There were no fun stories to tell
Aku mengakhiri aktivitas perkuliahan pertama dengan pergi ke toko peralatan seni di Margoway Rd.. Aku tidak sendirian. Ronald ikut bersamaku karena ingin memastikan keberadaan para perundung, dan Vincent mengekor bagai anak kehilangan orang tua.
Selagi Ronald celingukan di luar toko, Vincent membantuku untuk memasukkan sejumlah sabun kastil ke dalam keranjang. Itu pertama kalinya aku melihat sabun kastil sejak terakhir menyentuhnya semasa sekolah dasar untuk tugas. Aku tak mengira bahwa tugas pertama di mata kuliah seni pahat adalah mengikir sabun.
"Sabunmu, Ron," ujarku saat keluar toko. Kami membagi jumlah sabun dengan adil. "Kau menemukan Fillman?"
Ronald menggeleng dengan bibir melengkung pongah. "Tapi aku melihat salah satu kroconya lewat tadi. Sudah kuancam."
Aku mengangguk, meski kurang lega. Kalau begitu saja, biasanya Josh Fillman bakal datang dan mengancamku balik. Apalagi setelah ini aku menemui Janet, pacarku.
Asal kau tahu, perundungku—Josh Fillman itu—adalah sahabatnya Janet. Dan dia merundungku bukan tanpa alasan.
Vincent mendengarkan dengan penuh ketertarikan. Ia agak berbeda dengan tadi pagi, mungkin karena kami sudah mengobrol cukup banyak di kelas. "Kau diganggu orang, Hayward?"
Ronald yang menjawab untukku. "Hanya orang-orang yang iri dengan Cedric. Dia kaya betul."
Aku tersenyum tipis, tetapi agak malu juga kalau Ronald bilang begitu. "Fillman itu sahabatnya pacarku. Dia nggak terima kalau sahabatnya yang super top dipacari orang biasa sepertiku."
Ronald mendengus. "Justru pacarmu bakal bodoh kalau tak mau pacaran denganmu."
Vincent mendengarkan kami dengan senyum mafhum, bagai seorang senior yang mendengarkan keluhan para mahasiswa baru soal lika-liku kehidupan kuliah. Saat aku pamit untuk menemui Janet, mereka pun memutuskan untuk pulang juga.
Aku berjalan menuju ujung satunya Margoway Rd., tempat kelabku dan Janet berada.
Omong-omong, aku bukan satu-satunya mahasiswa tersesat di Fenway. Pacarku dan sejumlah mahasiswa yang tersebar di berbagai jurusan dan tingkat juga merasakan hal yang sama. Bukan kebetulan mereka tergabung di kelab debat—satu-satunya kelab yang sama sekali tak berhubungan dengan seni. Kalaupun ada hubungannya, itu adalah topik-topik sejarah seni yang mereka perdebatkan.
Itu tidak berguna, dan jarang ada kompetisi debat yang membahas sejarah seni. Tetapi sebagaimana presiden kelabnya adalah seorang diplomat sejati (yang berjuang mendaftar ke Yale setiap tahun), mereka berhasil meyakinkan kampus bahwa ini waktunya melebarkan prestasi yang tidak melulu berpusat di pameran dan kompetisi pentas saja. Sejauh yang kutahu, mereka hanya pernah ikut kompetisi debat dua kali di empat tahun terakhir ini dan menghabiskan mayoritas waktu untuk mempelajari materi kuliah dambaan kami.
Nama kelabnya Fenbye (kau bisa melihat guyonan di namanya? Fenbye. Fen-bye. Haha) dan papan pelat emasnya mengilap disiram cahaya sore matahari saat aku mendekat. Kumasuki bangunan dua lantai bekas rumah pendiri kampus itu.
Baru saja aku membuka pintu, sesosok berjubah merah darah menerjang.
Aku menjerit. Para anggota kelab yang sedang duduk-duduk spontan tertawa keras, dan aku baru sadar bahwa sosok bertopeng segitiga tinggi itu tak lain adalah Janet sendiri. Janet tertawa puas saat melepas topeng mengerikan itu. Rambut pirangnya yang dicatok pun berantakan.
"Ya ampun Ced, reaksimu masih sama seperti dulu!"
Aku mendesis gemas sambil mengusap-usap dada. Untung saja aku menyukainya. Coba kalau tidak.
Janet memeluk lenganku. "Mari kita naik ke ruanganku, Sayang. Aku mau lepas ini. Gerah banget. Kenapa kau terlambat?"
