It was October, but I called it the end of my life


Ayah berniat membuatkan bubur untukku karena aku masuk angin, tetapi aku sangsi. Sudah kubilang bubur Ibu yang paling enak. Bubur buatan Ayah sama tidak jelasnya dengan bubur yang dibelikan Ronald. Apalagi jika topik obrolan kami saat menantinya membuat bubur adalah Janetsialan Keparatmontgomery. Kukatakan padanya bahwa semua wanita sama saja. Tampang dan harta adalah yang mereka cari pada laki-laki. Dan kepuasan. Ketika aku gigih tak ingin menyentuhnya, dan ketika tabunganku mulai menipis, dan ketika aku babak belur ditonjok oleh Josh, apa yang ia lakukan? Ya, "kembali" pada Josh. Sahabat sejak kecil yang sebenarnya sudah sering saling sentuh.

Bagaimana aku tahu itu? Ronald mengatakannya kepadaku. Dia punya banyak "mata-mata" di kampus, jadi aku percaya padanya. Yah, siapa lagi yang bisa kupercaya?

Sekarang aku paham mengapa Josh selalu kesal jika aku membuat Janet mengambek. Karena aku membuat jengkel wanita yang dia cintai (aku mual saat memikirkan ini). Tapi, yang paling parah dari semua itu, adalah kenyataan bahwa Janet semula mengencaniku karena aku wangi duit (sama saja dengan si Ibu, rupanya) dan benar-benar dijamin masuk Harvard. Tidak sepertinya, yang keinginan masuk Harvard masih sebatas ambisi dan tak bisa direalisasikan andai uangnya belum cukup.

Intinya aku adalah bank berjalan baginya.

Tidak hanya aku, Ronald saja ikut marah saat menceritakan ini. Nafsu mematahkan leher Josh membara di matanya, tetapi dia bilang Josh tak muncul di kampus. Aku lantas jujur, mengatakan bahwa aku sempat melempar kursi padanya dan mungkin hidung Josh remuk karena itu. Ronald terkesima, dan Vincent tersenyum.

Saat aku menceritakan semua itu, Ayah justru tertawa pelan. Aku kira dia bakal mengomeliku karena bisa saja aku dipolisikan Josh, atau apalah, tapi dia justru tertawa.

Sepertinya dia memang ikutan sinting. "Kau puas?"

Aku mengepalkan tangan. "Kubilang, semua wanita sama saja."

Ya, ketika Ibu dikuasai keyakinan bahwa Ayah takkan kembali dari Maroko, dia langsung bermain api dengan tentara itu. Sepertiku yang menerima permen sogokan, Ibu menerima cinta baru dan entah hadiah apa lagi. Atau ibu Janet yang mengencani penyanyi roker dan ikut-ikutan menyayangiku karena aku wangi duit.

Mereka akan melakukan apa pun saat yakin tak mendapatkan sokongan. Karena mereka takkan bekerja andai benar-benar terpaksa, tetapi jika mereka masih memiliki kecantikan dan laki-laki lain yang tergila-gila padanya, maka kenapa tak manfaatkan itu sekalian?

Insting yang gila.

Dan, Ayah hanya merespons sebatas, "Putraku sudah dewasa."

Itu saja? ITU SAJA? Aku tak bisa menahan diri. Tanpa anggur, aku pun membiarkan lautan kata-kataku menerobos gigi-gigi yang terkatup rapat. "Yah, kau tahu Ibu juga pernah melakukan hal yang sama saat kau sedang di Maroko. Aku melihatnya sendiri. Lantas kenapa kau masih bertahan dengannya?"

Tanganku mengepal saat kembali terbayang-bayang Ayah yang bersandar pada lukisan Ibu. "Dan kenapa kau masih tergila-gila padanya saat ia sudah meninggal?"

"Karena ia orang yang tepat untukku."

"Orang yang tepat?" Aku melotot. "Bagaimana bisa ia menjadi orang yang tepat ketika ia pernah berselingkuh darimu?"

Bagaimana bisa ada seseorang yang begitu pemaaf? Ketika sekadar rumor perselingkuhan Janet saja membuatku begitu kacau?

"Ibu adalah orang yang tepat untukku," kata Ayah setelah beberapa saat. "Tapi aku mungkin bukan orang yang tepat untuknya."

