The artist and his muse,


"Tuan Rose." Aku mengeyel. Vincent dan Tuan Rose adalah orang yang berbeda. Sebagaimana Vincent yang selalu butuh anggur agar "waras" berbeda dengan Tuan Rose yang selalu memaksaku untuk melukis dengan emosi membuncah.

Orang yang sedang menahan bahuku adalah Tuan Rose. Bukan lainnya.

"Tuan Rose, mengapa kau melakukan ini?"

Sekarang aku menyadari bahwa nada khasnya yang seolah-olah menimangku bagai bocah itu memang ditujukan kepada Cedric kecil. "Aku sangat senang bisa bertemu denganmu lagi." Ia mengisyaratkan pada fisikku yang sudah beranjak dewasa. "Tapi aku sedih ketika bocah yang sangat bahagia saat mengunjungi museumku kini berubah menjadi korban trauma perang yang lain."

Ronald kembali. Ia sudah selesai menyingkirkan dua ember semen dan sekarang ia mengambil yang terakhir. Ia sempat melirik kami, kepadaku yang kehilangan nyawa di bawah rangkulan Tuan Rose dan sang kurator museum yang mencekalku. Ia mengalihkan pandangan saat aku meliriknya.

"Aku bukan korban trauma perang," bisikku tertahan. "Ronald adalah korban."

"Aku tahu," katanya. "Tapi bukankah kau sama saja?" ucapannya bagai belati yang menghunjam dadaku.

"Percayalah saat kukatakan bahwa kau tampak seperti bocah paling bahagia di dunia sewaktu mengunjungi museumku. Aku tahu bahwa museumku bukanlah penyebabnya, melainkan kedua orang tuamu dan bagaimana kalian berlibur bersama, tetapi tetap saja—pemilik museum mana yang tidak terharu melihat kebahagiaan meletup-letup seperti itu? Kau bahkan meneriakkan janjimu. Aku masih ingat persis: 'Aku mau bahagia selamanya kayak begini, bersama Ayah dan Ibu!'"

Pandanganku memburam. "Hentikan."

"Tapi perang merenggutnya, kan?" Tuan Rose menepuk-nepuk bahuku simpatik. Tidak. Dia tidak punya simpati, apalagi empati. Tidak jika ia membuat Theo pingsan di ujung sana. "Perang membuat ayahmu dikirimkan ke Maroko, tak tahu apakah dia bakal selamat atau tidak. Itu membuat ibumu menggila. Kau tahu kenapa? Kau mungkin tidak sadar, tetapi siapa saja yang kauceritakan bakal langsung tahu. Ibumu sudah merelakan kecintaannya pada seni untuk ayahmu—membuang jati diri lamanya. Lalu ayahmu pergi dan keselamatannya tak bisa dipastikan. Kira-kira apa wanita yang tak punya apa-apa lagi itu bakal lakukan? Benar, Cedric, mencari inang baru. Semua wanita itu sama saja. Mereka dilahirkan sebagai benalu, sampai situasi melepas paksa dari inang mereka. Jika mereka tak bisa menemukan inang baru, mereka akan menjadi inang itu sendiri, dan menolak benalu karena mereka tahu rasanya menjadi benalu yang merepotkan."

Kepalaku panas. "Ibu bukan benalu."

"Ibumu benalu."

"IBU BUKAN—"

"Kalau begitu kenapa kau benci dan cinta terhadap Montgomery?" bisiknya. "Kau selalu menyamakan Montgomery seperti ibumu. Kau sadar betul kalau Montgomery adalah benalu bagimu, kan?"

"Diamlah—"

"Lihat? Kau memang korban perang. Tidak masalah kau tak mengakuinya. Kenyataannya memang begitu, tak masalah. Perang berdampak pada siapa saja tanpa pandang bulu. Kau kaya atau miskin, kau warga kulit putih atau imigran—perang akan melandamu selama kau menjadi bagian dari masyarakat."

Tuan Rose selesai mengucapkannya tepat saat Ronald melangkah masuk. Imigran Spanyol itu beruntung tak perlu mendengarnya. Aku yang tercabik-cabik di sini dan tak bisa kabur.

"Kenapa kau melakukan ini?" tanyaku akhirnya. Suaraku bergetar. "Kenapa kau melakukan sejauh ini?"

"Seniman mana yang tidak akan berjuang untuk mempertahankan inspirasinya, Cedric?" bisiknya. "Seniman sejati akan melakukan apa pun untuk hidup bersama inspirasinya—apa pun itu."

Sudah cukup. Aku tidak kuat. Sekujur tubuhku kelu saat Tuan Rose beranjak. Ia berkata kepada Ronald, "Sudah kau bungkus ulang semua semennya?"