Aku memungut kantong berisi sabun-sabun kastil yang tadi berjatuhan. Melihat belanjaanku, Janet dan kawan-kawan senior lainnya terpingkal-pingkal.
"Ahh, sudah waktunya, ya? Selamat datang di mata kuliah Pak Wahlberg: di mana kita bakal mengulang mata kuliahnya minimal dua kali karena kita tidak terlahir sebagai seniman."
Aku menyeringai jengkel. Inilah alasan mengapa aku cukup tegang dengan mata kuliah seni pahat dan tetek bengek pamerannya. Janet dan senior lainnya menakut-nakuti kalau mata kuliah Pak Wahlberg itu banyak tuntutan, tidak seperti mata kuliah seni lukis Bu Cress, dosen yang sangat toleransi terhadap bakat setiap anak kendati mulutnya pedas.
"Hayward, kalau kau tak mau bersusah payah, lebih baik kau joki di mahasiswa lainnya saja. Nanti karyanya kau kikir tipis-tipis lagi, biar nggak kelihatan bergaya sama. Beres!"
"Hus." Janet menampik saran salah satu kawan kami. "Ced nggak curang seperti kalian. Ayo, Sayang, cepatlah," katanya sembari menarikku menaiki tangga.
Setibanya di ruang kantor wakil presiden kelab, Janet langsung menutup pintu. "Bantu aku!" serunya sambil membungkuk dan mengulurkan tangan. Aku tertawa. Kutarik jubah merah keji itu dari tubuhnya, menyisakan kemeja dan rok standar selutut. Rambut pirang madunya kian acak-acakan.
"Lagi pula kenapa kau pakai jubah terkutuk ini lagi, sih?"
"Sekarang dijadikan tradisi tiap masa penyambutan di ospek." Janet menyeringai. Ia menghampiri kaca untuk menyisir rambutnya yang bergelombang. Cantik. Meski tidak sehebat Ibu, semangat menggebu-gebunya mengingatkanku pada Ibu saat aku masih bocah.
"Apakah ada yang nyaris menabrak kalian dengan mobil lagi?"
Janet tertawa, dan aku tersenyum masam. Sejujurnya itu adalah pengalamanku di tahun lalu.
Bayangkan saja, pada hari pertama masa orientasi, aku disambut dengan orang-orang berjubah ala pengikut sekte sesat. Aku nyaris banting setir—atau menginjak pedal gas, lupa yang mana, pokoknya hampir menabrak mereka—dan itu membuat diriku menjadi bahan tertawaan.
Saat itu aku masih belum paham kalau kau bebas menjadi apapun sebagai mahasiswa seni. Kau bisa menyamar menjadi Roosevelt dan kau akan disalami serta diciumi alih-alih diusir. Kau bisa membuat lagu dari seluruh kata-kata cabul yang kautemui di kamus, meletakkannya sembarangan di kertas seperti melempar kepingan scrabble di papan, dan kau akan dianggap setara Lucille Bogan—menggebrak dan berani.
Well, berani. Satu-satunya hal yang berani kulakukan adalah menyeret anak-anak itu ke pedestal patung, lantas membedah tubuh mereka. Siapa tahu otak mereka terletak di tempurung lutut alih-alih tempurung kepala. Mereka semua edan.
Namun takdir berkata lain. Beberapa bulan kemudian aku justru berkencan dengan salah satu senior yang memakai jubah itu. Sekarang dia sedang melipat jubah di seberang ruangan.
"Jadi? Sudah kau selesaikan latihan soal MCAT yang kukasih bulan lalu?" tanyaku mengganti topik. Aku tak sabar untuk bergegas membahasnya dengan Janet, lalu bertanya pada Ayah untuk setiap jawaban yang salah. Aku berusaha untuk mengandalkan diri sendiri.
"Masih sebagian." Janet mengerucutkan bibir. "Persiapan ospek kemarin benar-benar menguras tenaga. Kau mau menemaniku mengerjakannya nanti malam?"
Janet mendekat dan mengalungkan tangannya di leherku. Dia tersenyum, dan aku tergoda untuk mengecup bibirnya.
"Maaf, Sayang, tapi Ayah ingin aku pulang cepat malam ini. Bagaimana dengan besok?"
"Baiklah, tak masalah." Janet tersenyum simpul. "Kalau begitu, sebelum kau pulang, aku ingin cerita soal ide baruku. Kau tahu, terkadang aku sumpek kalau terus menghadapi latihan-latihan soal MCAT, dan aku juga belum tuntas baca Gray's Anatomy yang kaupinjamkan musim panas lalu. Jadi aku terpikirkan ... bagaimana kalau kita buat karya seni di sela-sela kebosanan?"
