Oh, to be someone who lived in a museum


"Yah. Aku bakal ikut pameran."

Tak terkira betapa bahagianya Ayah saat mendengar itu. Matanya membeliak, mulutnya menganga, dan mentega di pisaunya merosot pelan. Saat mentega itu jatuh ke piring, Ayah tersentak.

"Sungguh, Ced?"

"Ya," kataku, berusaha menyembunyikan senyumku karena tingkah responsnya. Aku berdeham dan mempertahankan ekspresi jengkelku. "Ingat soal temanku kurator museum itu? Dia mau membantuku. Jadi bisa lebih cepat."

"Oh Tuhan." Ayah mengatupkan bibir. Saat kutatap ia sekali lagi, matanya berkaca-kaca, tetapi kali ini dipenuhi dengan rasa haru.

Hatiku mencelus.

Entah mengapa aku justru tidak menyukai ini. Ayah senang, ya, aku suka itu. Akhirnya, kupikir, dan kursiku di Harvard bakal kujemput. Namun kenyataan bahwa Ayah kembali tenggelam dalam lautan kenangan Ibu sekarang membuatku marah.

Aku mengambil roti isi di meja dan beranjak. "Karena itu, maukah kau berhenti melukis? Sesekali?" aku menambah kata terakhir dengan tergesa. "Kau sudah terlalu lama mendekam di rumah, Yah. Kau jarang bertemu teman-temanmu lagi. Ayo, buatlah janji dengan mereka."

"Jangan konyol." Ayah mendesah. "Sedang perang dingin, dan banyak dari mereka yang ditugaskan keluar. Lagi pula ...." suaranya memelan sejenak. "Lagi pula aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan ibumu. Penugasanku waktu itu benar-benar ...."

Ayah berbicara seolah Ibu masih hidup. Seolah ia sedang mandi di atas sementara kami sarapan lebih awal di dapur.

Mengabaikan sengatan panas di kepala, aku menyambar tas dan berkata, "Aku berangkat dulu."

Ayah tersentak lagi dari lamunannya. "Tambah lagi roti isinya, Ced."

Aku berbalik, mengambil satu potong roti isi lagi dengan banyak potongan ham, lalu pamit.



Kelas teori pagi ini selalu didahului dengan kantuk. Aku duduk di bangku kesayangan di dekat jendela, menikmati belaian angin pagi musim gugur yang membuat mataku berat, sekaligus menanti Vincent untuk muncul. Tepat saat ia datang, beberapa menit sebelum dosen kami, aku langsung memberondongnya.

"Tolong ajari aku cara mengikir sabun," ujarku. Sebab kami dapat tugas untuk mengikirnya lagi untuk minggu terakhir menggunakan sabun, sebelum berpindah ke media lainnya yang lebih berat. Aku masih terbayang-bayang wajah penuh cemooh Pak Wahlberg. "Sekaligus membicarakan soal patung permintaanku. Kapan kau bisa?"

"Kapan saja." Vincent menjatuhkan diri di kursi. Aku memerhatikan betapa ringan setiap gerak-gerik lelaki itu—tak ada suara debuman keras seolah-olah tubuhnya diisi ribuan bulu angsa, bukan daging dan lemak. Melihat pucat kulitnya, mungkin isi nadinya bukan darah melainkan air suci.

"Apa kau tidak sibuk?" tanyaku. "Memahat dan sebagainya?"

Vincent menggeleng. Ia melipat kedua tangan di meja dan bersiap-siap untuk tidur sejenak. Apa semalam ia tidak tidur? Rambut ikalnya memang awut-awutan dan lingkar hitam di matanya kentara jelas. "Aku hanya memahat jika diharuskan."

Itu sebenarnya tidak mengherankan, tapi aku merasa terkhianati oleh dugaanku sendiri. Caranya menjawab dengan begitu normal membuatku agak kecewa. Kukira standar normal seorang Vincent adalah kata-kata filosofis yang tak mengenal basa-basi. Aku ingin mengajaknya mengobrol lebih jauh, memancingnya untuk sebuah obrolan baru atau apakah ia pernah melukis sebuah vedusta* atau mural semacam di langit-langit Cassius Hall—sebab jika iya, maka aku akan menganggapnya dewa Roma.

Namun, karena ia keburu tidur, maka aku cepat-cepat berkata. "Nanti?"

"Mhm."

Lalu ia tidur.

Ronald datang tak lama kemudian, sedikit lebih awal daripada biasanya. Ia mengeplak belakang kepalaku sebelum duduk, dan kubalas dengan kuacungkan jari tengah. Saat Ronald mencengkeramnya dengan kuat, aku refleks berjengit.

"Keparat kau, bocah Spanyol!"

"Aku akan lepaskan kalau kau bisa bilang itu dalam bahasa Italia." Ronald terkekeh.

