The detective I'd like to stay away from


Ada yang mengawasiku.

Kemunculan polisi di kampus agak mengejutkan orang-orang, tetapi aku tidak terlalu. Mereka muncul sejak tiga hari setelah aku ditelepon. Yang kukhawatirkan adalah andai ibu Janet berpesan kepada para polisi itu agar menanyaiku ....

Dan itu sungguhan terjadi.



Ada yang mengawasiku di hari Jumat itu. Saat aku memarkir mobil di kampus, atau saat aku muncul di Margoway Ave., atau belok ke kantin untuk beli cokelat panas karena cuaca musim gugur kali ini sangat dingin—tapi itu belakangan. Sebelum kejadian di kantin, aku sudah merasa gelisah sepanjang di kampus karena ini membuatku tertekan.

Apakah hilangnya Janet bakal berimbas padaku? Tampaknya begitu. Vincent dan Ronald memikirkan hal yang sama kendati aku belum mengatakannya kepada mereka. Vincent terlalu sering mencuri pandang untuk memastikan ekspresiku, dan Ronald punya kebiasaan melihat ke sekeliling saat kami di luar kelas.

Mereka memiliki persamaan suara yang hebat. Mereka mengatakannya saat kami sedang duduk-duduk di kaki tangga Cassius Hall. Ini adalah salah satu lokasi tongkrongan mahasiswa jurusan seni murni karena lokasinya yang strategis; menghadap ke arah alun-alun kampus, bersebelahan dengan gedung studio, dan jauh dari kantin yang sumpek.

"Kayaknya ada polisi yang mengawasimu, Ced."

Ronald menatap lurus ke arah gedung administrasi kampus yang tepat berseberangan dengan museum. Kami melihat tiga orang polisi yang mondar-mandir. Vincent menggumamkan hal yang sama beberapa saat lalu.

Jariku mulai saling menggaruk. Jantungku berdegup pelan. "Aku tidak suka mereka."

"Aku juga." Ronald menghela napas. "Aku mengerti perasaanmu di bagian ini. Mereka agak rasis tiap kali mencoba mengecek kartu identitasku."

"Aku pun," Vincent berbisik.

"Memang apa masalahmu?" Ronald dan aku mengernyit mendengar pengakuannya.

Vincent membutuhkan jeda kelewat lama hanya untuk memberikan jawaban singkat. "Pungli?"

"Yah, kadang punglinya tidak masuk akal kalau menghadapi orang kaya." Ronald mengangkat bahu. Aku mengangguk, meski keluargaku tak pernah kena pungli.

"Aku beli cokelat panas dulu deh. Kalian mau?" tanyaku sambil beranjak, dan di sinilah ceritanya dimulai.

Kebetulan Vincent dan Ronald tidak titip. Mereka lebih memilih untuk berbagi luckies selagi tak ada dosen yang berseliweran dan pintu museum sedang ditutup rapat.

Saat menyusuri alun-alun kampus, kusadari bahwa ada pandangan yang tertuju padaku datang dari arah gedung administrasi. Aku berusaha keras mengabaikan dan refleks mempercepat langkah ke kantin.

Kukira aku bisa bernapas lega saat berbaur dengan para mahasiswa yang mencari kehangatan di bangunan panjang beratap rendah itu. Kantin kampus kami sebenarnya agak bagus, mirip museum dengan jendela-jendela melengkung industrial, dan pilar-pilar di tengah ruangan yang membelah jalur jalan mahasiswa. Meja-meja persegi panjang dan meja-meja panjang berbentuk L penuh disesaki mahasiswa yang berkelompok antar jurusan—mahasiswa-mahasiswa filsafat di pojokan, mahasiswa-mahasiswa jurusan seni musik yang terbiasa duduk di dekat panggung (tempat mereka melakukan pertunjukan kecil tiap Jumat malam), atau mahasiswa-mahasiswa jurusan tari yang suka cekikikan di mana pun mereka mendapat tempat duduk.

Mahasiswa desain? Tewas.

Mahasiswa seni murni? Gaib.

