Recalling the memories
Pesanan alabaster kami akhirnya tiba pada Minggu pagi. Ronald yang bangun pertama kali, menerima antaran dari Worcester itu dan mengangkutnya bersama si kurir langsung ke lantai dua. Aku bangun karena suara debuman lembut. Sementara Vincent sama sekali belum bangun kendati tidur di sofa di lantai yang sama.
Kehadiran alabaster mentah di rumah Vincent membuatku gembira bukan kepalang. Jantungku berdegup membayangkan bahwa bongkahan itu bakal menjadi patung separuh torso yang sempurna.
Satu jam kemudian kedua pemuda itu akhirnya memulai pekerjaan. Ronald sudah sarapan dan pekat aroma sabun. Vincent hanya minum segelas air dan makan tiga sendok sereal, kemudian memilih untuk memasang pigura Ibu di dinding dan menyejajarkannya dengan sketsa. Ia membantu Ronald untuk melakukan penghitungan pada bongkahan alabaster. Kukira Ronald bakal mendebatnya—karena mereka selalu seperti itu—tetapi tak kusangka ia patuh seutuhnya dengan segala instruksi Vincent.
Mereka tak terlihat seperti mahasiswa lagi sekarang. Aku merasa seperti memasuki studio sungguhan seorang titisan Michelangelo yang sedang berdiskusi dengan keturunan Berruguete*. Dan di sinilah aku, terbengong-bengong di ruangan sementara kedua seniman itu mencungkil-cungkil alabaster untuk membuat tanda-tanda patokan.
Aku bahkan tak mengerti apa yang mereka lakukan. Di studio patung Pak Wahlberg pun, saat ia mengajarkan beberapa teknik mencungkil dasar, aku hanya mencungkil asal-asalan tanpa ada tujuan.
Jadi di situlah aku; duduk terdiam dan memandang dua seniman muda berkelakar dan saling mendebat menyoal bahan mentah di hadapan mereka. Aku pasrah seutuhnya pada kenyataan bahwa aku sangat awam, dan keputusan untuk menerima mereka di hidupku adalah keputusan paling tepat setelah bertahun-tahun membuat serentetan kesalahan.
Aku bersandar pada dinding. Vincent sekarang mengambil satu langkah mundur. Lengannya terlipat dengan satu tangan menopang dagu. Matanya melotot saat mengawasi Ronald mengangkat pencungkil, siap untuk melakukan pekerjaan kasar pertama.
"Pelan-pelan." Vincent tanpa sadar menggeram.
Ronald terkekeh. "Oh, aku selalu melakukannya begini."
"Kau akan meruntuhkan banyak."
"Besar-besar itu lebih ringkas."
"Sedikit-sedikit." Vincent nyaris mencakar pipinya sendiri.
Ronald mendengus geli. "Baiklah," katanya, dan pukulan ringan pertama mendarat pada bongkahan besar itu. Alih-alih menjatuhkan pecahan alabaster sebesar kerikil, lantai marmer ruangan mulai dihujani oleh serpihan-serpihan debu.
Vincent menghela napas lega. Ia mengangguk samar saat memerhatikan cara Ronald. Melihat mereka mengingatkanku pada Ayah dan Ibu, tetapi tentu saja mereka sama sekali berbeda jauh. Dahulu Ayah seperti Vincent, menghendaki segala sesuatu dilaksanakan dengan penuh ketelitian dan berhati-hati. Ibu lebih seperti Ronald, melakukan segala hal dengan caranya sendiri yang menurutnya tidak membosankan. Sebagaimana Ayah yang menyesap anggur dan Ibu yang selalu memberiku potongan-potongan daging besar.
Bibirku tersenyum tipis, tetapi pelupukku memberat.
Aku merosot dari dinding sandaran, terdorong oleh gejolak yang akhir-akhir ini menyesakkan. Udara penuh oleh aroma pendingin ruangan, anggur, dan gipsum. Yang berbeda hanyalah aku telah dewasa dan kekeh geli di seberangku bukan milik Ayah dan Ibu.
Tidak. Segalanya telah berbeda.
"Ced."