"Sudah." Aku mendengar kepatuhan tidak lazim dari Ronald. Masih ada ketegasan dan nada kasar khas dari pemuda Spanyol itu, tetapi sesuatu tentang Tuan Rose membuatnya bagai murid bimbingan yang patuh pada masternya. Seolah ia memang sadar akan perbedaan Vincent dan Tuan Rose.

Sepertinya tinggal bersama Vincent telah memunculkan perubahan sikap serupa pada Ronald.

Tuan Rose berlalu. Ia menghampiri Theo dan aku tak mau mengalihkan pandangan sama sekali darinya, tetapi mulutku berkehendak lain.

"Ron. Kenapa kau menurutinya?"

Alih-alih Ronald, Tuan Rose menjawab. "Jangan salah, Cedric," katanya. Ia menempelkan jarinya di leher Theo. "Aku melakukan ini karena aku ingin kau bahagia lagi seperti dulu. Aku muak melihatmu berlarut-larut dalam kesedihan yang tiada ujung. Kalau situasimu kacau, suasana hatiku ikut-ikutan rusak. Aku tak bisa membuat karya lagi."

"Siapa yang menyuruhmu menjadikan aku sebagai inspirasimu?" sentakku. "Dan lagi kenapa kau harus bergantung padaku untuk membuat karya?"

"Ced, kau tak bisa menyalahkannya." Ronald justru yang menjawab. Aku berbalik menatapnya dengan mata melotot. Aku terperangah saat menyadari ekspresinya yang carut-marut. "Begitulah sebagian seniman bekerja. Mereka sangat mengandalkan inspirasi mereka, melakukan segala hal agar inspirasi mereka terjaga agar bisa tetap hidup. Seniman hidup dengan berkarya."

Aku menatapnya dengan penuh tanda tanya. Apa kau gila? Kukira kau lebih waras. Lantas aku sadar bahwa Ronald juga sama saja. Dia juga seniman sejak dulu, begitu yang kutahu, sebelum ia ditarik paksa untuk diikutsertakan sebagai tentara perang.

"Tidak," geramku. "Kalian yang melenceng. Baiklah kalau memang setiap seniman butuh inspirasi, aku juga paham itu, tetapi kalau kalian sampai membunuh dan segalanya—kalian sinting."

Aku berputar menatap Tuan Rose. "Apakah sampai saat ini aku masih inspirasimu, Tuan Rose?"

"Ya, Cedric. Selalu."

"Kalau begitu kau mau melakukan apa pun lagi untukku, kan?"

Tuan Rose menegakkan tubuh. Ia menatapku dengan harapan membuncah, dan itu membuatku merinding setengah mati.

"Apa pun."

"Kalau begitu hentikan kegilaan ini," kataku. "Tak ada pembunuhan. Tak ada upaya-upaya bodoh untuk menyingkirkan hal-hal yang membuatku sedih." Bayangkan andai Ayah yang membuatku sedih setengah mati. Apakah itu berarti ia akan membunuh Ayah juga? Bedebah. "Jangan lakukan apa pun tanpa seizinku karena akulah yang tahu apa yang membuatku bahagia."

Keheningan mengambang di ruangan itu. Ronald berdiri gelisah di sisiku, sementara Tuan Rose menatap kami tanpa ekspresi. Ia menimbang-nimbang itu dengan sangat serius dan aku benci menyadari bahwa dia adalah sahabatku juga.

"Baiklah," katanya, "kalau begitu apa yang bisa kulakukan untukmu agar kau senang, Cedric?"

"Bagus." Aku menggertakkan gigi. "Mari bawa Theo ke rumah sakit sekarang."



Aku membawa Theo dengan mobilku, dan kedua sahabatku mengikuti dengan mobil sewaan mereka sendiri. Setibanya di rumah sakit, Tuan Rose sigap membantuku untuk membawa Theo dan mengurus sisanya. Semestinya aku tidak memercayainya, apalagi dia sempat berniat untuk membunuh Theo, tetapi aku tidak bisa protes selama di rumah sakit.

Puluhan menit kemudian, aku dan Tuan Rose duduk di lorong seraya menunggu proses administrasi. Sepi, tak ada siapa pun selain satu-dua orang yang melintas.

"Di mana Ron?"

"Tidak mau masuk."

Aku terdiam sejenak. Ketenangan dan sikapnya masih belum berubah, sehingga aku akan tetap memanggilnya Tuan Rose untuk sementara waktu.

"Boleh aku bertanya? Saat kau bilang kau bercinta dengan Jane waktu itu, apa kau jujur atau kau bohong? Sebab Jane bilang tidak seperti itu kejadiannya."

"Aku bohong."

Tanganku terkepal. Kenyataan bahwa Janet selalu jujur kepadaku, bahkan berani mengakui tentang Josh, membuatku kian menyesali kematiannya. "Kenapa kau berbohong?"

