Months before, when summer had just ended.


Awal Musim Gugur di Boston, tahun 1948.

Kulempar setumpuk kanvas ke jok belakang mobil. Kuas-kuas lukis dari bulu babi, botol-botol akrilik, dan pedestal kayu mungil yang biasa ditaruh di meja. Aku mendengar suara benturan kayu di atas jok, serta "Wow!" Ayah dari ambang pintu.

"Tenanglah, Ced. Apa kau terlambat?"

"Tidak." Kubanting pintu mobil. Aku menaiki tangga menuju teras, mengernyit karena Ayah tidak beranjak dari ambang pintu seolah ingin menahanku dan bertanya macam-macam.

"Apa kau marah?" kata Ayah saat aku berusaha melewatinya.

"Tidak, Yah, aku tidak apa." Aku menjejalkan diriku melewati ambang pintu yang masih dihalangi Ayah. Saat beliau berbalik, aku menghindar, lantas tak sengaja menyenggol patung separuh torso di meja foyer.

Aku terkesiap.

Pada sepersekian detik sebelum ia meluncur dari meja, kedua matanya yang retak menatapku. Jalur retakan sepanjang tubuh yang direkatkan oleh berlapis-lapis lem putih seolah bergeser, mengancamku bahwa ia akan hancur berkeping-keping lebih buruk daripada situasinya saat ini.

Mengancamku bahwa bercak gelap yang mengintip dari selapis lem putih bakal tersingkap lepas.

"Awas!" Seruan Ayah menggema di kuping.

Aku buru-buru mengulurkan tangan dan membentur tepi meja. "Sial—" aku mengumpat. Patung itu mendarat di lengan dan sangat berat. Aku sampai membungkuk. Ini memang patung plaster padat. Sama sekali tanpa rongga.

Aku menaruh patung itu kembali dengan jantung bertalu-talu, merapatkannya pada tembok.

"Ya Tuhan, bisakah kau berhati-hati, Ced? Ini karya ibumu."

Ayah menghampiri. Jemarinya menyapu pada permukaan patung itu. Ia mengangkatnya dengan cemas, memastikan bahwa tak ada tambahan retakan.

Dan di sinilah aku, merasakan denyut pada lengan yang mulai memerah. Aku menarik napas dalam-dalam dan menggeleng pelan, lantas menaiki tangga melingkar di seberang. Jantungku berdentam-dentam samar.

Aku menyusuri koridor yang memuat pintu kamarku, melewati jajaran boks-boks berdebu bertuliskan "PERALATAN SENI IBU" dan "TUGAS KULIAH IBU". Meski boks-boksnya terbuka, aku sama sekali tidak berniat membuka. Palet cat yang bernoda cat-cat kering, kuas-kuas dengan bulu lembu semrawut, hingga kanvas-kanvas menguning tidak butuh kupakai lagi, tak peduli seberapa mengeyel Ayah soal "menghidupkan kembali kenangan Ibu".

Kau tahu apa yang lebih gila daripada itu semua? Pigura-pigura berukir floral rumit yang digantung sepanjang dinding koridorku. Dinding yang semula bersih, dengan cat krem megah bersih tanpa noda, kini disesaki lukisan-lukisan kisruh Ibu.

"Cedric? Ced?"

Aku buru-buru melesat masuk. Kusapukan pandangan pada kamar yang beraroma cokelat dan buku-buku berjamur. Kamarku sudah bersih kecuali meja yang masih berantakan dan tas kulit teronggok. Aku menjejalkan segala jenis pensil ke kotak, lalu membuangnya ke tas. Berikut buku-buku catatan tentang sejarah perkembangan seni dan blabla lainnya, hingga yang tersisa di meja hanyalah buku-buku medis Ayah dan latihan soal MCAT tiga tahun lalu.

Ah.

Aku tidak akan mengambil buku-buku medis Ayah, itu terlalu berat. Jadi aku mengambil bendelan latihan soal dan memasukkannya ke tas dengan berhati-hati.

"Memang kau bakal membawanya kuliah?" Ayah terdengar riang dan setengah menertawakan, tetapi aku terkejut bukan kepalang. Aku melonjak dan menatapnya dengan mata membeliak. Ayah tertawa makin keras. "Kau sudah berkutat dengan soal-soal MCAT selama liburan musim panas. Sampai kulitmu gosong."

