We laughed and laughed to cry
Kamar Ronald kosong sewaktu aku membukanya keesokan hari. Padahal ini hari pertama kuliah dijalankan lagi, setelah kelasku diliburkan hampir dua minggu. Kasur yang dingin dan rapi menunjukkan bahwa ia sudah lama pergi, entah lewat mana, sebab kunci pintu depan menancap di pintu. Vincent masih tidur di sofa ketika aku berderap turun dan memberitahunya. Dengan linglung, ia mengikutiku menaiki mobil dan mulai mencari Ronald.
Kami bermobil keliling Boston, dan percayalah itu sangat menyengsarakan. Mula-mula kami ke kampus dan menunggunya sampai jam kuliah pertama dimulai, tetapi ia tidak ada. Kami tentu saja tidak masuk ke Cassius Hall, sebab kebetulan sekali mata kuliah pahat Pak Wahlberg yang menjadi pembuka pagi ini. Aku ogah hadir, dan Vincent tentu saja harus berhati-hati. Jadi kami buru-buru pergi, menyantap sarapan di tempat sekiranya kami tidak bakal ketemu orang dikenal, dan mencarinya lagi.
Kami melanjutkan pencarian; ke apartemen lamanya, ke pub tempat ia terakhir kali bekerja, bahkan ke Iggy Biggy's—siapa tahu dia sedang ingin ke sana—dan tetap tak menemukan Ronald. Kami juga berulang kali telepon ke rumah karena siapa tahu ia sudah pulang, barangkali dia baru kembali dari belanja atau apalah.
Namun kami tak bisa menemukannya.
Waktu menunj ukkan pukul dua siang saat kami menepi di luar apartemen lama Ronald di Lower Roxbury. Kami baru saja lewat depan rumah Vincent lagi, tetapi tak ada tanda-tanda dirinya di sana. Kami lelah, waswas, dan terkungkung dalam kehangatan mobil sementara cuaca sedang dingin di luar sana. Gerimis mulai turun.
Vincent merosot di jok penumpang sementara aku bersandar pada stir. Mataku berusaha mencari sosok Ronald di antara beberapa pejalan kaki dan rintik gerimis.
"Di mana keparat itu?" Vincent mendesah.
Aku cemas itu berhubungan dengan traumanya. Kalau benar begitu, maka ke mana ia biasa pergi? Apakah ia memiliki tempat 'aman' sendiri? Aku tak pernah menanyakan itu, dan mengira bahwa dia tidak bakal kambuh, tetapi aku sangat keliru.
Kumohon, kumohon, kumohon.
Semoga Ronald tidak—
Aku menegakkan tubuh. Ronald. Aku melihatnya baru saja belok kemari dari arah tikungan. Namun hatiku mencelus saat menyadari bahwa langkahnya limbung, dan seorang ibu-ibu tua yang berpapasan dengannya terlihat kaget.
"Vince!" sentakku. Aku spontan melompat keluar mobil dan Vincent mengikutiku tanpa keraguan lagi. Kami tak pernah berlari sekencang itu saat menghampiri Ronald, yang tertatih-tatih dan bersandar pada dinding untuk menjaganya tetap berdiri.
Aku tidak tahu apakah aku menangis atau itu tetesan gerimis di pipiku, tetapi aku nelangsa melihatnya babak belur dan bersimbah darah. Satu matanya bahkan bengkak dan tak bisa dibuka lagi. Giginya rontok dan darah menggenang di bawah lidahnya.
"Ron, Ron!" aku spontan menariknya dan bobot tubuhnya ambruk di pundakku. Vincent membantu kami. "Ke mobil. Cepat."
Ronald bergumam tak jelas sepanjang jalan. Sesekali ia menggeram kesakitan, batuk-batuk, dan memuntahkan ludah bercampur darah di jok mobil. Vincent mendesis dan kuperingatkan bahwa aku tidak masalah dengan itu semua.
