Mom, I just revealed your crime!
Gara-gara penemuan kedua mayat dalam patung tersebut, kampus diliburkan selama satu minggu. Gerbang ditutup rapat-rapat. Entah bagaimana pers juga begitu cepat untuk mendapat berita seperti ini, tetapi mereka tetap tak bisa masuk ketika para mahasiswa ikutan dicegah. Kabar simpang siur banyak beredar. Satu-satunya kabar yang benar adalah Pak Wahlberg dirawat di rumah sakit karena serangan jantung.
Pada hari libur keenam, aku masih mendekam di rumah. Aku diam seribu bahasa sementara televisi terus memutar acara komedi dan bincang-bincang sepanjang hari. Selama semingguan itu Ayah mondar-mandir, menerima kehadiran Ronald dan Vincent, dan sesekali pergi ke bank karena paham bahwa Theo tak bisa diganggu untuk sementara waktu.
Sebenarnya aku tak apa-apa. Aku tidak sedepresi itu. Aku cuma tak bersemangat melakukan apa pun dan ingin mati saja. Tidak lebih.
Hari ini Ayah pergi ke bank lagi dan aku mencegahnya untuk memberitahu kedua sahabatku. Aku agak malas melihat mereka setiap hari. Kuberi alasan agar mereka menyelesaikan patung Ibu saja.
Ketika sendirian di rumah, aku tetap tenggelam di sofa. Selimut kesayangan sejak bertahun-tahun lalu menghangatkan paha, sementara mataku memandang kosong kepada wajah Ed Sullivan di televisi. Aku tenang, sama sekali tak memiliki kecurigaan apa-apa, selain menimbang-nimbang ulang keputusanku untuk mati.
Itu gegabah, tentu saja. Aku bakal merepotkan Ayah kalau aku bunuh diri. Aku tak bisa membayangkan meninggalkan Ayah sendirian tanpa ada yang membalas cintanya.
Aku merosot lebih jauh di sofa saat terdengar suara pintu terbuka, langkah kaki Ayah, kemudian suara Theo. Aku mendengar Ayah menanyakan basa-basi tentang keadaan kakak Theo yang pernah ia rawat di Maroko itu, dan Theo berkata bahwa abangnya sedang bertugas di Washington dan titip salam untuk Ayah.
Aku refleks menegakkan tubuh. Kudapati kedua pria itu memasuki ruang duduk dan menambatkan pandangan padaku. Theo tampak lebih segar dari terakhir kutemui. Sepertinya ia sempat tidur di tengah kekacauan ini, walau air mukanya jelas-jelas menunjukkan rasa letih yang tiada ujung.
"Halo, Cedric." Theo menyapa dengan senyum semringah. "Bagaimana kabarmu? Apa kau cukup beristirahat?"
"Baik." Suaraku stabil walau ekspresiku membuatku tampak seperti sedang menahan beban hidup. Di satu sisi aku sangat lega melihat Theo, walau di sisi lain aku benci diingatkan akan malam memualkan di Cassius Hall. Tidak disangka-sangka aku sangat menantikan kehadirannya.
"Ed Sullivan." Ia ikut-ikutan memandang ke arah televisi. "Kau suka? Aku lebih suka Milton Berle meski tidak sepopuler ini. Yah, tergantung jam tayang dan jam bebasku, sih."
"Mm, biasa saja."
"Jarang menonton televisi?"
"Ya."
"Cedric lebih suka membaca ulang buku-buku medisku daripada nonton televisi, Detektif," Ayah menimpali dari arah dapur. "Detektif, mau kopi?"
Aku menggertakkan gigi mendengar Ayah menyebut soal buku-buku medis. Kurasakan tatapan Theo padaku, sebelum ia menjawab Ayah satu detik lebih lambat. "Tentu, Pak. Boleh dengan gula? Saya butuh asupan energi."
Ia lantas menambatkan pandangan padaku lagi. "Tidak berkumpul dengan sahabat-sahabatmu, Ced?"
"Nggak." Aku menjawab lebih cepat daripada yang kuinginkan. "Mereka ... mereka sibuk. Aku menyita terlalu banyak waktu mereka."