Vincent, yang kukira mati suri karena bisa terlelap di antara hingar-bingar kelas, tahu-tahu mengangkat kepala. "Vaffanculo."

Kami berdua menoleh kepada Vincent, sama-sama disatukan dengan kesepakatan akan betapa indahnya umpatan itu saat meluncur dari mulut si pemuda italia. Seolah-olah ia sedang memberkati kami.

Sebaliknya, Vincent menatap kami tanpa kedip. Matanya memang berat dan poninya kusut. Lalu ia mengulangnya lagi, kali ini sambil menatapku, dan amat jelas. "Vaffanculo."

Aku menirunya tanpa sadar. "Vafanculo?"

"Tidak ... tidak. Dengan F ganda."

"Vaffanculo," aku mengulang dengan lebih berhati-hati. Ia mengangguk puas dan kembali tidur.

Aku menepis tangan Ronald yang masih meremas jariku. "Aku sudah mengatakannya, vaffanculo. Singkirkan tangan kotormu itu, vaffanculo."

"Keparat kau, vaffanculo." Ia nyaris mengeplak kepalaku lagi, tetapi dosen kami akhirnya masuk kelas dan pagiku pun terselamatkan.



Kuliah Rabu selesai lebih awal. Hanya ada kelas teori dan itu bukan masalah untukku. Aku masih segar dan lebih dari siap untuk mengikuti Vincent selepas pukul tiga sore, sementara mahasiswa-mahasiswa lain sudah seperti mayat berjalan. Ronald hilang segera setelah jarum pendek menunjuk pukul tiga tepat.

Aku bertanya pada Vincent di mana tempat tinggalnya dan dengan apa ia biasa kemari. Sesuai dugaanku ia tinggal di North End. Itu sudah menjadi rumah bagi para imigran Italia, tapi ini juga membuatku agak ketakutan. Saat ia berkata bahwa ia biasa berjalan kaki kemari—yang kurang lebih membutuhkan satu jam—lebih banyak kekhawatiran muncul di hatiku.

Aku berakhir tidak mengatakannya. Dengan penuh kerendahan hati aku mengajak Vincent untuk mengendarai mobil. Sepanjang perjalanan dari Fenway ke North End, aku berusaha menahan diri untuk tidak bertanya macam-macam. Satu-satunya praduga yang kuat kupelihara adalah bahwa tak peduli betapa sempurna seseorang terlihat di luar, dia tetap saja memiliki kekurangan.

Sesempurna apapun pahatan patung dewa, alat kelaminnya pasti seukuran jempol saja.

Namun, lagi-lagi semua itu terempas saat ia mengarahkanku untuk berhenti di depan jajaran townhouse yang senyap. Di seberang jajaran rumah itu memang ada sejumlah kafe dan pizeria, tapi sebatas itu saja—tak ada nonna* yang mengawasi dari jendela. Jalanannya lebih cantik, pot-pot tertata apik, dan meski masih tercium bangkai tikus samar di lubang gorong-gorong pada trotoar, area ini tentunya yang terbaik dari seluruh penjuru North End.

"Kapan kau pindah kemari, Vincent?" akhirnya aku memberanikan diri untuk bertanya. Aku parkir tepat di bawah pohon mapel yang mulai menguning.

"Tahun lalu," katanya, dan saat kami tiba di puncak tangga sebuah townhouse dengan pintu putih yang catnya mengelupas, ia menambahkan. "Dan tidak, aku bukan orang imigran selatan."

Aku merasakan sengatan malu di wajah. Apakah semua tertulis jelas di mukaku?

Sisi positifnya, obrolan pembuka ini cukup membukakan mataku. Benar. Dia adalah seorang pengikir sabun sejati yang tidak bersusah payah, maka sudah pasti dia masuk ke dalam bagian para peseni Italia yang beramai-ramai datang kemari dua puluhan tahun lebih awal. Mereka tidak terpaksa imigrasi kemari—mereka datang untuk popularitas. Lambat laun nama-nama yang terpampang pada pameran lokal adalah nama-nama Italia, saling bersaing dengan Bostonian yang tak mau kalah.

"Lantas mengapa kau berjalan kaki ke kampus?" tanyaku. Jika ia bisa memiliki townhouse tiga lantai seorang diri, maka semestinya ia mampu memiliki mobil.

"Karena aku ingin melihat orang-orang hidup."

Aku terbengong-bengong, tapi Vincent menyuruhku untuk bergegas masuk. Aku mendahuluinya dan seketika disambut aroma anggur yang pekat, dan samar-samar semen basah. Vincent menyalakan lampu dan kandelir kristal kecil di langit-langit ruangan menyala.

Aku merasa seperti dilempar ke sebuah museum.