Tentu saja Ayah menyindir. Aku benci musim panas dan aku selalu berada di dalam ruangan. Kamar, dapur, di dalam mobil dengan pendingin, dan perpustakaan Harvard.

"Tidak ada salahnya." Aku menghela napas. Kuraih tas dan kuedarkan pandangan ke sekeliling ruangan sekali lagi sembari melangkah menuju koridor.

"Lebih baik kau bawa lukisan Ibu saja." Ayah mengayunkan tangan, mengisyaratkan pada lukisan-lukisan abstrak yang justru mengingatkanku pada ledakan-ledakan rudal. "Pasti sangat mudah menginspirasimu."

"Atau bawa lukisan Ayah," tambahnya saat kami menuruni tangga. Ayah terkekeh. "Itu bakal lebih menginspirasimu untuk menghasilkan karya yang epik."

Ya, karena lukisan Ayah jelek banget, pikirku. Ayah tidak punya bakat seni sama sekali. Dia seorang dokter ahli bedah tulen yang tak pernah menyentuh dunia seni, hingga menikah dengan Ibu dan ada agenda kencan museum empat kali setahun.

"Pokoknya jangan patung. Kau kadang-kadang bisa ceroboh. Tidak telaten."

"Ya, ya. Aku tahu. Aku akan belajar menjahit dengan lebih telaten."

"Bukan itu maksudku." Ayah mengernyit. "Dan kau tidak belajar menjahit kulit di kampusmu, melainkan melukis. Tidak masalah kalau kau ceroboh di sana! Ibumu ceroboh dan karya-karya seninya tetap keren."

"Terima kasih banyak sudah menerimaku apa adanya, tapi aku tidak mau bangga dengan kecorobohanku."

Lagi pula kenapa bukan Ayah saja yang kuliah di Fenway? Kalau Ayah ingin sekali aku membuat sebuah karya seni—mahakarya bahkan—kenapa bukan dia saja? Toh Ayah sudah mencoba melukis meski hasilnya aduh banget.

Namun, saat kami tiba di ujung tangga dan pandanganku kembali tertuju pada patung separuh torso yang menyedihkan itu, aku lantas teringat.

Ini semua karena Ayah memang tidak berbakat seni. Andai beliau punya bakat, sudah pasti beliau bakal kuliah sarjana lagi. Gila memang, apalagi di usia lima puluhan. Tetapi semua itu tidak masuk akal, dan karena aku mencintainya sebesar keinginan melindungi satu-satunya keluargaku yang menua, maka akulah yang mendaftar di Fenway College of Art.

Kami menuruni tangga teras hingga mencapai mobilku yang terparkir di bawah. Usai menaruh tas di jok depan, aku berputar menghadapnya.

"Kuharap kali ini kau betah di kampus, Ced. Cobalah untuk menemukan lebih banyak teman ... oke? Masa temanmu cuma pacarmu saja? Dan kau bahkan tidak pernah mengajaknya kemari! Kau ajak dia ke perpustakaan Harvard tapi tidak ke dokter Michael Hayward?"

Sebenarnya aku punya satu teman lagi, tetapi aku tidak pernah mengatakannya kepada Ayah karena itu bisa mencoreng reputasi. Dan tidak, aku tidak berpikir untuk memperkenalkan Janet pada Ayah. Lagi pula kami hanya bertemu sesekali di musim panas lalu, sebab ia sibuk menjadi panitia ospek dan segalanya. Dia gadis yang sangat aktif sedangan aku tidak. Kami bertemu pun hanya untuk mengerjakan latihan soal MCAT bersama.

Aku menghela napas.

MCAT ... karya seni ... Aku bisa gila.

"Yah?" panggilku, saat aku membuka pintu jok pengemudi.

Ayah akhirnya berhenti mengoceh soal pentingnya punya relasi di mana pun kau berada. "Ya, Ced?"

Aku mengatupkan bibir. Sempat muncul kebimbangan di dalam hati, tetapi emosi yang bergumul-gumul di hati ikut membuatku merasakan mampet di otak.

Aku tidak bisa begini selama tiga tahun ke depan. Satu tahun pertama di Fenway sangat menyiksa bagiku.