Namun, dugaanku keliru. Ketika bahuku diketuk saat sedang menunggu pesanan cokelat panas oleh seorang pria bermantel kasmir, aku tahu aku tak bisa mengelak lagi.

"Halo," suaranya ramah, memutuskan satu benang stereotip yang kubenci soal pihak berwajib. "Apa kamu benar Hayward?"

"Er," kataku.

Aku tahu pria itu sedang tersenyum meski wajah kami sedang tidak bertatapan. Mataku memandang lurus ke arah konter kasir dengan tegang.

"Tidak apa-apa, Hayward," katanya penuh dengan keyakinan seolah-olah telah mengintaiku selama bertahun-tahun. "Aku hanya ingin bertanya saja, dan ... ah, Nona, aku mau cokelat panas satu juga."

Aku refleks menoleh, tepat saat polisi itu memesan kepada wanita di kasir. Pandanganku tertambat pada pria yang barangkali masih di awal tiga puluhan. Janggutnya tipis, matanya cemerlang, dan bibirnya membentuk lengkung senyum natural.

"Halo," Ia mengulang sapaan seraya mengulurkan tangan. "Hester," tambahnya. "Detektif."

Aku merasa akan mati saat itu juga.

Tidak, mungkin itu berlebihan. Napasku tertahan. Ujung sepatu kiriku bergeser, seolah refleks untuk mengajak berlari, tetapi kaki kananku bertahan sehingga aku tetap berada di sana.

Kantin yang sumpek mendadak terasa sangat dingin mencekam bagiku.

"Benar Hayward, kan? Apakah ayahmu sungguhan dokter Michael Hayward, dokter bedah yang terkenal—"

"Sudah pensiun," jawabku kaku, sebelum aku menyadari bahwa semestinya aku tidak membalas. Itu sudah memberinya kepastian bahwa aku memang Cedric Hayward yang ia cari. Aku merutuki kebodohanku saat detektif Hester menambahkan, dengan secuil penghargaan yang tulus.

"Tanpa ayahmu, mungkin sebagian tentara di Maroko lalu bakal tewas meregang nyawa," bisiknya lembut. "Kebetulan abangku salah satu tentara yang berperang di sana."

Aku kembali menatapnya, kali ini dengan dahi mengernyit samar.

"Sungguhan." Detektif Hester tersenyum. "Aku tidak yakin apakah ayahmu masih ingat karena banyak yang mesti ia sembuhkan, tetapi kakakku adalah Sersan Harold Hester."

"Dan kau?"

Detektif Hester tampak senang dengan pertanyaan pendekku. "Theo. Theodore Hester."

Aku kembali meluruskan pandangan ke arah konter ketika salah satu wanita staf menaruh pesananku di sana. Ujung-ujung jariku meremang dan dadaku terasa kosong oleh udara. Ada yang mengimpit di dalam sana, menekan seluruh jalur pernapasanku hingga nyaris tak ada udara yang terembus dari hidung. Jariku saling menggaruk pelan.

Detektif.

Aku mesti bergegas. Sebagai upaya terakhir, kuberikan anggukan kaku kepadanya. "Semoga harimu menyenangkan."

Kemudian, pada saat itulah, keramahan Theodore Hester memadat pekat di dasar ucapannya ketika memperingatkanku.

"Kau tahu kalau kau menghindar, itu akan membuat segalanya lebih rumit, kan?" Theo mengernyit cemas. "Aku tidak yakin kamu mau dicurigai kalau memang tidak bersalah."

Aku tidak bisa berkutik. Dan barangkali, aku pun membiarkan ekspresiku terselip memenuhi sekujur wajah, menunjukkan kerapuhanku setara rakyat jelata di hadapan tentara penindas.

"Aku tidak bersalah," geramku pelan. "Tapi aku tidak berhubungan dengan Jane lagi."