Museum yang bangkrut, lebih tepatnya. Seolah pemiliknya tak lagi peduli dan sekelompok mahasiswa seni berandal masuk, memutuskan untuk menciptakan seni yang lebih kacau dari tatanan elegan sebelumnya. Lukisan-lukisan potret didudukkan pada kursi-kursi makan, mengitari meja bundar yang dipenuhi hidangan cat pada piring-piring palet dan gelas-gelas berisi air keruh. Garpu dan sendok kuas tergeletak dengan kuas kaku, tak lagi mendulang suapan-suapan detail pada sosok-sosok dengan mulut terkatup rapat di lukisan.

Pandanganku bergeser sedikit, pada sofa beludru merah anggur yang dijejali kain-kain sutra mengilap di bawah pantulan cahaya kandelir. Serpihan-serpihan sabun kastil tercecer di sana, menyemarakkan aroma ruangan yang cukup penat.

"Ah, buat dirimu nyaman."

Rasanya aku mendengar Vincent berbicara, tetapi kakiku sudah otomatis menghampiri meja makan. Kuambil salah satu pigura berukir floral khas Art Deco dan mengusapnya. Itu adalah potret seorang wanita yang tidak kukenal. Tidak tampak seperti orang-orang ternama dalam sejarah juga. Aku tahu wanita itu semestinya naif dan memiliki rambut merah yang bercahaya di bawah mentari, tetapi Vincent membuatnya tampak mati dan tak berwarna. Seolah ada lapisan kasat mata yang menghalangi orang-orang untuk ikut menikmati keindahan gadis itu.

"Siapa ini?" tanyaku, dan walau lukisan itu memberi impresi jauh dariku, aku tak bisa menyembunyikan senyum.

Aku sedang ada di museum.

Ini museum.

"Bukan siapa-siapa." Vincent berbohong. Aku seketika tahu tanpa perlu menelusuri. Ekspresi tak terbacanya sudah cukup menjelaskan.

Namun aku tak ingin bertanya lebih jauh. Ingatanku seketika mengulang ucapan Ayah beberapa saat lalu; tentang lukisan potret yang tak sekadar menyalin wajah manusia ke sebidang kanvas.

Wajahku mengerut. Aku akui Ayah benar kali ini soal seni.

"Tampaknya aku mengerti mengapa kau ingin melihat orang-orang hidup dengan berjalan kaki," kataku mencoba menebak. "Karena kau tinggal sendirian. Tersebab kau jarang keluar rumah, sehingga kau memanfaatkan waktu berangkat dan pulang kuliah untuk mengamati para pejalan kaki. Observasimu itulah yang menjadi inspirasimu untuk melukis. Benar, kan?"

Saat aku menatap Vincent dengan kepercayaan diri membuncah, Vincent hanya tersenyum. Lagi-lagi aku tak bisa menerjemahkan ekspresinya. Apakah ia akan menerima apa saja tebakan untuk menyenangkanku, atau aku memang benar? Kini aku merasa seperti bocah kecil yang mencoba menerjemahkan lukisan kepada kurator museum yang mendampingiku.

Kenyataannya begitu.

Semangat yang menggebu-gebu membuatku merasa tubuhku menyusut dan kakiku ringan. Aku berpindah ke kursi-kursi makan lainnya dan mengamati satu per satu lukisan potret. Semuanya menyembunyikan rahasia yang tak kuketahui, sebagaimana potret gadis rambut merah yang dilapisi sekabut kematian.

"Kau mungkin mau melihat ini." Suara Vincent menyusup masuk ke lamunanku alih-alih membuyarkannya. Ia mengisyaratkan agar aku mengikutinya ke lantai dua, lantai yang lagi-lagi masih gelap. Namun seiring semakin banyak anak tangga yang kudaki, semakin kukenal aroma khas yang familiar; segelayut kapur, anggur hangat yang kental, dan bau debu kayu.

Vincent menyalakan lampu dan aku bergidik.

"Tuhan."

Lantai dua lebih lapang dan sangat dingin. Hanya ada pendingin ruangan dan patung-patung setengah jadi. Aku terbengong-bengong di tepi patung terdekat. Jariku refleks menyapu pada permukaan gipsum dingin yang begitu halus, seolah ia sungguhan membelah tubuh seorang wanita dari pinggang ke kaki, menyisakan roknya yang basah oleh air, dan memberinya mantra pembeku.

Ini membuatku semakin yakin bahwa dunia tak hanya diisi manusia dan hewan saja. Pasti ada penyihir, dan Vincent Roth sudah pasti ada dalam daftar. Haha.

Aku berputar menatapnya dan tersenyum. "Keren." Pujianku persis seperti Cedric usia delapan tahun yang baru pertama kali masuk ke Museum Ngengat. "Andai Ibu ada di sini, dia pasti sudah minta tukar anak."

