Mr. Rose


"Kau yakin nggak mau kami ke situ?"

"Nggak."

Vincent merebut telepon dari Ronald. "Ced, kumohon, jujurlah padaku. Apa kau baik-baik saja?"

"Sumpah aku baik-baik saja." Aku terkekeh pelan. Ini bukan paksaan. Entah mengapa aku merasa begitu ringan sekarang. Apakah sebenarnya yang perlu kulakukan hanyalah mengaku soal pembunuhan enam tahun lalu? Sepertinya begitu. Apalagi aku percaya telah mengakuinya kepada seseorang yang tepat. Aku harap Theo bisa dapat promosi dengan segera—kalau detektif punya jenjang karir seperti itu. Aku tidak tahu soal jenjang karir di kepolisian dan tidak mau tahu juga.

"Bagaimana makanmu?" Ronald merebut telepon lagi.

"Lancar. Tadi aku makan risotto udang. Bilang Vincent, kalau risotto udang di restoran langgananku dan Ayah itu enak banget. Pasti cocok dengan lidahnya."

"Dengar itu, Vince."

"Aku dengar. Aku akan ke sana ... maksudku, mari kita ke sana bertiga. Berempat. Mengapa tidak makan malam sesekali dengan ayahmu juga?"

"Aduh," gumam Ronald. "Nongkrong dengan Pak Hayward."

Aku tertawa. "Ayah akhir-akhir ini suka nongkrong dengan teman-temannya. Tak masalah. Persiapkan diri untuk lelucon bapak-bapak saja."

"Oh, aku bisa itu," kata Ronald. "Kau tahu apa hal yang hanya bisa didapatkan para pemuda di tahun 1940-an?"

"Apa itu?"

"Pekerjaan."

Aku tertawa lagi.

"Ced, sungguhan nggak mau kami ke situ? Bagaimana kalau kau saja yang kemari? Sumpah, kau harus lihat perkembangan patungnya sekarang."

"Ced." Vince merebut telepon. "Bagaimana kalau lukisannya kukerjakan? Aku sudah mendapatkan suasana hati yang tepat. Serius. Aku bisa mengerjakannya untukmu."

Aku bergumam. "Menarik."

"Kalau begitu kemarilah."

"Aku ada janji dengan Detektif," kataku, paham bahwa itu akan memantik kekesalan Vincent. Benar saja. Ia kemudian bertanya mengapa kami harus bertemu lagi. Kujawab, "Ini tak ada hubungannya dengan Jane, kok," kataku. "Kebetulan sesuatu juga terjadi di keluargaku ... sebentar, jangan panik dulu. Beberapa waktu lalu kami menemukan bahwa uang yang kuberikan kepada Jane dikembalikan ke rekeningku. Masalahnya Jane tak tahu nomor rekeningku. Dan lagi, kami juga menerima uang sebesar biaya rawat inapku kemarin. Entah siapa pengirimnya, tetapi yang jelas Ayah minta tolong Detektif untuk menyelidikinya juga."

Ada keheningan sesaat dari seberang sana. "Gila," gumam Vincent. "Kenapa tidak terima saja?"

"Andai bisa demikian," kataku, "tetapi tidak. Ayah tidak suka seperti itu. Aku juga merasa tidak tenang. Siapa tahu orang yang mengirimkan uang ini tahu sesuatu tentang pembunuh Jane? Maksudku, dia tahu persis nominal pemberianku dan nomor rekeningku."

"Ya ampun, benar juga," kata Vincent. "Baiklah kalau begitu. Semoga beruntung."

Kulirik jam dinding di atas. Dalam dua jam Theo akan menjemputku. Dia tadi menelepon, agak terburu-buru, berkata bahwa ia harus membawaku ke kantor polisi untuk dimintai keterangan saksi. Aku heran mengapa aku diundang sebagai saksi, dan bukan sebagai tersangka? Aku masih tidak tahu prosedur semacam itu, dan mau bertanya kepada Ayah pun akan membuatnya panik. Jadi kukatakan kepada Theo bahwa Ayah tak boleh tahu, dan ia setuju. Aku terlalu kepikiran soal Ayah sampai-sampai aku lupa bertanya kenapa aku diundang sebagai saksi. Telepon sudah terlanjur ditutup.

Aku tahu Theo adalah detektif yang baik. Aku yakin dia juga detektif yang jujur dan tak mungkin membiarkan kasus penyuapan terselip begitu saja. Setelah telepon itu, aku mulai membayangkan bagaimana rasanya tinggal di penjara dan bagaimana rasanya duduk di kursi panas di pengadilan. Aku juga bertanya-tanya apakah aku boleh membawa buku-buku medis Ayah ke penjara. Namun, selain itu, aku memprioritaskan untuk menelepon kedua sahabatku. Satu-satunya hal yang tidak aku yakini adalah kemampuanku untuk bertatap muka dengan mereka lagi.

Mereka tak tahu pembunuhan yang kulakukan. Hanya itu yang tak kukatakan kepada mereka.

