The Roman God has spoken
Pak Wahlberg menyudahi obrolan kami saat mulai menghampiri satu per satu pedestal. Ia membubuhkan nilai pada daftar yang digenggamnya. Kami pun bergegas menghampiri karya-karya kami, memelajari mimik wajah sang dosen saat mengerling sekilas.
Hanya aku yang bertahan paling lama di samping pedestal, gara-gara menaruh patungku di bagian paling akhir. Aku menyesal sekarang. Kegugupanku kian bertambah sementara kawan-kawanku sudah bisa tertawa lega.
Kuperhatikan Pak Wahlberg cukup lama berhenti di depan karya Vincent, memujinya sebagaimana yang lain, dan berkata bahwa seorang kurator muda memang punya level ketabahan yang berbeda. Lalu ia bergeser, melirik pedestal-pedestal lain dengan sekilas, dan akhirnya berhenti di pedestalku.
Aku berharap Pak Wahlberg melewatiku secepat mengacuhkan yang lain.
Dia memang melakukannya, tetapi wajahnya mengernyit. Ia sempat menatapku, dan usai menyadari ekspresiku yang tertekan, ia berbisik.
"Semoga beruntung." Ujung bibirnya berkedut saat memaksakan senyum.
Semoga beruntung untuk apa? Memasukkan lukisan ke pameran Boston nanti?
Segera setelah Pak Wahlberg pergi, aku spontan menyabet babi-kucingku.
Aku menyelundupkannya ke dalam tasku dan mengendap keluar. Kuhampiri tong sampah yang penuh coretan grafiti, dan saat baru saja membukanya, aku mendengar suara familiar itu lagi. Tidak sulit mengenal suara Vincent. Lagi pula aksen italianya mudah dikenali—walau pelafalan r-nya ringan dan sempurna, ia masih sering terselip menekan kata-kata berhuruf ganda. Ronald yang memberitahuku.
"Apa kau mau membuang tasmu?"
Sumpah, aku merinding. Aku berputar dan mendapati Vincent menghampiri. Ia membuang puntung rokok ke tong.
"Tidak," kataku jengkel.
Ia terdiam sejenak. "Kenapa?"
"Ini sampah, dan tong sampah adalah rumahnya."
"Setidaknya kau bisa memakainya sebagai sabun cuci di rumah."
Dia tahu aku berniat membuang karyaku. Namun, di sisi lain, aku juga baru sadar. Benar juga, kenapa aku tidak kepikiran untuk membawanya pulang? Aku terlanjur emosi karena disadarkan betapa tidak pantasnya kuliah di kampus yang bahkan tak kuinginkan.
Tidak jadi masuk Harvard, tapi karyaku setara sampah di sekolah sialan ini? Ha. Padahal andai aku dan semua mahasiswa ini masuk Harvard, aku yakin semua esai mereka sampah dibanding esaiku. Itu sudah jelas. Aku masih bisa mendapat nilai A di semua esai tentang sejarah seni sementara mereka memuja nilai C.
Sedikit tertarik dengan caranya membuatku berubah pikiran, aku lantas mengeluarkan babi-kucing dari tas. Aku menyerahkannya kepada Vincent.
Aku sama sekali tak menduga dia memegang sampah itu semulia pahatan merpatinya.
"Ada apa, Hayward?" tanyanya bingung.
"Katakan apa yang salah."
Vincent mengerjap, lantas memusatkan fokus ke sampahku. Aku melongo dengan caranya mengusap permukaan sabun dan menelitinya bagaikan mengagumi mahkota Ratu Elizabeth.
"Apa yang salah? Tidak ada. Aku tahu kau mencurahkan emosimu dengan cukup baik selama seminggu terakhir. Ini mengingatkanku pada masa mudaku, ketika aku sangat antusias dengan apa yang jari-jariku bisa lakukan terhadap sebongkah sabun ...."
Apa maksudnya kemampuanku setara anak sekolah dasar?
"Ya, jadi?" desakku.