"Kau bisa ceritakan itu padaku nanti." Theo tersenyum. Santun, tetapi penuh dengan ketenangan karena tahu dirinya berhasil menjebakku. Ia meraih gelas cokelat panas dan mengangkatnya kepadaku, seolah mengajak bersulang. "Besok akhir pekan, bagaimana menurutmu? Atau kau sudah punya kesibukan?"

"Sibuk. Sibuk sekali," kataku, lantas aku terdiam sejenak. "Tapi Minggu malam ... bisa."

"Minggu malam. Baiklah." Theo mengangguk. "Kau keberatan jika kita melakukannya sambil minum cokelat panas, katakan, di daerah Charlestown?"

Sudah kuduga. Itu daerah tempat tinggal Janet. Aku menggigit bagian dalam bibirku, berpikir apakah cara kerja detektif memang seperti ini, ketika aku sudah berprasangka bahwa dia bakal menyuruhku datang ke kantor polisi.

Aku mengangguk ragu.



Ternyata bukan aku saja yang didatangi Theodore Hester. Yah, dia sudah pasti mendatangi setiap orang yang dianggap dekat dengan Janet. Aku dengar kalau dia mengunjungi kelab, mencari Josh dan kroco-kroconya (yang tentu saja tidak berhasil), menemui sejumlah dosen, dan teman sekelas Janet. Aku sempat khawatir kalau Vincent juga bakal dipanggil, tetapi sepertinya tidak.

Kemudian, saat memikirkan kekhawatiran ini, aku jadi teringat satu hal yang lupa kutanyakan kepada Vincent.

Antara Janet dan dirinya, siapa yang berbohong?

Aku berjanji akan menanyakan hal itu saat ke rumah Vincent nanti. Aku sudah menghabiskan akhir pekan di rumah bersama Ayah, mengajaknya berkeliling kota dan ikut makan malam bersama dokter Millstone di Jumat malam lalu. Sekarang giliranku untuk tidur di rumah Vincent karena aku mesti melanjutkan lukisan Ibu.

Aku menyesap lambat-lambat cokelat panas saat melamun. Kami menyempil di salah satu kedai Italia yang dijalankan oleh sebuah keluarga imigran. Cokelat panasnya kental, tidak terlalu manis, dan teksturnya selembut sutra. Nyaris persis dengan cokelat panas buatan Vincent, kecuali ia suka menambah rum atau cacahan kacang almond secara gratis. Di sini harganya agak mahal untuk tiap jenis taburan.

"Jadi ...." Theo membuyarkan lamunan. "Kapan terakhir kau bertemu Janet?"

Pandanganku jatuh pada buku catatan Theo, dengan sampul kulit bergurat jelas dan mengelupas di ujungnya. Kemudian jempol dengan luka iris pisaunya yang menahan tengah buku.

Terakhir aku bertemu Janet adalah saat aku menangkapnya basah bersetubuh dengan Josh. Tapi itu berarti aku akan memberitahu kejahatanku yang menghantam hidung Josh dengan kursi. Tapi, melihat Ayah justru tertawa saat mendengarkan ini, aku mulai berpikir apakah aku juga boleh menceritakannya kepada Theo.

Tapi aku tidak bersalah.

"Kapan?" ulang Theo dengan lembut. "Ngomong-ngomong bolehkah aku memanggilmu Ced? Cedric? Kau boleh panggil aku Theo."

Aku menatapnya lurus. "Terserah, Pak."

"Jangan 'Pak', aku masih muda." Theo mengerang. "Jadi, apa kau sudah ingat?"

"Sejauh apa yang engkau tahu soal hubunganku dengan Janet?"

Theo tersenyum tipis. "Kukira, kebenaran terletak pada ucapan orang yang melakukannya, bukan orang yang menyaksikannya."

"Bagaimana jika pelakunya berbohong?"

"Kebohongannya pun menyembunyikan kebenaran."

"Pekerjaanmu pasti melelahkan."