Aku terperangah. Seluruh kata-kata bantahan yang sudah siap di tenggorokanku seketika luruh, tergerus asam yang kian membakar.

"Ced, menemukan orang yang mengerti dirimu itu tidak mudah," kata Ayah, suaranya seperti berkumur. "Dan saat kau menemukannya, kau tidak akan peduli pada apa yang ia pikirkan tentang hal lain. Yang penting ia memahami dirimu. Kau ... kau bisa selalu telanjang di depannya dan itulah yang terpenting."

Aku terdiam sejenak. Apakah Janet adalah orang yang tepat bagiku? Nah, tampaknya tidak. Kalau dia benar-benar gadis yang tepat, aku pasti masih punya hati untuk memaafkannya.

Sebaliknya, aku justru menguliti diriku di depan Ronald dan Vincent.

Ayah menyuguhkan bubur dan memberiku peralatan makan lengkap. Semua masih dengan senyum yang tersemat.

"Ced," kata Ayah. "Ketika kau sudah menemukan orang yang tepat, kau takkan peduli lagi pada dunia. Yang penting ia memahamimu."

"Itu gila," kataku spontan.

"Itu cinta."

"Tidak, kaulah yang terobsesi pada Ibu." Aku merinding. Kukoreksi pemikiranku tadi. Ayah bukannya pemaaf. Ayah terobsesi pada Ibu. "Menyuruhku masuk sekolah seni mengikuti mimpinya, padahal kau sudah mempersiapkan aku masuk Harvard sejak dulu. Memaafkannya setelah ia berselingkuh sementara kau nyaris mati di medan perang. Memujanya setelah ia dikubur." Aku menyendok bubur yang masih mengepul panas dengan kesal. "Dan, di atas itu semua, bagaimana bisa kau memaklumi orang yang melakukan kejahatan padamu?"

"Ced." Ayah menopang dagu. "Kau akan mengerti nanti."

Aku tidak perlu mengerti nanti. Aku sudah mengerti. Dia terobsesi. Ayah yang tidak mengerti.

Aku paham bahwa pembicaraan ini tidak akan pernah selesai. Maka aku membawa topik lain yang tidak kalah berat. "Ngomong-ngomong uangku habis."

"Tak masalah. Nanti ambil saja dari tabungan—"

"Tabunganku juga hampir habis."

"Ayah masih punya tabungan."

"Habis."

Hening, kecuali suara gesekan gigiku pada sendok bubur.

"Ayah tak ingat?" kataku setengah mencemooh. "Kan Ibu yang menghabiskan uang tabunganmu. Yang tersisa hanyalah uang tabunganku dan deposito, tapi tabunganku sendiri juga sudah menipis."

Akhirnya jejak canda di wajah Ayah melenyap. "Jaga cara bicaramu, Cedric Hayward." Oh, sudah lama sejak aku mendengar namaku dipanggil lengkap. "Semua itu demi pengobatan Ibu."

"Tidak, Yah." Aku menatapnya heran. "Itu beda lagi. Uang pengobatan Ibu pakai tabungannya sendiri. Meski, yah, memang sedikit tabunganmu juga. Kau tak ingat? Tabunganmu sudah kau serahkan pada Ibu saat kau dikirim ke Maroko. Dan kau tahu itu dipakai untuk apa? Membeli Liberty Bond banyak-banyak."

Ayah terdiam cukup lama, tampaknya mengingat-ingat kebenaran yang diburamkan oleh usia. Ini memunculkan kekhawatiran baru dalam diriku. Apakah Ayah mulai pikun?

Ayah cuma mengusap wajah. "Well, Ced, itu beda persoalan. Kita sedang membantu Amerika."

Aku mengernyit, yakin Amerika tak akan kalah kalau Ibu tidak beli Liberty Bond. Lagi pula aku tahu betul tujuan Ibu membeli Liberty Bond lebih dari sekali.

"Ibu beli bukan untuk mendukung Amerika, kau tahu?" napasku memberat usai mengucapkannya. "Apalagi kita sudah merelakan Ayah untuk perang, lantas mengapa kita masih perlu membeli bon? Kau tahu, Yah? Dia beli bon itu untuk menyenangkan hati tentara keparat itu, bukan karena Amerika!"