"Karena aku tahu gadis itu hanya akan membuat masalahmu bertambah. Aku benar kan?"

"Tapi—"

"Semula aku memang tidak tahu kalau dia sudah punya pacar saat berciuman di klinik waktu itu. Kupikir dia cuma gadis populer yang biasa saja. Tapi begitu aku tahu bahwa ternyata dia pacarmu dan sama sekali tidak menolak ciuman itu, aku mengasihanimu. Dan saat aku tahu bahwa kau adalah bocah Hayward yang selalu kubayang-bayangkan sejak sepuluh tahun lalu, aku jadi marah luar biasa."

Alisku berkedut. Kenapa malah dia yang marah betul?

"Sudah kubilang aku tak sudi inspirasiku dirusak, Cedric," bisiknya. "Kebahagiaanmu adalah di atas segalanya bagiku."

Aku menatapnya nanar. "Apakah aku sepenting itu?"

Tuan Rose masih tak menatapku. Kedua matanya tertambat kosong pada dinding di seberang kami. "Andai kau tahu, Cedric," katanya. "Rasanya kesepian selama bertahun-tahun dan hanya kenangan-kenangan yang bisa menemanimu, sehingga satu-satunya cara yang bisa kau lakukan adalah mengabadikannya dalam karya. Lalu, saat kau menemukan sesuatu yang bisa menjadi sumber karyamu tanpa batas ... kau ... tak ingin melepaskan itu."

"Kau kesepian? Kenapa tak menemukan pacar?"

"Aku tak bisa," katanya. "Terakhir aku jatuh cinta, kepergiannya membuatku sangat sakit."

"Mungkin dia pergi darimu karena kau psikopat."

"Dia sudah ada di museumku," katanya. "Aku ingat ibumu memuji patungnya."

Aku memejamkan mata. Ternyata ada yang lebih pantas dipenjara daripada aku.

"Kau sudah pernah dipenjara?"

"Belum."

"Menyuap?"

"Ya, dan rata-rata para patung itu tidak punya keluarga yang peduli."

Hatiku teriris-iris. "Semua patung yang tidak terkenal di museummu itu—mereka semua meninggalkan kenangan padamu?"

"Ya."

"Orang tuamu?"

"Meninggal saat aku kecil."

"Saudara?"

"Aku sebatang kara."

Aku diam saja. Aku ingin bertanya apakah ia pernah merasa bersalah, tetapi kukira itu pertanyaan bodoh. Jika ia merasa bersalah, ia takkan melakukannya lagi. Kebetulan setelah itu kami mendapat kabar bahwa Theo sudah siuman. Aku bergegas menemuinya sementara Tuan Rose berkata akan menemui Ronald. Kuancam jika dia kabur, maka aku akan menyuruh Theo memburunya. Saat aku mengatakan itu, Tuan Rose hanya tersenyum.

"Aku tidak akan meninggalkanmu," katanya. "Sejatuh dan serusak apapun kau, aku tidak akan pergi. Aku akan menjagamu, Nak."

Aku menelan ludah. "Berapa usiamu, kalau aku boleh tahu?"

Dia butuh waktu agak lama saat menjawab. "Hampir tiga puluh."

"Saat kita bertemu dulu?"

"Baru delapan belas."

"Sekarang pun kau tak terlihat setua itu ...."

Ia hanya mengangkat bahu, dan kami berpisah sejenak. Aku menemui Theo yang linglung di ranjang serba putih. Ia menatapku dengan nanar saat aku menghampirinya.

"Cedric." Ekspresinya berubah drastis seolah-olah baru saja mengingat sesuatu yang sangat krusial. Semu amarah menyengat wajahnya yang murah senyum. "Kawan-kawanmu ...."

Aku mengangguk. Kutarik kursi untuk duduk di sisinya. "Detektif, ada yang ingin kubicarakan padamu soal itu," kataku. "Jujur saja aku juga baru tahu—bahkan sepertinya kau tahu lebih dahulu daripadaku."

Usai memastikan bahwa situasinya cukup stabil untuk bertukar cerita denganku, kusampaikan apa yang terjadi selepas ia pingsan. Dahinya berkerut-kerut dan ia memejamkan mata sesekali, tersengat oleh sakit kepala yang luar biasa.

"Alasan mengapa aku membutuhkan kesaksianmu," katanya, "adalah menyoal rekening itu. Aku berhasil mendapatkan nama pengirimnya—entahlah, manajer banknya tidak mempersulitku saat memberi tahu nama pengirimnya. Itu adalah sahabatmu sendiri. Vincent Roth itu."

Andai aku belum mengupas banyak rahasia hari ini, mungkin aku bakal terkejut bukan kepalang. Sekarang aku hanya mengangguk pelan. Tidak heran.