Tak ingin basa-basi ini melebar, aku ganti bertanya. "Bagaimana kemarin?" Kukira itu alasannya kemari. "Dan apa kau juga cukup beristirahat?"
"Aku tidak benar-benar bisa beristirahat sampai segalanya tuntas." Senyum Theo beringsut sedih. "Setidaknya Ibu Montgomery sudah tahu situasi putrinya dan selebihnya kuserahkan padanya. Sekarang kami berkonsentrasi untuk menemukan siapa pelaku di balik ini." Ia berhenti sejenak. "Dan juga menelusuri pengirim uang ke rekeningmu. Surat izin penyelidikannya baru turun. Aku ingin mengabarkan itu."
Aku mengangguk. Harusnya aku khawatir karena perkara rekening itu kembali diperbincangkan, tetapi urat ketakutanku sudah putus. "Hari ini Ayah mengunjungi bank lagi."
"Oh ya, ya, tadi Pak Hayward cerita saat kami bertemu di depan. Katanya masih belum berhasil juga, jadi aku akan membantunya setelah ini."
"Kau pasti sangat lelah," gumamku tanpa pikir panjang.
"Sudah pekerjaanku." Theo tersenyum lagi. "Aku senang jika bisa membantu meluruskan benang-benang kusut. Ah, terima kasih." Theo menerima cangkir kopi dari Ayah. Asapnya mengepul tipis, menghantarkan aroma kopi manis ke sekeliling.
Aku sempat bungkam sembari menanti Theo menyesap kopinya lambat-lambat. Ia mendesah saat menikmati kopi mengaliri tenggorokannya, sedangkan mataku tertuju pada layar televisi.
"Aku butuh surat pernyataan persetujuanmu, Ced," kata Theo perlahan. "Juga Pak Hayward. Aku membutuhkan itu untuk menemui manajer bank nanti."
Sekarang aku kembali ragu. Kebimbangan membuat sekujur tubuhku remang sesaat. Mungkin aku berpikir terlalu lama hingga Theo kembali menanyakan hal serupa, lalu Ayah menjawabkan untukku bahwa kami bersedia. Dengan penuh kesantunan Theo berkata bahwa kami bisa membuat suratnya sekarang, andai tidak sibuk.
Dengan mulut terkunci aku beranjak. Ayah menyuruh Theo untuk mengikutiku karena mesin tik kami terletak di ruang kerjanya. Kami menyusuri tangga dan Theo sempat berkomentar bahwa patung gipsum separuh torso di meja foyer itu bagus, dan bertanya apakah itu karyaku, yang kujawab dengan sekadar gelengan.
Ketika masuk ruang kerja pun Theo sempat mengagumi lukisan-lukisan paling waras Ibu yang dipajang Ayah dengan pigura-pigura keemasan. Ia memuji bahwa tidak heran bahwa aku bersekolah di Fenway—bahwa aku pastilah mewarisi bakat ibu yang sempurna. Satu-satunya responsku hanyalah tarikan kursi Ayah yang kelewat keras dan menjatuhkan bokongku di sana.
Theo membimbingku untuk membuat surat pernyataan. Cukup lama kami tertahan di ruang kerja. Yang aktif berbicara hanyalah Theo dan suara tik-tik mesin yang membalasnya. Lalu cukup lama Theo diam. Aku tidak menyadari itu sampai selesai mengetikkan apa yang ia ucapkan, lalu ia berkata, "Cedric, apa kau tidak apa-apa?"
Aku nyaris mengetik itu, tetapi aku berhasil menahan diri. Saat aku menatapnya, bisa kubayangkan kemuraman wajahku pada pantulan kedua matanya.
"Kau terlihat tertekan." Theo benar-benar tulus saat mengkhawatirkanku. "Kau bisa mengatakannya kepadaku kalau perlu. Kalau ... kalau kau merasa tak bisa menceritakannya kepada siapapun."
"Kau detektif, bukan psikolog."
"Aku tahu." Theo terkekeh pelan. "Tapi kekasihku seorang psikolog. Kami sering berbincang soal ini—dan aku tidak malu untuk mengakui kalau aku selalu berkonsultasi gratis padanya."
Aku menurunkan pandangan pada kertas yang nyaris terisi penuh. Tinggal membubuhkan namaku dan nama Ayah saja.