"Ron, kumohon," kataku memelas, "kau harus ke rumah sakit, ya?"
Ronald akhirnya meraung. Ia tidak sanggup mengatakan hal sesederhana "tidak" dan gerungan itu cukup menjelaskan. Ia lalu muntah darah sungguhan. "Kuhh ... mohonn." Ia memaksakan diri. Satu kata lagi dan ia pasti akan menyayat tenggorokannya. "Puhh ... lang."
Aku menahan desakan untuk tidak menangis. Padahal rumah sakit begitu dekat di depan tikungan sana, tetapi aku harus berbelok ke arah North End. Aku benci kenyataan bahwa aku tidak bisa mempersuasi tentara itu, dan bahwa Vincent pun tak berguna di saat seperti ini. Aku mengharapkannya untuk ikut-ikutan memengaruhi Ronald tetapi dia diam saja, selian mengusap-usap pundak Ronald yang tidak sakit.
"Sumpah." Aku mengumpat sepanjang jalan mengebut menuju rumah Vincent. "Kenapa kau sangat mengeyel, sih, Ron?"
Ronald tidak bersuara, tetapi aku mendengar Vincent berbisik lembut padanya. "Apa? Kau mengatakan sesuatu?"
Kuawasi dari kaca pengemudi bahwa Ronald komat-kamit tanpa suara. Vincent mengangguk, lalu berkata padaku. "Dia bilang dia hanya mau kau obati."
Aku menggertakkan gigi. Dia kira aku siapa? Dokter?
Kesadaran itu menghantamku di saat yang bersamaan. Aku memang bercita-cita jadi dokter. Aku selalu bangga mengatakan bahwa aku calon dokter bedah kepadanya, dan aku pernah mengobatinya.
"Bajingan kau, Ron," kataku, dan sebatas itu yang bisa kukatakan.
Aku belum dokter. Apa yang bisa kulakukan?
Kutancap gas semaksimal yang kumampu. Kami tiba di depan rumah Vincent beberapa saat kemudian, lantas cepat-cepat membopong Ronald masuk. Ia menolak untuk disandarkan pada kursi makan. Ia menghendaki agar diistirahatkan di lantai dua, di antara patung-patung dan lantai berselimut serpihan alabaster yang belum tersapu bersih. Ia juga menolak untuk duduk di sofa, karena itu tempat sakral Vincent baginya.
Aku cepat-cepat mengurusnya semampu yang kulakukan. Vincent membantuku, meski sangat lambat dan aku gemas mengapa dirinya mendadak tak berguna di saat seperti ini. Seolah mengerti dengan kekesalanku, ia akhirnya mengungkapkan satu fakta lagi.
"Selama ini Ron yang melakukan pekerjaan kasar," katanya. "Dan aku yang menyempurnakannya."
Itu berarti Ronald yang membunuh orang-orang untuknya, dan Vincent menyempurnakan dengan mengawetkan mereka dalam semen basah dan mengukir sesempatnya waktu.
Seiring dengan upayaku untuk menandangi Ronald, aku menyadari bahwa diriku tidak semampu itu untuk membantunya. Ia kerap muntah darah, yang semakin pekat dan menghitam seperti ampas kopi. Wajahnya pucat. Lebam-lebamnya tak tertolong dan napasnya tak karuan. Aku terduduk lemas saat menyadari kenyataan yang perlahan menghampiri.
"Ron, kumohon." Air mata pertama meluncur di pipiku. "Kumohon, ayo ke rumah sakit."
"Tidak." Ia sudah bisa berbicara sekarang. Sebagian wajahnya bengkak parah.
"Ron, kau bisa ...." Aku menelan ludah. Kuharap hujan yang turun deras di luar sana bisa menyamarkan suaraku, tetapi tidak. Vincent, yang merenung di sisi kami, bisa mendengarku dengan jelas.