"Jika aku lulus, apakah kau mengizinkanku untuk mendaftar ke Harvard lagi?"

Aku bakal merengek kalau perlu.

Saat Ayah membasahi bibir, dengan kerjapan mata seolah ingin mengatakan "ya" secara spontan, aku tahu aku harus meyakinkannya lagi. "Sepuluh tahun, Yah." Aku menatapnya sungguh-sungguh. "Sepuluh tahun aku mempersiapkan diri masuk Harvard ... bukan Fenway."

Mulut Ayah terbuka. Jantungku mulai berdegup kencang, merasakan sepercik euforia ketika Ayah akhirnya kembali mendengarkanku kali ini.

Namun ia hanya melambaikan tangan dan tersenyum masam. "Dengan syarat!" katanya. "Kau harus nikmati waktumu di Fenway, oke? Buatlah karya! Kapan lagi kau bisa menjadi seorang seniman? Tidak banyak orang cukup beruntung untuk menjadi seniman setelah perang, Ced. Kau punya kelebihan itu ketika yang lain terpaksa masuk jurusan-jurusan praktis agar bisa sambil bekerja."

Tanganku mengepal.

"Bukankah kau dulu sempat bersemangat ingin melukis seperti Ibu?" Ekspresinya melunak. "Sepuluhan tahun lalu. Saat kita berkunjung ke Italia."

Aku memaksakan senyum. Tanpa mengucapkan apa-apa lagi, aku pamit kepadanya dan memasuki mobil.

"Nanti malam kita makan di restoran Italia, Ced!" seru Ayah saat roda-roda mobilku mulai bergulir. "Berjanjilah untuk berkenalan dengan seseorang baru hari ini!"



Fordor Sedan 1946 meninggalkan Brookline dengan kecepatan sedang. Selama menyetir pikiranku berkecamuk dan kepala memanas. Aku menurunkan kaca jendela, menghirup dalam-dalam udara dingin dengan aroma jalan raya yang berasap. Aku sumpek dan mendadak muncul keinginan untuk minum cokelat panas, meski cuaca belum dingin betul.

Kau tahu? aku suka bersantap di restoran Italia karena mengingatkanku pada liburan terakhir kami di Roma, sepuluh tahun lalu. Namun kini, dengan syarat aneh semacam "berkenalan dengan satu orang baru di kampus", aku tidak yakin apakah seporsi lasagna dan sepiring risotto udang bakal terasa setimpal.

Bisa melewatkan satu tahun pertama di kampus itu saja rasanya aneh betul. Aku tidak ingat apa-apa selain panitia ospek dengan kostum sekte, ancaman para perundung dari jurusan teater, dan perlindungan Ronald Hernandez—satu-satunya kawanku.

Ah, Ronald. Teman yang tak pernah kuceritakan juga kepada Ayah karena reputasi. Bagaimana jika Ayah tahu bahwa satu-satunya kawanku di Fenway—selain Janet—adalah seorang imigran Spanyol, petarung yang lebih hebat daripada perundungku, dan suka menyontek tugas teori? Baiklah, yang terakhir itu sebenarnya adalah timbal balik. Dia melindungiku dari para perundung, dan aku memberinya sontekan tugas. Sempurna.

Memikirkan ini, aku harus memastikan bahwa relasi pertemanan kami masih berjalan dengan baik. Kebetulan aku melihat ada kafe di ujung persimpangan yang kuhampiri. Aku menepikan mobil dan bergegas membeli dua cangkir cokelat panas yang encer.

Mungkin aku akan ceritakan saja Ronald kepada Ayah. Tak perlu menceritakan hal-hal yang dianggap mencoreng. Cukup sampaikan bahwa Ronald adalah seniman muda Spanyol yang penuh semangat dan lebih suka memahat daripada melukis.

Ya, begitu saja. Tak perlu repot-repot tambah teman.



Fenway College of Art tidak sekaya Harvard—tentu saja, duh—yang punya lima lokasi tersebar di Boston. Kampus almamater Ibu ini terdiri dari satu gedung administrasi, satu museum yang menyatu dengan auditorium, dua gedung perkuliahan, dan satu gedung serbaguna. Itu saja. Namun upayanya meniru gaya arsitektur Sekolah Medis Harvard dengan batu-batuan putih tulang dan pilar-pilar raksasa itu membuatku sedikit nyaman.

