The tainted dreams
Satu minggu berlalu sejak hari itu. Aku memimpikan hal-hal aneh yang tak bisa kuingat, tetapi hari ini—menjelang Senin—aku akhirnya memimpikan sesuatu menyenangkan.
Aku bermimpi aku berada di Fontana di Trevi—Air Mancur Trevi—wisata turis yang pertama kali kami kunjungi setibanya di Roma. Persis seperti sepuluhan tahun lalu. Namun aku datang sendirian, kendati ketakutan itu dengan segera tertepis. Semua turis yang ada di sana memiliki wajah Ayah dan Ibu.
Karena seorang diri maka aku memutuskan untuk menaiki salah satu patung kuda yang jinak, melepaskannya dari cengkeraman seorang Triton. Kuda itu sudah terlalu lama menarik kereta kencana Oceanus, pikirku, dan sudah waktunya untuk membebaskannya dari Fontana di Trevi sebelum kuda itu ikutan ngamuk seperti patung kuda di seberangnya.
Saat aku menungganginya, patung kuda itu tahu-tahu hidup dan membawaku menuju Museum Ngengat. Akhirnya, kupikir lagi, aku kembali ke Museum Ngengat. Kukira ini adalah kenangan lamaku yang diubah-ubah oleh mimpi, sebab aku terkungkung di badan kecilku, tetapi aku justru mengingat Vincent Roth. Dalam mimpi aku teringat Vincent karena Museum Ngengat mampu kutemukan di antara delapan puluhan museum Roma lainnya. Museum Ngengat itu sungguhan ada. Bukan sebuah eksistensi yang kukarang sembarangan demi kepentingan basa-basi.
Aku turun dari kuda. Siap untuk menunjuk satu per satu patung ngengat yang kulihat. Namun, saat aku memasuki museum, yang kulihat adalah semua lukisan memuat potret Ibu.
Aku tertegun.
Museum yang biasanya sepi itu tahu-tahu membeludak. Orang-orang berlari melewatiku dan semuanya berwajah Ayah. Mereka mengempasku keluar museum dan bahkan kuda tadi tak bisa menyelamatkanku. Ratusan—tidak, ribuan Ayah menyerbu museum, terpisah-pisah dalam kelompok yang memuja setiap lukisan potret Ibu.
Aku spontan terbangun.
Jantungku berdentam-dentam.
Segala aktivitasku di rumah seketika dibayang-bayangi mimpi itu, dan memburuk saat aku mesti duduk satu meja saat sarapan bersama Ayah. Kesenyapan rumah yang besar, aroma ham goreng dan suara denting pisau saat menyenggol piring, menekankan seolah-olah hanya ada aku, Ayah, dan mimpi semalam di dunia ini.
Aku berusaha mengabaikan itu dengan membawa buku catatan medis Ayah ke meja. Kertas-kertasnya menguning dan banyak bekas tumpahan kopi. Itu adalah catatan tentang segala hal trivia medis dari zaman ia kuliah sampai pengalamannya disertakan pada perang Maroko enam tahun silam.
Selain untuk mengalihkan perhatian, ini adalah salah satu shenanigan kecilku untuk meyakinkan Ayah bahwa aku masih serius betul dengan Harvard.
"Kau melamun, Ced? Dari tadi kau baca halaman itu terus."
"Apa?" aku tersentak, dan buru-buru menggigit sisa roti isi. Aku mengernyit saat menyadari lapisan menteganya lebih tebal daripada daging giling. "Yah, kau mengoles mentega terlalu banyak lagi."
"Oh, maaf. Itu harusnya roti isiku." Ayah mendengus. Ia mendorong kacamatanya naik. "Dan aku bilang, kau sudah membaca halaman itu setidaknya sejak lima menit lalu."
Aku merenggut malu. Kubalik halaman buku catatannya yang berdampingan dengan piring.
Andai ini beberapa tahun yang lalu, Ayah dan Ibu pasti senang melihatku melakukan ini. Meski mereka menyampaikannya dengan sedikit sindiran: oh, lihatlah anak kita yang belajar mati-matian. Akan sangat disayangkan jika Harvard tiba-tiba tak mau menampungnya.
Namun sekarang, Ayah mengawasiku dengan bibir terkatup setipis tisu. "Simpan itu," katanya, dan setelah berpikir beberapa lama, ia menambahkan, "Itu bukuku yang berharga. Jangan ada noda tambahan lagi."
Aku mengecek jariku dan memastikan tak ada bekas mentega di sana. "Aman."
"Sudahlah, Ced." Ayah akhirnya menghela napas. "Kau kira ayahmu bodoh?" aku melirik lagi, menunggu kata-kata selanjutnya. "Aku tahu, aku tahu. Bukankah aku sudah menjanjikan Harvard selepas pameran? Tapi ingat, pa-me-ran."