Theo mengangkat bahu. Ia membolak-balikkan buku catatan. "Aku suka melakukannya. Mendengar kebenaran yang diucapkan begitu saja oleh orang-orang yang ingin segera melepaskan diri ... mencari-cari potongan kebenaran dari teka-teki penuh kebohongan yang disebar seseorang saat bingung ... melihat seseorang berupaya keras untuk tampil sebagai pembohong profesional, mencari tahu apakah mereka bisa melewatiku." Theo tersenyum lagi, tetapi ini bukan jenis keramahan yang melekat pada dirinya.

Aku merinding. Tanganku nyaris meraih cangkir cokelat panas.

"Minumlah." Senyum Theo melebar. "Tidak apa-apa. Jangan banyak berpikir."

Aku mengepalkan tangan. "Terakhir aku bertemu Janet, aku menangkapnya basah sedang berselingkuh."

"Aduh." Theo sempat menatapku sejenak, sebelum mulai menulis. "Aku tahu itu menyebalkan tapi apa kau mengingat tanggalnya? Kau tahu aku pasti ingin bertanya apa, tapi ceritakan saja apa yang ingin kau sampaikan."

Aku menghela napas. Sebesar apa sih probabilitas aku bakal dianggap bersalah kalau bercerita soal perselingkuhannya? Atau kemungkinan aku bakal cerita soal hantaman kursi? Mungkin lebih besar yang terakhir.

Aku meluncurkan kata-kata yang sudah siap di tenggorokanku saja. Bahwa aku menangkapnya basah sedang bersetubuh dengan sahabatnya Josh—dan di sini aku justru meminta Theo agar menemukan keparat itu—dan aku menghantam Josh dengan kursi. Aku bertanya apakah itu termasuk tindakan kriminal karena aku bakal dipanggil dekan soal itu.

Theo tertawa, tetapi tawanya menyenangkan. "Aku bakal heran kalau ada pemuda yang tidak membela diri saat diejek selingkuhan ceweknya. Kalau hidungnya remuk, kupikir diomeli dekan sudah cukup bagimu."

"Fillman itu," kataku, "sebelumnya menghajarku dengan anak-anak buahnya karena aku membuat Jane tersinggung."

"Pengeroyokan," imbuh Theo dengan lembut, "itu baru bisa kau laporkan kepada polisi kalau kau mau."

Aku hanya mengangkat bahu.

Meja kami sempat menghening karena Theo mencatat agak banyak. "Jadi kau tak bertemu Janet lagi setelah itu. Bagaimana dengan telepon?"

Aku mengingat mimpi telepon Janet. Apakah itu termasuk? Tentu saja tidak ....

Tunggu.

"Theo." Aku menatapnya lekat-lekat. "Telepon di rumah kami sudah tidak pakai jasa operator lagi, tetapi apa kau bisa mengecek rekam jejak telepon kami?"

Theo mengangkat alis. "Ada apa?"

Aku bilang kepadanya soal mimpi yang kudapat itu, bagaimana kondisi tubuhku saat mengalaminya, dan betapa nyata sensasi yang kurasakan. Aku agak malu saat bercerita ini, karena rasanya seperti curhat.

Lalu aku bilang, "Aku awalnya mengira itu mimpi, tapi aku terus memikirkannya. Aku sangat limbung dan ingatanku kacau saat aku demam tinggi waktu itu. Aku khawatir ...."

"Itu bukan mimpi?" Theo menyelesaikan kalimatku.

Aku menggeleng pelan. "Bagaimana jika itu bukan mimpi igauanku?"

Theo menatap lekat-lekat. Ia banyak tersenyum kepadaku sejak kali pertama kami bertemu, seolah meyakinkan aku bahwa dia tidak dilekati stereotip jelek detektif seperti yang kutahu selama ini. Atau barangkali aku sendirilah yang memaksakan diri untuk memercayai stereotip itu.

"Kau tahu, Cedric? Terima kasih banyak karena telah bercerita." Ia tersenyum tipis. "Kurasa bukan kau saja yang membantuku di sini."

Ia mencatat sesuatu di bukunya sambil berkata, "Jangan khawatir. Aku akan mengupayakan itu dan menghubungimu segera."

Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian memberinya anggukan pelan.

Aku baru saja menjebak diriku dalam kematian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top