Sedikit.

Fenway tak punya banyak taman kecuali alun-alun dengan air mancur kebesaran dan pohon-pohon ash menguning. Keterbatasan lahan membuatku memarkirkan mobil di luar pagar, tepat di sisi Margoway Rd. yang hanya dilewati pejalan kaki dan berpagar dinding tinggi museum. Aku mencium aroma cat basah dari toko peralatan seni di seberang dan samar-samar asap rokok. Saat aku mengerling, aku melihat wajah-wajah familiar menyebalkan yang tengah merokok sambil mengawasiku.

Aku mengabaikannya. Di semester tiga ini, aku tidak berniat untuk terlibat dalam masalah apa pun—perundung miskin yang kebosanan, tekanan untuk kreatif (ya ampun, aku mulai benci kata itu), dan sejenisnya. Semoga aku tidak gila. Hanya bendelan latihan soal MCAT di tas yang mempertahankan aku tetap waras.

Untungnya, kendati aku benci dipaksa kreatif, suasana perkuliahan kami membuatku tidak terlalu kesulitan untuk berimajinasi. Sebagai mahasiswa seni murni, perkuliahanku kebanyakan diadakan di Cassius Hall, museum kampus. Ada dua studio kecil yang berdesakan di antara impitan Cassius Hall dan gedung administrasi. Sepanjang tahun pertama, kami kebanyakan belajar di studio lukis atau di museum. Kadang-kadang menyelinap di kursi-kursi auditorium yang empuk juga, sembari menyamar menjadi penonton para mahasiswa teater atas permintaan mereka. Kelas teori kami habiskan di gedung perkuliahan umum dan itu jarang. Menghabiskan banyak waktu di keliling karya-karya seni membuatku akhirnya mengenal banyak karya seni selain mural renaisans Michelangelo.

Aku menaiki undakan Cassius Hall, melewati sepasang pintu kayu besar yang celahnya terbuka sedikit. Saat aku masuk, sudah ada beberapa teman sekelasku yang duduk di lantai kayu. Samar-samar suara dentum musik dari auditorium di lantai atas menggema.

"Hayward!" sapa seseorang. "Tidak jadi ke HMS?"

Aku tersenyum miring. Jengkel. Sebagian dari mereka tertawa, mengatakan bahwa HMS—Harvard Medical School—dan Fenway College of Art bagai bumi dan langit. Mereka pula yang menjulukiku "dokter tersesat", tetapi karena mereka anak-anak baik yang tidak punya niat merundung selain menambah bahan lelucon, jadi kubiarkan saja.

Aku duduk agak jauh, bersandar pada pedestal marmer setinggi pinggang, dan menaruh dua cangkir cokelat panas di sisiku.

Satu per satu teman sekelas memasuki museum. Tiap langkah mereka menimbulkan gema yang terpantul pada dinding berpilar. Tapi tidak ada yang langkahnya seberat Ronald Hernandez. Ia dengan mudahnya menduduki peringkat lelaki terkuat di kelas. Ia memang pernah menjadi tentara perang, dan ada bekas luka abadi di atas alis kirinya.

Aku menyeringai melihatnya. Rambutnya agak panjangan sedikit, tidak plontos seperti tahun lalu. Ia tampak sebagai mahasiswa normal sekarang.

Aku mengulurkan tangan saat Ronald menghampiriku. Ia bau rokok.

"Pagi, Pak Dokter." Alih-alih menyambut uluran tangan, ia mengeplak kepalaku.

Aku mengatupkan bibir. Jengkel. Tanganku pun refleks mengepal, hampir tak terasa ingin meresponsnya dengan pukulanringan.

Namun Ronald justru membalas kepalan tanganku dengan benturan ringan khas sapaan anak jalanan. Ia lantas duduk di belakangku dan mengambil cangkir cokelat panas. "Untukku?" tanyanya agak canggung.

"Yeah."

Ia menggumamkan ucapan terima kasih, tetapi aku tetap memikirkan keputusanku untuk menceritakan soal Ronald kepada Ayah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top