"Lalu aku menelusuri identitasnya semalaman ... maksudku, kenapa dia tiba-tiba mengirimkan uang sebanyak itu kepadamu? Kukira sekadar persahabatan tidak akan membuat seseorang melakukan hal itu. Dan waktunya. Waktunya tidak tepat."

"Aku menemukan datanya, dan itu identitas palsu." Dia menggeleng. "kartu identitasnya di sini dan di Italia berbeda. Usianya terpaut sepuluhan tahun."

Aku mengangguk lagi, kali ini jelas untuk dia lihat. "Aku menyadarinya."

"Demi Tuhan, Cedric. Kau dikelilingi orang-orang yang ...."

"Yah."

Ia menghela napas panjang. Selama sesaat sang detektif membisu. Ia mengalihkan pandangan pada sisi lain ruangan, kepada langit-langit putih kusam dengan bekas bocor dan lampu-lampu gantung yang berayun lembut. Aroma antiseptik yang menenangkan dan deterjen seprei memenuhi indera penciuman kami.

"Cedric," suaranya parau seperti menahan tangis. "Aku juga ingin kau bisa hidup dengan tenang, Nak. Kau anak yang baik, sungguh."

"Tapi aku membunuh ...."

"Warga Amerika mana yang cukup waras untuk tidak saling membunuh di masa seperti ini?" ia terkekeh garing. Hatiku mencelus saat mendengarnya. "Aku mengerti apa maksudmu. Aku sangat mengerti. Ada begitu banyak kasus yang masuk ke kantor kepolisian dan mayoritas dari mereka tidak cukup beruntung untuk memiliki privilej sepertimu ... tapi mari kita tidak bicarakan itu. Bukan tempatnya."

Theo menatapku lagi. Kali ini ketegasannya menguasai dengan baik. "Maksudku, tentu saja aku bisa melakukan apa yang kau minta. Tapi mari kita bicarakan ini bukan sebagai seorang warga sipil dan aparat keamanan, Cedric. Ibumu telah berkehendak. Dan andai ayahmu tahu, apakah ia akan menyetujui apa yang kaulakukan?"

Darahku berdesir. Mataku membulat kala menatapnya.

"Apakah menurutmu ayahmu akan melakukan hal yang sama dengan ibumu, atau sebaliknya?"

Ketika Tuan Rose bilang bahwa terkadang ada hal-hal yang begitu cepat disadari oleh orang lain tapi bukan dirimu sendiri, aku benci mengakui bahwa dia lagi-lagi benar.

Tujuan terbesar Ibu menyuap orang adalah agar Ayah tidak tahu, semata-mata demi menjaga nama baik Hayward.

Apakah itu kurang jelas bagimu, Cedric?

Diamku adalah jawaban yang jelas. Theo mengangguk pelan. "Keadilan, tentu saja, menghendaki bahwa kejadian itu tetap diproses secara hukum dan segalanya, tetapi hidup itu terkadang tidak adil, Cedric." Ia tersenyum tipis. "Dan kau harus menerima kenyataan bahwa kasus itu sudah ditutup. Hidup sedang adil padamu."

"Namun apa yang dilakukan kawan-kawanmu sudah kelewatan," tambahnya. Senyumnya menghilang.

Aku menghela napas.

"Ya, soal itu ... aku juga ingin mendiskusikannya denganmu." Aku menatap Theo sungguh-sungguh. "Hidup sudah cukup lama tidak adil kepadaku, jadi bisakah aku meminta jatah adilku sekali lagi?"

Alis Theo berkedut saat aku menambahkan dengan sungguh-sungguh. "Aku membunuh karena ingin mengembalikan kebahagiaanku, tetapi Ibu tetap menghancurkannya. Jane memperparah kerusakannya, dan Ayah hanya memperlambat proses pembangunan ulangnya. Tapi Vincent dan Ronald—mereka selalu berusaha membuatku bahagia."

Aku mengepalkan tangan. "Kumohon, Detektif, akan kubayar berapa pun itu," bisikku, persis seperti kata-kata Ibu yang kudengar saat sedang menelepon seseorang sementara aku minum wiski di teras. "Hanya ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk melindungi mereka. Mereka kebahagiaanku."

Air mata menggenang di pelupuk saat aku tersenyum kalut. "Cuma Ayah dan sahabat-sahabatku yang kupunya sekarang. Tak ada lagi."



* again and again, I'd like to remind you bahwa para pemuda ini punya pemikiran toxic dan itu sama sekali bukan pemikiranku, oke? :sob: fyi buku ini ada sedikit sangkut paut dengan buku lainnya, "The Fifth Canvas" (dan mungkin satu lagi?) dan di sanalah mereka akan menemui gadis-gadis "inang" dan "benalu" yang menguji ideologi mereka.

** god i love toxic people being challenged, but first i gotta built their characters first lmao

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top