Aku tersentak. Vincent sedang menghampiri dan aku bertanya-tanya apakah dia baru saja memanggilku dengan nama depan. Ia menarikku untuk duduk di sofa, dan menyeret kuda-kuda tepat di depan kaki.
"Apa ini?"
"Lukis ibumu juga."
"Apa?" aku terperangah. "Tapi aku akan melakukannya dengan Jane—"
"Buat sketsa dulu."
Suaraku tercekat di tenggorokan. Benar juga. Namun aku mau protes, mengatakan bahwa Janet bisa membuat sketsa untukku, tetapi Vincent melemparkan tatapan tajam yang sama seperti beberapa saat lalu.
"Kau yang harus memulai dan mengakhirinya karena ini tentang ibumu," katanya dengan nada rendah. "Hanya kau yang bisa menentukan emosinya."
"Tapi aku—"
Vincent menaruh gelas anggur berisi kuas-kuas di meja sisiku. Tanpa banyak bicara ia mengambil langkah mundur sekali lagi, mengawasiku dengan tangan terlipat dan tanpa ekspresi. Saat kutatap ia dengan penuh pertanyaan, ia sama sekali tak bergeming.
Cercah-cercah masa lalu seketika buyar dari benak. Kualihkan pandangan ke arah pigura foto Ibu di seberang ruangan. Piguranya terlihat kecil dari arah seberang ruangan. Namun letaknya yang tepat di tengah ruangan, satu-satunya hitam dan putih di antara kertas-kertas cokelat pudar dan dinding putih gading, tampak seperti ledakan asap jamur di layar televisi-televisi tabung.
Mataku berair. Ibu tampak sangat besar dan menyedot seluruh perhatianku. Memang itulah yang dikehendaki oleh fotografer yang mengambil potret Ibu dulu. Aku masih ingat. Aku sedang duduk di bangku tunggu di sisi lain ruangan, mengawasi sang fotografer melontarkan lelucon-lelucon vulgar yang membuat ibuku tertawa lepas. Dan pada saat itulah ia memotret, mengabadikan keceriaan dan kedua mata Ibu yang berbinar.
Namun itu bukan jenis keceriaan yang sama seperti saat di Roma. Bukan. Kenaifan kenanganku ternodai begitu saja dengan jejalan tindak-tanduk tak senonoh selama berbulan-bulan selepas itu.
Aku benci tawa Ibu.
Aku benci tawa Ibu saat Ayah sedang dikirim ke medan perang, ketika Ibu terbahak dan tersenyum lebar pada—
Bahuku merosot. Kualihkan pandangan sekali lagi pada Vincent dan menggeleng pelan.
"Tidak bisa." Suaraku serak. "Biarkan Jane yang melakukannya."
Saat Vincent tak bereaksi selain menatapku lekat-lekat, seolah seorang psikiater yang mencoba menguliti kebenaran emosi di balik wajahku, aku mendesaknya lagi.
"Kumohon."
Vincent menggeleng. "Pacarmu takkan bisa melakukannya untukmu."
"Tidak masalah. Maksudku, aku tidak peduli dengan emosi yang mesti kulukis atau apalah, pokoknya lukisan Ibu jadi."
Tampaknya aku mengecewakan Vincent dan ini memperburuk suasana hatiku. Namun, persetan dengan itu sekarang. Aku tak mau dipaksa menuangkan emosi-emosi busuk di dalam diri. Bukan itu yang Ayah inginkan. Bukan itu pula yang ingin kupertontonkan pada orang-orang di pameran. Vincent tak bisa memaksakan prinsip berseninya padaku kali ini.
"Ayo ke Iggy Biggy's lagi nanti," kata Ronald, memecahkan kecanggungan di antara kami. "Aku butuh bir. Wiski terlalu berat, besok kita masuk pagi."
Kami ke Iggy Biggy's lagi selepas makan malam. Ajakan Ronald benar-benar menolongku. Andai kami tidak bepergian malam ini, mungkin aku akan dihantui oleh tatapan Ibu di lantai dua. Aku juga tak bisa menghindar karena aku mesti mengawasi cara mereka mengikis batu alabaster—itu berguna untuk kelas seni pahat esok Senin.