"Ron, kau bisa mati," kataku lemas. "Kau perdarahan internal." Tentu saja tak sekadar perdarahan internal, tetapi orang awam seperti mereka cukup diberitahu garis besarnya saja.
Ruangan senyap. Ronald tak bergerak, tetapi matanya yang tidak lebam mengedip berulang kali seperti mengusir genangan air mata.
"Biar."
"Ron, demi Tuhan, kumohon."
"Biar." Ia membuang muka dariku. "Aku pengecut."
"Apa maksudmu?" Vincent akhirnya bersuara. "Kau sama sekali tidak pengecut."
"Aku." Ronald menggeram. "Pengecut."
Ia mengangkat kedua tangannya, masing-masing untuk kami. "Ayo," katanya, saat aku dan Vincent diam saja. "Cepat."
Kuusap air mataku dan menurutinya.
"Cengeng," ujarnya.
"Kau yang mengotot, bedebah. Kenapa kau tak mau melakukannya?"
"Ada apa dengan rumah sakit?" tanya Vincent, dan saat aku melemparkan tatapan tajam kepadanya, lelaki Italia itu menggeleng pelan. "Ia mesti mengakuinya kalau dia sangat berani untuk menjemput kematian seperti ini. Tak ada satu pun hal pengecut tentang Ronald."
"Vince." Aku mendesis. "Bicara satu kata lagi dan kuhantam kau."
Ronald tahu-tahu tertawa, tetapi aku sarankan kau tidak membayangkan itu. Suara tawanya seperti kelinci yang meringkik saat lehernya disayat. Tawanya tertahan oleh rasa sakit yang menyayat-nyayat tenggorokannya yang lebam.
"Rumah sakit," katanya terpatah-patah, "mengerikan. Dulu aku tentara. Tahu kan." Bicaranya juga agak ngawur. Tentu saja kami tahu dia pernah jadi tentara. Semua di kampus tahu. "Aku nyaris mati di perang, lalu diobati. Gila ... gila. Dan begitu mereka masih ingin ... aku kembali ... ke medan perang."
Ia menangis.
"Gila," ulangnya. "Mereka tak izinkan aku pulang. Tapi mereka ingin aku berperang. Untuk mereka."
Ronald tak pernah suka diingatkan akan Spanyol. Aku tahu ia dulu sempat tinggal di Spanyol selama masa kecil. Masa yang indah, katanya, sampai ayahnya mengajak ia mengadu nasib di Amerika untuk mencari peruntungan sebagai seniman, sebagaimana arus migrasi para seniman Italia dua puluhan tahun lalu.
Namun Ronald tak seberuntung itu.
"Aku seniman." Dia ingin tertawa, tapi berakhir batuk dan sepercik darah muncrat dari mulutnya. Aku mengusapnya dengan miris. "Aku bukan tentara. Tapi mereka paksa. Sekadar tubuhku besar."
"Cukup." Vincent menghela napas. "Aku sudah mengerti."
Ronald menurut, padahal kukira dia akan bercerita panjang lebar, mengutuk Amerika Serikat dari lubuk hati terdalamnya.
"Vince," katanya lagi. "Terima kasih sudah menerimaku."
"Sama-sama."
"Ced?" lanjutnya. "Terima kasih atas cokelat panasnya."
"Diamlah." Aku berusaha untuk tidak menangis lagi. "Keparat kau."
"Vafanculo."
Vincent tersenyum kalut. "Vaffanculo."
"Ya, Vaffanculo," ulangnya, lalu bahunya bergetar karena ia menahan tawa. Ia benar-benar ingin tertawa. "Tidak, bercanda. Aku sayang kau."
"Jijik." Aku tertawa, disusul air mata kedua dan ketiga yang meluncur deras. "Diamlah."
"Jijik juga. Kadang-kadang ... aku berharap ... aku adalah cewek jadi bisa bilang 'aku cinta kamu' pada sesama gadis dengan bebas."