"Kau janji tidak mengatakannya kepada siapa-siapa?"
"Tentu saja." Theo menegakkan punggung. Alisnya terangkat samar, antusias sekaligus tidak menyangka bahwa aku akan curhat kepadanya.
"Aku tidak tahan," kataku. "Jadi, kalau kau berhasil menelusuri arus rekeningku dan menemukan sesuatu yang sama-sama mencurigakan dari enam tahun lalu, kumohon untuk tidak mengatakan itu kepada Ayah."
Ada keheningan sesaat.
"Maaf?"
Mulutku terbuka meski tak ada suara yang keluar.
Aku tadi mengatakannya?
Napasku memberat sesaat, merasakan sesuatu membuncah di dalam diri. Asam lambungku bergelung-gelung naik ke tenggorokan, memaksa untuk memuntahkan lebih banyak kata-kata.
"Ini bukan pertama kalinya ada uang keluar masuk dalam jumlah banyak yang mencurigakan," kataku, yang amat terkejut dengan ketenangan ini sampai-sampai terasa memualkan. "Tapi aku janji, dan aku yakin, bahwa kasus enam tahun lalu tidak ada hubungannya dengan kasus rekening yang kali ini."
Kutatap lurus-lurus sang detektif. "Enam tahun lalu, Ibu selingkuh sama seorang tentara. Tepat saat Ayah ke Maroko untuk menyembuhkan kakakmu." Ucapanku membuat kedua mata Theo membulat. "Jadi aku membunuh tentara itu, mula-mula kupukul pakai patung di bawah yang kaupuji tadi. Lalu kutembak."
Aku mengangkat bahu. "Tapi Ibu malah marah .... Apalagi saat muncul berita bahwa rombongan Ayah bakal pulang. Jadi, karena tak ingin Ayah tahu, Ibu menguras tabunganku untuk menyuap beberapa pihak. Aku nggak tahu apakah itu benar-benar efektif sehingga tak ada yang tahu. Yang jelas Ayah tidak tahu, dan percaya kalau tabunganku habis sebab aku sangat boros dan selalu ingin jalan-jalan."
Aku mengetikkan nama Ayah dan namaku pada kertas. "Jadi itulah mengapa," kataku, "kalau kau menemukan banyak pengeluaran dalam jumlah mencurigakan pada enam tahun lalu, tolong abaikan saja. Jangan biarkan Ayah tahu soal itu."
Aku mencabut kertas dari mesin tik, meletakkannya di meja untuk menandatanganinya, dan menyerahkannya kepada Theo. "Bisakah aku minta tolong lagi?"
Theo menatapku nanar. Ia menelan ludah. "Apa pun."
"Tolong mintakan tanda tangan pada Ayah. Aku mau tidur."
Aku beranjak. Theo ikut berdiri, sedikit gugup saat menyusulku ke pintu.
"Sebenarnya, Cedric ...."
"Satu lagi, maaf," kataku saat membukakan pintu untuknya. "Kalau aku pantas untuk dipenjara, maka tolong lakukanlah. Aku tidak pernah percaya aparat keamanan, tetapi kau berbeda." Aku tertawa sinis. "Kau tahu, aku tidak hanya membunuh tentara itu. Rasanya aku ikut-ikutan membunuh Ibu juga karena dia meninggal akibat stres. Maksudku, dia memang kena kanker, tetapi stres itu memperparah situasinya. Dan jangan lupakan Janet. Aku juga membunuhnya, oke? Dia minta tolong padaku tapi aku mengabaikannya, dan aku malah enak-enakan bersantai di rumah sakit."
Kami berdiri cukup lama di depan pintu ruang kerja Ayah. Mestinya dia mengangguk dan turun ke lantai satu sekarang, dan seharusnya aku mengunci diri di kamar. Namun kami sama-sama bertahan.
Theo berpikir cukup lama, kemudian ia menepuk bahuku dengan lembut.
"Aku akan menemukan siapa yang membunuh Montgomery dan Fillman," katanya pelan. "Kau, tidurlah sambil membaca ulang buku-buku medis ayahmu, oke? Berjanjilah padaku."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top