Sebab aku melihat Janet ada di sana. Semestinya aku bertanya-tanya mengapa ia masih datang ke Iggy Biggy's, tetapi setidaknya dia tidak datang untuk bekerja. Seketika tatapan kami berjumpa, Janet langsung menyongsongku dan memelukku erat-erat.
"Jane, mau duduk bersama kami?" tawarku seraya merangkul pinggangnya. Aku tidak suka kenyataan bahwa gelas bir Janet bersisian dengan gelas bir Josh di konter bar. Josh mengawasi kami dengan jenuh.
"Kami?" Janet mengulang, dan matanya seketika tertambat pada Ronald dan Vincent yang menyaksikan kami dari arah meja di sampingku.
Genggaman Janet mengerat di lenganku. "Sepertinya aku tidak mau mengganggu kesenangan kalian, Sayang." Ia tertawa sumbang.
"Apa kau tidak ada kawan gadis di sini?" Aku mendesah.
"Ada, tentu saja ada. Aku sedang menunggu Margaret dan sepertinya ia akan datang." Aku mendengar ada desakan di nadanya. Aku tak mengerti mengapa. Apakah ia sekarang tidak menyukai Ronald sebesar itu, atau karena semata-mata ada Josh dan Ronald di ruangan yang sama? Kuakui tekanannya cukup berat saat dua pemuda itu saling melempar pandangan sementara aku dan Janet berpelukan di sini.
"Baiklah." Aku melepaskannya. "Berkumpullah dengan Margaret."
Aku benar-benar memaksudkan itu. Janet pun beranjak selepas mencium pipiku.
Ketika aku kembali duduk di antara kedua kawanku, Vincent menyodorkan gelas birku dengan muram.
"Ada apa?"
Vincent menggeleng, dan Ronald menjawabkan untuknya. "Katanya cewekmu mencurigakan."
"Apaan?" Aku mendesah.
"Lihatlah." Vincent mengedikkan dagu ke arah belakangku. Kutoleh ke arah yang sama dan kuperhatikan Janet sedang mengambil gelas bir dari sisi Josh. Tak ada yang mencurigakan di sana. Toh aku juga mengenal Josh. Yang kulihat saat ini hanyalah mereka sedang bertukar kata, Janet menggeleng kesal, dan Josh berusaha untuk meraih pundaknya. Janet menepisnya dan segera berlalu untuk menyambut Margaret.
Tak ada yang aneh.
"Mereka selalu begitu," kataku. "Josh seperti seorang abang kelewat protektif pada adiknya. Mereka memang tetangga sejak masih kecil."
Vincent tidak terlihat terpengaruh. "Kubilang," katanya pelan, "tak ada yang namanya persahabatan antar lelaki dan perempuan, kecuali keduanya sinting."
Aku balas menatapnya lekat-lekat, memilih diam, dan meneguk bir dalam kesenyapan.
Aku menyetir pulang saat waktu menunjukkan pukul satu pagi. Jalanan senyap kecuali satu-dua mobil yang sesekali melintas, diisi pemuda-pemuda urakan atau para pekerja giliran malam yang menyetir ke tempat kerja. Sebuah bis kota pengangkut puluhan wanita operator telepon balapan dengan mobilku, membuatku nyaris mengumpat, tetapi setidaknya itu membuatku sadar bahwa aku hampir melamun.
Mobilku sama diamnya, kecuali Ronald, yang mulai mendengkur halus di jok belakang. Vincent duduk di sampingku, tetapi ia sama sekali tidak bergerak dengan pandangan terus tertuju ke jendela di sampingnya. Aku pun tidak mengajak bicara sejak tadi. Ada barikade kasat mata yang tak bisa kutembus sedang mengelilingi sang pemuda Italia.
Sebenarnya aku mulai curiga soal Vincent. Sayangnya aku baru memberanikan diri bertanya saat perbatasan North End terlihat di depan mata.
"Kulihat-lihat persepsimu soal wanita agak jelek," kataku penuh kehati-hatian. "Kau baru putus dari pacarmu atau bagaimana?" Bisa saja itu alasan asli Vincent pindah ke Amerika, kan? Melupakan masa lalu selama sesaat.
Vincent bergumam tidak jelas.
