya ikut prihatin kamu harus mengalami semua ini, Jen," kata Arini "Tapi kamu nggak perlu pusing soal penyelidikan polisi itu. Saya akan memastikan semuanya akan diselesaikan tanpa perlu mengungkit-ungkit kamu lagi."
"Terima kasih, Arini." Aku bersyukur atas bantuan ini. "Kalau urusan itu bisa selesai, setidaknya satu masalah teratasi. Aku rasa Mom mungkin bakal memakai trik-triknya."
Rahang Arini mengetat. Dia menegakkan punggung dan pura-pura mengatur tisu di kotak. Sebagai salah satu wanita terkaya di dunia, Jacqueline Darmawan punya "trik-trik" khusus untuk mengatasi urusan seperti ini. Aku pernah bertanya apakah "trik-trik" Mom ini ilegal, dan Mom hanya menjawab, 'Dunia ini tidak hitam putih seperti papan catur, Jennifer.'
Untuk masalah ini, pertama kalinya dalam hidupku aku menyerahkannya sepenuhnya pada ibuku. Aku nggak berniat untuk terlibat lebih jauh.
"Soal urusan dengan Dewan Pengendali itu..." suara Arini sudah kembali. "Saya menyesal tidak bisa banyak membantu, Jen. Sepertinya untuk ini kamu harus menanganinya sendirian."
"Nggak apa-apa, Arini." Kalau menyangkut pengendali, Mom sama sekali tidak punya kuasa. Dewanlah yang berkuasa. Untuk yang satu ini aku memang sendirian. Betul-betul sendirian. Nggak ada yang bisa membantu.
Kuhempaskan tubuhku ke jok mobil yang empuk lalu memejamkan mata. Kepalaku mulai pening. "Semoga semuanya segera berakhir."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top