"Ini babi yang manis."
Aku ingin menangis.
"Lupakan saja." Aku merebutnya. Kalau aku tidak bisa membuang ini ke tong sampah, aku akan memotong-motongnya nanti selayaknya tukang jagal profesional di rumah. Pada titik ini, aku berpikir bahwa jika aku tidak bisa jadi dokter bedah, atau seniman, maka aku akan jadi tukang jagal saja.
Saat aku menjejalkan babi-kucing ke tas, Vincent mengawasiku cukup lama.
"Kau tahu, Hayward," katanya. "Bahkan seniman paling hebat sekali pun tidak bisa meniru karya seni Tuhan dengan sempurna."
Mataku kembali menatapnya, tetapi kali ini dengan berbeda. Aku merasakan ada sesuatu yang menggelitik otakku, seolah mencari-cari sebuah kotak kenangan yang menyempil di salah satu sudut.
"Tapi, ukiranmu ...."
"Sekilas memang terlihat persis merpati, kan?" tanya Vincent, tidak berusaha menyembunyikan bakatnya yang luar biasa. Memang demikian kebenarannya. Andai ia sok merendah, itu justru menjadi sebuah hinaan bagi kami—bagiku.
"Namun kalau kamu lihat lebih dekat, kamu bakal sadar bahwa posisi kedua matanya tidak seimbang. Ada cuilan yang sangat kecil di paruhnya. Jumlah gurat bulu di kedua sayapnya tidak sama." Vincent tersenyum tipis saat menjabarkan segala detail itu.
"Yeah, tapi siapa peduli? Maksudku karyamu sangat keren dan realistis, seolah-olah kau mencelupkan mayat merpati sungguhan di cairan lilin entah apa."
"Tetap saja, sabun merpatiku tidak bernyawa."
Aku melongo sesaat. "Jadi ...? apa intinya?"
"Jadi," ulang Vincent, matanya mengerling ke arah tas kulitku. "Yang ingin kukatakan adalah esensi karya seni bukan menyoal tentang seberapa mirip hasil tangan kita dengan hasil tangan Tuhan. Namun menyoal bagaimana emosimu terhadap setiap benda yang kaujadikan inspirasi karyamu. Karena setiap manusia memiliki impresi berbeda terhadap suatu benda."
"Misalnya babi tadi." Dia menunjuk tasku.
"Kucing."
Vincent tercengang sesaat. "Ya, maksudku sabun kucingmu tadi," koreksinya dengan senyum permintaan maaf. "Bagi orang yang tidak mengenalimu, mereka akan melihat itu sebagai sesuatu berbeda. Tak masalah. Itu persepsi mereka. Tapi bagimu, itu adalah wujud peliharaan kucingmu yang kau sayangi. Kau buat dia gemuk karena dia memang seperti itu, atau ...." Vincent terdiam sejenak. "Atau, kau sangat mencintai kucingmu dan kau mengharapnya tetap sehat sepanjang masa."
Pikiranku berkecamuk. Sebagian karena aku sangat setuju dengan analisanya mengenai rasa cintaku kepada kucingku, tetapi sebagian dikuasai oleh ketidakpuasan akan diriku.
"Kucingku sangat cantik. Anggora berbulu tebal. Tapi aku nggak bisa bikin bulu kucing, itu sulit sekali." Aku terdiam sejenak, dan wajahku mengernyit jelek. "Patungku malah jadi seperti babi yang lemaknya berlipat-lipat."
Vincent menatap lurus. Senyumnya masih tersemat di sana saat berkata, "kalau itu memang menunjukkan perjalananmu dalam dunia seni."
Alias aku sangat awam.
Aku tertohok dengan betapa santunnya Vincent menekankan posisiku. Dia adalah maestro. Kurator museum, yang kemungkinan telah mewarisi bakat seni turun-temurun di keluarganya. Sementara aku tidak yakin mewarisi bakat seni Ibu sebab semua lukisannya semacam bombardir rudal perang. Aku selalu berpikir lukisan-lukisan Ibu adalah ledakan emosinya karena ditinggal Ayah ke medan perang beberapa tahun lalu.