"Ron," kata Vincent lembut. "Ke rumah sakit, ya?"
Ronald menggeleng pelan. Ia meremas tangan-tangan kami di genggamannya, tetapi itu tidak lebih dari sekadar tekanan lembut. Jarinya gemetaran.
"Boleh minta tolong?"
"Ya?"
"Aku memang pengecut," bisiknya. "Tapi ... aku mau mat—dikenang ... sebagai pahlawan, dong .... Bisa?"
"Bicara apa kau?" dengusku. "Kau sejak dulu pahlawanku. Perundung juga, sih."
Ujung bibir Ronald tertarik.
"Dan dari mana kau tadi?" aku sampai lupa menanyakan muasal situasinya. "Kenapa kau bisa seperti ini?"
Saat aku menanyakan hal itu, Ronald menatapku lekat-lekat. Sungguh mengikis asa melihat wajahnya bengkak seperti itu ketika dia biasanya selalu terlihat keras dan menantang dunia.
"Aku dengar semalam ...," bisiknya. "Penjara ... aku tak mau."
Hatiku mencelus. Ia kabur? Jadi, ia memutuskan untuk kabur setelah mendengar obrolanku dengan Vincent.
"Ron, sumpah, semua itu belum tentu—"
"Aku pengecut," ulangnya. Ia mengalihkan pandangan kepada Vincent. "Aku pergi ... tapi malah ketemu gengnya Fillman." Tatapannya penuh arti kepada sang lelaki Italia. "Mereka tahu itu kita."
Vincent mengatupkan bibir. Amarah memenuhi wajahnya. "Aku akan—"
"Tidak ...," bisik Ronald lambat. "Aku saja ...."
Kami sampai harus mencondongkan tubuh agar bisa mendengarnya berkata-kata. Ia menghela napas. "Ayo tidur saja," katanya. "Aku mengantuk."
"Ron, kumohon."
"Tidurrr. Kumohon," desisnya. "Sini. Aku belum selesai."
Aku dan Vincent bergeser di masing-masing sisinya, bersandar pada dinding dan memandang ke arah yang sama: patung Ibu yang masih 70 persen jadi. Sebelumnya aku tak terlalu memedulikan itu, tetapi kini—dengan tangan Ronald di genggamanku—aku mampu menikmati hasil pekerjaan sang pemuda Spanyol.
Ternyata aku masih bisa melihat patung itu bersamanya.
"Kalian pasti cari aku seharian, kan?" katanya. "Capek, kan? Ayo, tidur saja ...."
"Kau belum selesai bicara," kata Vincent memperingatkan. "Apa yang ingin kau katakan?"
"Ah, ya," suara Ronald kian melemah. "Mm ... yah ... setidaknya aku mau selalu dikenang."
Ada keheningan cukup lama. Aku tahu apa yang ia maksudkan, tetapi aku tak mau mengatakannya.
"Tolong jangan gila," kataku.
"Maaf itu klise," gumamnya.
"Tidak, itu tidak klise," sahut Vincent. Suaranya sangat tenang dan mantap. "Pahlawan itu memang pantas diabadikan."
Tekanan jari Ronald di genggamanku menguat. Meski tak menatapnya, aku tahu ia tersenyum.
"Oke," katanya. "Ayo tidur."
Namun aku tak bisa tidur. Aku memandang patung Ibu dalam diam. Meski aku letih dan mengantuk, tetapi air mata yang mengalir satu per satu membuatku selalu terjaga. Bagaimana aku tidak menangis jika tekanan di jariku perlahan menguat, kemudian melemas, kemudian tak ada pergerakan lagi?
Aku memejamkan mata, sesenggukan, dan tak peduli seberapa kuat aku menggenggam tangan Ronald untuk mendengarnya merintih kesakitan, aku tak mendengar apa-apa lagi selain derak hujan.
* not me ugly crying writing this. i hate angst with my whole heart
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top