Dua puluh menit kemudian aku dan kedua sahabatku akhirnya selesai bercakap-cakap. Mereka bilang kalau patung Ibu sudah lima puluh persen jadi. Hebat, kan? Dengan padatnya jadwal kuliah dan semua kegilaan ini, mereka masih mampu mengerjakan patung itu. Aku benar-benar menyayangi mereka. Andai bisa, aku ingin menyaksikan proses ajaib Ronald mengubah bongkahan alabaster menjadi bentuk kasar Ibu, dan proses ajaib Vincent memoles detail hingga membuatnya tampak hidup.

Tapi mungkin aku tak bisa melihatnya dipajang di pameran nanti ....

Aku naik ke kamar dan beberes. Diam-diam kusiapkan pakaian-pakaian yang paling nyaman untuk kupakai di penjara, termasuk buku-buku yang kutumpuk di meja. Aku juga menulis surat untuk Ayah. Surat permintaan maaf. Aku menulisnya singkat saja, tak yakin bisa menahan diri kalau menulis banyak-banyak. Pada akhirnya, meski aku meminta Theo untuk tidak mengatakannya kepada Ayah, aku tetap harus menyampaikan itu. Bagaimana pun aku bakal pergi dalam waktu lama.

Ketika waktu menunjukkan pukul sebelas siang, aku sudah duduk di tangga depan teras dengan tas kulit di pangkuan. Ayah sedang menelepon Pak Robertson, membicarakan soal keinginan untuk membangun kolam koi di pekarangan belakang.

Pukul sebelas lebih. Theo belum muncul. Mungkin dia sibuk, sebagaimana dirinya yang telat saat menyuruhku menunggu di kafe seberang kantor polisi. Aku menyesal mengapa tidak janjian untuk bertemu di kafe itu lagi. Sepertinya aku tidak terlalu takut dengan polisi lagi sekarang.

Pukul dua belas. Ayah menengok dan menyuruhku masuk kembali. Sebaiknya makan siang dulu. Walau aku tidak berselera, aku menurut. Tidak boleh membuat Ayah jengkel barang sedetik saja.

Pukul satu siang. Pukul tiga sore. Kenapa dia lama sekali? Aku sampai tertidur di sofa depan televisi. Aku tersentak bangun saat Ayah mencoba menyelimutiku. Aku bergegas beranjak, kesal dengan keterlambatan Theo yang tidak bisa kutolerir ini, dan menelepon ke kantornya. Rekan sesama detektifnya menjawab, berkata bahwa Theo lembur semalaman, lalu pulang tadi pagi. Aku baru sadar bahwa Theo meneleponku dari rumahnya, jadi kutanyakan alamat Theo pada detektif itu.

Aku menyetir ke rumah Theo sambil bertanya-tanya ada berapa banyak calon tersangka yang menyetir sendiri ke rumah detektif selain diriku. Mungkin aku akan menertawakan ini beberapa tahun lagi. Namun tidak sekarang. Jiwaku meronta-ronta untuk diadili sesegera mungkin sehingga tuntas sudah beban di pundak.

Mobilku melambat saat menyadari ada mobil lain di pekarangan rumah Theo, tetapi itu bukan mobilnya. Chevroletnya sendiri terpakir di tepi jalan. Kuduga ia ada tamu, tetapi aku sudah terlanjur kemari. Kuparkir mobilku di depan rumah tetangganya, turun dengan kikuk, lantas memasuki pekarangan yang sangat rapi dan sederhana.

Aku menyembunyikan bel tetapi tak ada suara. Apakah belnya rusak? Dasar detektif aneh. Kuputuskan untuk mengintip melalui jendela—sembari menggumamkan permintaan maaf—lantas melihat Ronald sedang menyeret kaki Theo melintasi ruangan nun jauh di dalam.

Jantungku serasa melesak ke perut.

Dengan tangan gemetar, aku mencoba membuka jendela dan pintu depan perlahan. Dikunci. Aku melompat turun dari teras dan mengitari pekarangan samping. Kakiku bergerak begitu ringan sementara kepalaku berdentam-dentam kuat. Kucek setiap jendela yang bisa kugapai dan memastikan bahwa semuanya terkunci. Aku mencapai pintu belakang, berharap itu jarang dikunci sebagaiman rumahku, dan memang benar.

Aku melompat masuk. Aku berderap berlari, disusul oleh derap kaget dari arah yang kutuju, kemudian aku nyaris menubruk Vincent saat memasuki ruang duduk.

Tak terbayangkan betapa pucat wajah kami berdua saat bertatapan.

"Ced."

"Vince." Aku menggeram. Mataku tertuju pada Ronald yang seketika menjatuhkan kaki Theo. Sang detektif tak sadarkan diri. Tubuhnya terkulai di lantai dan ada tiga em—

Tiga ember semen basah.

Tidak tidak tidak TIDAK.