"Apa?"
"Pak Wahlberg bilang ada pameran Boston besar di akhir tahun." Mata Janet berbinar-binar saat mengatakannya. "Mari kita buat satu karya seni untuk dipamerkan. Kita buat lukisan bersama. Bagaimana?"
"Kenapa tiba-tiba?" tanyaku. Jantungku berdebar-debar untuk kedua kalinya. Gadis ini memang hebat untuk membuatku jantungan begitu cepat. "Kau mulai kehilangan harapan untuk masuk HMS?" asumsi itu membuatku lumayan ngeri. Maksudku, hanya aku dan Janet satu-satunya mahasiswa Fenway yang bertekad untuk masuk HMS.
Itu pula alasan aku semula mengencaninya.
Itu semua berawal pada pesta penyambutan mahasiswa baru selepas masa orientasi. Ia mabuk berat. Sebelum ia muntah di hadapan sekelompok mahasiswa lelaki yang duduk-duduk di sofa, ia sempat bercerita kalau ia sebenarnya adalah calon dokter. Namun setelah perceraian orang tua, ibunya berpacaran dengan seorang penyanyi rock dan—dan ia muntah.
Jujur saja, sebelum ia bercerita bagian dokter itu, aku sama sekali tidak tertarik dengan Janet. Baiklah, dia cantik. Sangat cantik malah. Dengan semangat menggebu-gebu, lipstik merah, dan rambut bergelung sempurna yang membuatku ngeri.
Lalu ia mengatakannya: ia adalah calon dokter, dan dia bakal masuk Harvard Medical School setelah lulus dari sini.
Gara-gara itu aku bangkit dari sofa, membopongnya ke toilet, menemaninya muntah-muntah lantas memberikan obat. Ia sempat menceracau, bilang bahwa aku dan dia bisa jadi mahasiswa Harvard tahun depan. Aku setuju. Lalu ia terlelap. Beberapa bulan kemudian kami resmi berkencan.
"Tentu saja tidak, Sayang." Janet tersenyum. Jarinya turun mengusap bahuku. "Tapi aku berpikir rasanya cukup sia-sia jika kita melewatkan masa-masa di Fenway begitu saja tanpa membuat karya yang berarti. Aku tahu kau membenci kampus ini, tapi bukankah manis untuk membuat satu kenangan bersama? Bagaimanapun kita bertemu di Fenway."
Janet berjinjit untuk menciumku lagi. Aku agak telat untuk membalasnya karena sibuk berpikir.
"Yah ... benar juga."
Karya seni memang cara yang tepat untuk merekam kenangan manis. Itu yang kupercaya sejak bertemu dengan Tuan Rose di Museum Ngengat.
"Sempurna. Kalau begitu mari kita mulai berpikir mau melukis apa," bisik Janet, dan membungkam mulutku untuk ciuman ketiga. Ia tidak mengizinkanku untuk bertanya apa-apa lagi. Jarinya turun semakin jauh, membuat sekujur tubuhku menggelenyar dan seketika melupakan rasa kesal.
Namun saat ia nyaris menyentuh lebih dari yang seharusnya, aku seketika meremas bahunya. "Jane, tidak."
Janet menarik diri dengan mata membeliak. "Masih tidak?" sinar genit yang menari-nari di matanya perlahan redup. Ia terkekeh pelan. "Ced, kau sudah 19 tahun ...."
"Yah, well, meski kelak mencapai usia 21 tahun pun aku tetap bertahan." Aku tersenyum culas, membuatnya terheran-heran. "Maaf, Sayang. Namun ada begitu banyak hal yang harus kujaga ...."
Aku tidak ingin membuat Ayah kerepotan dengan hal-hal yang bisa mencoreng nama keluarga. Itu saja.
"Dasar orang kaya banyak aturan." Janet tertawa, menyembunyikan rasa kekecewaannya.
Aku mengecek jam dinding yang tergantung di atas pintu, lalu berkata, "Maaf, ya?" ulangku. "Dan, omong-omong, bulan ini kau mau apa? Tampaknya musim gugur ini bakal dingin banget; kau mau mantel baru?"
Note:
+ Lucille Bogan merilis lagu berjudul Shave Em Dry pada tahun 1924 yang sangat, sangat vulgar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top