"Tapi kau juga terdengar punya banyak pengalaman," imbuhku. "Jujur saja, Jane adalah pacar pertamaku dan aku tidak berniat untuk mencari yang lain. Dia sudah tepat. Jadi, uh ...." Aku menggigit bibir. Aku berhenti bicara sejenak saat belok di persimpangan terakhir. "Apakah ada yang bisa kulakukan untuk meluruskan pendapatmu tentangnya?"
"Ya, aku kepikiran satu solusi."
Akhirnya. Ia menjawab tepat saat aku memarkirkan mobil di depan rumahnya. "Apa itu? Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" Aku melongok ke belakang dan menepuk lutut Ronald. "Bangun. Kita sudah sampai."
Ronald kaget. Caranya melonjak bangun agak tidak waras seolah-olah dibangunkan oleh debuman rudal di distrik sebelah. Tanpa banyak bicara, ia langsung merangkak keluar.
Vincent belum mengatakan apa-apa lagi bahkan saat ia sudah bersiap-siap membuka pintu. Ia juga mengunci mulut untuk kesekian kali, tenggelam pada benaknya kapan saja tanpa aba-aba.
Aku masih mengekorinya saat dia membiarkan Ronald berberes, sementara dia melenggang ke dapur. Sesuai dugaan, Vincent menyambar botol anggur sisa kemarin.
Setelah meminum dua teguk, dia baru berputar menghadapku. "Putuskan dia."
Rasa penasaranku surut. "Kau tahu kau punya masalah dengan alkohol, kan? Kayaknya kau harus berhenti minum sesekali."
Vincent menggeleng kuat-kuat. Dia menenggak lagi.
"Maaf. Aku sebenarnya tak pernah ingin mengatakan ini. Karena aku belum tahu apa-apa waktu itu. Tapi kau ... dan segalanya ...." Ia menggigit jarinya seperti orang bingung. "Sudahlah. Putuskan saja si Montgomery."
Pada tahap ini aku masih ingin mempertahankan kesabaran, tetapi berbagai perkara tentang finansial dan tekanan Ibu masih membuat dadaku sesak. Aku menghela napas panjang.
"Kenapa?"
"Apa yang kalian bicarakan?" sayup-sayup suara Ronald menggelegar dari arah tangga. "Aku mau tidur."
Tak ada satu pun yang menjawab dari kami. Tidur saja, aku tak peduli.
Vincent termangu. Ia menenggak, lagi dan lagi, sebelum menudingku dengan botol yang sama. "Dia termasuk panitia masa orientasi kan?"
"Ya, dia selalu aktif."
"Maaf, tapi, apa dia memang seorang jalang?"
Jariku saling menggaruk. Hatiku meradang. "Kau bahkan tidak mengenalnya."
Vincent menggeleng. Bukan tipe gelengan yang ingin kupahami, tapi sialnya aku paham. Bukan "Tidak, aku memang tidak kenal," tetapi sebuah "Bukan, bukan begitu," yang membuat dadaku kian terimpit.
"Kawan-kawan?" Ronald masih bertahan di tangga, ternyata.
Dan kami masih mengabaikannya.
"Jadi begini." Vincent terdiam sejenak. Bahunya bergerak ke kanan dan ke kiri seolah menimbang-nimbang apakah sebaiknya bicara atau tidak. Dia berhenti pada bahu kiri.
"Pada malam puncak, dia menarikku dan kami bersenggama." Ia menyeka mulut. "Di, ahh, klinik."
Dadaku terbakar dan aku ingin muntah saat itu juga. Bahkan sengatan amarah pada wajah membuat mataku terasa panas, dan kukira sudah tiba saatnya di mana aku benar-benar harus menjotos orang. Namun kenyataannya kakiku meninggalkan dapur dengan langkah lebar. Ronald memanggil saat aku mengarah ke pintu depan, tapi aku masih tak menggubrisnya.
Yang kudengar hanyalah gelegar suara Vincent, mengekoriku bagai teror.
"Putuskan dia, Hayward! Dia tidak setia padamu. Dia YANG menarikku dan menciumku duluan!"
Aku membanting pintu, melompat ke mobil, dan nyaris menabrak batang pohon mapel saat berputar balik. Aku tidak memikirkan apa-apa. Tidak juga menoleh ke belakang lagi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top