"APA YANG KAU LAKUKAN?" aku berteriak di wajah Vincent. Jantungku berpacu dan jiwaku seolah copot dari tubuhku, membiarkan amarah mewujud menjadi sosok utuh yang menguasai diri. Kepalaku terasa meledak.

"APA KAU MEMBUNUHNYA?" Aku merenggut bahu Vincent, menggoyang-goyangnya cukup kuat sampai aku yakin bisa mencopot jiwanya dengan cara seperti itu. Namun ekspresi Vincent kembali tenang, kecuali kekhawatiran sedikit di kedua matanya yang kelam. Aku berang. "JAWAB AKU."

"Ced!" untuk pertama kalinya, Ronald membentakku. Itu bentakan yang berbeda—ia membela Vincent. Itulah mengapa aku mengatakan untuk pertama kalinya. Kulempar tatapan penuh ancaman kepada Ronald, sementara ia pucat pasi dan suaranya goyah. Untuk pertama kalinya pula aku merasa mampu melawan perundung itu, melemparkan kursi atau lampu meja atau tinjuku sendiri sampai tulangku retak, asal bisa membuatnya sadar.

"Dia belum mati," Vincent menjawab, begitu lembut, seolah-olah mencoba menenangkan bocah tantrum. "Baru akan."

"Kenapa kau melakukan ini?"

Dahi Vincent berkerut-kerut muram. "Mengapa tidak?" tanyanya balik. "Ia terlalu ikut campur dengan kehidupanmu ...."

"Demi Tuhan, Vince, dia detektif ...."

"... dia bisa membuat kebahagiaanmu hancur lagi, kau tahu?"

Tanganku merosot dari bahunya. Sesuatu melandaku, seperti bongkahan alabaster seharga hampir dua ratus dolar yang dijatuhkan ke kepala, menggugurkan segala hal tidak penting dari kepalaku dan hanya menyisakan potongan-potongan memori berkesinambungan.

Kakiku refleks mengambil satu langkah mundur, memastikan bahwa yang barusan berkata-kata adalah benar Vincent Roth yang selama ini kukenal.

"Apa maksudmu?"

"Ron." Suara Vincent stabil dan penuh kuasa. "Sandarkan detektif itu dan singkirkan semennya."

Ronald patuh. Ia sama sekali tidak protes dan melaksanakan tugasnya dengan sangat baik. Aku menyaksikan itu dengan mata membulat pedas dan Vincent menarikku duduk di sofa robek-robek beraroma rokok.

"Cedric." Ia mendorong pundakku agar menghadap ke arah Theo yang sedang disandarkan pada dinding kelabu rumahnya. Suara dan ketenangannya persis seperti ketika ia menyuruhku menghadap belasan lukisan Ibu. Instingku menyuruh untuk melompat menjauh dari pemuda ini, seolah-olah ia akan mengunciku sekali lagi dengan Theo yang pingsan. Menghidupkan kembali kenangan akan pembunuhan tentara yang kulakukan enam tahun lalu.

Tapi Vincent tak tahu itu.

"Cedric, coba lihat," katanya lembut. "Detektif itu mengoyak-koyakmu. Sudah benar kau putus dari jalang Montgomery itu, dan sebaiknya kau tidak lupa bahwa dialah yang sebenarnya membuatmu makin sengsara. Itulah kenapa kubuat patungnya seperti itu—agar kau ingat bahwa dia pantas malu dengan jalan hidupnya dan caranya bergantung padamu. Tapi detektif itu muncul."

"Vince—"

"Cedric," suaranya mulai menghantuiku. "Sudah benar pula Josh Fillman disingkirkan dari hidupmu. Apa perlu alasan lagi? Tidak. Baiklah, Montgomery mungkin masih bisa dimaafkan, tetapi Fillman tidak. Dia pantas mati. Atas berbagai kejahatannya kepadamu, dan juga gangguan-gangguan kecilnya pada Ronald kita. Jadi kubuat patungnya untuk Cassius Hall sebagai upaya mengenang bedebah terbesar kampus di tahun ini. Bahwa bukan hanya pahlawan yang pantas untuk diabadikan, melainkan bedebah pun pantas diingat agar tak ada yang mengikuti jejaknya ...."

Aku memaksakan diri untuk menatap Vincent. Pipiku nyaris tergores ujung kukunya yang tajam. Kupelototi dirinya, garis rahangnya yang tegas, mata sekelam dosa-dosanya yang dikelilingi lingkar hitam abadi, dan ketenangan psikopatik di sana.

Namun bukan amarah yang memenuhi kepalaku. Ada buncahan perasaan yang berbeda di sana, membuatku tidak yakin apakah pemuda yang kutatap ini benar adalah Vincent Roth atau bukan.

Atau, mungkin saja—"Tuan Rose?"

Vincent menatapku.

"Tuan Rose?" ulangku, dengan sedikit lebih tinggi, seperti seorang bocah delapan tahun yang mengulang nama pemandu museumnya usai berkenalan.

"Roth, Cedric." Ia tersenyum. "Roth. Bukan Rose."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top