Aku mendesah. Kepalaku berdenyut lagi.
"Tapi tolong nikmati waktumu di Fenway. Masa-masa kuliah adalah masa-masa paling sempurna untuk mendapatkan sahabat seumur hidup." Ayah mengulurkan tangan. Kukira ia akan merebut buku catatannya, tetapi tangan keriput itu ternyata menangkup jari-jariku. Aku sempat mematung sejenak. Ia menepuk-nepuknya pelan. "Sudah satu tahun kau jadi mahasiswa di sana. Sesekali aku ingin mendengar cerita menyenangkan darimu."
Aku terdiam lagi. Akhirnya kututup buku catatan Ayah dan diam-diam menyimpannya di tasku di samping kursi. "Aku tidak tahu bagaimana caranya menikmati sekolah seni," gerutuku. "Aku sudah menghadiri semua pameran seni di Boston dan tetap tak ada lukisan yang bisa kuinterpretasi."
Aku benci lukisan abstrak. Sangat benci. Di semester satu dan dua, saat kami diharuskan untuk membuat banyak esai interpretasi lukisan, aku selalu mendapat nilai B. Itu bodoh. Padahal aku sudah berusaha keras untuk mengenal jenis cat yang dipakai, teknik lukisannya, kira-kira berapa lama waktu yang dibutuhkan, dan hanya menyertakan secuil pemahaman dari lukisan itu—tentu saja semampuku. Ibu Cress bilang kalau yang terpenting adalah sudut pandangku, dan bukan meneliti lukisan-lukisan itu selaiknya mengamati pertumbuhan biji kecambah. Saat aku menjelaskan bahwa satu-satunya tipe lukisan yang kumengerti adalah veduta*, Ibu Cress menatapku dengan iba.
Sialan.
"Kau tak bisa menginterpretasinya karena kau melihat dengan kedua matamu. Kau harus melihatnya dengan hati."
Aku menatap Ayah seolah-olah ia adalah teman sekamar Pablo Picasso, bukan dokter Michael Hayward yang membantu dokter Michael Debakey*—'kembaran' yang bertemu semasa kuliah—dalam penemuan modifikasi roller pump.
Lalu aku ingat, ahh, dia mengulang kata-kata Ibu. "Memangnya kau bisa?" ejekku.
"Ayah sedang mencoba." Ia terkekeh pelan. "Setidaknya aku paham lukisan potret."
"Ya ampun. Memang makna apalagi yang ada di lukisan potret selain potret orang itu sendiri?"
"Coba tanya para pelukis potret." Ayah tersenyum. "Dan jika kau mendapat jawaban mereka, katakan padaku."
"Kau adalah pelukis potret." Aku mengayunkan tanganku ke arah ruang duduk, yang tepat berseberangan dengan ruang makan kami. Pada sofa-sofa kulit yang warnanya memudar, dua kanvas disandarkan. Satunya adalah percobaan Ayah untuk melukis potret dirinya sendiri selama berkaca, dan satu lagi masih kosong, tetapi ada fotoku yang ditempel di sana.
Ayah melipat tangan saat menoleh ke arah yang kutunjuk. Sesuatu menari di kedua matanya yang kelam. "Sayangnya aku juga sama sepertimu, Ced," ujarnya pelan. "Aku juga tak mengerti lukisan abstrak, tetapi ibumu mengerti. Kalau aku adalah kau, aku sudah pasti akan menulis esai tentang lukisan-lukisan itu sebagaimana dirimu. Dan aku mungkin akan dapat nilai D karena, setidaknya, kau ikut mewarisi secuil jiwa seni ibumu. Sedangkan aku tidak."
"Jangan merendah, Yah. Lukisanmu lebih bagus daripada aku." Ayah belajar melukis selama tiga tahun, tepat setelah Ibu meninggal dan dia memutuskan untuk berhenti sebagai dokter. Aku, yang baru satu tahun masuk Fenway dan masih rutin membujuknya untuk mengizinkanku masuk Harvard setelah lulus dari sini, tentu bukan saingannya.
"Ya, setidaknya aku mungkin bisa mengikir patung sabun lebih rapi daripada kau." Ayah tersenyum culas saat melirik ke arah tasku.
Aku refleks mendorong tasku dengan kaki, menjauh dari pandangan Ayah.
"Aku harus berangkat sekarang." Aku cemas dia bakal membahas tentang patung sabun yang teronggok di dalam tasku. Hasil kerja keras selama seminggu terakhir yang membuatku agak emosional.
* dokter Michael Debakey adalah dokter bedah terkenal keturunan Lebanon-Amerika Serikat yang nyata eksis, sementara dokter Michael Hayward tentu saja tidak (lol).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top