Namun, di atas itu semua, aku terusik dengan sesuatu. Aku menatap Vincent lekat-lekat.
Dia mengingatkanku pada Tuan Rose. Meski ada bedanya, tentu saja. Tuan Rose begitu magis merangkai kata-kata hingga memengaruhiku sampai sekarang, tetapi Vincent hanyalah kurator museum muda yang senang berfilosofi. Walau begitu aku tetap menyukai semua yang ia ucapkan, sebab ada kesamaan dengan kata-kata Tuan Rose.
Karya seni itu menyoal emosi senimannya, dan aku setuju dengan itu.
Itulah mengapa aku tak sudi melukis potret Ibu.
Tidak setelah semua kejahatan yang ia lakukan padaku sebelum kematiannya.
Aku terpekur cukup lama, bengong memikirkan posisiku yang serba salah. Sebagian tubuhku terasa melayang. Sebagian lagi masih berpijak di tanah dengan jari-jari meremang.
"Kau tidak apa-apa, Hayward?" tanya Vincent. Ia menyalakan rokok kedua. "Mau rokok?" tambahnya lagi sembari menyodorkan sekotak Lucky Strike.
Aku menggeleng lemas.
"Jangan menyerah," bisiknya sembari menyelipkan sebatang ke bibirnya. "Hidup itu menyoal berproses, dan setiap orang punya perjalanannya ...."
"Hei." Mulutku menyela tanpa sadar. "Apa kau menerima permintaan pesanan?"
Vincent mengangkat alis samar.
Aku menatapnya dengan sungguh-sungguh. "Oke, dengar. Ayahku ingin aku melukis potret ibuku yang sangat epik, tapi aku tidak mungkin melakukan itu dalam kurun satu semester saja. Dan, kupikir, selagi kita sedang menjalani mata kuliah pahat, kenapa tidak patung saja? Kupikir patung lebih oke daripada lukisan."
Tentu saja tidak. Patung itu warnanya monoton. Lukisan itu meledak. Dengan membuat patung Ibu, aku tak perlu merasa diserang dengan pesona warnanya. Patung itu akan menjadi topeng Ibu yang putih, monoton, dan membosankan. Tak ada polesan lipstik merah atau rambut kastanye yang cerah.
"Maukah kau membantuku? Patungnya cukup separuh torso kok. Dan, tenang saja, aku akan membayar berapa pun itu."
Benar. Jika ia bisa membuat ukiran sabun yang hidup, maka membuat patung kecil Ibu semestinya dia tidak terlalu kesulitan. "Bagaimana? Kumohon," kataku, dan berharap ia tak menolaknya, aku mengulang lagi. "Berapa pun, sumpah."
Vincent sama sekali tak butuh waktu untuk berpikir. "Oke," katanya, lantas menyulut rokok. "Aku tidak tahu kenapa kau terlihat sangat tertekan, tapi sebenarnya aku bisa mengajarimu—"
"Tidak." Potongku cepat, membuat Vincent menatapku dengan agak kaget. Aku menelan ludah. "Tidak, tidak. Aku ... aku tidak punya waktu untuk itu. Jadi, well, kau tahu kalau aku sebenarnya mau mendaftar ke Harvard setelah keluar dari sini, dan aku membagi waktuku untuk belajar sambil kuliah di sini. Waktuku sudah terkuras banyak, dan ... dan ...." aku mulai kehabisan alasan, tersebab pikiranku tak bisa diajak mengais-ngais alasan lagi. "Dan ... aku tak mau—tak sempat ...."
"Baiklah." Vincent barangkali tahu aku bakal meledak kalau bicara lebih banyak lagi. Ia tersenyum tipis. "Jangan khawatir. Akan kulakukan untukmu."
Aku menghela napas lega.
Akhirnya.
Harvard terasa bisa kugapai lagi sekarang.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top