Tak ada kegelisahan maupun amarah saat memikirkan Ibu dan Ayah. Aku bahkan tak ingat apa-apa lagi tentang akhir-akhir ini. Yang kuingat adalah masa-masa sepuluh tahun lalu dan kedua kakiku yang tak mengenal lelah keliling Roma.

Vincent terkekeh pelan. "Kau sungguh tak mau kuajari cara memahat patung walau sedikit saja?" tanyanya, barangkali setelah melihat betapa bahagianya wajahku saat mengitari patung-patung setengah badan di ruangan itu.

"Tidak." Senyumku berubah kalut, walau hanya sesaat saja. Aku menyandarkan kepalaku pada kepala seorang wanita tanpa panggul di sisi dekat pendingin ruangan. "Aku hanya minta ajari mengikir sabun untuk tugas saja."

Vincent mengangguk dan berakhir sudah waktuku tenggelam di masa lalu. Ia membuka lemari pendingin mungil (dia punya dua lemari pendingin!) di bawah meja kayu tempatnya menaruh sketsa-sketsa dan peralatan tak terpakai. Ia mengeluarkan sebotol anggur, kemudian menuangkan ke gelas untukku. Aromanya jauh lebih pekat daripada anggur yang biasa Ayah minum. "Kalau begitu mari minum."

"Ah, aku tak bisa minum," kataku enggan, "dan lagi ini masih pukul tiga sore—"

"Minum," ulangnya, masih dengan ketenangan yang sama. Saat aku menatapnya, ia tersenyum tipis penuh makna. Aku menerima sodoran gelas itu dengan ragu-ragu, meski aku tetap takkan meminumnya.

"Apa ini salah satu rahasia mengapa karyamu bisa begitu bagus?"

Vincent hanya tertawa. "Minum saja." Ia meneguk anggurnya langsung dari botol.

Baiklah. Kuasumsikan demikian.

Aku menaruh tas dan menggulung lengan kemejaku. Sementara itu ia sempat mengitari ruangan sejenak. Ia menyingkirkan benda-benda yang berserakan di lantai dengan berhati-hati dan menepuk-nepuk karpet secukupnya. Kuawasi ia membuka tirai lebar-lebar dan membiarkan udara sore Boston menyusup masuk.

Usai mengumpulkan sabun-sabun kastil di tengah ruangan, kami duduk di lantai. Segala peralatan mengikirnya lengkap, tapi setelah kuamati satu per satu, ia hanya menggunakan dua jenis pisau kikir—yang satu berukuran dua jari dan yang satu lagi memiliki ujung runcing yang sedikit lebih tebal daripada jarum.

"Ini banyak sekali," komentarku. "Kenapa kau hanya pakai yang itu-itu saja?"

"Alat tidak penting." Ia meraih secarik kertas dan pensil. "Yang penting adalah kemampuanmu. Kalau kau sudah cukup mahir, alat seadanya tidak akan menjadi rintangan."

Aku merasa agak tersinggung, tapi ia benar. Ditambah lagi koleksi pisau kikirnya tidak bisa dibilang seadanya.

Aku memerhatikan ia membuat sketsa tangan. Kebetulan sekali tugas untuk pameran minggu depan adalah tentang bagian tubuh manusia. Sembari melihatnya menggambar, aku berpikir apa yang sebaiknya kubuat. Dan entah bagaimana aku spontan terbersit gagasan akan jenis organ yang bakal diciptakan Ronald.

Kau pasti juga tahu.

Vincent mulai bekerja setelah itu, dan seiring dengan tiap menit yang berlalu, semakin bengonglah diriku. Ia mengikir sabun dengan begitu cepat, membuat totolan-totolan tusukan selihai seorang dokter bedah untuk menentukan arena kulit yang bakal digunting.

"Buatlah sketsamu, Hayward."

"Tidak." Aku khawatir jika aku memalingkan mukaku barang lima menit, sabun yang sekarang mulai berbentuk tangan datar itu bakal berubah menjadi potongan tangan manusia sungguhan. Aku harus melihat proses ajaibnya.

Namun yang Vincent lakukan hanyalah cegukan sesekali, meneguk anggurnya, menggerakkan pisaunya lebih cepat dan lancar daripada sebelumnya, dan sesekali bersin.

Pada pelajaran pertamaku sore itu, kutarik kesimpulan bahwa aku akan sering datang ke sini.



•••••••••••••••••••••••

1. I'm sorry, loves. I don't mean to teach you a curse word :lol:

2. Veduta : lukisan berskala besar dengan detail menakjubkan, biasanya untuk melukiskan sebuah kota dan sejenisnya.

3. Nonna : nenek dalam bahasa Italia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top