"Ced, cukup!"

Aku menggebrak meja dan sendokku jatuh ke lantai. Aku menatap Ayah dengan napas memburu dan dada teramat sesak. Kau tahu rasanya jantung diremas? Atau saat lambungmu ditusuk-tusuk jarum? Aku tak bisa merasakan itu lagi, karena wajahku tersengat panas dan otakku mendidih. Air mata menetes satu per satu di mangkok bubur di bawah daguku.

Mata Ayah berkaca-kaca. Wajah berkeriput itu akhirnya meneteskan air mata juga. Ia beranjak dan merangkulku.

"Sudahlah, Ced. Mau sampai kapan? Ibumu ... ibumu sudah tidak ada, dan kamu masih mengingat-ingat itu?" bisik Ayah lirih. Air matanya membasahi bahuku. "Dia tidak di sini lagi, Nak. Ayah mohon ... maafkanlah Ibu."

Aku menggigit bibir kuat-kuat sampai tercecap sedikit besi. "Bagaimana—bagaimana bisa kau memaafkannya?" suaraku patah-patah, berjuang keluar di sela isak tangis. "Kau terlibat peperangan di luar dan dia—dia berselingkuh darimu begitu saja?"

Aku melepaskan pelukan Ayah dan menuding dadaku sendiri. Menusuk-nusuknya dengan telunjuk. "Di sini sakit, Yah. Sakit." Suaraku gemetaran. Perih yang menggigit dada membuatku kesulitan bernapas. Saat aku menarik napas dalam-dalam melalui mulut, air mata yang mengalir masuk membuatku nyaris tersedak. "Setiap aku mengingatnya, di sini sakit sekali. Apakah itu tidak menyakitimu? Apakah karena kau tidak menyaksikannya langsung?"

Apakah Ayah bisa memaafkan Ibu karena tidak menyaksikan sendiri perselingkuhan Ibu? Dan apakah aku tidak bisa memaafkannya karena aku menyaksikannya tepat di depan mataku?

Dan Janet mengulangi hal yang sama?

"Ced." Ayah memelukku lagi. "Ced. Tolong, maafkan dia. Dia tidak di sini lagi." Ia mengulangi kata-kata yang sama. "Lagi pula ibumu sudah meminta maaf padaku. Semua sudah usai. Ia tidak melakukannya lagi. Dan pada akhirnya, dia memilihku lagi, kan? Benar, kan?"

Kenapa Ayah bertanya padaku?

Aku tak menjawab selama sesaat, membiarkan Ayah mengusap-usap punggungku dengan kuat dan tubuhku menggigil dalam dekapannya.

Yang kupikirkan hanya satu. Ia meminta maaf segera setelah ia didiagnosa kanker. Itu kenyataannya. Aku ingat itu. Aku ingat saat Ayah pulang dari perang, Ibu memang menangis bahagia, tetapi di saat yang bersamaan juga cemas karena harus menyingkirkan tentara selingkuhannya. Waktunya tidak lama, memang, tersebab rasa cemas itu membuatnya sakit-sakitan dan ia langsung dibawa ke rumah sakit.

Siapa sangka rasa sakit yang ia kira hanyalah akibat kecemasan berlebih ternyata berujung pada penemuan kanker yang bertunas?

Tanganku mengepal. "Kenapa kau memaafkannya? Apa karena kau tahu usianya tidak bakal panjang setelah kanker itu?"

Ayah tidak menjawab, dan ini membuatku ingin tertawa. Jadi begitu, pikirku, tetapi sebelum praduga liar merebak dengan cepat, Ayah menghela napas.

"Bukankah ia telah menjaga rumah dengan sangat baik, Ced? Memastikan bahwa kau tumbuh dengan prima kendati peperangan sedang terjadi?"

Ketika Ayah mengusap pipiku, sebuah jawaban brilian terlintas di benak.

Ayah memaafkan Ibu karena tak punya pilihan lagi.




I legit cried when writing this. Didn't it hurt when u don't have any option but to forgive those who cheat on you? Also, I'd like to apologize if Ced's opinions regarding women are quite controversial here. My boy is angry. I hope he will get better soon. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top